BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Berfikir
dan pengetahuan merupakan dua hal yang menjadi ciri keutamaan manusia, tanpa
pengetahuan manusia akan sulit berfikir dan tanpa berfikir pengetahuan lebih
lanjut tidak mungkin dapat dicapai, oleh karena itu nampaknya berfikir dan
pengetahuan mempunyai hubungan yang sifatnya siklikal.[1] Gerak
sirkuler antara berfikir dan pengetahuan akan terus membesar mengingat
pengetahuan pada dasarnya bersifat akumulatit, semakin banyak pengetahuan yang
dimiliki seseorang semakin rumit aktivitas berfikir, demikian juga semakin
rumit aktivitas berfikir semakin kaya akumulasi pengetahuan. Semakin akumulatif
pengetahuan manusia semakin rumit, namun semakin memungkinkan untuk melihat
pola umum serta mensistimatisirnya dalam suatu kerangka tertentu, sehingga
lahirlah pengetahuan ilmiah (ilmu), disamping itu terdapat pula orang-orang
yang tidak hanya puas dengan mengetahui, mereka ini mencoba memikirkan hakekat
dan kebenaran yang diketahuinya secara radikal dan mendalam, maka lahirlah
pengetahuan filsafat, oleh karena itu berfikir dan pengetahuan dilihat dari
ciri prosesnya dapat dibagi ke dalam :
1. Berfikir biasa dan sederhana
menghasilkan pengetahuan biasa (pengetahuan eksistensial);
2. Berfikir sistematis faktual tentang
objek tertentu menghasilkan pengetahuan ilmiah (ilmu);
3. Berfikir radikal tentang hakekat
sesuatu menghasilkan pengetahuan filosofis (filsafat).
Semua
jenis berfikir dan pengetahuan tersebut di atas mempunyai poisisi dan
manfaatnya masing-masing, perbedaan hanyalah bersifat gradual, sebab semuanya
tetap merupakan sifat yang inheren dengan manusia. Sifat inheren berfikir dan
berpengetahuan pada manusia telah menjadi pendorong bagi upaya-upaya untuk
lebih memahami kaidah-kaidah berfikir benar (logika), dan semua ini makin memerlukan
keahlian, sehingga makin rumit tingkatan berfikir dan pengetahuan makin sedikit
yang mempunyai kemampuan tersebut, namun serendah apapun gradasi berpikir dan
berpengetahuan yang dimiliki seseorang
tetap saja mereka bisa menggunakan akalnya untuk berfikir untuk memperoleh
pengetahuan, terutama dalam menghadapi masalah-masalah kehidupan, sehingga
manusia dapat mempertahankan hidupnya (pengetahuan macam ini disebut
pengetahuan eksistensial).
Berpengetahuan
merupakan syarat mutlak bagi manusia untuk mempertahankan hidupnya, dan untuk
itu dalam diri manusia telah terdapat akal yang dapat dipergunakan berfikir
untuk lebih mendalami dan memperluas pengetahuan. Paling tidak terdapat dua
alasan mengapa manusia memerlukan pengetahuan/ilmu yaitu : 1) manusia tidak
bisa hidup dalam alam yang belum terolah, sementara binatang siap hidup di alam
asli dengan berbagai kemampuan bawaannya; 2) manusia merupakan makhluk yang
selalu bertanya baik implisit maupun eksplisit dan kemampuan berfikir serta
pengetahuan merupakan sarana untuk menjawabnya. Dengan demikian berfikir dan
pengetahuan bagi manusia merupakan instrumen penting untuk mengatasi berbagai
persoalah yang dihadapi dalam hidupnya di dunia, tanpa itu mungkin yang akan terlihat
hanya kemusnahan manusia.
Filsafat
dipandang sebagai bagian dari ilmu pendidikan yang merupakan perangkat
nilai-nilai yang melandasi dan membimbing ke arah pencapaian tujuan pendidikan.[2] Filsafat
merupakan suatu sistem yang dapat menentukan sikap hidup, dari filsafat yang
dianut tergambar nilai-nilai yang dipegang, juga harapan-harapan yang
didambakan.[3] Salah
satu aliran filsafat yang terbentuk adalah positivisme.
Positivisme
yang dirintis oleh Augeste Comte (1798 – 1857) menganggap pengetahuan mengenai
fakta objektif sebagai pengetahuan yang sahih. Filsafat positivisme Comte
mengalami perkembangan dramatis dengan lahirnya kaum positivisme logis,
khususnya di dalam lingkaran Wina (Vienna
Circle). Kaum positivisme logis memusatkan diri pada bahasa dan makna. Bagi
kaum positivisme logis, semua metafisika secara literal adalah “nonsense“,
tanpa makna. Salah seoranag tokoh terkemuka yang tergolong positivisme logis
pada lingkaran Wina adalah Rudolf Carnap (1891 – 1970).
Beliau
menyatakan bahwa pengetahuan manusia berkembang secara evolusi dalam tiga
tahap, yaitu teologis, metafisik, dan positif. Pengetahuan positif merupakan
puncak pengetahuan manusia yang disebutnya sebagai pengetahuan ilmiah. Sesuai
dengan pandangan tersebut kebenaran metafisik yang diperoleh dalam metafisika
ditolak, karena kebenarannya sulit dibuktikan dalam kenyataan. Auguste Comte
mencoba mengembangkan Positivisme ke dalam agama atau sebagai pengganti agama.
Hal ini terbukti dengan didirikannya Positive
Societies di berbagai tempat yang memuja kemanusiaan sebagai ganti memuja
Tuhan. Perkembangan selanjutnya dari aliran ini melahirkan aliran yang bertumpu
kepada isi dan fakta-fakta yang bersifat materi, yang dikenal dengan
Materialisme.
Terminologi positivisme dicetuskan
pada pertengahan abad 19 oleh salah satu pendiri ilmu sosiologi yaitu Auguste
Comte. Comte percaya bahwa dalam alam pikiran manusia melewati tiga tahapan
historis yaitu teologi, metafisik, dan ilmiah. Dalam tahap teologi, fenomena
alam dan sosial dapat dijelaskan berdasarkan kekuatan spiritual. Pada tahap
metafisik manusia akan mencari penyebab akhir (ultimate cause) dari
setiap fenomena yang terjadi. Dalam tahapan ilmiah usaha untuk menjelaskan
fenomena akan ditinggalkan dan ilmuwan hanya akan mencari korelasi antar
fenomena. Pengembangan penting dalam paham positivisme klasik dilakukan oleh
ahli ilmu alam Ernst Mach yang mengusulkan pendekatan teori secara fiksi (fictionalist).
Teori ilmiah bermanfaat sebagai alat untuk menghafal, tetapi perkembangan ilmu
hanya terjadi bila fiksi yang bermanfaat digantikan dengan pernyataan yang
mengandung hal yang dapat diobservasi. Meskipun Comte dan Mach mempunyai
pengaruh yang besar dalam penulisan ilmu ekonomi (Comte mempengaruhi pemikiran
J.S. Mill dan Pareto sedangkan pandangan Mach diteruskan oleh Samuelson dan
Machlup), pengaruh yang paling utama adalah ide dalam pembentukan filosofi
ilmiah pada abad 20 yang disebut logika positivisme (logical positivism).
Pengaruh positivisme dalam
filosofi ilmiah menurun tajam mulai tahun 1960 sampai tahuan 1970. Tidak ada
penerus yang dapat mengisi kekurangan dalam filosofi positivisme. Beberapa
bentuk ajaran Popper nampaknya mampu untuk mengisi kekurangan ini. Karl Popper
yang mengkritik induktivisme dan konfirmationisme, bapak dari falsifikasionisme
dan rasionalisme kritis ini mempunyai cukup banyak pandangan dan pengaruh pada
ahli filsafat generasi berikutnya. Mulai dari J. Agassi sampai Elie Zahar, dan
termasuk beberapa pemikir seperti W.W. Bartley, P.K. Feyerabend, Noretta,
Koertge, Imre Lakatos dan J.W.N. Watkins yang semua ahli filsafat tersebut
mempunyai kritik atau pendapat yang dapat membuat pemikiran Popper terus
berkembang. Pemikir lainnya adalah Thomas Kuhn yang telah berjasa dalam pengembangan
ilmu pengetahuan normal dan revolusioner, paradigma dan matriks disiplin, serta
pengembangan dalam analisis sosiologi yang menitikberatkan pada norma dan nilai
ilmiah. Versi radikal dari pendekatan Kuhn adalah dalam ilmu sosiologi yang sekarang
dikembangkan oleh grup sarjana dari Universitas Edinburgh, termasuk Barry Barnes
dan David Bloor. Grup lain yang turut mengembangkan adalah Joseph Sneed dan
Wolfgang Stegmuller dari sekolah strukturalis serta Ricahard Rorty dalam pengembangan
pragmatis baru. Sampai saat ini belum diketahui secara pasti apakah pengembangan
positivisme akan menjadi satu doktrin atau pandangan lain yang lebih sederhana
dalam dunia ilmiah.
B.
Perumusan
Masalah
Berdasarkan latar
belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan-permasalahan
sebagai berikut :
1.
Bagaimana paradigma
positivisme kaitannya dengan ilmu pengetahuan?
2.
Bagaimana pengaruh
positivisme terhadap dunia ilmu pendidikan?
C.
Tujuan
Pembahasan
Berdasarkan perumusan
masalah di atas, maka tujuan pembahasan dalam makalah ini adalah sebagai
berikut :
1.
Untuk mengetahui
paradigma positivisme kaitannya dengan ilmu pengetahuan;
2.
Untuk mengetahui
pengaruh positivisme terhadap dunia ilmu pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Paradigma
Positivisme
Orang yang pertama menggunakan istilah sosiologi adalah
August Comte (1798-1857). Beliau mengatakan ada tiga tingkatan intelektual yang
harus dilalui masyarakat, ilmu pengetahuan, individu atau bahkan pemikiran
masyarakat dan dunia sepanjang sejarahnya. Pertama, tahap teologis yang menjadi
teologis yang menjadi menerangkan
segala sesuatu, bukanlah para dewa. Dengan demikian pandangan terhadap ciptaan
tuhan mengalami degradasi kekuasaan
dihadapan manusia, Ketiga, pada tahun 1800 dunia memasuki tahap positivistikyang
ditandai oleh keyakinan terhadap sains.
Dasar-dasar filsafat ini dibangun oleh Saint Simon dan
dikembangkan oleh Auguste Comte (1798-1857). Ia menyatakan bahwa pengetahuan
manusia berkembang secara evolusi dalam tiga tahap, yaitu teologis, metafisik,
dan positif. Pengetahuan positif merupakan puncak pengetahuan manusia yang
disebutnya sebagai pengetahuan ilmiah. Sesuai dengan pandangan tersebut
kebenaran metafisik yang diperoleh dalam metafisika ditolak, karena
kebenarannya sulit dibuktikan dalam kenyataan. Auguste Comte mencoba
mengembangkan Positivisme ke dalam agama atau sebagai pengganti agama. Hal ini
terbukti dengan didirikannya Positive
Societies di berbagai tempat yang memuja kemanusiaan sebagai ganti memuja
Tuhan. Perkembangan selanjutnya dari aliran ini melahirkan aliran yang bertumpu
kepada isi dan fakta-fakta yang bersifat materi, yang dikenal dengan
Materialisme.
Menurutnya, untuk menciptakan masyarakat baru yang serba
teratur, maka perlu adanya perbaikan jiwa atau budi terlebih dahulu. Menurut
Comte, pemikiran, jiwa atau budi manusia berkembang dalam tiga tahap atau
zaman: zaman teologis, zaman ontologis atau metafisis, dan zaman positivistis.[4]
Masa Comte haruslah mengabdikan ilmu yang disebutnya
positif. Disamping matematika, fisika, biologi dalam ilmu ke masyarakatan pun
semangat positif itu akan dapat kita alami dan daripada itu baiklah orang yang
mengatakan bahwa ia tidak tahu saja.
4
|
Dengan demikian pada prinsipnya zaman positif atau zaman
ketika orang tahu, bahwa tiada gunanya untuk berusaha mencapai pengenalan atau
pengetahuan yang mutlak, baik pengenalan teologis maupun metafisis. Ia tidak
lagi mau melacak asal dan tujuan terakhir seluruh alam semesta ini, atau
melacak hakikat yang terjadi dari segala sesuatu yang berada dibelakang segala
sesuatu. Sekarang orang berusaha menemukan hukum-hukum kesamaan dan urutan yang
terdapat pada fakta-fakta yang telah dikenal atau yang disajikan kepadanya
yaitu dengan pengamatan dengan memakai akalnya. Pada zaman ini pengertian menerangkan
berarti fakta-fakta yang khusus dihubungkan dengan suatu fakta umum. Tujuan
tertinggi dari zaman ini akan tercapai bilamana segala gejala telah dapat disusun
dan diatur dibawah satu fakta yang umum saja seperti, gaya berat.
Paham ini tidak hanya besar pengaruhnya dibidang filsafat,
akan tetapi juga besar pengaruhnya dibidang ilmu-ilmu yang lain. Dalam hal ini
terbukti Comte menjadi besar pengaruhnya dalam sosiologi. Pengaruh positivisme
tampak pula dalam ilmu jiwa, logika, sejarah, dan kesusilaan.
Nama positivisme diintroduksikan Aguste Comte dari kata
positif yang artinya faktual. Menurut positivisme pengetahuan kita tidak boleh
melebihi fakta-fakta. Positivisme menolak cabang filsafat seperti metafisika.
Karena menanyakan hakikat benda-benda atau penyebab yang sebenarnya bagi
positivisme tidak mempunyai arti apapun juga. Ilmu pengetahuan juga filsafat
hanya menyelidiki fakta-fakta dan hubungannya. Tugas khusus filsafat antara
mengkoordinasi ilmu-ilmu lain dan memperlihatkan kesatuan antara berbagai macam
ilmu. Maksud positivisme sama dengan empirisme, yang menerima pengalaman
bathiniah atau subjektif sebagai sumber pengetahuan.
Positivisme adalah doktrin filosofi dan ilmu pengetahuan sosial yang
menempatkan peran sentral pengalaman dan bukti empiris sebagai basis dari ilmu
pengetahuan dan penelitian. Terminologi positivisme dikenalkan oleh Auguste
Comte untuk menolak doktrin nilai subyektif, digantikan oleh fakta yang bisa
diamati serta penerapan metode ini untuk membangun ilmu pengetahuan yang diabdikan
untuk memperbaiki kehidupan manusia.
Salah satu bagian dari tradisi positivisme adalah sebuah konsep yang
disebut dengan positivisme logis. Positivisme ini dikembangkan oleh para
filosof yang menamakan dirinya ‘Lingkaran Vienna’[5] pada
awal abad ke duapuluh. Sebagai salah satu bagian dari positivisme, positivisme
logis ingin membangun kepastian ilmu pengetahuan yang disandarkan lebih pada
deduksi logis daripada induksi empiris. Kerangka pengembangan ilmu menurut
tradisi positivisme telah memunculkan perdebatan tentang apakah ilmu
pengetahuan sosial memang harus “diilmiahkan”. Kritik atas positivism berkaitan
dengan penggunaan fakta-fakta yang kaku dalam penelitian sosial. Menurut para
oponen positivism, penelitian dan pengembangan ilmu atas realitas sosial dan
kebudayaan manusia tidak dapat begitu saja direduksi kedalam kuantifikasi angka
yang bisa diverikasi karena realitas sosial sejatinya menyodorkan nilai-nilai
yang bersifat kualitatif.[6]
Menjawab kritik ini, kaum positivis mengatakan bahwa metode kualitatif yang
digunakan dalam penelitian sosial tidak menemukan ketepatan karena sulitnya
untuk di verifikasi secara empiris.
Tokoh-tokoh yang paling berpengaruh dalam mengembangkan tradisi positivisme
adalah Thomas Kuhn, Paul K. Fyerabend, W.V.O. Quine, dan filosof lainnya.
Pikiran-pikiran para tokoh ini membuka jalan bagi penggunaan berbagai
metodologi dalam membangun pengetahuan dari mulai studi etnografi sampai
penggunaan analisa statistik.
Pandangan
empirisme semakin kuat pengaruhnya dalam cabang ilmu pengetahuan setelah
munculnya pandangan August Comte (1798-1857) tentang Positivisme. Salah satu
buah pikirannya yang sangat penting dan berpengaruh adalah tentang tiga
tahapan/tingkatan cara berpikir manusia dalam berhadapan dengan alam semesta
yaitu : tingkatan teologi, tingkatan metafisik, dan tingkatan positif.[7]
Tingkatan Teologi (Etat Theologique). Pada
tingkatan ini manusia belum bisa memahami
hal-hal yang berkaitan dengan sebab akibat. Segala kejadian dialam
semesta merupakan akibat dari suatu perbuatan Tuhan dan manusia hanya bersifat
pasrah, dan yang dapat dilakukan adalah memohon pada Tuhan agar dijauhkan dari
berbagai bencana. Tahapan ini terdiri dari tiga tahapan lagi yang berevolusi
yakni dari tahap animisme, tahap politeisme, sampai dengan tahap monoteisme.
Tingkatan Metafisik (Etat Metaphisique). Pada
dasarnya tingkatan ini merupakan suatu variasi dari cara berfikir teologis,
dimana Tuhan atau Dewa-dewa diganti dengan kekuatan-kekuatan abstrak misalnya
dengan istilah kekuatan alam. Dalam tahapan ini manusia mulai menemukan keberanian dan merasa bahwa kekuatan yang
menimbulkan bencana dapat dicegah dengan memberikan berbagai sajian-sajian
sebagai penolak bala/bencana.
Tingkatan Positif (Etat Positive). Pada tahapan ini manusia sudah
menemukan pengetahuan yang cukup untuk menguasai alam. Jika pada tahapan
pertama manusia selalu dihinggapi rasa khawatir berhadapan dengan alam semesta,
pada tahap kedua manusia mencoba mempengaruhi kekuatan yang mengatur alam
semesta, maka pada tahapan positif manusia lebih percaya diri, dengan
ditemukannya hukum-hukum alam, dengan bekal
itu manusia mampu menundukan/mengatur (pernyataan ini mengindikasikan
adanya pemisahan antara subyek yang mengetahui dengan obyek yang diketahui) alam serta memanfaatkannya untuk kepentingan
manusia, tahapan ini merupakan tahapan dimana manusia dalam hidupnya lebih
mengandalkan pada ilmu pengetahuan.
Dengan memperhatikan tahapan-tahapan
seperti dikemukakan di atas nampak bahwa istilah positivisme mengacu pada
tahapan ketiga (tahapan positif/pengetahuan positif) dari pemikiran Comte. Tahapan
positif merupakan tahapan tertinggi, ini berarti dua tahapan sebelumnya merupakan tahapan yang
rendah dan primitif, oleh karena itu filsafat Positivisme merupakan filsafat
yang anti metafisik, hanya fakta-fakta saja yang dapat diterima. Segala sesuatu
yang bukan fakta atau gejala (fenomin) tidak mempunyai arti, oleh karena itu
yang penting dan punya arti hanya satu yaitu mengetahui (fakta/gejala) agar
siap bertindak (savoir pour prevoir).
Hukum dalam 3
tahap ini berlaku dibidang ilmu pengetahuan sendiri. Segala ilmu pengetahuan
semula dikuasai oleh pengertian-pengertian teologis, sesudah itu dikeruhkan
oleh pemikiran metafisis, dan akhirnya tiba dizaman hukum-hukum positif yang
cerah. Pengaturan ilmu pengetahuan yang berarti harus disesuaikan dengan pembagian
kawasan gejala-gejala atau penampakan-penampakan yang dipelajari ilmu itu.
Manusia harus menyelidiki dan
mengkaji berbagai gejala yang terjadi beserta hubungan-hubungannya diantara
gejala-gejala tersebut agar dapat meramalkan apa yang akan terjadi, Comte menyebut hubungan-hubungan
tersebut dengan konsep-konsep dan hukum-hukum yang bersifat positif dalam arti
berguna untuk diketahui karena benar-benar nyata bukan bersifat spekulasi
seperti dalam metafisika.
B.
Pengaruh
Positivistik bagi Dunia Ilmu Pendidikan
Pandangan filosofis merupakan cara melihat pendidikan dari
hakikat pendidikan dalam kehidupan manusia.[8]
Selain itu, filsafat dapat diartikan juga sebagai pola pikir dengan ciri-ciri
tertentu, yakni kritis, sistematis, logis, kontemplatif, radikal dan spekulatif.[9]
Sementara itu, pengaruh positivisme yang sangat besar dalam
zaman modern sampai sekarang ini, telah mengundang para pemikir untuk
mempertanyakannya, kelahiran post modernisme yang narasi awalnya dikemukakan
oleh Daniel Bell dalam bukunya The cultural contradiction of capitalism,
yang salah satu pokok fikirannya adalah bahwa etika kapitalisme yang menekankan
kerja keras, individualitas, dan prestasi telah berubah menjadi hedonis
konsumeristis.[10]
Positivisme
merupakan salah satu akar utama dari filsafat modern selain analisis
linguistik. Para postivitis Perancis abad ke-19, di bawah kepemimpinan Auguste
Comte, berpegang bahwa pengetahuan (knowledge)
harus didasarkan pada persepsi rasa (sense
perception) dan investigasi ilmu pengetahuan (science) yang objektif, oleh karena itu, positivisme telah
membatasi pengetahuan kepada statements fakta yang dapat diobservasi dan hal-hal yang
berkaitan dengannya, dan menolak pandangan dunia yang bersifat metafisik atau
pandangan dunia yang berisi unsur-unsur yang tidak dapat diverifikasi secara
empiris. Sikap negatif terhadap setiap
realitas di luar rasa (sense) manusia
telah mempengaruhi banyak bidang-bidang pemikiran modern, termasuk pragmatisme,
behaviorisme, naturalisme saintifik, dan gerakan analitik tersebut. Positivisme
menjadi tempat berkumpul bagi kelompok ilmuwan abad 20 yang dikenal dengan nama
”Perkumpulan Vienna (Vienna Circle)” . Kelompok ini terdiri dari ilmuwan ahli
matematika, ahli logika simbol (symbolic
logician) yang tertarik pada filsafat. Perkumpulan Vienna tersebut melihat
filsafat sebagai logika sains dan bentuk pemikiran mereka yang kemudian dikenal
sebagai positivisme logis. Tujuan utama kelompok ini adalah untuk menemukan suatu sistem terminologis dan
konseptual yang bersifat inklusif tapi umum (berlaku) terhadap semua sains.
Perlu dicatat bahwa filsafat analitik merupakan istilah payung (umbrella term) yang mencakup beberapa
pendirian yang agak berbeda yang biasanya mengacu kepada positvisme logis,
empirisme logis, analisis linguistik, atomisme logis, dan analisis oxford.
Pada dasarnya logical positivisme berfikir bahwa tidak
ada dalil yang dapat diterima dengan penuh arti kecuali jika dapat diverifikasi
dengan alasan-alasan formal (yaitu :
logika dan matematika) atau diverifikasi pada tataran empiris, atau data yang
nyata.
Model analitik positivistik logis dikenal dengan neo
positivism dikembangkan oleh Bertrand Russell yang berakar pada dan meneruskan
filsafat positivisme dari Comte yang merupakan peletak dasar pendekatan
kuantitatif dalam pengembangan ilmu (science), dengan meletakkan matematika
sebagai dasar bagi semua cabang ilmu.
Positivisme memiliki pengaruh yang kuat pada
metode ilmiah. Konsep-konsep positivisme menyumbangkan pendekatan baru dalam
penemuan kebenaran ilmiah yang melahirkan revolusi paradigm. Prinsip dan
prosedur dalam ilmu alam dan ilmu sosial,yang berasal dari asumsi John Stuart
Mill (1843), terus hidup sampai sekarang sebagai paradigm metodologis. Mill
tidak membedakan metodologi ilmu social dan ilmu kealaman.
August Comte ( 1798-1857 ) positivisme mendominasi wacana
ilmu pengetahuan pada awal abad 20-an dengan menetapkan criteria-kriteria yang
harus dipenuhi oleh manusia maupun alam untuk disebut sebagai ilmu yang benar. Kriteria
adalah eksplanatoris dan prediktif. Demi terpenuhnya kriteria-kriteria
tersebut, maka ilmu-ilmu harus memiliki pandangan dunia positivistic sebagai
berikut : 1)
objektif, teori-teori tentang semesta haruslah bebas nilai; 2) fenomenalisme,
ilmu pengetahuan hanya membicarakan tentang semesta yang yang teramati; 3)
reduksionisme semesta di reduksi menjadi
fakta-fakta keras yang dapat diamati; 4) naturalisme, alam semesta adalah
objek-objek yang bergerak secara mekanis seperti bekerjanya jam.
Pengajaran
utama dalam logika positivisme dikembangkan pada tahun 1920 oleh Moritz
Schlich, Herbert Feigl, Kurt Gödel, Hans Hahn, Otto Neurath, Friedrich
Waismann, Rudolf Carnap and kelompok lain yang sering disebut Vienna Circle.
Logika
positivisme menempati posisi sebagai filosofi empiris yang radikal, dan para
pendirinya percaya bahwa hal ini merupakan awal babak baru dalam penyelidikan
filosofi. Tujuan dari seluruh analisis filosofi adalah analisis logika dari
ilmu yang dinyatakan sebagai positif, atau empiris, yang merupakan label dari
logika positivisme.
Tugas pertama
bagi logika positivisme adalah mendefinisikan apa yang menjadi tuntutan dalam
penyusunan suatu ilmu pengetahuan. Hasilnya adalah untuk menganalisis bentuk
logika dari suatu pernyataan. Pernyataan yang tidak hanya analitis (sebagai
contoh: definisi) atau sintetis (pernyataan yang merupakan bukti dari fakta)
yang digolongkan sebagai nyata secara kognitif (cognitively significant)
atau bermakna.
Semua
pernyataan lain tidak nyata secara kognitif bila: tidak bermakna, bersifat
metafisik, dan tidak ilmiah. Analisis filosofi yang menggunakan pernyataan
seperti itu mungkin sebagai ekspresi sikap emosi, atau sikap umum mengenai
kehidupan, atau nilai moral, tetapi tidak dapat dinyatakan sebagai ilmu pengetahuan.
Untuk
menjalankan program ini, para pengikut logika positivisme membutuhkan kriteria
yang obyektif yang dapat membedakan antara pernyataan sintetis yang tidak
bermakna. Salah satu pemikiran awal untuk menjawabnya adalah mengemukakan
prinsip dapat diverifikasi (verifiability): pernyataan hanya bermakna
bila dapat diverifikasi. Sayangnya, pernyataan dalam bentuk universal (seperti:
semua burung gagak berwarna hitam), yang sering digunakan dalam ilmu
pengetahuan ternyata tidak dapat diverifikasi. Kriteria lainnya adalah dapat
ditolak (falsifiability), sedangkan Ayer berpendapat harus dapat
diverifikasi meskipun lemah, Carnap menambahkan dapat diubah bentuknya (translatability)
ke dalam bahasa empiris dan dapat dikonfirmasi (confirmability). Tetapi,
tidak ada satupun dari kriteria tersebut yang mampu membenarkan dalam
memutuskan suatu persoalan. Dilema lain adalah adanya terminologi teori dalam
pernyataan yang dibuat oleh ilmuwan. Beberapa ilmuwan positivis mengikuti Mach
dalam mendesak untuk menghilangkan kriteria tersebut dalam dunia ilmiah, tetapi
beberapa ilmuwan lain memegang teguh pernyataan tersebut.
Program akhir
dari para ilmuwan positivis adalah menggabungkan tesis dalam ilmu pengetahuan,
yaitu semua ilmu pengetahuan dapat memanfaatkan metode yang sama.
Hahn meninggal
pada tahun 1934 dan Schlick dibunuh pada tahun 1936 oleh muridnya yang gila.
Pada waktu Hitler berkuasa dan akhirnya memerangi para intelektual menjadi
penyebab utama perpecahan dalam kelompok Vienna Circle pada tahun 1930. Logika positivisme
mengalami modifikasi dan akhirnya digantikan selama dua dasa warsa dengan
bentuk yang lebih matang dari pengajaran para positivis yang disebut logika
empirisme (logical empiricism). Dikelompokkan melalui adanya perbedaan
dalam membuat analisis, ahli falsafah yang mempunyai sumbangan pemikiran adalah
Carnap, Ernest Nagel, Carl Hempel, dan Richard Braithwaite.
Ide para
ilmuwan positivis mendapat tantangan yang hebat pada pertengahan abad ke-20.
Kemungkinan tetap diterimanya model hypothetico-deductive dalam struktur
teori dan tesis pengujian tidak langsung tergantung dari kemampuan menjelaskan perbedaan
antara terminologi yang dapat diobservasi (mengacu pada dapat diobservasi secara
langsung sampai fakta tentang atom) dan terminologi yang tidak dapat diobservasi
secara teoritis. Sayangnya dalam dunia ilmiah ada tingkatan observasi dan tidak
ada batasan yang jelas antara terminologi teori yang mengacu pada hal yang
tidak dapat diobservasi dan terminologi bukan teori yang mengacu pada hal yang
dapat diobservasi. Lebih jauh lagi, karena hal yang berhubungan dengan
observasi ini bukan aktivitas yang netral tetapi memerlukan pemilihan data dan
interpretasi, maka ada yang berpendapat (dari kritik yang disampaikan Karl
Popper dan Norwood Hanson) bahwa semua observasi tergantung dari teori.
Berdasarkan konfirmasionisme, kegagalan memecahkan problem dalam induktif dari
Hume dan sejumlah paradoks dalam penggalian pengesahan ilmu pengetahuan maka
ilmuwan berusaha membangun pengesahan secara logis induktif. Bahkan Popper
menantang untuk membuat pernyataan yang layak yang mempunyai probabilitas
induktif yang tinggi. Pada akhirnya, banyak penjelasan dalam bermacam-macam
ilmu pengetahuan tidak dapat memenuhi dua model hukum penjelasan ilmiah
tersebut.
Dalam konteks pendekatan positivistik logis, menurut Kunto
Wibisono (1997), positivism merupakan suatu model dalam pengembangan ilmu
pengetahuan (knowledge) yang di dalam
langkah kerjanya menempuh cara melalui observasi, eksperimentasi, dan komparasi
sebagaimana diterapkan dalam ilmu kealaman, dan model ini dikembangkan dalam
ilmu-ilmu sosial. Positivisme
mempergunakan presisi, verifiabilitas, konfirmasi, dan eksperimentasi dengan
derajat optimal,[11] dengan
sejauh mungkin dapat melakukan prediksi dengan derajat yang optimal pula.
Dengan demikian kebenaran ilmiah dan keberhasilan pendidikan diukur secara positivistik, dalam arti yang
benar dan yang nyata haruslah konkrit, eksak,
akurat, dan memberi kemanfaatan.
Implikasi paham positivisme
dalam pengembangan ilmu pendidikan tidak mengenal ilmu pendidikan secara
utuh, namun yang ada adalah ilmu-ilmu pendidikan seperti : psikologi
pendidikan, sosiologi pendidikan, administrasi pendidikan, dll. Ilmu-ilmu
tersebut merupakan aplikasi dari llmu murni sebagai ilmu dasarnya. Positivisme
merupakan model pendekatan ilmiah kuantitatif dalam keilmuan, para penganutnya
menyebut dirinya berparadigma ilmiah.
Dalam prinsip pendidikan haruslah dapat merangsang
intelektual subjek didik untuk mencerahkan pemikiran yang akhirnya mencapai penerangan
budi (moral light) serta pemahaman
akan kebenaran (understanding of the
truth). Dan ini memang sudah menjadi fitrah manusia yang selalu ingin tahu
dan mencari kebenaran.[12]
Selain itu, masyarakat pendidikan menghendaki agar pengajaran memperhatikan minat,
kebutuhan dan kesiapan anak didik untuk belajar, serta dimaksudkan untuk
mencapai tujuan-tujuan sosial sekolah.[13]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dasar-dasar filsafat positivisme dibangun dikembangkan oleh
Auguste Comte (1798-1857). Ia menyatakan bahwa pengetahuan manusia berkembang
secara evolusi dalam tiga tahap, yaitu teologis, metafisik, dan positif. Positivisme
mendominasi wacana ilmu pengetahuan pada awal abad 20-an dengan menetapkan
criteria-kriteria yang harus dipenuhi oleh manusia maupun alam untuk disebut
sebagai ilmu yang benar. Kriteria adalah eksplanatoris dan prediktif. Demi
terpenuhnya kriteria-kriteria tersebut, maka ilmu-ilmu harus memiliki pandangan
dunia positivistik sebagai berikut : 1) objektif, teori-teori
tentang semesta haruslah bebas nilai; 2) fenomenalisme, ilmu pengetahuan hanya
membecarakan tentang semesta yang yang teramati; 3) reduksionisme semesta di reduksi menjadi fakta-fakta keras
yang dapat diamati; 4) naturalisme, alam semesta adalah objek-objek yang
bergerak secara mekanis.
Dalam konteks pendekatan positivistik logis, positivism
merupakan suatu model dalam pengembangan ilmu pengetahuan (knowledge) yang di dalam langkah kerjanya menempuh cara melalui
observasi, eksperimentasi, dan komparasi sebagaimana diterapkan dalam ilmu
kealaman, dan model ini dikembangkan dalam ilmu-ilmu sosial. Positivisme mempergunakan presisi,
verifiabilitas, konfirmasi, dan eksperimentasi dengan derajat optimal, dengan
sejauh mungkin dapat melakukan prediksi dengan derajat yang optimal pula.
Dengan demikian kebenaran ilmiah dan keberhasilan pendidikan diukur secara positivistik, dalam arti yang
benar dan yang nyata haruslah konkrit, eksak,
akurat, dan memberi kemanfaatan.
B.
Saran-saran
1.
Pendidikan merupakan
proses yang harus ditempuh oleh setiap manusia, oleh karena itu, seyogyanya
positivism dapat diterapkan dalam konsep pendidikan tersebut;
2.
Pendidikan dimulai
sejak anak lahir dan sepanjang hayat (long
life education), seyognyanya konsep-konsep positif empiris yang diutamakan
dalam proses pendidikan tersebut.
DAFTAR
PUSTAKA
…. Calhoun, C. 2002. Dictionary of the Social
Science. Oxforf : Oxford University Press.
…. Hasan Basri. 2009. Filsafat Pendidikan Islam, Cetakan 1. Bandung
: Pustaka Setia.
…. IG.A.K. Wardani. 2009. Perspektif Pendidikan SD, Edisi I, Cetakan
3. Jakarta : Universitas Terbuka.
…. Ihat Hatimah. 2008. Pembelajaran Berwawasan Kemasyarakatan,
Edisi I Cetakan 4. Jakarta : Universitas Terbuka.
…. Qodri Abdillah Azizy. 2000. Pendidikan Islam, Demokratisasi dan
Masyarakat Madani, Cet. 1. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
…. Rahmat Raharjo. 2010. Inovasi Kurikulum Pendidikan Agama Islam,
Cetakan 1. Yogyakarta : Magnum Pustaka.
…. Rahmat Raharjo. 2012. Pengembangan & Inovasi Kurikulum,
Cetakan 1. Yogyakarta : Baituna Publishing.
…. Sudarsono.
1993. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar,
Cetakan 1. Jakarta : Rineka Cipta.
…. Uhar Saputra. 2004. Filsafat Ilmu, Jilid 1. Kuningan : Universitas
Kuningan.
…. Uyoh Sadulloh. 2003. Pengantar
Filsafat Pendidikan. Bandung : Alfabeta.
[1] Drs. Uhar Saputra, M.Pd, Filsafat Ilmu, Jilid 1, (Kuningan :
Universitas Kuningan, 2004), hal. 15.
[2] Dr. H. Rahmat Raharjo,
M.Ag, Pengembangan & Inovasi
Kurikulum, Cetakan 1, (Yogyakarta : Baituna Publishing, 2012), hal. 28.
[3] Dr. H. Rahmat Raharjo,
M.Ag, Inovasi Kurikulum Pendidikan Agama
Islam, Cetakan 1, (Yogyakarta : Magnum Pustaka, 2010), hal. 31.
[5] Calhoun, C, Dictionary of the
Social Science, (Oxforf : Oxford University Press, 2002), hal. 436.
[8] Prof. Dr. IG.A.K. Wardani,
dkk, Perspektif Pendidikan SD, Edisi I,
Cetakan 3, (Jakarta : Universitas Terbuka, 2009), hal. 1.19.
[9] Drs. Hasan Basri, M.Ag, Filsafat Pendidikan Islam, Cetakan 1, (Bandung
: Pustaka Setia, 2009), hal. 9.
[10] Drs. Uhar Saputra, M.Pd, Op. Cit. , hal. 42 – 43.
[11] Uyoh Sadulloh, Pengantar
Filsafat Pendidikan, (Bandung : Alfabeta, 2003), hal. 22.
[12] Dr. H. A. Qodri Abdillah
Azizy, M.A, dkk, Pendidikan Islam,
Demokratisasi dan Masyarakat Madani, Cet. 1, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar,
2000), hal. 65 – 66.
[13] Dra. Ihat Hatimah, M.Pd,
dkk, Pembelajaran Berwawasan
Kemasyarakatan, Edisi I Cetakan 4, (Jakarta : Universitas Terbuka, 2008),
hal. 1.16.