BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Kosmetika
hampir tidak bisa dipisahkan dari kaum wanita. Tawaran untuk membuat diri
menjadi cantik dan menarik merupakan janji yang selalu ditawarkan oleh produsen
kosmetika. Kulit putih mulus, rambut hitam lurus panjang berkilau, badan
langsing dan awet muda adalah gambaran ideal seorang wanita yang dibentuk di
media massa.
Permasalahan
yang sering dihadapai oleh konsumen adalah ketidakcocokan terhadap bahan
kosmetika yang digunakannya. Ketidakcocokan ini dapat diakibatkan oleh faktor
alergi atau karena adanya penggunaan bahan-bahan berbahaya. Belum lama ini
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengumumkan hasil temuan penggunaan
bahan-bahan berbahaya dalam kosmetika yang diantaranya mencakup penggunaan
bahan merkuri, hidrokuinon, zat
pewarna rhodamin B dan merah K3. Efek
dari penggunaan bahan-bahan tersebut sanagt bervariasi dari yang hanya
memberikan efek iritasi ringan hingga meyebabkan kerusakan organ-organ tubuh
tertentu.
Perhatian dan kesadaran masyarakat
tentang adanya penggunaan bahan-bahan berbahaya dalam kosmetika semakin
meningkat. Lalu bagaimana dengan kesadaran konsumen tentang adanya penggunaan
bahan-bahan haram dan najis dalam kosmetika? Berbeda dengan kesadaran konsumen
terhadap kehalalan makanan, kesadaran konsumen tentang pentingnya kehalalan
kosmetika masih terhitung rendah.
Selain itu penggunaan kosmetika yang berlebihan juga
dapat mengundang efek-efek kurang baik. Secara sosial kemanusiaan, penggunaan
kosmetika yang terlalu tebal justru dapat mengubah makna kosmetika itu sendiri.
Bahkan tidak jarang hal itu menjadi bahan tertawaan dan cibiran bibir rang jika
tidak pantas lagi buat seseorang. Oleh karena itu dalam menggunakan kosmetika
andapun harus berkaca pada batas-batas kewajaran dan norma yang berlaku, jangan
hanya berlandaskan tujuan yang tidak jelas.
Di luar fungsi dan tujuan penggunaan kosmetika, hal
yang tidak kalah penting adalah bahan baku kosmetika itu sendiri. Benarkah
bahan-bahan tersebut berasal dari sesuatu yang halal? Jangan-jangan apa yang
dipakai untuk wajah atau kulit itu berasal dari unsur haram atau najis. Kalau
sampai terjadi maka bahan haram itu akan menodai diri kita, sehingga tidak
dapat bersuci secara sempurna ketika hendak beribadah.
Kemungkinan masuknya bahan haram ini cukup terbuka.
Lemak, organ tubuh, atau plasenta adalah salah satu komponen yang mungkin digunakan
dalam banyak produk kosmetik. Jika anda menggunakan lipstik untuk memerahkan
bibir, maka di dalamnya pasti mengandung unsur lemak sebagai bahan baku. Nah,
apakah lemak, organ tubuh atau plasenta itu berasal dari yang halal, ataukah
berasal dari lemak babi? Itulah yang perlu dikaji lebih lanjut.
B.
Perumusan
Masalah
Berdasarkan uraian
latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan-permasalahan sebagai
berikut :
1. Bahan-bahan
apa saja yang tidak halal yang mungkin digunakan untuk kosmetika?
2. Bagaimana
hukum penggunaan organ tubuh, plasenta untuk kosmetika menurut pandangan Islam?
C.
Tujuan
Pembahasan
Berdasarkan latar
belakang masalah dan perumusan masalah di atas, maka tujuan pembahasan dalam
makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk
mengetahui bahan-bahan apa saja yang tidak halal yang mungkin digunakan untuk
kosmetika;
2. Untuk
mengetahui bagaimana hukum penggunaan organ tubuh, plasenta untuk kosmetika
menurut pandangan Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kosmetika
Tampil menarik dan prima adalah dambaan setiap insan.
Untuk itu banyak yang menggunakan berbagai cara guna mengubah dan memperbaiki
penampilan. Salah satu yang menjadi pilihan adalah kosmetika.
Sejarah kosmetika hampir seiring dengan sejarah
peradaban manusia. Orang-orang Mesir Kuno telah mengenal berbagai ramuan untuk
membuat kulit halus dan awet muda. Demikian juga dengan budaya Cina yang
mengenal berbagai bahan alam yang dapat mempercantik dan memperindah wajah. Di
Indonesia sendiri masing-masing suku juga memiliki cara dan ramuan khas untuk
memperbaiki wajah, kulit dan tubuh manusia. Kita mengenal lulur, ramuan
tradisional dan kosmetika alami di berbagai daerah.
Menggunakan kosmetika untuk memperbaiki diri dan fisik
seseorang adalah sah-sah saja. Itu adalah suatu kewajaran, asal dilakukan
secara wajar dan menggunakan bahan-bahan yang halal. Dalam Islam pun kita
disunnahkan menggunakan wewangian ketika hendak pergi ke masjid. Ada pula
sunnah untuk menggunakan celak pada kelopak mata. Tetapi penggunaan kosmetika
untuk tujuan-tujuan di luar kewajaran dapat dikategorikan tabarruj yang dilarang agama. Misalnya dengan mengubah bentuk dasar
wajah untuk tujuan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara medis.
Mencukur alis dan menggantinya dengan pensil adalah salah satu bentuk
pengubahan wujud asli wajah manusia yang sebaiknya tidak dilakukan.
Bahan-bahan
yang berpeluang berasal dari hewan merupakan jenis bahan yang perlu diwaspadai
dalam memilih kosmetika. Jika kosmetika yang mengandung bahan hewani yang tidak
halal, maka penggunaan luar menyebabkannya menjadi tergolong bahan najis,
sedangkan jika penggunaan kosmetika ini secara oral maka bahan tersebut menjadi
haram.
Bahan-bahan
turunan lemak merupakan bahan yang sangat umum digunakan dalam kosmetika untuk
berbagai tujuan. Asal-usul lemak yang digunakan harus menjadi perhatian karena
mungkin berasal dari tumbuhan dan berpeluang berasal dari hewan. Contoh bahan
turunan lemak yang sering ditemukan adalah gliserin dan asam-asam lemak.
Selain
dalam bentuk turunannya, lemak juga digunakan dalam pembuatan sabun. Bahkan
lemak hewan yang berasal dari sapi atau kambing yang dikenal dengan istilah tallow serta lemak babi yang dikenal
dengan istilah lard masih digunakan
oleh beberapa produsen untuk membuat sabun.
Saat
ini banyak juga konsumen yang menggunakan jenis-jenis asam amino tertentu dalam
produknya untuk memberikan efek tertentu bagi kecantikan. Sumber asam-asam
amino ini tentunya perlu dicermati kehalalan sumber asalnya.
Bahan hewani yang saat ini sangat
populer digunakan dalam kosmetika dengan tujuan utama mencegah keriput sehingga
dapat mencegah penuaan dini adalah kolagen, elastin dan plasenta. Ketiganya
dapat ditemukan sebagai bahan kosmetika kulit maupun yang dikonsumsi secara
oral. Kolagen dan elastin merupakan jaringan ikat kulit, otot dan tulang, yang
tentunya berasal dari hewan. Sumbernya bisa berasal dari hewan apa saja,
sehingga kehalalannya perlu dipertanyakan.
Kolagen merupakan suatu bentuk produk protein yang
merupakan serat jaringan ikat antar sel yang memberikan ketegangan dan
elastisitas pada kulit. Perubahan kontur akibat berkurangnya komposisi pada
kondisi tertentu (penuaan dan lain-lain). Penggunaan kolagen memberikan hasil
yang baik pada kerutan-kerutan diwajah akibat penuaan. Kolagen sendiri dalam
kosmetikologi dapat digunakan secara implant maupun secara topical
(dioleskan dalam bentuk krim). Penggunaan secara implan akan habis dan perlu
diulang dalam waktu 3 bulan. Namun secara sifat dan cara kerja, penggunaan
implant kolagen ini hanya untuk rejuvenasi kulit (mengatasi kerutan, bukan
untuk augmentasi (mempertinggi organ tertentu). Dalam produk kosmetika, kolagen
juga mempunyai efek melembabkan karena bersifat tidak larut air bahkan mampu
menahan air. Bahan ini dapat berasal dari babi maupun sapi (bovine collagen, zyderm). Namun, bagi
produsen kosmetika penggunaan kolagen yang berasal dari babi lebih disukai, karena
selain ekonomis, perkembangan babi transgenik yang memiliki jaringan sel mirip
sel tubuh manusia kian maju sehingga efikasi yang diberikan akan lebih baik.
Kesulitan konsumen muslim dan muslimah dalam
mengidentifikasi apakah suatu produk mengandung bahan-bahan yang diharamkan
atau tidak karena komposisi (ingredient) yang dicantumkan produsen
kosmetik seutuhnya menggunakan istilah-istilah yang tidak dimengerti oleh
konsumen. Cara aman yang dapat dilakukan adalah dengan hanya membeli
produk-produk yang telah jelas-jelas mencantumkan label halal dari LPPOM MUI
atau dengan merujuk langsung pada daftar produk halal dari Jurnal Halal LPPOM
MUI.
B.
Organ
Tubuh untuk Kosmetika
Akhir-akhir ini penggunaan bahan-bahan yang diduga
haram semakin meningkat. Misalnya kolagen dan plasenta. Kolagen banyak dipakai
di berbagai produk kosmetik karena konon dapat mengencangkan kulit dan
memperbaiki penampilan wajah. Tahukah anda dari mana kolagen berasal? Bahan ini
diekstrak dari protein hewani, yang mungkin dari sapi, ikan, atau mungkin juga
dari babi.
Al-Allamah
Ibn Manzhur berkata “al-Juz”
berarti sebagian. Bentuk jamaknya adalah “Ajza”. Dalam al-Mu’am al-Wasith dikatakan, “al-Juz” berarti bagian dari sesuatu. Ia
adalah sebuah bagian yang dijadikan untuk menyusun sesuatu bersama bagian yang
lain.[1]
Sedangkan al-Jism menurut Ibn Mansur, adalah kumpulan badan atau
anggota-anggota tubuh pada manusia, unta, hewan-hewan melata, dan jenis-jenis makhluk lainnya. Jamaknya
adalah Ajsam dan Jusum.
Ibn Mansur menambahkan, adapun
al-Basyari dinisbatkan kepada lafal al-Basyar yang berarti
manusia. Bentuk ini lanjutnya
lagi, berlaku untuk pola tunggal dan jamak, serta untuk pola mudzakkar
(laki-laki) dan muannats (perempuan). Terkadang dibuat menjadi pola musanna
(dua orang) dan terkadang dijamakkan menjadi Absyar.[2]
Kata Juz’ al-Jism al-Basyari (organ tubuh
manusia) sebagaimana yang dikutip oleh Musttafa Yaqub dari Ibn Manzur, adalah
setiap potongan atau bagian yang terpisah dari tubuh manusia atau jasadnya,
baik laki-laki maupun perempuan, muslim atau kafir, dan terpisahnya organ itu,
baik ketika manusia itu masih hidup, maupun sesudah meninggal dunia.[3] Bahkan sebagian
orang
berpendapat bahwa beberapa organ tubuh manusia dapat dimanfaatkan untuk
kepentingan pangan, obat, dan kosmetika serta keperluan tertentu, seperti adonan roti, dan
lain sebagainya.
Ari-ari atau dalam istilah medis dikenal dengan plasenta
adalah organ yang terdapat di dalam rahim yang terbentuk sementara saat terjadi
kehamilan. Organ ini berbentuk seperti piringan dengan tebal sekitar satu inci, diameter kurang lebih tujuh inci, dan memiliki berat pada
kehamilan cukup bulan,
rata-rata 1/6 berat janin atau sekitar 500 gram.
Sedangkan plasenta merupakan bahan yang diambil dari
plasenta (cadangan makanan bagi bayi), baik dari plasenta hewan maupun plasenta
manusia. Sebagai bahan yang kaya nutrisi plasenta memang terbukti mampu
memberikan gizi bagi kulit, sehingga memiliki efek encegah penuaan dan menjaga
kesegaran kulit.
Kini banyak produk kosmetika yang menggunakan
bahan-bahan terlarang itu. Para produsennya menawarkan janji kebugaran,
kecantikan dan awet muda, hal-hal yang sangat disukai kaum wanita. Oleh karena
itu masyarakat berbondong-bondong membeli, meskipun dengan harga yang cukup
mahal. Sudah saatnya konsumen muslim mencermati hal itu, jangan hanya tergiur
dengan khasiat dan janji yang muluk-muluk, tetapi perhatikan juga aspek
kehalalannya. Kecantikan tubuh dapat pudar setiap saat. Penuaan kulit juga
merupakan sebuah keniscayaan yang akan dialami semua orang. Tetapi kecantikan
akhlak dan budi pekerti jauh lebih abadi ketimbang sekedar kecantikan semu yang
diberikan kosmetika, apalagi jika berasal dari bahan-bahan yang tidak
halal.
Plasenta atau ari-ari memiliki fungsi utama untuk
mengusahakan janin tumbuh dengan baik. Hal itu terjadi melalui pemenuhan
nutrisi yang berupa asam amino, vitamin, mineral maupun hasil pemecahan
karbohidrat dan lemak yang diasup dari ibu ke janin. Sebaliknya, zat hasil
metabolisme dikeluarkan dari janin ke darah ibu yang juga melalui plasenta.
Plasenta juga berfungsi sebagai alat respirasi yang memberi zat asam dan
mengeluarkan karbondioksida. Selain itu, plasenta merupakan hormon, khususnya
hormon korionik gonadotropin, korionik samato, mammotropin (plasenta
lactogen), estrogen maupun progesteron serta hormon lainnya yang
masih dalam penelitian.
Di beberapa
tempat di dunia ini dijumpai adanya kebiasaan dari masyarakat setempat yang
memanfaatkan air kencing manusia untuk pengobatan terhadap suatu penyakit. Di
India misalnya urine telah dianggap
sebagai obat universal selama lebih dari 5.000 tahun. Di Eropa yang lebih
dikenal dengan istilah ‘terapi urine‘.
Gennady Malakhov, terkenal
sebagai penganut terapi urine di
Rusia, mengatakan bahwa kita harus menggunakan sejumlah air seni hampir setiap
hari yang baik untuk pemulihan kesehatan. Dia menawarkan untuk minum air
kencing dan menggunakannya untuk rubdowns
dan enemas. Para pengguna terapi ini,
mengatakan bahwa hal ini dapat menjadi obat mujarab dalam perawatan usus,
ginjal dan penyakit hati.
Dengan demikian air kencing manusia tidak boleh
digunakan untuk pengobatan suatu penyakit baik dengan cara diminum atau
dioleskan kecuali pernyataan dokter muslim yang bisa dipercaya atau ketika
tidak ada lagi obat yang suci yang bisa dipakai untuk mengobati penyakit
tersebut, sebagaimana disebutkan oleh al ‘Izz Abdus Salam,”Diperbolehkan
pengobatan dengan menggunakan sesuatu yang najis apabila tidak ada lagi obat
yang suci untuk mengobatinya. Hal itu dikarenakan kemaslahatan kesehatan dan
keselamatan lebih diutamakan daripada kemaslahatan menjauhi sesuatu yang
diharamkan.[4]
C.
Hukum
Penggunaan Organ Tubuh untuk Kosmetika menurut Islam
Menurut Dr.
H. Abdullah Salim, M.A, berdasarkan keputusan Fatwa Munas VI MUI Nomor:
2/Munas VI/MUI/2000, tanggal 30 Juli 2000, tentang pengggunaan organ tubuh,
ari-ari dan air seni bagi kepentingan obat-obatan dan kosmetika adalah haram.
Kebijakan tersebut sesuai dengan Firman Allah Swt.
dalam surat al-Maidah
ayat 3 :
ôÇ`yJsù §äÜôÊ$# Îû >p|ÁuKøxC uöxî 7#ÏR$yftGãB 5OøO\b} ¨bÎ*sù ©!$# Öqàÿxî ÒOÏm§
“... Maka barang siapa terpaksa karena
kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.” (al-Maidah : 3).[5]
Oleh karena itu, yang dimaksud dengan penggunaan obat
adalah mengkonsumsinya sebagai pengobatan, bukan menggunakan obat pada bagian
luar. Dengan menyadari seperti itu, maka penggunaan obat-obatan yang mengandung
atau berasal dari bagian organ manusia hukumnya adalah haram. Termasuk penggunaan air seni manusia untuk
pengobatan, serta kosmetika yang mengandung atau berasal dari bagian organ manusia hukumnya juga haram.
Berbagai kemungkinan penggunaan
bahan haram dan najis dalam kosmetika tentunya harus menggugah kesadaran umat
Islam untuk lebih teliti dalam memilih produk yang akan digunakannya. Jangan
sampai niat untuk tampil cantik malah menjerumuskan diri kepada hal-hal yang
tidak dirihai oleh Allah SWT.
Untuk mengetahui boleh tidaknya penggunaan plasenta dalam
pengobatan ini, alangkah baiknya kita lihat lebih jauh dalam Keputusan Fatwa
MUI No.2/MunasVI/MUI/2000, yaitu sebagai berikut :
a.
Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan :
1)
Penggunaan obat-obatan adalah mengkonsumsinya sebagai
pengobatan, bukan menggunakan obat pada bagian luar tubuh; Penggunaan air seni
adalah meminumnya sebagai obat.
2)
Penggunaan kosmetika adalah memakai alat kosmetika
pada bagian luar tubuh dengan tujuan perawatan tubuh atau kulit agar tetap atau
menjadi baik dan indah.
3)
Dharurat adalah kondisi-kondisi keterdesakan yang bila
tidak dilakukan maka dapat mengancam eksistensi jiwa manusia.
b.
Penggunaan obat-obatan yang mengandung atau berasal
dari bagian organ manusia (juz’ul-insan) hukumnya adalah haram.
c.
Penggunaan air seni manusia untuk pengobatan, seperti
disebut pada butir a. 2) hukumnya adalah haram.
d.
Penggunaan kosmetika yang mengandung atau berasal dari
bagian organ manusia hukumnya adalah haram.
e.
Hal-hal tersebut pada butir b, c, dan d di atas boleh
dilakukan dalam keadaan dharurat syari'ah.[6]
Keharaman
memanfaatkan barang najis ini sesuai dengan pendapat sebagian ulama yang
menjelaskan :
قال الزّهريّ لايحلّ شرب بول الناس لشدّة تنزل لانه رجس
قال الله تعال (أحل لكم الطيبت. المائدة) وقال ابن مسعود فى السكر ان الله لم يجعل
شفاءكم فيما حرم عليكم. (رواه البخارى)
“Imam Zuhri berkata, “Tidak halal meminum air seni manusia karena suatu penyakit yang diderita, sebab itu adalah najis, Allah berfirman: “…Dihalalkan bagi kamu yang baik-baik…” (QS. Al-Ma’idah [5]: 5}”; dan Ibnu Mas’ud (w.32) berkata tentang sakar (minuman keras), “Allah tidak menjadikan obatmu pada sesuatu yang diharamkan atasmu” (Riwayat Al-Bukhari).
“Imam Zuhri berkata, “Tidak halal meminum air seni manusia karena suatu penyakit yang diderita, sebab itu adalah najis, Allah berfirman: “…Dihalalkan bagi kamu yang baik-baik…” (QS. Al-Ma’idah [5]: 5}”; dan Ibnu Mas’ud (w.32) berkata tentang sakar (minuman keras), “Allah tidak menjadikan obatmu pada sesuatu yang diharamkan atasmu” (Riwayat Al-Bukhari).
Hal ini sesuai dengan kaidah fiqh :
الضرورات تبيح المحظورات
“Darurat itu membolehkan sesuatu yang dilarang.”
“Darurat itu membolehkan sesuatu yang dilarang.”
Akan
tetapi, kebolehan memakai obat itu tentunya harus sesuai kebutuhan. Tidak boleh
melebihi kadarnya. Artinya, jika penggunaan obat itu dihentikan si pasien sudah
tidak lagi dalam keadaan dlorurot tadi. Hal ini mengingat kaidah bahwa “sesuatu yang dibolehkan karena dlorurot dikembalikan
pada kadarnya (secukupnya).”
Para ulama mengatakan bahwa
pengobatan dengan sesuatu yang najis tidak diperbolehkan kecuali darurat
(terpaksa). Adapun ketika dalam keadaan
banyak pilihan, banyak tersedia obat yang halal maka hal itu tidaklah dibolehkan.[7] Namun MUI dalam hal ini telah
mempertegas akan keharaman menggunkan organ tubuh manusia sebagai obat-obatan.
Dalam fatwa yang diputuskan pada tanggal 30 juli tahun 2000 tersebut
mengatakan, bahwa segala macam bentuk obat-obatan yang terbuat dari organ tubuh
manusia hukumnya haram.[8]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
pemaparan makalah di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.
Menggunakan plasenta (ari-ari) untuk bahan kosmetik
atau untuk mengobati suatu penyakit hukumya adalah haram.
2. Apabila
kebutuhan akan plasenta itu sifatnya sangat darurat maka boleh digunakan sesuai
dengan kadarnya.
3. Penetapan
hukum tersebut berdasarkan pada ketentuan Al-Qur’an, Hadits, dan Kaidah fiqh
sesuai yang telah dijelaskann di atas.
B.
Saran
1. Dalam
memilih dan menggunakan kosmetika, hendaklah berhati-hati dalam hal halal
haramnya bahan pembuat kosmetika tersebut;
2. Jika
kita tidak memahami istilah-istilah untuk bahan-bahan pembuat kosmetika,
sebaiknya dikonsultasikan dengan para ahlinya;
3. Menggunakan
kosmetik yang mengandung bahan yang haram, berarti kegiatan ibadah kita juga
menjadi tidak afdol. Sehingga sebaiknya gunakanlah kosmetik yang menggunakan
bahan-bahan yang diperbolehkan oleh syara’.
DAFTAR PUSTAKA
Az-Zuhaili,
Wahbah. (tt). Fiqhul Islami wa
Adillatuhu, Juz IV. Maktabah Syamilah.
|
Departemen
Agama Republik Indonesia. (1989). Al-Qur'an
dan Terjemahnya. Semarang : Toha Putra.
|
Majlis
Ulama Indonesia. (2002). Himpunan Fatwa
Majlis Ulama Indonesia. Jakarta : Majlis Ulama Indonesia.
|
Yaqub,
Ali Mustafa. (2009). Kriteria Halal
Haram. Terj. Cet. Ke-1. Jakarta : PT. Pustaka Firdaus.
|
[1] Ali Mustafa Yaqub, Kriteria Halal Haram,
Terj. (Jakarta :
PT. Pustaka Firdaus, 2009), Cet. Ke-1,
hal. 161.
[2] Ali Mustafa Yaqub, Kriteria Halal Haram,
Terj. (Jakarta :
PT. Pustaka Firdaus, 2009), Cet. Ke-1,
hal. 161.
[3] Ibid., hal. 164.
[5] Departemen
Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan
Terjemahnya, (Semarang : Toha Putra,
1989), hal. 157.
[6]
Keputusan Majelis Fatwa MUI No.2/Munas VI/MUI/2000.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan tulis komentar Anda