PENGANTAR FILSAFAT PENDIDIKAN
Susun oleh Ubaidillah, S.Pd.I, M.A
PENGERTIAN FILSAFAT PENDIDIKAN
Berbagai
pengertian (definisi) tentang filsafat pendidikan telah dikemukakan oleh
banyak ahli, Al-Syaibani (1979: 36) mengartikan bahwa filsafat pendidikan yaitu
aktifitas pikiran yang teratur yang menjadikan filsafat itu sebagai jalan untuk
mengatur, menyelaraskan dan memadukan proses pendidikan.[1]
Pengertian yang identik dikemukakan oleh John Dewey, filsafat pendidikan
merupakan suatu pembentukan kemampuan dasar yang fundamental, baik yang
menyangkut daya pikir (intelektual) maupun daya perasaan (emosional)
menuju kearah tabiat manusia, maka filsafat juga diartikan teori umum
pendidikan. Imam Barnadib (1993: 3) mempunyai versi pengertian atas filsafat
pendidikan, yakni ilmu yang pada hakekatnya merupakan jawaban pertanyaan dalam
bidang pendidikan. Karenanya, dengan bersifat filosofis bahwa filsafat
pendidikan merupakan aplikasi suatu analisa filosofis terhadap pendidikan.[2]
Perlu
juga disini penulis menjelaskan tentang filsafat pendidikan Islam. Filsafat
pendidikan Islam merupakan studi tentang penggunaan dan penerapan metode dari
sistem filsafat Islam dalam memecahkan problematika pendidikan umat Islam, dan
selanjutnya memberikan arah dan tujuan yang jelas terhadap pelaksanaan
pendidikan umat Islam.[3]
Jadi, filsafat pendidikan Islam bersifat tradisional dan kritis, hal ini
sejalan dengan faham yang dikemukakan oleh Imam Barnadib; bahwa filsafat
pendidikan itu mempunyai dua corak, yaitu filsafat tradisional dan filsafat
kritis. Filsafat tradisional adalah filsafat sebagaimana adanya,
sistematika, jenis serta aliranya sebagaimana dijumpai dalam sejarah. Jadi,
kalau diajukan pertanyaan-pertanyaan,maka jawaban yang diperlukan ada dan
melekat pada masing-masing jenis dan aliran tersebut. Lain halnya dengan
filsafat kritis , pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dapat disusun dan
dilepaskan dari ikatan waktu (histories) dan usaha mencari jawaban yang
diperlukan dapat memobilisasikannya sebagai aliran yang ada dan mencari dari
masing-masing aliran, serta mengambilnya dari jenis masalah yang bersangkutan.[4]
Suatu
usaha untuk mengatasi persoalan-persoalan pendidikan tanpa menggunakan kearifan
(wisdom) dan kekuatan filsafat ibarat sesuatu yang sudah ditakdirkan untuk
gagal. Persoalan pendidikan adalah persoalan filsafat. Pendidikan dan filsafat
tidak terpisahkan karena akhir dari pendidikan adalah akhir dari filsafat,
yaitu kearifan (wisdom). Dan alat dari filsafat adalah alat dari pendidikan,
yaitu pencarian (inquiry), yang akan mengantar seseorang pada kearifan. Filsafat
pendidikan memang suatu disiplin yang bisa dibedakan tetapi tidak terpisah baik
dari filsafat maupun juga pendidikan, ia beroleh asupan pemeliharaan dari
filsafat. Ia mengambil persoalannya dari pendidikan, sedangkan metodenya dari
filsafat. Berfilsafat tentang pendidikan menuntut suatu pemahaman yang tidak
hanya tentang pendidikan dan persoalan-persoalannya, tetapi juga tentang filsafat
itu sendiri. Filsafat pendidikan tidak lebih dan tidak kurang dari suatu
disiplin unik sebagaimana halnya filsafat sains atau sains yang disebut
mikrobiologi.
Filsafat
secara ringkas berkenaan dengan pertanyaan seputar analisis konsep dan
dasar-dasar pengetahuan, kepercayaan, tindakan, dan kegiatan. Jadi dalam
filsafat terkandung pengertian dua hal, yaitu (1) analisis konsep, dan (2)
pendalaman makna atau dasar dari pengetahuan dan sejenisnya. Dengan
menganalisis suatu konsep, hakikat makna suatu kata dieksplorasi baik secara
tekstual dengan padanannya maupun juga secara kontekstual dalam penggunaannya.
Sehingga akan terkuak dimensi-dimensi moral yang khas dalam pemakaiannya, yang
membedakannya dari kata yang lainnya. Jadi, memasukkan makna suatu kata sebagai
konsep yang khas dalam kesadaran sehingga memiliki asumsi-asumsi moral guna
membantunya lebih cermat dalam fungsionalisasinya.
Analisis
konseptual akan mengantar kita pada setidaknya 2 hal penting: (1) memungkinkan
kita melihat secara lebih jernih bagaimana suatu konsep terkait tidak saja
dengan konsep-konsep lainnya tetapi juga dengan bentuk-bentuk kehidupan sosial
yang berada pada jaringan asumsi-asumsi yang saling bertautan seperti tanggung
jawab manusia, hak-hak yang terkait dengan kewenangan, dan peran penderitaan
dalam kehidupan kita. Hal tersebut akan mengantar kita pada pemahaman yang
lebih baik tentang kehidupan sosial kita. (2) dengan memahami struktur
konseptual tertentu, akan memungkinkan kita untuk bisa mencermati asumsi-asumsi
moral terkait isu yang ada. Diskusi tentang ini akan mengantar kita lebih jauh
pada filsafat moral. Terdapat tiga persoalan umum yang disebut filsafat.
1)
Metafisika.
Istilah
lebih generik adalah ontologi yang berkenaan dengan hakikat realitas
(what is), sedangkan metafisika berkenaan dengan hakikat eksistensi (what it
means to be). Pada konteks ini keduanya dipakai saling menggantikan
(interchangeably). Metafisika bisa diartikan sebagai the theory of reality.
Suatu upaya filosofis untuk memahami karakteristik mendasar atau esensial dari
alam semesta dalam suatu simpul yang sederhana namun serba mencakup. Secara
sederhana, metafisikawan berusaha menjelaskan rangkuman dan intisari dari apa
(of what is), apa yang ada (of what exists), dan apa yang sejati ada (of what is
ultimately real). Intisari atau substansi realitas ini secara kualitatif maupun
kuantitatif bisa jadi satu atau banyak. Mereka yang beraliran kuantitatif
(yakni hakikat sebagai rangkuman realitas atau as the sum of reality) terbagi
kedalam tiga posisi pandang: (1) monisme, (2) dualisme, dan (3) pluralisme.
Sedangkan
yang beraliran kualitatif (yakni hakikat sebagai intisari dari realitas atau as
the substance of reality) terbagi kedalam 4 posisi pandang: (1) idealisme,
bahwa hakikat realitas bersifat mental atau spiritual; (2) realisme, bahwa
hakikat realitas bersifat material atau fisis. Dua aliran tersebut termasuk
kategori monisme. (3) Thomisme yang mengkombinasikan dua corak aliran monisme
sebelumnya. (4) Pragmatisme, yang menolak untuk mengkuantifikasi atau
mengkualifikasikan realitas. Mereka lebih suka mengatakan bahwa realitas
senantiasa berada pada keadaan berubah dan mencipta secara konstan sekalipun
secara literal bisa dinyatakan ada ketidakterbatasan filosofis baik jenis
maupun jumlahnya.
2)
Aksiologi (Axiology)
Secara
historis, istilah yang lebih umum dipakai adalah etika (ethics) atau moral
(morals). Tetapi dewasa ini, istilah axios (nilai) dan logos (teori) lebih
akrab dipakai dalam dialog filosofis. Jadi, aksiologi bisa disebut sebagai the
theory of value atau teori nilai. Bagian dari filsafat yang menaruh perhatian
tentang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta
tentang cara dan tujuan (means and ends). Aksiologi mencoba merumuskan suatu
teori yang konsisten untuk perilaku etis. Ia bertanya seperti apa itu baik
(what is good?). Tatkala yang baik teridentifikasi, maka memungkinkan seseorang
untuk berbicara tentang moralitas, yakni memakai kata-kata atau konsep-konsep
semacam—seharusnya atau sepatutnya(ought / should). Demikianlah aksiologi
terdiri dari analisis tentang kepercayaan, keputusan, dan konsep-konsep moral
dalam rangka menciptakan atau menemukan suatu teori nilai.
Terdapat
dua kategori dasar aksiologis; (1) objectivism dan (2) subjectivism. Keduanya
beranjak dari pertanyaan yang sama: apakah nilai itu bersifat bergantung atau
tidak bergantung pada manusia (dependent upon or independent of mankind)? Dari
sini muncul empat pendekatan etika, dua yang pertama beraliran obyektivis,
sedangkan dua berikutnya beraliran subyektivis. Pertama, teori nilai intuitif
(the initiative theory of value). Teori ini berpandangan bahwa sukar jika tidak
bisa dikatakan mustahil untuk mendefinisikan suatu perangkat nilai yang
bersifat ultim atau absolut. Bagaimanapun juga suatu perangkat nilai yang ultim
atau absolut itu eksis dalam tatanan yang bersifat obyektif. Nilai ditemukan
melalui intuisi karena ada tata moral yang bersifat baku. Mereka menegaskan
bahwa nilai eksis sebagai piranti obyek atau menyatu dalam hubungan antarobyek,
dan validitas dari nilai obyektif ini tidak bergantung pada eksistensi atau
perilaku manusia. Sekali seseorang menemukan dan mengakui nilai tersebut
melalui proses intuitif, ia berkewajiban untuk mengatur perilaku individual
atau sosialnya selaras dengan preskripsi-preskripsi moralnya. Kedua, teori
nilai rasional (the rational theory of value). Bagi mereka janganlah percaya
pada nilai yang bersifat obyektif dan murni independen dari manusia. Nilai
tersebut ditemukan sebagai hasil dari penalaran manusia dan pewahyuan
supranatural.
Fakta
bahwa seseorang melakukan sesuatu yang benar ketika ia tahu dengan nalarnya
bahwa itu benar, sebagaimana fakta bahwa hanya orang jahat atau yang lalai yang
melakukan sesuatu berlawanan dengan kehendak atau wahyuTuhan. Jadi dengan nalar
atau peran Tuhan, seseorang menemukan nilai ultim, obyektif, absolut yang
seharusnya mengarahkan perilakunya. Ketiga, teori nilai alamiah (the
naturalistik theory of value). Nilai menurutnya diciptakan manusia bersama
dengan kebutuhan-kebutuhan dan hasrat-hasrat yang dialaminya.
Nilai
adalah produk biososial, artefak manusia, yang diciptakan, dipakai, diuji oleh
individu dan masyarakat untuk melayani tujuan membimbing perilaku manusia.
Pendekatan naturalis mencakup teori nilai instrumental dimana keputusan nilai
tidak absolut atau ma’sum (infallible) tetapi bersifat relatif dan kontingen.
Nilai secara umum hakikatnya bersifat subyektif, bergantung pada kondisi
(kebutuhan/ keinginan) manusia.Keempat, teori nilai emotif (the emotive
theory of value). Jika tiga aliran sebelumnya menentukan konsep nilai
dengan status kognitifnya, maka teori ini memandang bahwa bahwa konsep moral
dan etika bukanlah keputusan faktual tetapi hanya merupakan ekspresi
emosi-emosi atau tingkah laku (attitude). Nilai tidak lebih dari suatu opini
yang tidak bisa diverifikasi, sekalipun diakui bahwa penilaian (valuing)
menjadi bagian penting dari tindakan manusia. Bagi mereka, drama kemanusiaan
adalah sebuah axiological tragicomedy.
3)
Epistemologi (Epistemology)
Disebut
the theory of knowledge atau teori pengetahuan. Ia berusaha mengidentifikasi
dasar dan hakikat kebenaran dan pengetahuan, dan mungkin inilah bagian paling
penting dari filsafat untuk para pendidik. Pertanyaan khas epistemologi adalah
bagaimana kamu mengetahui (how do you know?). Pertanyaan ini tidak hanya
menanyakan tentang apa (what) yang kita tahu (the products) tetapi juga tentang
bagaimana (how) kita sampai mengetahuinya (the process). Para epistemolog
adalah para pencari yang sangat ulet. Mereka ingin mengetahui apa yang
diketahui (what is known), kapan itu diketahui (when is it known), siapa yang
tahu atau dapat mengetahuinya (who knows or can know), dan yang terpenting,
bagaimana kita tahu (how we know). Mereka adalah para pengawas dari keluasan
ranah kognitif manusia.Pertanyaan-pertanyaan tersebut didahului dengan
pertanyaan dapatkah kita mengetahui (can we know?). Di sini terdapat tiga
posisi epistemologis:
Pertama,
dogmatism. Aliran ini menjawab: ya, tentu saja kita dapat dan benar-benar
mengetahui (we can and do know) selanjutnya bahkan kita yakin (we are certain).
Untuk mengetahui sesuatu kita harus lebih dahulu memiliki beberapa pengetahuan
yang memenuhi dua kriteria: certain (pasti) dan uninferred (tidak tergantung
pada klaim pengetahuan sebelumnya). Contoh untuk itu: a = a dan keseluruhan
> bagian.
Kedua,
skepticism. Aliran ini menjawab: tidak, kita tidak benar-benar tahu dan tidak
juga dapat mengetahui. Mereka setuju dengan dogmatisme bahwa untuk
berpengetahuan seseorang terlebih dahulu harus mempunyai beberapa premis-premis
yang pasti dan bukannya inferensi. Tapi mereka menolak klaim eksistensi
premis-premis yang self-evident (terbukti dengan sendirinya). Respon aliran ini
seolah menenggelamkan manusia kedalam lautan ketidakpastian dan opini.
Ketiga,
fallibilism. Aliran ini menjawab bahwa kita dapat mengetahui sesuatu, tetapi
kita tidak akan pernah mempunyai pengetahuan pasti sebagaimana pandangan kaum
dogmatis. Mereka ini hanya mengatakan mungkin (possible), bukan pasti
(certain). Manusia hanya akan puas dengan pengetahuan yang reliable, tidak
pernah 100% yakin. Tidak ada yang dapat diverifikasi melampaui
posibilitas-posibilitas dari keraguan yang mencakup suatu pernyataan tertentu.
Inilah
yang dikenal dengan istilah doubting Thomas yang yakin bahwa kita selalu
berhubungan dengan posibilitas-posibilitas dan probabilitas-probabilitas
(pengetahuan) dan tidak pernah dengan kepastian-kepastian. Filosofi
fallibilistik ini memandang sains senantiasa berada dalam gerak (posture) dan
tidak diam. Belajar pengetahuan selalu bersifat terbuka untuk berubah dan
bukannya final, bersifat relatif dan bukannya absolut, bersifat mungkin
daripada pasti. Moda kerja aliran ini mengkaji pergeseran-pergeseran, melakukan
cek dan re-cek, sekalipun hasil yang dicapai selalu saja akan bersifat
tentatif. Para filsuf kontemporer dengan pengecualian beberapa eksistensialis,
percaya bahwa kita (manusia) memang dapat mengetahui, tetapi bagaimana?
Idealisme menjawab bahwa pengetahuan itu terdiri dari ide. Ide adalah produk
akal (the mind) atau hasil dari proses-proses mental dari intuisi dan
penalaran.
Intuisi
“jika bukan nalar”dapat meraih pengetahuan yang pasti. Analogi yang dipakainya
adalah analogi garputala. Realis klasik menjawab bahwa daya rasional dari akal
mengurai kode pengalaman dan merajut darinya kebenaran. Pengetahuan kita
tentang dunia eksternal hadir melalui penalaran terhadap laporan-laporan
observasi. Sekalipun laporan tersebut dari waktu ke waktu sering menipu ktia,
kita dapat selalu bersandar pada nalar kita dan percayalah bahwa pengetahuan
pasti itu ada, kebenaran absolut itu ada, dan kita bisa menemukannya. Kaum
Thomis menjawab agar kita meletakkan kepercayaan pada wahyu sebagaimana pada
nalar. Bagi mereka ada kebenaran yang ditemukan (truth finding) dan kebenaran
yang diberikan (truth living). Adapun orang yang bijak adalah orang yang mampu
mengambil manfaat dari keduanya. Aliran ini secara epistemologis bersifat
dogmatis.
Sementara
kaum realis modern, pragmatis, empirisis logis, atau naturalis mengambil tesis
falibilistik bahwa pengetahuan adalah bersifat kontingen dari perubahan serta
kebenaran bersifat relatif sesuai dengan kondisinya. Dari sini, epistemologi
adalah bidang tugas filsafat yang mencakup identifikasi dan pengujian kriteria
pengetahuan dan kebenaran. Pernyataan kategoris yang menyebutkan bahwa ini kita
tahu atau ini adalah kebenaran merupakan pernyataan-pernyataan yang penuh
dengan makna bagi para pendidik karena sedikit banyak hal tersebut bertaut
dengan tujuan pendidikan yang mencakup pencarian pengetahuan dan perburuan
kebenaran.
Beberapa
pandangan tentang konsep pendidikan:
1.
Pendidikan sebagai manifestasi
(education as manifestation). Dengan analogi pertumbuhan bunga atau benih,
dikatakan bahwa pendidikan adalah suatu proses untuk menjadikan manifes (tampak
aktual) apa-apa yang bersifat laten (tersembunyi) pada diri setiap anak.
2.
Pendidikan sebagai akuisisi
(education as acquisition)Dengan analogi spon, pendidikan digambarkan
sebagai upaya untuk mengembangkan kemampuan seseorang dalam memperoleh
(menyerap) informasi dari lingkungannya.
3.
Pendidikan sebagai transaksi
(education as transaction) Dengan analogi orang Eskimo di Baffin Bay yang
berinteraksi (work together) dengan bebatuan yang ada di lingkungannya untuk
membuat rumah batu (stone sculpture) yang secara organic sesuai dengan
materialnya dan selaras dengan kemampuan pembuatnya. Pendidikan adalah proses
memberi dan menerima (give and take) antara manusia dengan lingkungannya. Di
sana seseorang mengembangkan atau menciptakan kemampuan yang diperlukan untuk
memodifikasi atau meningkatkan kondisinya dan juga lingkungannya. Sebagaimana
pula di sana dibentuk perilaku dan sikap-sikap yang akan membimbing pada upaya
rekonstruksi manusia dan lingkungannya. Filsafat dan pendidikan berjalan
bergandengan tangan, saling memberi dan menerima. Mereka masing-masing adalah
alat sekaligus akhir bagi yang lainnya.
Mereka
adalah proses dan juga produk.
1.
Filsafat sebagi proses
(philosophy as process)
2.
Filsafat sebagai aktivitas
berfilsafat (the activity of philosophizing). Tercakup di dalamnya adalah
aspek-aspek:
(a)
Analisis (the analytic),
yakni berkaitan dengan aktivitas identifikasi dan pengujian asumsi-asumsi dan
criteria-kriteria yang memandu perilaku.
(b)
Evaluasi (the evaluative),
berkaitan dengan aktivitas kritik dan penilaian tindakan.
(c)
Spekulasi (the speculative),
berhubungan dengan pelahiran nalar baru dari nalar yang ada sebelumnya.
(d)
Integrasi (the integrative),
yakni konstruksi untuk meletakkan bersama atau mempertautkan kriteria-kriteria
atau pengetahuan atau tindakan yang sebelumnya terpisah menjadi utuh. Jadi,
proses filosofis itu membangun dinamika dalam perkembangan intelektual.
3.
Filsafat sebagai produk
(philosophy as product) Produk dari aktivitas berfilsafat adalah pemahaman
(understanding), yakni klarifikasi kata, ide, konsep, dan pengalaman yang
semula membingungkan atau kabur sehingga bisa menjadi jernih dan dapat
dimanfaatkan untuk pencarian pengetahuan lebih lanjut. Filsafat dengan capital
adalah suatu bangun pemikiran yang secara internal bersifat konsisten dan
tersusun dari respon-respon yang dibuat terhadap pertanyaan-pertanyaan yang
muncul dalam proses berfilsat. Pertama-tama, Filsafat memang tampak sebagai
suatu jawaban, posisi sikap, konklusi, ringkasan akhir, dan juga rencana final.[5]
ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN
Sejarah
perjalanan perkembangan keyakinan dan pemikiran umat manusia tentang pendidikan
telah melahirkan sejumlah filsafat yang melandasinya. Dari berbagai filsafat
yang ada, terdapat tiga aliran paham yang dirasakan masih dominan pengaruhnya
hingga saat ini, yang secara kebetulan ketiganya lahir pada jaman abad
pencerahan menjelang zaman modern.
(1)
Nativisme
atau Naturalisme, dengan tokohnya antara lain. J.J. Rousseau (1712-177 dan Schopenhauer (1788-1860 M). Paham ini
berpendirian bahwa setiap bayi lahir dalam keadaan suci dan dianugerahi dengan
potensi insaniyah yang dapat berkembang secara alamiah. Karena itu, pendidikan
pada dasarnya sekedar merupakan suatu proses pemberian kemudahan agar anak
berkembang sesuai dengan kodrat alamiahnya. Pandangan ini diidentifikasikan
sebagai konsepsi pendidikan yang cenderung pesimistik.
(2)
Empirisme
atau Environtalisme, dengan tokohnya antara lain John Locke (1632-1704
M) dan J. Herbart (1776-1841 M). Aliran ini berpandangan bahwa manusia lahir
hanya membawa bahan dasar yang masih suci namun belum berbentuk apapun,
bagaikan papan tulis yang masih bersih belum tertulisi (Tabula Rasa, Locke )
atau sebuah bejana yang masih kosong (Herbart). Atas dasar itu, pendidikan pada
hakikatnya merupakan suatu proses pembentukan dan pengisian pribadi peserta
didik ke arah pola yang diinginkan dan diharapkan lingkungan masyarakatnya.
Pandangan ini diidentifikasikan sebagai konsepsi pendidikan yang cenderung optimistik.
(3)
Konvergensionisme
atau Interaksionisme, dengan tokohnya antara lain William Stern
(1871-1939). Pandangan ini pada dasarnya merupakan perpaduan dari kedua
pandangan terdahulu. Menurut pandangan ini, baik pembawaan anak maupun
lingkungan merupakan faktor-faktor yang determinan terhadap perkembangan dan
pembentukan pribadi peserta didik. Oleh karenanya, pendidikan pada hakekatnya
merupakan suatu rangkaian peristiwa interaksi antara pembawaan dengan
lingkungan. Pribadi peserta didik akan terbentuk sebagai resultante atau hasil
interaksi dari kedua faktor determinan tersebut. Pandangan ini
diidentifikasikan sebagai konsepsi pendidikan yang cenderung rasional.
Pembagian
di atas adalah berdasarkan bagaimana manusia dibentuk. banyak pembagian yang
lain lagi misalnya berdasarkan apa yang harus diajarkan sebagai muatan
pendidikan: Konservatif: mengajarkan apa yang sudah berlaku di
masyarakat, Idealisme: mengajarkan apa yang menjadi ide abadi sepanjang
masa, Liberalisme: mengajarkan ilmu sebagai bekal hidup, Liberasionisme:
mengajarkan ilmu yang membebaskan, Anarkisme: mengajarkan sesuai dengan
kebutuhan lokal.
KEBENARAN ILMIAH & KONSEP FILSAFAT PENDIDIKAN
Dalam
filsafat pendidikan, kebenaran ilmiah sebagai entitas struktur komponen ilmu
pendidikan, dimana hakekat pelaksanaan pendidikan yang bersangkut paut dengan
tujuan, latar belakang, cara dan hasilnya akan dipraktekan berdasarkan analisis
kritis terhadap struktur dan kegunaaannya.Aliran-aliran yang ada menempatkan
manusia sebagai bagian dari kebudayaan. Sisi kebenarannya dari konsep filsafat
dari masing-masing aliran terletak pada konsep dasar orientasi yang membawa
dampak pada penerjemahan kebijakan dalam dunia pendidikan. Adapun aliran-aliran
tersebut mengelompok sebagai aliran progresivisme, esensialisme, parenialisme
dan rekonstruksionisme.
1)
Progresivisme
Progresivisme
mempunyai konsep yang didasari oleh pengetahuan dan kepercayaan bahwa manusia
itu mempunyai kemampuan-kemampuan yang wajar dan dapat menghadapi dan mengatasi
maslah-masalah yang bersifat menekan atau mengancam adanya manusia itu sendiri.
(Barnadib, 1994:28). Oleh karena kemajuan atau progres ini menjadi suatu
statemen progresivisme, maka beberapa ilmu pengetahuan yang mampu menumbuhkan
kemajuan dipandang merupakan bagian utama dari kebudayaan yang meliputi
ilmu-ilmu hayat, antropologi, psikologi dan ilmu alam.
Hal
ini karena progresivisme memandang manusia sebagai makhluk yang bebas, aktif,
dinamis, dan kreatif. Kedudukan manusia penting dalam perkembangan kebudayaan
dan peradaban. Dengan kemampuan fikiran yang diberikan Tuhan, manusia mampu
mampu menciptakan berbagai ilmu pengetahuan, kesenian dan sarana untuk
menghasilkan perubahan dan perkembangan (progress), artinya dalam meninjau
kebudayaan dan pendidikan, progresivisme mengutamakan tinjauan ke depan dari
pada masa lalu (Barnadib, 1996:62). Untuk menjelaskan pandangan progresivisme,
misalkan kita ambil contoh dari antropologi, disini dapat dipelajari bahwa
manusia membentuk masyarakat, mengembangkan kebudayaan, dan telah berhasil
untuk terus membina kehidupan dan persdaban dan selalu diupayakan untuk
mendapatkan kemajuan.
Dari
psikologi dapat dipelajari bahwa manusia mempunyai akal budi. Dengan kemampuan
berfikirnya dan pengembangan imajinasinya ternyata manusia mampu kreatif untuk
meringankan hidupnya dengan ciptaannya. Semuanya itu digunakan untuk meraih
kemajuan dalam kehidupannya (Barnadib, 1996:19). Kebenaran menurut pandangan
progresivisme adalah sesuatu yang rasional yang dapat membawa kepada kemajuan
atau progress. Sehubungan dengan ini ide-ide, teori-teori atau cita-cita
tidaklah cukup hanya diakui sebagai hal-hal yang ada dan mengandung nilai
kebenaran, tetapi yang ada dan benar secara ilmiah haruslah dicari artinya dan
diimplikasikan bagi suatu kemajuan perkembangan ilmu. Untuk itulah
progresivisme mengadakan perbedaan anatara pengetahuan dan kebenaran.
Pengetahuan adalah kumpulan kesan-kesan dan penerangan-penerangan yang
terhimpun dari pengalaman yang siap untuk digunakan. Kebenaran adalah hasil
tertentu dari usaha untuk mengetahui, memiliki dan mengerahkan beberapa segmen
pengetahuan agar dapat menimbulkan petunjuk atau penyelesaian pada situasi
tertentu, yang mungkin keadaannya kacau (Barnadib, 1996:31).
2)
Esensialisme
Esensialisme
dalam memandang kebudayaan dan pendidikan berbeda dengan progresivisme, kalau
progresivisme menganggap pandangan bahwa banyak hal itu mempunyai sifat yang
serba fleksibel dan nilai-nilai itu berubah dan berkembang, esensialisme
menganggap bahwa dasar pijak semacam ini kurang tepat karena fleksibilitas dalam
segala bentuk dapat menjadi sumber timbulnya pandangan yang berubah-ubah,
pelaksanaan yang kurang stabil dan tidak menentu (Barnadib, 1996:38). Di
samping itu esensialisme memandang manusia sebagai mahluk budaya, artinya
keberadaan manusia mempunyai peranan sebagai penghayat, pelaksana, dan sebagai
pengembang kebudayaan. Dalam kehidupannya manusia dilingkupi oleh nilai dan
norma budaya, agar kehidupan manusia bermakna dan mantap perlu berlandaskan
pada nilai dan norma budaya yang mantap, telah teruji oleh waktu.
Makna
atau nilai kebenaran ilmiah yang dikemukakan aliran ini sebagaimana yang
diungkapkan Richard Pratte (1977:139), adalah sikap konservatisme kefilsafatan,
artinya bahwa kebenaran yang dilakukan manusia adalah relatif karena
ketidaksempurnaan manusia,. Tapi setidaknya kebenaran yang dilakukan menurut
teori ini adalah kemampuan manusia mengembangkan norma dan nilai yang mewarnai
kebudayaan--termasuk pendidikan--, sehingga tidak dengan mudah meninggalkan
prestasi serta produknya (kebudayaan, norma, dan nilai termasuk sebagian dari
produk dan prestasi itu).
Ini
menunjukkan bahwa anggapan mengenai adanya kenyataan itu tidak dapat hanya
sebagai hasil tinjauan yang menyebelah saja. Berarti bukan hanya dari subyek
atau obyek semata-mata, melainkan pertemuan antara keduannya. Dari sini dapat
disimpulkan bahwa realita adalah sama dengan substansi gagasan dan ide-ide.
Dibalik dunia fenomenal ini ada jiwa yang tidak terbatas, yaitu Tuhan, yang
merupakan pencipta adanya kosmos. Dengan menguji dan menyelidiki ide-ide serta
gagasan-gagasannya, manusia akan dapat mencapai kebenaran, yang sumbernya
adalah Tuhan sendiri (Butler, 1951:161). Disinilah fungsi pendidikan dalam
berbagi bentuk dan manifestasinya yang senantiasa berkembang an berubah,
merupakan refleksi dari kebudayaan mengantarkan manusia ke dalam fikiran dan
alam modern yang ditandai perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi.
3)
Perenialisme
Perenialisme
dalam memandang keadaan sekarang adalah sebagai zaman yang mempunyai kebudayaan
yang terganggu oleh kekacauan, kebingungan dan kesimpangsiuran. Berhubung
dengan itu dinilai sebagai zaman yang membutuhkan usaha untuk mengamankan
lapangan moral, intelektual dan lingkungan sosial kultural yang lain. Ibarat
kapal yang akan berlayar, zaman memerlukan pangkalan dan arah tujuan yang
jelas. Perenialisme berpendapat bahwa mencari dan menemukan pangkalan yang
demikian ini merupakan tugas yang pertama-tama dari filsafat dan filsafat
pendidikan (Barnadib, 1996:59).
Sesuai
dengan asal katanya, yaitu perenial: hal-hal yang ada sepanjang masa,
perenialisme mengikuti tradisi perkembangan intelektuali akademik yang ada pada
dua zaman, Yunani dan abad pertengahan. hal-hal yang ada sepanjang masa inilah
yang perlu digunakan untuk menatap kehidupan sekarang yang penuh dengan
liku-liku (Pratte,1977:166). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perenialisme
bersifat regresif, artinya kembali kepada kebenaran yang sesungguhnya
sebagaimana telah diletakkan dasarnya oleh para filosof zaman lampau.
Motif
dengan mengambil jalan regresif bukan hanya nostalgia atau rindu akan
nilai-nilai lama untuk diingat atau dipuja, malainkan berpendapat bahwa
nilai-nilai tersebut mempunyai kedudukan vital bagi pembangunan kebudayaan abad
ini (Barnadib, 1996:59). Dalam memandang pengetahuan, perenialisme berpendapat
bahwa segala sesuatu yang dapat diketahui dan merupakan kenyataan adalah apa
yang terlindung pada kepercayaan. Kebenaran adalah sesuatu yang menunjukkan
kesesuaian antara pikir dan benda-benda (Barnadib, 1996:67).
Maksudnya
adalah hal-hal yang adanya bersendikan atas prinsip-prinsip keabadian. Hal ini
berarti bahwa perhatian mengenai kebenaran adalah perhatian mengenai esensi
dari sesuatu, artinya telah memenuhi syarat-syarat logis dan memiliki evidensi
diri bagi pengertian yang dirumuskan.
4)
Rekonstruksionisme
Aliran
ini memandang manusia sebagai makhluk sosial. Manusia tumbuh dan berkembang
dalam keterkaitannya dengan proses sosial dan sejarah dari pada masyarakat.
Pendidikan mempunyai peranan untuk menandakan pembaharuan dan pembangunan masyarakat
(Barnadib, 1996:63).
Perkembangan
ilmu dan tehnologi tidak memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi
masyarakat, namun juga membawa dampak negatif. Masyarakat yang hidup damai
berangsur-angsur diganti oleh masyarakat yang coraknya tidak menentu, tiada
kemantapan, dan yang lebih penting dari itu lepasnya individu
dalamketerkaitannya dengan masyarakat serta adanya keterasingan, hal ini
menciptakan budaya hegemoni sebagai ideologi.
George
F. Kneller (1984:195) membuat ikhtisar pandangan Michael W. Apple tentang
ideologi yang dimaksud ada 3 unsur, (1) pandangan bahwa kemajuan itu tergantung
dari sains dan industri, (2) suatu kepercayaan dalam masyarakat bahwa agar
orang mampu menyumbangkan jasanya dalam masyarakat kompetitif, (3) kepercayaan
bahwa hidup yang memadai sama dengan menghasilkan dan mengkonsumsikan barang
dan jasa bagi masyarakat. Sehingga menurut Apple ketiganya tercermin dalam
kurikulum sekolah. Agar keadaan masyarakat dapat diperbaiki, pendidikan menjadi
wahana penting untuk rekonstruksi. Hal tersebut yang menyebabkan tumbuhnya
pikiran kritis rekonstruksionisme yang terjadi dalam masyarakat, sehingga dapat
dikatakan rekonstruksi sebagai tujuan mencari titik kebenaran melalui lembaga
pendidikan.
MAZHAB-MAZHAB FILSAFAT PENDIDIKAN
Filsafat
Pendidikan Merupakan terapan dari filsafat umum, maka selama membahas filsafat
pendidikan akan berangkat dari filsafat. Filsafat pendidikan pada dasarnya
menggunakan cara kerja filsafat dan akan menggunakan hasil-hasil dari filsafat,
yaitu berupa hasil pemikiran manusia tentang realitas, pengetahuan, dan nilai.
Dalam filsafat terdapat berbagai mazhab/aliran-aliran, seperti materialisme,
idealisme, realisme, pragmatisme, dan lain-lain. Karena filsafat pendidikan
merupakan terapan dari filsafat, sedangkan filsafat beraneka ragam alirannya,
maka dalam filsafat pendidikan pun kita akan temukan berbagai aliran,
sekurang-kurnagnya sebanyak aliran filsafat itu sendiri.
Objek
filsafat ilmu pendidikan dapat dibedakan dalam empat kategori, yaitu: (1) Ontologi ilmu pendidikan, membahas tentang
hakekat substansi dan pola organisasi ilmu pendidikan.(2) Epistemologi ilmu
pendidikan, membahas tentang hakekat objek formal dan material ilmu pendidikan.
(3) Metodologi ilmu pendidikan, membahas
tentang hakekat cara-cara kerja dalam menyusun ilmu pendidikan, dan (4)
Aksiologi ilmu pendidikan, membahas tentang hakekat nilai kegunaan teoritis dan
praktis ilmu pendidikan.
Brubacher
(1950) mengelompokkan filsafat pendidikan pada dua kelompok besar, yaitu 1)
Filsafat pendidikan “progresif” Didukung oleh filsafat pragmatisme dari John
Dewey, dan romantik naturalisme dari Roousseau. 2) Filsafat pendidikan “
Konservatif”. Didasari oleh filsafat idealisme, realisme humanisme (humanisme
rasional), dan supernaturalisme atau realisme religius.
Filsafat-filsafat tersebut melahirkan
aliran-aliran dalam filsafat pendidikan:
1.
Filsafat Pendidikan
Idealisme
Filsafat idealisme memandang bahwa
realitas akhir adalah roh, bukan materi, bukan fisik. Pengetahuan yang
diperoleh melaui panca indera adalah tidak pasti dan tidak lengkap. Aliran ini
memandang nilai adalah tetap dan tidak berubah, seperti apa yang dikatakan
baik, benar, cantik, buruk secara fundamental tidak berubah dari generasi ke
generasi. Tokoh-tokoh dalam aliran ini adalah: Plato, Elea dan Hegel, Emanuael
Kant, David Hume, Al Ghazali.
2.
Filsafat Pendidikan Realisme
Realisme merupakan filsafat yang
memandang realitas secara dualitis. Realisme berpendapat bahwa hakekat realitas
ialah terdiri atas dunia fisik dan dunia ruhani. Realisme membagi realitas
menjadi dua bagian, yaitu subjek yang menyadari dan mengetahui di satu pihak
dan di pihak lainnya adalah adanya realita di luar manusia, yang dapat
dijadikan objek pengetahuan manusia. Beberapa tokoh yang beraliran realisme:
Aristoteles, Johan Amos Comenius, Wiliam Mc Gucken, Francis Bacon, John Locke,
Galileo, David Hume, John Stuart Mill.
3.
Filsafat Pendidikan
Materialisme
Materialisme berpandangan bahwa hakikat
realisme adalah materi, bukan rohani, spiritual atau supernatural. Beberapa tokoh
yang beraliran materialisme: Demokritos, Ludwig Feurbach.
4.
Filsafat Pendidikan Pragmatisme
Pragmatisme dipandang sebagai filsafat
Amerika asli. Namun sebenarnya berpangkal pada filsafat empirisme Inggris, yang
berpendapat bahwa manusia dapat mengetahui apa yang manusia alami. Beberapa
tokoh yang menganut filsafat ini adalah: Charles sandre Peirce, wiliam James,
John Dewey, Heracleitos.
5.
Filsafat Pendidikan
Eksistensialisme
Filsafat ini memfokuskan pada
pengalaman-pengalaman individu. Secara umum, eksistensialisme menekankn pilihan
kreatif, subjektifitas pengalaman manusia dan tindakan kongkrit dari keberadaan
manusia atas setiap skema rasional untuk hakekat manusia atau realitas.
Beberapa tokoh dalam aliran ini: Jean Paul Satre, Soren Kierkegaard, Martin
Buber, Martin Heidegger, Karl Jasper, Gabril Marcel, Paul Tillich
6.
Filsafat Pendidikan
Progresivisme
Progresivisme bukan merupakan bangunan
filsafat atau aliran filsafat yang berdiri sendiri, melainkan merupakan suatu
gerakan dan perkumpulan yang didirikan pada tahun 1918. Aliran ini berpendapat
bahwa pengetahuan yang benar pada masa kini mungkin tidak benar di masa
mendatang. Pendidikan harus terpusat pada anak bukannya memfokuskan pada guru
atau bidang muatan. Beberapa tokoh dalam aliran ini: George Axtelle, william O.
Stanley, Ernest Bayley, Lawrence B. Thomas, Frederick C. Neff.
7.
Filsafat Pendidikan Esensialisme
Esensialisme adalah suatu filsafat
pendidikan konservatif yang pada mulanya dirumuskan sebagai suatu kritik pada
trend-trend progresif di sekolah-sekolah. Mereka berpendapat bahwa pergerakan
progresif telah merusak standar-standar intelektual dan moral di antara kaum
muda. Beberapa tokoh dalam aliran ini: william C. Bagley, Thomas Briggs,
Frederick Breed dan Isac L. Kandell.
8.
Filsafat Pendidikan
Perenialisme
Merupakan suatu aliran dalam pendidikan
yang lahir pada abad kedua puluh. Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi
terhadap pendidikan progresif. Mereka menentang pandangan progresivisme yang
menekankan perubahan dan sesuatu yang baru. Perenialisme memandang situasi
dunia dewasa ini penuh kekacauan, ketidakpastian, dan ketidakteraturan, terutama
dalam kehidupan moral, intelektual dan sosio kultual. Oleh karena itu perlu ada
usaha untuk mengamankan ketidakberesan tersebut, yaitu dengan jalan menggunakan
kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang telah menjadi pandangan
hidup yang kukuh, kuat dan teruji. Beberapa tokoh pendukung gagasan ini adalah:
Robert Maynard Hutchins dan ortimer Adler.
9.
Filsafat Pendidikan
Rekonstruksionisme
Rekonstruksionisme merupakan kelanjutan
dari gerakan progresivisme. Gerakan ini lahir didasarkan atas suatu anggapan
bahwa kaum progresif hanya memikirkan dan melibatkan diri dengan
masalah-masalah masyarakat yang ada sekarang. Rekonstruksionisme dipelopori
oleh George Count dan Harold Rugg pada tahun 1930, ingin membangun masyarakat
baru, masyarakat yang pantas dan adil. Beberapa tokoh dalam aliran ini:Caroline
Pratt, George Count, Harold Rugg.
PARADIGMA PENDIDIKAN
Pemetaan
aliran pendidikan yang dipergunakan di sini adalah mengikuti kategori Giroux
and Aronowitz (1985) yang mengategorikan pendekatan pendidikan menjadi tiga
aliran yakni pendekatan konservatif, liberal dan kritis serta mengupas
bagaimana masing-masing paradigma pendidikan tersebut berimplikasi terhadap sub
sistem pendidikan lainnya.
1)
Paradigma Pendidikan
Konservatif
Bagi
kaum konservatif, ketidaksederajatan masyarakat merupakan suatu hukum keharusan
alami, suatu hal yang mustahil bisa dihindari serta sudah merupakan ketentuan
sejarah atau bahkan takdir Tuhan. Perubahan sosial bagi mereka bukanlah sesuatu
yang harus diperjuangkan, karena perubahan hanya akan membuat manusia lebih
sengsara saja. Dalam bentuknya yang kalsik atau awal paradigma konservatif
dibangun berdasarkan keyakinan bahwa masyarakat pada dasarnya tidak bisa
merencanakan perubahan atau mempengaruhi perubahan sosial, hanya Tuhanlah yang
merencanakan keadaan masyarakat dan hanya dia yang tahu makna di balik itu
semua. Dengan pandangan seperti itu, kaum konservatif lama tidak menganggap
rakyat memiliki kekuatan atau kekuasaan untuk merubah kondisi mereka.
Namun
dalam perjalanan selanjutnya, paradigma koservatif cenderung lebih menyalahkan
subjeknya. Bagi kaum konservatif, mereka yang menderita, yakni orang orang
miskin, buta huruf, kaum tertindas dan mereka yang dipenjara, menjadi demikian
karena salah mereka sendiri. Karena toh banyak orang lain yang ternyata bisa
bekerja keras dan berhasil meraih sesuatu. Banyak orang ke sekolah dan belajar
untuk berperilaku baik dan oleh karenanya tidak dipenjara. Kaum miskin haruslah
sabar dan belajar untuk menunggu sampai giliran mereka datang, karena pada
akhirnya kelak semua orang akan mencapai kebebasan dan kebahagiaan. Kaum
konservatif sangat melihat pentingnya harmoni dalam masyarakat dalam mencairkan
konflik dan kontradiksi.
2)
Paradigma Pendidikan Liberal
Golongan
kedua yakni kaum Liberal, berangkat dari keyakinan bahwa memang ada masalah
dimasyarakat tetapi bagi mereka pendidikan tidak ada kaitannya dengan persoalan
politik dan ekonomi masyarakat. Denganl keyakinan seperti itu. tugas pendidikan
juga tidak ada sangkut pautnya dengan persoalan politik dan ekonomi. Sungguh
pun demikian, kaum liberal selalu berusaha untuk menyesuaikan pendidikan dengan
keadaan ekonomi dan politik di luar dunia pendidikan, dengan jalan memecahkan
berbagai masalah yang ada dalam pendidikan dengan usaha reformasi
"kosmetik". Umumnya yang dilakukan adalah seperti: perlunya membangun
kelas dan fasilitas baru, memoderenkan peralatan sekolah dengan pengadaan
komputer yang lebih canggih dan laboratorium, serta berbagai usaha untuk menyehatkan
rasio murid-guru. Selain itu juga berbagai investasi untuk meningkatkan
metodologi pengajaran dan pelatihan yang Iebih efisien dan partisipatif,'
seperti dinamika kelompok (group dynamics), "learning by doing",
"experimental learning", ataupun bahkan Cara Belajar Siswa Aktif
(CBSA) dan sebagainya. Usaha peningkatan tersebut terisolasi dengan sistem dan
struktur ketidakadilan kelas dan gender, dominasi budaya dan represipolitik
yang ada dalam masyarakat. Kaum Liberal dan Konservatif sama-sama berpendirian
bahwa pendidikan ialah a-politik, dan “excellence” haruslah merupakan target
utama pendidikan. Kaum Liberal beranggapan bahwa masalah mayarakat dan
pendidikan adalah dua masalah yang berbeda. Mereka tidak melihat kaitan
pendidikan dalam struktur kelas dan dominasi politik dan budaya serta
diskriminasi gender di masyarakat luas. Bahkan pendidikan bagi salah satu
aliran liberal yakni "structural functionalism" justru dimaksud
sebagai sarana untuk menstabilkan norma dan nilai masyarakat. Pendidikan justru
dimaksudkan sebagai media untuk mensosialisasikan dan mereproduksi nilai-nilai
tata susila keyakinan dan nilai-nilai dasar agar masyarakat luas berfungsi
secara baik.
Pendekatan
liberal inilah yang mendominasi segenap pemikiran tentang pendidikan baik pendidikan
formal seperti sekolah, maupun pendidikan non-formal seperti berbagai macam
pelatihan. Akar dari pendidikan ini adalah Liberalisme, yakni suatu pandangan
yang tnenekankan pengembangan kemampuan, melindungi hak, dan kebebasan
(freedom), serta mengidentifikasi problem dan upaya modernisasi dan pembangunan
demi menjaga stabilitas jangka panjang. Konsep pendidikan dalam tradisi liberal
berakar pada cita-cita Barat tentang individualisme. Sejarah ide politik
liberalisme berkait erat dengan bangkitnya kelas menengah yang diuntungkan oleh
kapitalisme. Pengaruh liberalisme dalam pendidikan dapat dianalisa dengan
melihat komponen-komponennya. Komponen pertama, adalah komponen pengaruh
filsafat barat tentang model manusia universal yakni model manusla Amerika dan
Eropa. Model tipe ideal mereka adalah manusia "rationalis liberal",
seperti pertama, bahwa semua manusia memiliki potensi sama dalam
intelektualitas; kedua, baik tatanan alam maupun norma sosial dapat ditangkap
oleh akal; ketiga, adalah "individualis" yakni adanya anggapan bahwa
manusia adalah atomistik dan otonom (Bay, 1988). Menempatkan individu secara
atomistik, membawa pada keyakinan bahwa hubungan sosial sebagai kebetulan, dan
masyarakat dianggap tidak stabil karena kepentingan-kepentingan anggotanya yang
tidak stabil.
Pengaruh
liberal ini kelihatan dalam pendidikan yang mengutamakan prestasi melalui
proses persaingan antar murid. Pembuatan ranking untuk menentukan murid
terbaik, adalah implikasi dari paham pendidikan ini. Pengaruh pendidikan liberal
juga dapat dilihat dalam berbagai pendekatan “andragogy" seperti dalam
pelatihan manajemen kewiraswastaan dan manajemen lainnya. Achievement
Motivation Training (AMT) yang diciptakan oleh David McClelland adalah contoh
terbaik pendekatan liberal. Mclelland berpendapat bahwa akar masalah
keterbelakangan dunia ketiga karena mereka tidak memiliki apa yang dinamakannya
"N Ach". Oleh karena syarat pembangunan bagi rakyat Dunia Ketiga
adalah perlu virus “N Ach” yang membuat
individu agresif dan rasional (McClelland, 1961). Berbagai pelatiha pegembangan
masyarakat (Community Development) seperti usaha bersama, intensifikasi
perlanian dan lain sebagainya, umunmya berpijak pada paradigma pendidikan
liberal ini.
Positivisme
juga berpengaruh dalam pendidikan liberal. Positivisme sebagai suatu paradigma
ilmu sosial yang dominan dewasa ini juga menjadi dasar bagi model pendidikan
Liberal. Positivisme pada dasarnya adalah ilmu sosial yang dipinjam dari
pandangan, metode dan teknik ilmu alam memahami realitas. Positivisme sebagai
suatu aliran filsafat berakar pada tradisi ilmu-ilmu sosial yang dikembangkan
dengan mengambil cara ilmu alam menguasai benda, yakni dengan kepercayaan
adanya universalisme dan generalisasi, melalui metode determinasi, “fixed law”
atau kumpulan hukum teori (Schoyer, 1973). Positivisme berasumsi bahwa
penjelasan tunggal dianggap “appropriate” semua fenomena. Oleh karena itu
mereka percaya bahwa riset sosial ataupun pendidikan dan pelatihan harus
didekati dengan nletode ilmiah yakni objektif dan bebas nilai. Pengetahuan
selalu menganut hukum ilmiah yang bersifat universal, prosedur harus
dikuantifisir dan diverifikasi dengan metode "scientific". Dengan
kata lain, positivisme mensyaratkan pemisahan fakta dan values dalam rangka
menuju pada pemahaman objektif atas realitas sosial. Habermas, seorang penganut
Teori Kritik melakukan kritik terhadap positivisme dengan menjelaskan berbagai
kategori pengetahuan sebagai berikut. Pertama, adalah apa yang disebutnya
sebagai "instrumental knowledge" atau positivisme dimana tujuan
pengetahuan adalah untuk mengontrol, memprediksi, memanipulasi dan eksploitasi
terhadap objeknya. Kedua adalah "hermeneutic knowledge" atau
"interpretative knowledge", dimana tugas ilmu pengetahuan hanyalah
untuk memahami. Ketiga adalah "critical knowledge" atau “emancipatory
knuwledge” yakni suatu pendekatan yang dengan kedua pendekatan sebelumnya.
Pendekatan ini menempatkan ilmu pengetahuan sebagai katalis untuk membebaskan
potensi manusia. Paradigma pendidikan liberal pada dasarnya sangatlah
positivistik.
3)
Paradigma Pendidikan Kritis
Pendidikan
bagi mereka merupakan arena perjuangan politik. Jika bagi konservatif
pendidikan bertujuan untuk menjaga status quo, sementara bagi kaum liberal
untuk perubahan moderat, maka paradigma kritis menghendaki perubahan struktur
secara fundamental dalam politik ekonomi masyarakat di mana pendidikan berada,
Bagi mereka kelas dan diskriminasi gender dalam masyarakat tercermin pula dalam
dunia pendidikan. Paham ini bertentangan dengan pandangan kaum liberal di mana
pendidikan dianggap terlepas dari persoalan kelas dan gender yang ada dalam
masyarakat.
Dalam
perspektif kritis, urusan pendidikan adalah melakukan refleksi kritis, terhadap
"the dominant ideology" kearah transformasi sosial. Tugas utama
pendidikan adalah menciptakan ruang agar sikap kritis terhadap sistem dan
struktur ketidakadilan, serta melakukan dekonstruksi dan advokasi menuju sistem
sosial yang lebih adil. Pendidikan tidak mungkin dan tidak bisa bersikap
netral, bersikap objektif maupun berjarak dengan masyarakat (detachment)
seperti anjuran positivisme. Visi pendidikan adalah melakukan kritik terhadap
sistem dominan sebagai pemihakan terhadap rakyat kecil dan yang tertindas untuk
mencipta sistem sosial baru dan lebih adil. Dalam perspektif kritis, pendidikan
harus mampu menciptakan ruang untuk mengidentifikasi dan menganalisis secara
bebas dan kritis untuk transformasi sosial. Dengan kata lain tugas utama
pendidikan adalah "memanusiakan" kembali manusia yang mengalami dehumanisasi
karena sistem dan struktur yang tidak adil.
IMPLIKASI
PARADIGMA PENDIDIKAN DALAM METODOLOGI
Bagaimana
impIikasi ketiga pandangan pendidikan tersebut terhadap metodologi pendekatan
pendidikan. Untuk itu saya meminjam analisis Freire (1970) dalam membagi ideologi
pendidikan dalam tiga kerangka yang didasarkan pada kesadaran ideologi
masyarakat. Meskipun Freire lebih dikenal sebagai tokoh pendidikan, namun
kerangka analisisnya banyak dipergunakan justru untuk melihat kaitan ideologi
dalam perubahan sosial. Tema pokok gagasan Freire pada dasarnya mengacu pada
pada suatu landasan bahwa pendidikan adalah proses memanusiakan manusia
kembali. Gagasan ini berangkat dari suatu analisis bahwa sistem kehidupan
sosial, politik, ekonomi, dan budaya, membuat masyarakat mengalami proses
dehumanisasi. Pendidikan, sebagai bagian dari sistem masyarakat justru menjadi
pelanggeng proses dehumanisasi tersebut. Secara lebih rinci Freire menjelaskan
proses dehumanisasi tersebut dengan menganalisis tentang kesadaran atau
pandangan hidup masyarakat terhadap diri mereka sendiri. Freire menggolongan
kesadaran manusia menjadi: kesadaran magis (magical consciousness), kesadaran
naif (naival consciousness) dan kesadaran kritis (criticai consciousness).
Bagaimana kesadaran tersebut dan kaitannya dengan sistem pendidikan dapat
secara sederhana diuraikan sebagai berikut.
1)
Kesadaran Magis,
yakni suatu kesadaran masyarakat yang tidak mampu mengetahui kaitan antara satu
faktor dengan faktor lainnya. Misalnya saja masyarakat miskin yang tidak mampu
melihat kaitan kemiskinan mereka dcngan sistem politik dan kebudayaan.
Kesadaran magis lebih melihat faktor di luar manusia (natural maupun
supra-natural) sebagai penyebab dan ketakberdayaan. Dalam dunia pendidikan,
jika proses belajar mengajar tidak mampu melakukan analisis terhadap suatu
masalah maka proses belajar mengajar tersebut dalam prespektif Freirean disebut
sebagai pendidikan fatalistik. Proses pendidikan model ini tidak memberikan
kemampuan analisis, kaitan antara sistem dan struktur terhadap satu permalahan
masyarakat. Murid secara dogmatik menerima "kebenaran" dan guru,
tanpa ada mekanisme untuk memahami "makna" ideologi dari setiap
konsepsi atas kehidupan masyarakat.
2)
Kesadaran Naif.
Keadaan yang dikategorikan dalam kesadaran ini adalah lebih melihat "aspek
manusia" menjadi akar penyebab masalalah masyarakat. Dalam kesadaran ini
masalah etika, kreativitas, "need for acheivement" dianggap sebagai
penentu perubahan sosial. Jadi dalam menganalisis mengapa suatu masyarakat
miskin, bagi mereka disebabkan karena "salah" masyarakat sendiri,
yakni mereka malas, tidak memiliki kewiraswastaan, atau tidak memiliki'budaya
"membangun" dan seterusnya. Oleh karena itu "man power
development" adalah sesuatu yang diharapkan akari menjadi pemicu
perubahan. Pendidikan dalam konteks ini juga tidak mempertanyakan sistem dan
struktur, bahkan sistem dan struklur yang ada sudah baik dan benar, merupakan
faktor "given" dan oleh sebab itu tidak dipertanyakan. Tugas
pendidikan adalah bagaimana membuat dan mengarahkan agar murid bisa masuk
beradaptasi dengan sistem yang sudah benar tersebut.
3)
Kesadaran Kritis.
Kesadaran ini lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah.
Pendekatan structural menghindari "blaming the victims" dan lebih
menganalisis untuk seeara kritis menyadari struktur dan sistem sosial, politik,
ekonomi dan budaya dan akibatnya pada keadaaan masyarakat. Paradigma kritis
dalam pendidikan, melatih murid untuk mampu mengidentifikasi ‘ketidakadilan’
dalam sistem dan struktur yang ada, kemudian mampu melakukan analisis bagaimana
sistem dan struktur itu bekerja, serta bagaimana mentransformasikannya. Tugas
pendidikan dalam paradigma kritis adalah menciptakan ruang dan kesempatan agar
peserta pendidikan terlibat dalam suatu proses penciptaan struktur yang secara
fundamental baru dan lebih baik.
Nur
Sayyid Santoso, S.Pd.I, M.A.
Ponpes Al-Madaniyyah As-Salafiyyah
Gumilir-Cilacap
Cilacap, 5 Oktober 2011
REFERENSI
Archie J. Bahm, What is Science?, World Books,
Albuqerque, New Meexico, 1980.
Butler, J. Donald, Four Philosophies and Their Practice
in Education and Religion, New York: Horper and Brothers, 1951.
Barnadib, Imam, Filsafat Pendidikan, Pengantar Mengenai
Sistem dan Metode (Yayasan Penerbit FIK IKI Yogyakarta, 1982)
______,
Dasar-Dasar Kependidikan: Memahami makna dan Perspektif Beberapa Teori
Pendidikan, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1996.
_______, dan Sutari Imam Barnadib, Beberapa Aspek
Substansial Ilmu Pendidikan, Yogyakarta: Andi, 1998.
Braunes,
Charles J., & Hobert W. Burns. Problems in Education and Philosophy.
New York: Prentice-Hall Inc., 1965.
Bashori,
Tauhid, 2004, Pragmatisme Pendidikan, telaah Pemikiran John Dewey,
Brubacher,1950,
Modern Philosophies of Education, New York, Mac Graw Hill Book Company
Darmaningtiyas, Pendidikan Pada dan Setelah Krisis,
Evaluasi Pendidikan di Masa Krisis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I.,
1999.
Escobar, M., Sekolah
Kapitalisme yang Licik, Yogyakarta, LKiS, Cet. III., 2001.
Freire, Paulo, Pendidikan Kaum
Tertindas, Jakarta, LP3ES, Cet. III., 2000.
______, Pedagogi
Pengharapan, Menghayati Kembali Pedagogi Kaum Tertindas, Yogyakarta,
Kanisius, Cet. I., 2001.
______, Pendidikan
Sebagai Proses, Yogyakarta, Pustaka Pelajar,. I., 2001.
______, & Ira shor, Menjadi
Guru Merdeka, Yogyakarta, LKiS, Cet. I., 2001.
Hirst,
P.H. & R.S. Peters. The Logic of Education. London: Routledge &
Kegan Paul, 1972.
Hadiwiyono,
Harun, 1980, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta, Kanisius.
Hamersma,
Harry, 1984, Tokoh-Tokoh Filsafat Modern, Jakarta, PT Gramedia.
Ihsan, Hamdani dan Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam,
(Bandung: CV.Pustaka Setia, Cet. II., 2001)
Jalaluddin dan Abdullah Idi, Manusia Filsafat dan
Pendidikan, (Jakarta: Gaya Media Pratama Jakarta, Cet. I., 1997)
Kneller,
George F., Movement of Thought in Modern Education, New York: John Witey
and Sound, 1984
Kattsoff,
L. O., 1996. Pengatar Filsafat. Sebuah Buku Pegangan untuk Mengenal
Filsafat. Tiara Wacana. Yogyakarta.
Mudhofir,
Ali, 1988, Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat, Yogyakarta, Liberty.
Nur
Sayyid Santoso, Filsafat Pendidikan ,
Cilacap, IAIG press.2011
Palmer, Joy A., 50
Pemikir Pendidikan, Yogyakarta, Jendela, Cet. I., 2003.
Pratte,
Richard, Conteporary Theories of Education, Scranton, N. J: Intext
International Publisher, 1977.
Rousseau, 1952, The Social Contract or Principles of
Political Right, dalam Social Contract essays by Locke, Hume and
Rousseau, London, Oxford University Press.
Sumiasumantri,
Jujun S. (ed), Ilmu dalam Prespektif, Jakarta: Gramedia, cet. 6, 1985.
______,
Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar harapan,
1990.
Sudiarja,
2001, Pendidikan Radikal Tapi Dialogal, Basis No.01-02, Tahun ke-50,
Januari-Februari, Yayasan BP Basis, Yogyakarta.
Suseno,
Franz Magnis, 1992. Filsafat Sebagai
Ilmu Kritis. Kanisius. Yogyakarta.
Sunarto,
2003, Konstruksi Epistemologi Max Horkheimer: Kritik Atas Manusia Modern,
dalam Epistemologi Kiri, (ed) Listiyono S, Sunarto, Abd, Qadir Shaleh,
Penerbit AR RUZZ, Yogyakarta
Tilaar, 1997. Pengembangan
Sumberdaya Manusia Dalam Era Globalisasi. Visi, Misi, dan program Aksi
Pendidikan dan Pelatihan Menuju 2020. Grasindo. Jakarta.
_____,
Kukuasaan dan Pendidikan, Suatu Tinjauan dari Perspektif Studi Kultural,
Magelang, Indonesiatera, Cet. I., 2003.
Tjaya,
Thomas Hidya, 2004, Mencari Orientasi Pendidikan, Sebuah Perspektif
Historis, Jakarta, Kompas 4 Februari 2004.
Topatimasang, Roem, Sekolah
Itu Candu, Yogyakarta, PP., INSIST, Cet. III., 2001.
Wahono, Francis, Kapitalisme
Pendidikan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, Cet.I., 2001.
__________________________________
[1]
Dr. Jalaluddin dan Drs. Abdullah Idi, M.Ed., Manusia Filsafat dan
Pendidikan, (Jakarta: Gaya Media Pratama Jakarta, Cet. I., 1997) hlm. 13.
[3]
Drs. H. Hamdani Ihsan dan Drs. H. A. Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung:
CV.Pustaka Setia, Cet. II., 2001) hlm. 22.
[4]
Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan, Pengantar Mengenai Sistem dan Metode
(Yayasan Penerbit FIK IKI Yogyakarta, 1982) hlm. 89.
[5]
Lihat P.H. Hirst & R.S. Peters. The Logic of Education. London: Routledge
& Kegan Paul, 1972. Bandingkan dengan Charles J. Braunes & Hobert W.
Burns. Problems in Education and Philosophy. New York: Prentice-Hall Inc.,
1965.