Selasa, 02 Oktober 2012

Pengantar Filsafat Pendidikan


PENGANTAR FILSAFAT PENDIDIKAN

Susun oleh Ubaidillah, S.Pd.I, M.A


PENGERTIAN FILSAFAT PENDIDIKAN

Berbagai pengertian (definisi) tentang filsafat pendidikan telah dikemukakan oleh banyak ahli, Al-Syaibani (1979: 36) mengartikan bahwa filsafat pendidikan yaitu aktifitas pikiran yang teratur yang menjadikan filsafat itu sebagai jalan untuk mengatur, menyelaraskan dan memadukan proses pendidikan.[1] Pengertian yang identik dikemukakan oleh John Dewey, filsafat pendidikan merupakan suatu pembentukan kemampuan dasar yang fundamental, baik yang menyangkut daya pikir (intelektual) maupun daya perasaan (emosional) menuju kearah tabiat manusia, maka filsafat juga diartikan teori umum pendidikan. Imam Barnadib (1993: 3) mempunyai versi pengertian atas filsafat pendidikan, yakni ilmu yang pada hakekatnya merupakan jawaban pertanyaan dalam bidang pendidikan. Karenanya, dengan bersifat filosofis bahwa filsafat pendidikan merupakan aplikasi suatu analisa filosofis terhadap pendidikan.[2]
Perlu juga disini penulis menjelaskan tentang filsafat pendidikan Islam. Filsafat pendidikan Islam merupakan studi tentang penggunaan dan penerapan metode dari sistem filsafat Islam dalam memecahkan problematika pendidikan umat Islam, dan selanjutnya memberikan arah dan tujuan yang jelas terhadap pelaksanaan pendidikan umat Islam.[3] Jadi, filsafat pendidikan Islam bersifat tradisional dan kritis, hal ini sejalan dengan faham yang dikemukakan oleh Imam Barnadib; bahwa filsafat pendidikan itu mempunyai dua corak, yaitu filsafat tradisional dan filsafat kritis. Filsafat tradisional adalah filsafat sebagaimana adanya, sistematika, jenis serta aliranya sebagaimana dijumpai dalam sejarah. Jadi, kalau diajukan pertanyaan-pertanyaan,maka jawaban yang diperlukan ada dan melekat pada masing-masing jenis dan aliran tersebut. Lain halnya dengan filsafat kritis , pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dapat disusun dan dilepaskan dari ikatan waktu (histories) dan usaha mencari jawaban yang diperlukan dapat memobilisasikannya sebagai aliran yang ada dan mencari dari masing-masing aliran, serta mengambilnya dari jenis masalah yang bersangkutan.[4]
Suatu usaha untuk mengatasi persoalan-persoalan pendidikan tanpa menggunakan kearifan (wisdom) dan kekuatan filsafat ibarat sesuatu yang sudah ditakdirkan untuk gagal. Persoalan pendidikan adalah persoalan filsafat. Pendidikan dan filsafat tidak terpisahkan karena akhir dari pendidikan adalah akhir dari filsafat, yaitu kearifan (wisdom). Dan alat dari filsafat adalah alat dari pendidikan, yaitu pencarian (inquiry), yang akan mengantar seseorang pada kearifan. Filsafat pendidikan memang suatu disiplin yang bisa dibedakan tetapi tidak terpisah baik dari filsafat maupun juga pendidikan, ia beroleh asupan pemeliharaan dari filsafat. Ia mengambil persoalannya dari pendidikan, sedangkan metodenya dari filsafat. Berfilsafat tentang pendidikan menuntut suatu pemahaman yang tidak hanya tentang pendidikan dan persoalan-persoalannya, tetapi juga tentang filsafat itu sendiri. Filsafat pendidikan tidak lebih dan tidak kurang dari suatu disiplin unik sebagaimana halnya filsafat sains atau sains yang disebut mikrobiologi.
Filsafat secara ringkas berkenaan dengan pertanyaan seputar analisis konsep dan dasar-dasar pengetahuan, kepercayaan, tindakan, dan kegiatan. Jadi dalam filsafat terkandung pengertian dua hal, yaitu (1) analisis konsep, dan (2) pendalaman makna atau dasar dari pengetahuan dan sejenisnya. Dengan menganalisis suatu konsep, hakikat makna suatu kata dieksplorasi baik secara tekstual dengan padanannya maupun juga secara kontekstual dalam penggunaannya. Sehingga akan terkuak dimensi-dimensi moral yang khas dalam pemakaiannya, yang membedakannya dari kata yang lainnya. Jadi, memasukkan makna suatu kata sebagai konsep yang khas dalam kesadaran sehingga memiliki asumsi-asumsi moral guna membantunya lebih cermat dalam fungsionalisasinya.
Analisis konseptual akan mengantar kita pada setidaknya 2 hal penting: (1) memungkinkan kita melihat secara lebih jernih bagaimana suatu konsep terkait tidak saja dengan konsep-konsep lainnya tetapi juga dengan bentuk-bentuk kehidupan sosial yang berada pada jaringan asumsi-asumsi yang saling bertautan seperti tanggung jawab manusia, hak-hak yang terkait dengan kewenangan, dan peran penderitaan dalam kehidupan kita. Hal tersebut akan mengantar kita pada pemahaman yang lebih baik tentang kehidupan sosial kita. (2) dengan memahami struktur konseptual tertentu, akan memungkinkan kita untuk bisa mencermati asumsi-asumsi moral terkait isu yang ada. Diskusi tentang ini akan mengantar kita lebih jauh pada filsafat moral. Terdapat tiga persoalan umum yang disebut filsafat.

1)    Metafisika.
Istilah lebih generik adalah ontologi yang berkenaan dengan hakikat realitas (what is), sedangkan metafisika berkenaan dengan hakikat eksistensi (what it means to be). Pada konteks ini keduanya dipakai saling menggantikan (interchangeably). Metafisika bisa diartikan sebagai the theory of reality. Suatu upaya filosofis untuk memahami karakteristik mendasar atau esensial dari alam semesta dalam suatu simpul yang sederhana namun serba mencakup. Secara sederhana, metafisikawan berusaha menjelaskan rangkuman dan intisari dari apa (of what is), apa yang ada (of what exists), dan apa yang sejati ada (of what is ultimately real). Intisari atau substansi realitas ini secara kualitatif maupun kuantitatif bisa jadi satu atau banyak. Mereka yang beraliran kuantitatif (yakni hakikat sebagai rangkuman realitas atau as the sum of reality) terbagi kedalam tiga posisi pandang: (1) monisme, (2) dualisme, dan (3) pluralisme.
Sedangkan yang beraliran kualitatif (yakni hakikat sebagai intisari dari realitas atau as the substance of reality) terbagi kedalam 4 posisi pandang: (1) idealisme, bahwa hakikat realitas bersifat mental atau spiritual; (2) realisme, bahwa hakikat realitas bersifat material atau fisis. Dua aliran tersebut termasuk kategori monisme. (3) Thomisme yang mengkombinasikan dua corak aliran monisme sebelumnya. (4) Pragmatisme, yang menolak untuk mengkuantifikasi atau mengkualifikasikan realitas. Mereka lebih suka mengatakan bahwa realitas senantiasa berada pada keadaan berubah dan mencipta secara konstan sekalipun secara literal bisa dinyatakan ada ketidakterbatasan filosofis baik jenis maupun jumlahnya.

2)    Aksiologi (Axiology)
Secara historis, istilah yang lebih umum dipakai adalah etika (ethics) atau moral (morals). Tetapi dewasa ini, istilah axios (nilai) dan logos (teori) lebih akrab dipakai dalam dialog filosofis. Jadi, aksiologi bisa disebut sebagai the theory of value atau teori nilai. Bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan tujuan (means and ends). Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang konsisten untuk perilaku etis. Ia bertanya seperti apa itu baik (what is good?). Tatkala yang baik teridentifikasi, maka memungkinkan seseorang untuk berbicara tentang moralitas, yakni memakai kata-kata atau konsep-konsep semacam—seharusnya atau sepatutnya(ought / should). Demikianlah aksiologi terdiri dari analisis tentang kepercayaan, keputusan, dan konsep-konsep moral dalam rangka menciptakan atau menemukan suatu teori nilai.
Terdapat dua kategori dasar aksiologis; (1) objectivism dan (2) subjectivism. Keduanya beranjak dari pertanyaan yang sama: apakah nilai itu bersifat bergantung atau tidak bergantung pada manusia (dependent upon or independent of mankind)? Dari sini muncul empat pendekatan etika, dua yang pertama beraliran obyektivis, sedangkan dua berikutnya beraliran subyektivis. Pertama, teori nilai intuitif (the initiative theory of value). Teori ini berpandangan bahwa sukar jika tidak bisa dikatakan mustahil untuk mendefinisikan suatu perangkat nilai yang bersifat ultim atau absolut. Bagaimanapun juga suatu perangkat nilai yang ultim atau absolut itu eksis dalam tatanan yang bersifat obyektif. Nilai ditemukan melalui intuisi karena ada tata moral yang bersifat baku. Mereka menegaskan bahwa nilai eksis sebagai piranti obyek atau menyatu dalam hubungan antarobyek, dan validitas dari nilai obyektif ini tidak bergantung pada eksistensi atau perilaku manusia. Sekali seseorang menemukan dan mengakui nilai tersebut melalui proses intuitif, ia berkewajiban untuk mengatur perilaku individual atau sosialnya selaras dengan preskripsi-preskripsi moralnya. Kedua, teori nilai rasional (the rational theory of value). Bagi mereka janganlah percaya pada nilai yang bersifat obyektif dan murni independen dari manusia. Nilai tersebut ditemukan sebagai hasil dari penalaran manusia dan pewahyuan supranatural.
Fakta bahwa seseorang melakukan sesuatu yang benar ketika ia tahu dengan nalarnya bahwa itu benar, sebagaimana fakta bahwa hanya orang jahat atau yang lalai yang melakukan sesuatu berlawanan dengan kehendak atau wahyuTuhan. Jadi dengan nalar atau peran Tuhan, seseorang menemukan nilai ultim, obyektif, absolut yang seharusnya mengarahkan perilakunya. Ketiga, teori nilai alamiah (the naturalistik theory of value). Nilai menurutnya diciptakan manusia bersama dengan kebutuhan-kebutuhan dan hasrat-hasrat yang dialaminya.
Nilai adalah produk biososial, artefak manusia, yang diciptakan, dipakai, diuji oleh individu dan masyarakat untuk melayani tujuan membimbing perilaku manusia. Pendekatan naturalis mencakup teori nilai instrumental dimana keputusan nilai tidak absolut atau ma’sum (infallible) tetapi bersifat relatif dan kontingen. Nilai secara umum hakikatnya bersifat subyektif, bergantung pada kondisi (kebutuhan/ keinginan) manusia.Keempat, teori nilai emotif (the emotive theory of value). Jika tiga aliran sebelumnya menentukan konsep nilai dengan status kognitifnya, maka teori ini memandang bahwa bahwa konsep moral dan etika bukanlah keputusan faktual tetapi hanya merupakan ekspresi emosi-emosi atau tingkah laku (attitude). Nilai tidak lebih dari suatu opini yang tidak bisa diverifikasi, sekalipun diakui bahwa penilaian (valuing) menjadi bagian penting dari tindakan manusia. Bagi mereka, drama kemanusiaan adalah sebuah axiological tragicomedy.

3)    Epistemologi (Epistemology)
Disebut the theory of knowledge atau teori pengetahuan. Ia berusaha mengidentifikasi dasar dan hakikat kebenaran dan pengetahuan, dan mungkin inilah bagian paling penting dari filsafat untuk para pendidik. Pertanyaan khas epistemologi adalah bagaimana kamu mengetahui (how do you know?). Pertanyaan ini tidak hanya menanyakan tentang apa (what) yang kita tahu (the products) tetapi juga tentang bagaimana (how) kita sampai mengetahuinya (the process). Para epistemolog adalah para pencari yang sangat ulet. Mereka ingin mengetahui apa yang diketahui (what is known), kapan itu diketahui (when is it known), siapa yang tahu atau dapat mengetahuinya (who knows or can know), dan yang terpenting, bagaimana kita tahu (how we know). Mereka adalah para pengawas dari keluasan ranah kognitif manusia.Pertanyaan-pertanyaan tersebut didahului dengan pertanyaan dapatkah kita mengetahui (can we know?). Di sini terdapat tiga posisi epistemologis:
Pertama, dogmatism. Aliran ini menjawab: ya, tentu saja kita dapat dan benar-benar mengetahui (we can and do know) selanjutnya bahkan kita yakin (we are certain). Untuk mengetahui sesuatu kita harus lebih dahulu memiliki beberapa pengetahuan yang memenuhi dua kriteria: certain (pasti) dan uninferred (tidak tergantung pada klaim pengetahuan sebelumnya). Contoh untuk itu: a = a dan keseluruhan > bagian.
Kedua, skepticism. Aliran ini menjawab: tidak, kita tidak benar-benar tahu dan tidak juga dapat mengetahui. Mereka setuju dengan dogmatisme bahwa untuk berpengetahuan seseorang terlebih dahulu harus mempunyai beberapa premis-premis yang pasti dan bukannya inferensi. Tapi mereka menolak klaim eksistensi premis-premis yang self-evident (terbukti dengan sendirinya). Respon aliran ini seolah menenggelamkan manusia kedalam lautan ketidakpastian dan opini.
Ketiga, fallibilism. Aliran ini menjawab bahwa kita dapat mengetahui sesuatu, tetapi kita tidak akan pernah mempunyai pengetahuan pasti sebagaimana pandangan kaum dogmatis. Mereka ini hanya mengatakan mungkin (possible), bukan pasti (certain). Manusia hanya akan puas dengan pengetahuan yang reliable, tidak pernah 100% yakin. Tidak ada yang dapat diverifikasi melampaui posibilitas-posibilitas dari keraguan yang mencakup suatu pernyataan tertentu.
Inilah yang dikenal dengan istilah doubting Thomas yang yakin bahwa kita selalu berhubungan dengan posibilitas-posibilitas dan probabilitas-probabilitas (pengetahuan) dan tidak pernah dengan kepastian-kepastian. Filosofi fallibilistik ini memandang sains senantiasa berada dalam gerak (posture) dan tidak diam. Belajar pengetahuan selalu bersifat terbuka untuk berubah dan bukannya final, bersifat relatif dan bukannya absolut, bersifat mungkin daripada pasti. Moda kerja aliran ini mengkaji pergeseran-pergeseran, melakukan cek dan re-cek, sekalipun hasil yang dicapai selalu saja akan bersifat tentatif. Para filsuf kontemporer dengan pengecualian beberapa eksistensialis, percaya bahwa kita (manusia) memang dapat mengetahui, tetapi bagaimana? Idealisme menjawab bahwa pengetahuan itu terdiri dari ide. Ide adalah produk akal (the mind) atau hasil dari proses-proses mental dari intuisi dan penalaran.
Intuisi “jika bukan nalar”dapat meraih pengetahuan yang pasti. Analogi yang dipakainya adalah analogi garputala. Realis klasik menjawab bahwa daya rasional dari akal mengurai kode pengalaman dan merajut darinya kebenaran. Pengetahuan kita tentang dunia eksternal hadir melalui penalaran terhadap laporan-laporan observasi. Sekalipun laporan tersebut dari waktu ke waktu sering menipu ktia, kita dapat selalu bersandar pada nalar kita dan percayalah bahwa pengetahuan pasti itu ada, kebenaran absolut itu ada, dan kita bisa menemukannya. Kaum Thomis menjawab agar kita meletakkan kepercayaan pada wahyu sebagaimana pada nalar. Bagi mereka ada kebenaran yang ditemukan (truth finding) dan kebenaran yang diberikan (truth living). Adapun orang yang bijak adalah orang yang mampu mengambil manfaat dari keduanya. Aliran ini secara epistemologis bersifat dogmatis.
Sementara kaum realis modern, pragmatis, empirisis logis, atau naturalis mengambil tesis falibilistik bahwa pengetahuan adalah bersifat kontingen dari perubahan serta kebenaran bersifat relatif sesuai dengan kondisinya. Dari sini, epistemologi adalah bidang tugas filsafat yang mencakup identifikasi dan pengujian kriteria pengetahuan dan kebenaran. Pernyataan kategoris yang menyebutkan bahwa ini kita tahu atau ini adalah kebenaran merupakan pernyataan-pernyataan yang penuh dengan makna bagi para pendidik karena sedikit banyak hal tersebut bertaut dengan tujuan pendidikan yang mencakup pencarian pengetahuan dan perburuan kebenaran.
Beberapa pandangan tentang konsep pendidikan:
1.    Pendidikan sebagai manifestasi (education as manifestation). Dengan analogi pertumbuhan bunga atau benih, dikatakan bahwa pendidikan adalah suatu proses untuk menjadikan manifes (tampak aktual) apa-apa yang bersifat laten (tersembunyi) pada diri setiap anak.
2.    Pendidikan sebagai akuisisi (education as acquisition)Dengan analogi spon, pendidikan digambarkan sebagai upaya untuk mengembangkan kemampuan seseorang dalam memperoleh (menyerap) informasi dari lingkungannya.
3.    Pendidikan sebagai transaksi (education as transaction) Dengan analogi orang Eskimo di Baffin Bay yang berinteraksi (work together) dengan bebatuan yang ada di lingkungannya untuk membuat rumah batu (stone sculpture) yang secara organic sesuai dengan materialnya dan selaras dengan kemampuan pembuatnya. Pendidikan adalah proses memberi dan menerima (give and take) antara manusia dengan lingkungannya. Di sana seseorang mengembangkan atau menciptakan kemampuan yang diperlukan untuk memodifikasi atau meningkatkan kondisinya dan juga lingkungannya. Sebagaimana pula di sana dibentuk perilaku dan sikap-sikap yang akan membimbing pada upaya rekonstruksi manusia dan lingkungannya. Filsafat dan pendidikan berjalan bergandengan tangan, saling memberi dan menerima. Mereka masing-masing adalah alat sekaligus akhir bagi yang lainnya.

Mereka adalah proses dan juga produk.
1.    Filsafat sebagi proses (philosophy as process)
2.    Filsafat sebagai aktivitas berfilsafat (the activity of philosophizing). Tercakup di dalamnya adalah aspek-aspek:
(a)    Analisis (the analytic), yakni berkaitan dengan aktivitas identifikasi dan pengujian asumsi-asumsi dan criteria-kriteria yang memandu perilaku.
(b)    Evaluasi (the evaluative), berkaitan dengan aktivitas kritik dan penilaian tindakan.
(c)    Spekulasi (the speculative), berhubungan dengan pelahiran nalar baru dari nalar yang ada sebelumnya.
(d)    Integrasi (the integrative), yakni konstruksi untuk meletakkan bersama atau mempertautkan kriteria-kriteria atau pengetahuan atau tindakan yang sebelumnya terpisah menjadi utuh. Jadi, proses filosofis itu membangun dinamika dalam perkembangan intelektual.
3.    Filsafat sebagai produk (philosophy as product) Produk dari aktivitas berfilsafat adalah pemahaman (understanding), yakni klarifikasi kata, ide, konsep, dan pengalaman yang semula membingungkan atau kabur sehingga bisa menjadi jernih dan dapat dimanfaatkan untuk pencarian pengetahuan lebih lanjut. Filsafat dengan capital adalah suatu bangun pemikiran yang secara internal bersifat konsisten dan tersusun dari respon-respon yang dibuat terhadap pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam proses berfilsat. Pertama-tama, Filsafat memang tampak sebagai suatu jawaban, posisi sikap, konklusi, ringkasan akhir, dan juga rencana final.[5]

ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN

Sejarah perjalanan perkembangan keyakinan dan pemikiran umat manusia tentang pendidikan telah melahirkan sejumlah filsafat yang melandasinya. Dari berbagai filsafat yang ada, terdapat tiga aliran paham yang dirasakan masih dominan pengaruhnya hingga saat ini, yang secara kebetulan ketiganya lahir pada jaman abad pencerahan menjelang zaman modern.
(1)     Nativisme atau Naturalisme, dengan tokohnya antara lain. J.J. Rousseau (1712-177  dan Schopenhauer (1788-1860 M). Paham ini berpendirian bahwa setiap bayi lahir dalam keadaan suci dan dianugerahi dengan potensi insaniyah yang dapat berkembang secara alamiah. Karena itu, pendidikan pada dasarnya sekedar merupakan suatu proses pemberian kemudahan agar anak berkembang sesuai dengan kodrat alamiahnya. Pandangan ini diidentifikasikan sebagai konsepsi pendidikan yang cenderung pesimistik.
(2)     Empirisme atau Environtalisme, dengan tokohnya antara lain John Locke (1632-1704 M) dan J. Herbart (1776-1841 M). Aliran ini berpandangan bahwa manusia lahir hanya membawa bahan dasar yang masih suci namun belum berbentuk apapun, bagaikan papan tulis yang masih bersih belum tertulisi (Tabula Rasa, Locke ) atau sebuah bejana yang masih kosong (Herbart). Atas dasar itu, pendidikan pada hakikatnya merupakan suatu proses pembentukan dan pengisian pribadi peserta didik ke arah pola yang diinginkan dan diharapkan lingkungan masyarakatnya. Pandangan ini diidentifikasikan sebagai konsepsi pendidikan yang cenderung optimistik.
(3)     Konvergensionisme atau Interaksionisme, dengan tokohnya antara lain William Stern (1871-1939). Pandangan ini pada dasarnya merupakan perpaduan dari kedua pandangan terdahulu. Menurut pandangan ini, baik pembawaan anak maupun lingkungan merupakan faktor-faktor yang determinan terhadap perkembangan dan pembentukan pribadi peserta didik. Oleh karenanya, pendidikan pada hakekatnya merupakan suatu rangkaian peristiwa interaksi antara pembawaan dengan lingkungan. Pribadi peserta didik akan terbentuk sebagai resultante atau hasil interaksi dari kedua faktor determinan tersebut. Pandangan ini diidentifikasikan sebagai konsepsi pendidikan yang cenderung rasional.

Pembagian di atas adalah berdasarkan bagaimana manusia dibentuk. banyak pembagian yang lain lagi misalnya berdasarkan apa yang harus diajarkan sebagai muatan pendidikan: Konservatif: mengajarkan apa yang sudah berlaku di masyarakat, Idealisme: mengajarkan apa yang menjadi ide abadi sepanjang masa, Liberalisme: mengajarkan ilmu sebagai bekal hidup, Liberasionisme: mengajarkan ilmu yang membebaskan, Anarkisme: mengajarkan sesuai dengan kebutuhan lokal.

KEBENARAN ILMIAH & KONSEP FILSAFAT PENDIDIKAN

Dalam filsafat pendidikan, kebenaran ilmiah sebagai entitas struktur komponen ilmu pendidikan, dimana hakekat pelaksanaan pendidikan yang bersangkut paut dengan tujuan, latar belakang, cara dan hasilnya akan dipraktekan berdasarkan analisis kritis terhadap struktur dan kegunaaannya.Aliran-aliran yang ada menempatkan manusia sebagai bagian dari kebudayaan. Sisi kebenarannya dari konsep filsafat dari masing-masing aliran terletak pada konsep dasar orientasi yang membawa dampak pada penerjemahan kebijakan dalam dunia pendidikan. Adapun aliran-aliran tersebut mengelompok sebagai aliran progresivisme, esensialisme, parenialisme dan rekonstruksionisme.

1)    Progresivisme

Progresivisme mempunyai konsep yang didasari oleh pengetahuan dan kepercayaan bahwa manusia itu mempunyai kemampuan-kemampuan yang wajar dan dapat menghadapi dan mengatasi maslah-masalah yang bersifat menekan atau mengancam adanya manusia itu sendiri. (Barnadib, 1994:28). Oleh karena kemajuan atau progres ini menjadi suatu statemen progresivisme, maka beberapa ilmu pengetahuan yang mampu menumbuhkan kemajuan dipandang merupakan bagian utama dari kebudayaan yang meliputi ilmu-ilmu hayat, antropologi, psikologi dan ilmu alam.
Hal ini karena progresivisme memandang manusia sebagai makhluk yang bebas, aktif, dinamis, dan kreatif. Kedudukan manusia penting dalam perkembangan kebudayaan dan peradaban. Dengan kemampuan fikiran yang diberikan Tuhan, manusia mampu mampu menciptakan berbagai ilmu pengetahuan, kesenian dan sarana untuk menghasilkan perubahan dan perkembangan (progress), artinya dalam meninjau kebudayaan dan pendidikan, progresivisme mengutamakan tinjauan ke depan dari pada masa lalu (Barnadib, 1996:62). Untuk menjelaskan pandangan progresivisme, misalkan kita ambil contoh dari antropologi, disini dapat dipelajari bahwa manusia membentuk masyarakat, mengembangkan kebudayaan, dan telah berhasil untuk terus membina kehidupan dan persdaban dan selalu diupayakan untuk mendapatkan kemajuan.
Dari psikologi dapat dipelajari bahwa manusia mempunyai akal budi. Dengan kemampuan berfikirnya dan pengembangan imajinasinya ternyata manusia mampu kreatif untuk meringankan hidupnya dengan ciptaannya. Semuanya itu digunakan untuk meraih kemajuan dalam kehidupannya (Barnadib, 1996:19). Kebenaran menurut pandangan progresivisme adalah sesuatu yang rasional yang dapat membawa kepada kemajuan atau progress. Sehubungan dengan ini ide-ide, teori-teori atau cita-cita tidaklah cukup hanya diakui sebagai hal-hal yang ada dan mengandung nilai kebenaran, tetapi yang ada dan benar secara ilmiah haruslah dicari artinya dan diimplikasikan bagi suatu kemajuan perkembangan ilmu. Untuk itulah progresivisme mengadakan perbedaan anatara pengetahuan dan kebenaran. Pengetahuan adalah kumpulan kesan-kesan dan penerangan-penerangan yang terhimpun dari pengalaman yang siap untuk digunakan. Kebenaran adalah hasil tertentu dari usaha untuk mengetahui, memiliki dan mengerahkan beberapa segmen pengetahuan agar dapat menimbulkan petunjuk atau penyelesaian pada situasi tertentu, yang mungkin keadaannya kacau (Barnadib, 1996:31).

2)    Esensialisme

Esensialisme dalam memandang kebudayaan dan pendidikan berbeda dengan progresivisme, kalau progresivisme menganggap pandangan bahwa banyak hal itu mempunyai sifat yang serba fleksibel dan nilai-nilai itu berubah dan berkembang, esensialisme menganggap bahwa dasar pijak semacam ini kurang tepat karena fleksibilitas dalam segala bentuk dapat menjadi sumber timbulnya pandangan yang berubah-ubah, pelaksanaan yang kurang stabil dan tidak menentu (Barnadib, 1996:38). Di samping itu esensialisme memandang manusia sebagai mahluk budaya, artinya keberadaan manusia mempunyai peranan sebagai penghayat, pelaksana, dan sebagai pengembang kebudayaan. Dalam kehidupannya manusia dilingkupi oleh nilai dan norma budaya, agar kehidupan manusia bermakna dan mantap perlu berlandaskan pada nilai dan norma budaya yang mantap, telah teruji oleh waktu.
Makna atau nilai kebenaran ilmiah yang dikemukakan aliran ini sebagaimana yang diungkapkan Richard Pratte (1977:139), adalah sikap konservatisme kefilsafatan, artinya bahwa kebenaran yang dilakukan manusia adalah relatif karena ketidaksempurnaan manusia,. Tapi setidaknya kebenaran yang dilakukan menurut teori ini adalah kemampuan manusia mengembangkan norma dan nilai yang mewarnai kebudayaan--termasuk pendidikan--, sehingga tidak dengan mudah meninggalkan prestasi serta produknya (kebudayaan, norma, dan nilai termasuk sebagian dari produk dan prestasi itu).
Ini menunjukkan bahwa anggapan mengenai adanya kenyataan itu tidak dapat hanya sebagai hasil tinjauan yang menyebelah saja. Berarti bukan hanya dari subyek atau obyek semata-mata, melainkan pertemuan antara keduannya. Dari sini dapat disimpulkan bahwa realita adalah sama dengan substansi gagasan dan ide-ide. Dibalik dunia fenomenal ini ada jiwa yang tidak terbatas, yaitu Tuhan, yang merupakan pencipta adanya kosmos. Dengan menguji dan menyelidiki ide-ide serta gagasan-gagasannya, manusia akan dapat mencapai kebenaran, yang sumbernya adalah Tuhan sendiri (Butler, 1951:161). Disinilah fungsi pendidikan dalam berbagi bentuk dan manifestasinya yang senantiasa berkembang an berubah, merupakan refleksi dari kebudayaan mengantarkan manusia ke dalam fikiran dan alam modern yang ditandai perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi.

3)    Perenialisme

Perenialisme dalam memandang keadaan sekarang adalah sebagai zaman yang mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh kekacauan, kebingungan dan kesimpangsiuran. Berhubung dengan itu dinilai sebagai zaman yang membutuhkan usaha untuk mengamankan lapangan moral, intelektual dan lingkungan sosial kultural yang lain. Ibarat kapal yang akan berlayar, zaman memerlukan pangkalan dan arah tujuan yang jelas. Perenialisme berpendapat bahwa mencari dan menemukan pangkalan yang demikian ini merupakan tugas yang pertama-tama dari filsafat dan filsafat pendidikan (Barnadib, 1996:59).
Sesuai dengan asal katanya, yaitu perenial: hal-hal yang ada sepanjang masa, perenialisme mengikuti tradisi perkembangan intelektuali akademik yang ada pada dua zaman, Yunani dan abad pertengahan. hal-hal yang ada sepanjang masa inilah yang perlu digunakan untuk menatap kehidupan sekarang yang penuh dengan liku-liku (Pratte,1977:166). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perenialisme bersifat regresif, artinya kembali kepada kebenaran yang sesungguhnya sebagaimana telah diletakkan dasarnya oleh para filosof zaman lampau.
Motif dengan mengambil jalan regresif bukan hanya nostalgia atau rindu akan nilai-nilai lama untuk diingat atau dipuja, malainkan berpendapat bahwa nilai-nilai tersebut mempunyai kedudukan vital bagi pembangunan kebudayaan abad ini (Barnadib, 1996:59). Dalam memandang pengetahuan, perenialisme berpendapat bahwa segala sesuatu yang dapat diketahui dan merupakan kenyataan adalah apa yang terlindung pada kepercayaan. Kebenaran adalah sesuatu yang menunjukkan kesesuaian antara pikir dan benda-benda (Barnadib, 1996:67).
Maksudnya adalah hal-hal yang adanya bersendikan atas prinsip-prinsip keabadian. Hal ini berarti bahwa perhatian mengenai kebenaran adalah perhatian mengenai esensi dari sesuatu, artinya telah memenuhi syarat-syarat logis dan memiliki evidensi diri bagi pengertian yang dirumuskan.

4)    Rekonstruksionisme

Aliran ini memandang manusia sebagai makhluk sosial. Manusia tumbuh dan berkembang dalam keterkaitannya dengan proses sosial dan sejarah dari pada masyarakat. Pendidikan mempunyai peranan untuk menandakan pembaharuan dan pembangunan masyarakat (Barnadib, 1996:63).
Perkembangan ilmu dan tehnologi tidak memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi masyarakat, namun juga membawa dampak negatif. Masyarakat yang hidup damai berangsur-angsur diganti oleh masyarakat yang coraknya tidak menentu, tiada kemantapan, dan yang lebih penting dari itu lepasnya individu dalamketerkaitannya dengan masyarakat serta adanya keterasingan, hal ini menciptakan budaya hegemoni sebagai ideologi.
George F. Kneller (1984:195) membuat ikhtisar pandangan Michael W. Apple tentang ideologi yang dimaksud ada 3 unsur, (1) pandangan bahwa kemajuan itu tergantung dari sains dan industri, (2) suatu kepercayaan dalam masyarakat bahwa agar orang mampu menyumbangkan jasanya dalam masyarakat kompetitif, (3) kepercayaan bahwa hidup yang memadai sama dengan menghasilkan dan mengkonsumsikan barang dan jasa bagi masyarakat. Sehingga menurut Apple ketiganya tercermin dalam kurikulum sekolah. Agar keadaan masyarakat dapat diperbaiki, pendidikan menjadi wahana penting untuk rekonstruksi. Hal tersebut yang menyebabkan tumbuhnya pikiran kritis rekonstruksionisme yang terjadi dalam masyarakat, sehingga dapat dikatakan rekonstruksi sebagai tujuan mencari titik kebenaran melalui lembaga pendidikan.

MAZHAB-MAZHAB FILSAFAT PENDIDIKAN

Filsafat Pendidikan Merupakan terapan dari filsafat umum, maka selama membahas filsafat pendidikan akan berangkat dari filsafat. Filsafat pendidikan pada dasarnya menggunakan cara kerja filsafat dan akan menggunakan hasil-hasil dari filsafat, yaitu berupa hasil pemikiran manusia tentang realitas, pengetahuan, dan nilai. Dalam filsafat terdapat berbagai mazhab/aliran-aliran, seperti materialisme, idealisme, realisme, pragmatisme, dan lain-lain. Karena filsafat pendidikan merupakan terapan dari filsafat, sedangkan filsafat beraneka ragam alirannya, maka dalam filsafat pendidikan pun kita akan temukan berbagai aliran, sekurang-kurnagnya sebanyak aliran filsafat itu sendiri.
Objek filsafat ilmu pendidikan dapat dibedakan dalam empat kategori, yaitu: (1)   Ontologi ilmu pendidikan, membahas tentang hakekat substansi dan pola organisasi ilmu pendidikan.(2) Epistemologi ilmu pendidikan, membahas tentang hakekat objek formal dan material ilmu pendidikan. (3) Metodologi ilmu pendidikan,  membahas tentang hakekat cara-cara kerja dalam menyusun ilmu pendidikan, dan (4) Aksiologi ilmu pendidikan, membahas tentang hakekat nilai kegunaan teoritis dan praktis ilmu pendidikan.
Brubacher (1950) mengelompokkan filsafat pendidikan pada dua kelompok besar, yaitu 1) Filsafat pendidikan “progresif” Didukung oleh filsafat pragmatisme dari John Dewey, dan romantik naturalisme dari Roousseau. 2) Filsafat pendidikan “ Konservatif”. Didasari oleh filsafat idealisme, realisme humanisme (humanisme rasional), dan supernaturalisme atau realisme religius.
Filsafat-filsafat tersebut melahirkan aliran-aliran dalam filsafat pendidikan:
1.    Filsafat Pendidikan Idealisme
Filsafat idealisme memandang bahwa realitas akhir adalah roh, bukan materi, bukan fisik. Pengetahuan yang diperoleh melaui panca indera adalah tidak pasti dan tidak lengkap. Aliran ini memandang nilai adalah tetap dan tidak berubah, seperti apa yang dikatakan baik, benar, cantik, buruk secara fundamental tidak berubah dari generasi ke generasi. Tokoh-tokoh dalam aliran ini adalah: Plato, Elea dan Hegel, Emanuael Kant, David Hume, Al Ghazali.
2.    Filsafat Pendidikan Realisme
Realisme merupakan filsafat yang memandang realitas secara dualitis. Realisme berpendapat bahwa hakekat realitas ialah terdiri atas dunia fisik dan dunia ruhani. Realisme membagi realitas menjadi dua bagian, yaitu subjek yang menyadari dan mengetahui di satu pihak dan di pihak lainnya adalah adanya realita di luar manusia, yang dapat dijadikan objek pengetahuan manusia. Beberapa tokoh yang beraliran realisme: Aristoteles, Johan Amos Comenius, Wiliam Mc Gucken, Francis Bacon, John Locke, Galileo, David Hume, John Stuart Mill.
3.    Filsafat Pendidikan Materialisme
Materialisme berpandangan bahwa hakikat realisme adalah materi, bukan rohani, spiritual atau supernatural. Beberapa tokoh yang beraliran materialisme: Demokritos, Ludwig Feurbach.
4.     Filsafat Pendidikan Pragmatisme
Pragmatisme dipandang sebagai filsafat Amerika asli. Namun sebenarnya berpangkal pada filsafat empirisme Inggris, yang berpendapat bahwa manusia dapat mengetahui apa yang manusia alami. Beberapa tokoh yang menganut filsafat ini adalah: Charles sandre Peirce, wiliam James, John Dewey, Heracleitos.
5.    Filsafat Pendidikan Eksistensialisme
Filsafat ini memfokuskan pada pengalaman-pengalaman individu. Secara umum, eksistensialisme menekankn pilihan kreatif, subjektifitas pengalaman manusia dan tindakan kongkrit dari keberadaan manusia atas setiap skema rasional untuk hakekat manusia atau realitas. Beberapa tokoh dalam aliran ini: Jean Paul Satre, Soren Kierkegaard, Martin Buber, Martin Heidegger, Karl Jasper, Gabril Marcel, Paul Tillich
6.    Filsafat Pendidikan Progresivisme
Progresivisme bukan merupakan bangunan filsafat atau aliran filsafat yang berdiri sendiri, melainkan merupakan suatu gerakan dan perkumpulan yang didirikan pada tahun 1918. Aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan yang benar pada masa kini mungkin tidak benar di masa mendatang. Pendidikan harus terpusat pada anak bukannya memfokuskan pada guru atau bidang muatan. Beberapa tokoh dalam aliran ini: George Axtelle, william O. Stanley, Ernest Bayley, Lawrence B. Thomas, Frederick C. Neff.
7.    Filsafat Pendidikan Esensialisme
Esensialisme adalah suatu filsafat pendidikan konservatif yang pada mulanya dirumuskan sebagai suatu kritik pada trend-trend progresif di sekolah-sekolah. Mereka berpendapat bahwa pergerakan progresif telah merusak standar-standar intelektual dan moral di antara kaum muda. Beberapa tokoh dalam aliran ini: william C. Bagley, Thomas Briggs, Frederick Breed dan Isac L. Kandell.
8.    Filsafat Pendidikan Perenialisme
Merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad kedua puluh. Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Mereka menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru. Perenialisme memandang situasi dunia dewasa ini penuh kekacauan, ketidakpastian, dan ketidakteraturan, terutama dalam kehidupan moral, intelektual dan sosio kultual. Oleh karena itu perlu ada usaha untuk mengamankan ketidakberesan tersebut, yaitu dengan jalan menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kukuh, kuat dan teruji. Beberapa tokoh pendukung gagasan ini adalah: Robert Maynard Hutchins dan ortimer Adler.
9.    Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme
Rekonstruksionisme merupakan kelanjutan dari gerakan progresivisme. Gerakan ini lahir didasarkan atas suatu anggapan bahwa kaum progresif hanya memikirkan dan melibatkan diri dengan masalah-masalah masyarakat yang ada sekarang. Rekonstruksionisme dipelopori oleh George Count dan Harold Rugg pada tahun 1930, ingin membangun masyarakat baru, masyarakat yang pantas dan adil. Beberapa tokoh dalam aliran ini:Caroline Pratt, George Count, Harold Rugg.

PARADIGMA PENDIDIKAN

Pemetaan aliran pendidikan yang dipergunakan di sini adalah mengikuti kategori Giroux and Aronowitz (1985) yang mengategorikan pendekatan pendidikan menjadi tiga aliran yakni pendekatan konservatif, liberal dan kritis serta mengupas bagaimana masing-masing paradigma pendidikan tersebut berimplikasi terhadap sub ­sistem pendidikan lainnya.

1)    Paradigma Pendidikan Konservatif
Bagi kaum konservatif, ketidaksederajatan masyarakat merupakan suatu hukum keharusan alami, suatu hal yang mustahil bisa dihindari serta sudah merupakan ketentuan sejarah atau bahkan takdir Tuhan. Perubahan sosial bagi mereka bukanlah sesuatu yang harus diperjuangkan, karena perubahan hanya akan membuat manusia lebih sengsara saja. Dalam bentuknya yang kalsik atau awal paradigma konservatif dibangun berdasarkan keyakinan bahwa masyarakat pada dasarnya tidak bisa merencanakan perubahan atau mempengaruhi perubahan sosial, hanya Tuhanlah yang merencanakan keadaan masyarakat dan hanya dia yang tahu makna di balik itu semua. Dengan pandangan seperti itu, kaum konservatif lama tidak menganggap rakyat memiliki kekuatan atau kekuasaan untuk merubah kondisi mereka.
Namun dalam perjalanan selanjutnya, paradigma koservatif cenderung lebih menyalahkan subjeknya. Bagi kaum konservatif, mereka yang menderita, yakni orang orang miskin, buta huruf, kaum tertindas dan mereka yang dipenjara, menjadi demikian karena salah mereka sendiri. Karena toh banyak orang lain yang ternyata bisa bekerja keras dan berhasil meraih sesuatu. Banyak orang ke sekolah dan belajar untuk berperilaku baik dan oleh karenanya tidak dipenjara. Kaum miskin haruslah sabar dan belajar untuk menunggu sampai giliran mereka datang, karena pada akhirnya kelak semua orang akan mencapai kebebasan dan kebahagiaan. Kaum konservatif sangat melihat pentingnya harmoni dalam masyarakat dalam mencairkan konflik dan kontradiksi.

2)    Paradigma Pendidikan Liberal
Golongan kedua yakni kaum Liberal, berangkat dari keyakinan bahwa memang ada masalah dimasyarakat tetapi bagi mereka pendidikan tidak ada kaitannya dengan persoalan politik dan ekonomi masyarakat. Denganl keyakinan seperti itu. tugas pendidikan juga tidak ada sangkut pautnya dengan persoalan politik dan ekonomi. Sungguh pun demikian, kaum liberal selalu berusaha untuk menyesuaikan pendidikan dengan keadaan ekonomi dan politik di luar dunia pendidikan, dengan jalan memecahkan berbagai masalah yang ada dalam pendidikan dengan usaha reformasi "kosmetik". Umumnya yang dilakukan adalah seperti: perlunya membangun kelas dan fasilitas baru, memoderenkan peralatan sekolah dengan pengadaan komputer yang lebih canggih dan laboratorium, serta berbagai usaha untuk menyehatkan rasio murid-guru. Selain itu juga berbagai investasi untuk meningkatkan metodologi pengajaran dan pelatihan yang Iebih efisien dan partisipatif,' seperti dinamika kelompok (group dynamics), "learning by doing", "experimental learning", ataupun bahkan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) dan sebagainya. Usaha peningkatan tersebut terisolasi dengan sistem dan struktur ketidakadilan kelas dan gender, dominasi budaya dan represipolitik yang ada dalam masyarakat. Kaum Liberal dan Konservatif sama-sama berpendirian bahwa pendidikan ialah a-politik, dan “excellence” haruslah merupakan target utama pendidikan. Kaum Liberal beranggapan bahwa masalah mayarakat dan pendidikan adalah dua masalah yang berbeda. Mereka tidak melihat kaitan pendidikan dalam struktur kelas dan dominasi politik dan budaya serta diskriminasi gender di masyarakat luas. Bahkan pendidikan bagi salah satu aliran liberal yakni "structural functionalism" justru dimaksud sebagai sarana untuk menstabilkan norma dan nilai masyarakat. Pendidikan justru dimaksudkan sebagai media untuk mensosialisasikan dan mereproduksi nilai­-nilai tata susila keyakinan dan nilai-nilai dasar agar masyarakat luas berfungsi secara baik.
Pendekatan liberal inilah yang mendominasi segenap pemikiran tentang pendidikan baik pendidikan formal seperti sekolah, maupun pendidikan non­-formal seperti berbagai macam pelatihan. Akar dari pendidikan ini adalah Liberalisme, yakni suatu pandangan yang tnenekankan pengembangan kemampuan, melindungi hak, dan kebebasan (freedom), serta mengidentifikasi problem dan upaya modernisasi dan pembangunan demi menjaga stabilitas jangka panjang. Konsep pendidikan dalam tradisi liberal berakar pada cita-cita Barat tentang individualisme. Sejarah ide politik liberalisme berkait erat dengan bangkitnya kelas menengah yang diuntungkan oleh kapitalisme. Pengaruh liberalisme dalam pendidikan dapat dianalisa dengan melihat komponen-­komponennya. Komponen pertama, adalah komponen pengaruh filsafat barat tentang model manusia universal yakni model manusla Amerika dan Eropa. Model tipe ideal mereka adalah manusia "rationalis liberal", seperti pertama, bahwa semua manusia memiliki potensi sama dalam intelektualitas; kedua, baik tatanan alam maupun norma sosial dapat ditangkap oleh akal; ketiga, adalah "individualis" yakni adanya anggapan bahwa manusia adalah atomistik dan otonom (Bay, 1988). Menempatkan individu secara atomistik, membawa pada keyakinan bahwa hubungan sosial sebagai kebetulan, dan masyarakat dianggap tidak stabil karena kepentingan-kepentingan anggotanya yang tidak stabil.
Pengaruh liberal ini kelihatan dalam pendidikan yang mengutamakan prestasi melalui proses persaingan antar murid. Pembuatan ranking untuk menentukan murid terbaik, adalah implikasi dari paham pendidikan ini. Pengaruh pendidikan liberal juga dapat dilihat dalam berbagai pendekatan “andragogy" seperti dalam pelatihan manajemen kewiraswastaan dan manajemen lainnya. Achievement Motivation Training (AMT) yang diciptakan oleh David McClelland adalah contoh terbaik pendekatan liberal. Mclelland berpendapat bahwa akar masalah keterbelakangan dunia ketiga karena mereka tidak memiliki apa yang dinamakannya "N Ach". Oleh karena syarat pembangunan bagi rakyat Dunia Ketiga adalah perlu virus  “N Ach” yang membuat individu agresif dan rasional (McClelland, 1961). Berbagai pelatiha pegembangan masyarakat (Community Development) seperti usaha bersama, intensifikasi perlanian dan lain sebagainya, umunmya berpijak pada paradigma pendidikan liberal ini.
Positivisme juga berpengaruh dalam pendidikan liberal. Positivisme sebagai suatu paradigma ilmu sosial yang dominan dewasa ini juga menjadi dasar bagi model pendidikan Liberal. Positivisme pada dasarnya adalah ilmu sosial yang dipinjam dari pandangan, metode dan teknik ilmu alam memahami realitas. Positivisme sebagai suatu aliran filsafat berakar pada tradisi ilmu-ilmu sosial yang dikembangkan dengan mengambil cara ilmu alam menguasai benda, yakni dengan kepercayaan adanya universalisme dan generalisasi, melalui metode determinasi, “fixed law” atau kumpulan hukum teori (Schoyer, 1973). Positivisme berasumsi bahwa penjelasan tunggal dianggap “appropriate” semua fenomena. Oleh karena itu mereka percaya bahwa riset sosial ataupun pendidikan dan pelatihan harus didekati dengan nletode ilmiah yakni objektif dan bebas nilai. Pengetahuan selalu menganut hukum ilmiah yang bersifat universal, prosedur harus dikuantifisir dan diverifikasi dengan metode "scien­tific". Dengan kata lain, positivisme mensyaratkan pemisahan fakta dan va­lues dalam rangka menuju pada pemahaman objektif atas realitas sosial. Habermas, seorang penganut Teori Kritik melakukan kritik terhadap positivisme dengan menjelaskan berbagai kategori pengetahuan sebagai berikut. Pertama, adalah apa yang disebutnya sebagai "instrumental knowledge" atau positivisme dimana tujuan pengetahuan adalah untuk mengontrol, memprediksi, mema­nipulasi dan eksploitasi terhadap objeknya. Kedua adalah "hermeneutic know­ledge" atau "interpretative knowledge", dimana tugas ilmu pengetahuan hanyalah untuk memahami. Ketiga adalah "critical knowledge" atau “emancipatory knuw­ledge” yakni suatu pendekatan yang dengan kedua pendekatan sebelumnya. Pendekatan ini menempatkan ilmu pengetahuan sebagai katalis untuk membebaskan potensi manusia. Paradigma pendidikan liberal pada dasarnya sangatlah positivistik.
3)    Paradigma Pendidikan Kritis
Pendidikan bagi mereka merupakan arena perjuangan politik. Jika bagi konservatif pendidikan bertujuan untuk menjaga status quo, sementara bagi kaum liberal untuk perubahan moderat, maka paradigma kritis menghendaki perubahan struktur secara fundamental dalam politik ekonomi masyarakat di mana pendidikan berada, Bagi mereka kelas dan diskriminasi gender dalam masyarakat tercermin pula dalam dunia pendidikan. Paham ini bertentangan dengan pandangan kaum liberal di mana pendidikan dianggap terlepas dari persoalan kelas dan gender yang ada dalam masyarakat.
Dalam perspektif kritis, urusan pendidikan adalah melakukan refleksi kritis, terhadap "the dominant ideology" kearah transformasi sosial. Tugas utama pendidikan adalah menciptakan ruang agar sikap kritis terhadap sistem dan struktur ketidakadilan, serta melakukan dekonstruksi dan advokasi menuju sistem sosial yang lebih adil. Pendidikan tidak mungkin dan tidak bisa bersikap netral, bersikap objektif maupun berjarak dengan masyarakat (detachment) seperti anjuran positivisme. Visi pendidikan adalah melakukan kritik terhadap sistem dominan sebagai pemihakan terhadap rakyat kecil dan yang tertindas untuk mencipta sistem sosial baru dan lebih adil. Dalam perspektif kritis, pendidikan harus mampu menciptakan ruang untuk mengidentifikasi dan menganalisis secara bebas dan kritis untuk transformasi sosial. Dengan kata lain tugas utama pendidikan adalah "memanusiakan" kembali manusia yang mengalami dehumanisasi karena sistem dan struktur yang tidak adil.

IMPLIKASI PARADIGMA PENDIDIKAN DALAM METODOLOGI
Bagaimana impIikasi ketiga pandangan pendidikan tersebut terhadap metodologi pendekatan pendidikan. Untuk itu saya meminjam analisis Freire (1970) dalam membagi ideologi pendidikan dalam tiga kerangka yang didasarkan pada kesadaran ideologi masyarakat. Meskipun Freire lebih dikenal sebagai tokoh pendidikan, namun kerangka analisisnya banyak dipergunakan justru untuk melihat kaitan ideologi dalam perubahan sosial. Tema pokok gagasan Freire pada dasarnya mengacu pada pada suatu landasan bahwa pendidikan adalah proses memanusiakan manusia kembali. Gagasan ini berangkat dari suatu analisis bahwa sistem kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya, membuat masyarakat mengalami proses dehumanisasi. Pendidikan, sebagai bagian dari sistem masyarakat justru menjadi pelanggeng proses dehumanisasi tersebut. Secara lebih rinci Freire menjelaskan proses dehumanisasi tersebut dengan menganalisis tentang kesadaran atau pandangan hidup masyarakat terhadap diri mereka sendiri. Freire menggolongan kesadaran manusia menjadi: kesadaran magis (magical consciousness), kesadaran naif (naival consciousness) dan kesadaran kritis (criticai consciousness). Bagaimana kesadaran tersebut dan kaitannya dengan sistem pendidikan dapat secara sederhana diuraikan sebagai berikut.
1)     Kesadaran Magis, yakni suatu kesadaran masyarakat yang tidak mampu mengetahui kaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya. Misalnya saja masyarakat miskin yang tidak mampu melihat kaitan kemiskinan mereka dcngan sistem politik dan kebudayaan. Kesadaran magis lebih melihat faktor di luar manusia (natural maupun supra-natural) sebagai penyebab dan ketakberdayaan. Dalam dunia pendidikan, jika proses belajar mengajar tidak mampu melakukan analisis terhadap suatu masalah maka proses belajar mengajar tersebut dalam prespektif Freirean disebut sebagai pendidikan fatalistik. Proses pendidikan model ini tidak memberikan kemampuan analisis, kaitan antara sistem dan struktur terhadap satu permalahan masyarakat. Mu­rid secara dogmatik menerima "kebenaran" dan guru, tanpa ada mekanisme untuk memahami "makna" ideologi dari setiap konsepsi atas kehidupan masyarakat.
2)     Kesadaran Naif. Keadaan yang dikategorikan dalam kesadaran ini adalah lebih melihat "aspek manusia" menjadi akar penyebab masalalah masyarakat. Dalam kesadaran ini masalah etika, kreativitas, "need for acheivement" dianggap sebagai penentu perubahan sosial. Jadi dalam menganalisis mengapa suatu masyarakat miskin, bagi mereka disebabkan karena "salah" masyarakat sendiri, yakni mereka malas, tidak memiliki kewiraswastaan, atau tidak memiliki'budaya "membangun" dan seterusnya. Oleh karena itu "man power development" adalah sesuatu yang diharapkan akari menjadi pemicu perubahan. Pendidikan dalam konteks ini juga tidak mempertanyakan sistem dan struktur, bahkan sistem dan struklur yang ada sudah baik dan benar, merupakan faktor "given" dan oleh sebab itu tidak dipertanyakan. Tugas pendidikan adalah bagaimana membuat dan mengarahkan agar murid bisa masuk beradaptasi dengan sistem yang sudah benar tersebut.
3)     Kesadaran Kritis. Kesadaran ini lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Pendekatan structural menghindari "blaming the victims" dan lebih menganalisis untuk seeara kritis menyadari struktur dan sistem sosial, politik, ekonomi dan budaya dan akibatnya pada keadaaan masyarakat. Paradigma kritis dalam pendidikan, melatih murid untuk mampu mengidentifikasi ‘ketidakadilan’ dalam sistem dan struktur yang ada, kemudian mampu melakukan analisis bagaimana sistem dan struktur itu bekerja, serta bagaimana mentransformasikannya. Tugas pendidikan dalam paradigma kritis adalah menciptakan ruang dan kesempatan agar peserta pendidikan terlibat dalam suatu proses penciptaan struktur yang secara fundamental baru dan lebih baik.


Nur Sayyid Santoso, S.Pd.I, M.A.

Ponpes Al-Madaniyyah As-Salafiyyah Gumilir-Cilacap

Cilacap, 5 Oktober 2011


REFERENSI

Archie J. Bahm, What is Science?, World Books, Albuqerque, New Meexico, 1980.
Butler, J. Donald, Four Philosophies and Their Practice in Education and Religion, New York: Horper and Brothers, 1951.
Barnadib, Imam, Filsafat Pendidikan, Pengantar Mengenai Sistem dan Metode (Yayasan Penerbit FIK IKI Yogyakarta, 1982)
______, Dasar-Dasar Kependidikan: Memahami makna dan Perspektif Beberapa Teori Pendidikan, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1996.
_______, dan Sutari Imam Barnadib, Beberapa Aspek Substansial Ilmu Pendidikan, Yogyakarta: Andi, 1998.
Braunes, Charles J., & Hobert W. Burns. Problems in Education and Philosophy. New York: Prentice-Hall Inc., 1965.
Bashori, Tauhid, 2004, Pragmatisme Pendidikan, telaah Pemikiran John Dewey,
Brubacher,1950, Modern Philosophies of Education, New York, Mac Graw Hill Book Company
Darmaningtiyas, Pendidikan Pada dan Setelah Krisis, Evaluasi Pendidikan di Masa Krisis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I., 1999.
Escobar, M., Sekolah Kapitalisme yang Licik, Yogyakarta, LKiS, Cet. III., 2001.
Freire, Paulo, Pendidikan Kaum Tertindas, Jakarta, LP3ES, Cet. III., 2000.
______, Pedagogi Pengharapan, Menghayati Kembali Pedagogi Kaum Tertindas, Yogyakarta, Kanisius, Cet. I., 2001.
______, Pendidikan Sebagai Proses, Yogyakarta, Pustaka Pelajar,. I., 2001.
______, & Ira shor, Menjadi Guru Merdeka, Yogyakarta, LKiS, Cet. I., 2001.
Hirst, P.H. & R.S. Peters. The Logic of Education. London: Routledge & Kegan Paul, 1972.
Hadiwiyono, Harun, 1980, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta, Kanisius.
Hamersma, Harry, 1984, Tokoh-Tokoh Filsafat Modern, Jakarta, PT Gramedia.
Ihsan, Hamdani dan Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: CV.Pustaka Setia, Cet. II., 2001)
Jalaluddin dan Abdullah Idi, Manusia Filsafat dan Pendidikan, (Jakarta: Gaya Media Pratama Jakarta, Cet. I., 1997)
Kneller, George F., Movement of Thought in Modern Education, New York: John Witey and Sound, 1984
Kattsoff, L. O., 1996. Pengatar Filsafat. Sebuah Buku Pegangan untuk Mengenal Filsafat. Tiara Wacana. Yogyakarta.
Mudhofir, Ali, 1988, Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat, Yogyakarta, Liberty.
Nur Sayyid Santoso, Filsafat Pendidikan , Cilacap, IAIG press.2011
Palmer, Joy A., 50 Pemikir Pendidikan, Yogyakarta, Jendela, Cet. I., 2003.
Pratte, Richard, Conteporary Theories of Education, Scranton, N. J: Intext International Publisher, 1977.
Rousseau, 1952, The Social Contract or Principles of Political Right, dalam Social Contract essays by Locke, Hume and Rousseau, London, Oxford University Press.
Sumiasumantri, Jujun S. (ed), Ilmu dalam Prespektif, Jakarta: Gramedia, cet. 6, 1985.
______, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar harapan, 1990.
Sudiarja, 2001, Pendidikan Radikal Tapi Dialogal, Basis No.01-02, Tahun ke-50, Januari-Februari, Yayasan BP Basis, Yogyakarta.
Suseno, Franz Magnis, 1992.  Filsafat Sebagai Ilmu Kritis. Kanisius. Yogyakarta.
Sunarto, 2003, Konstruksi Epistemologi Max Horkheimer: Kritik Atas Manusia Modern, dalam Epistemologi Kiri, (ed) Listiyono S, Sunarto, Abd, Qadir Shaleh, Penerbit AR RUZZ, Yogyakarta
Tilaar,  1997.  Pengembangan Sumberdaya Manusia Dalam Era Globalisasi. Visi, Misi, dan program Aksi Pendidikan dan Pelatihan Menuju 2020. Grasindo. Jakarta.
_____, Kukuasaan dan Pendidikan, Suatu Tinjauan dari Perspektif Studi Kultural, Magelang, Indonesiatera, Cet. I., 2003.
Tjaya, Thomas Hidya, 2004, Mencari Orientasi Pendidikan, Sebuah Perspektif Historis, Jakarta, Kompas 4 Februari 2004.
Topatimasang, Roem, Sekolah Itu Candu, Yogyakarta, PP., INSIST, Cet. III., 2001.
Wahono, Francis, Kapitalisme Pendidikan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, Cet.I., 2001.


__________________________________



[1] Dr. Jalaluddin dan Drs. Abdullah Idi, M.Ed., Manusia Filsafat dan Pendidikan, (Jakarta: Gaya Media Pratama Jakarta, Cet. I., 1997) hlm. 13.
[2] Ibid. hlm. 13.
[3] Drs. H. Hamdani Ihsan dan Drs. H. A. Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: CV.Pustaka Setia, Cet. II., 2001) hlm. 22.
[4] Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan, Pengantar Mengenai Sistem dan Metode (Yayasan Penerbit FIK IKI Yogyakarta, 1982) hlm. 89.
[5] Lihat P.H. Hirst & R.S. Peters. The Logic of Education. London: Routledge & Kegan Paul, 1972. Bandingkan dengan Charles J. Braunes & Hobert W. Burns. Problems in Education and Philosophy. New York: Prentice-Hall Inc., 1965.