Sabtu, 29 Juni 2013

Pengaruh Positivistik terhadap Dunia Ilmu Pendidikan


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Berfikir dan pengetahuan merupakan dua hal yang menjadi ciri keutamaan manusia, tanpa pengetahuan manusia akan sulit berfikir dan tanpa berfikir pengetahuan lebih lanjut tidak mungkin dapat dicapai, oleh karena itu nampaknya berfikir dan pengetahuan mempunyai hubungan yang sifatnya siklikal.[1] Gerak sirkuler antara berfikir dan pengetahuan akan terus membesar mengingat pengetahuan pada dasarnya bersifat akumulatit, semakin banyak pengetahuan yang dimiliki seseorang semakin rumit aktivitas berfikir, demikian juga semakin rumit aktivitas berfikir semakin kaya akumulasi pengetahuan. Semakin akumulatif pengetahuan manusia semakin rumit, namun semakin memungkinkan untuk melihat pola umum serta mensistimatisirnya dalam suatu kerangka tertentu, sehingga lahirlah pengetahuan ilmiah (ilmu), disamping itu terdapat pula orang-orang yang tidak hanya puas dengan mengetahui, mereka ini mencoba memikirkan hakekat dan kebenaran yang diketahuinya secara radikal dan mendalam, maka lahirlah pengetahuan filsafat, oleh karena itu berfikir dan pengetahuan dilihat dari ciri prosesnya dapat dibagi ke dalam :
1.      Berfikir biasa dan sederhana menghasilkan pengetahuan biasa (pengetahuan eksistensial);
2.      Berfikir sistematis faktual tentang objek tertentu menghasilkan pengetahuan ilmiah (ilmu);
3.      Berfikir radikal tentang hakekat sesuatu menghasilkan pengetahuan filosofis (filsafat).
Semua jenis berfikir dan pengetahuan tersebut di atas mempunyai poisisi dan manfaatnya masing-masing, perbedaan hanyalah bersifat gradual, sebab semuanya tetap merupakan sifat yang inheren dengan manusia. Sifat inheren berfikir dan berpengetahuan pada manusia telah menjadi pendorong bagi upaya-upaya untuk lebih memahami kaidah-kaidah berfikir benar (logika), dan semua ini makin memerlukan keahlian, sehingga makin rumit tingkatan berfikir dan pengetahuan makin sedikit yang mempunyai kemampuan tersebut, namun serendah apapun gradasi berpikir dan berpengetahuan yang  dimiliki seseorang tetap saja mereka bisa menggunakan akalnya untuk berfikir untuk memperoleh pengetahuan, terutama dalam menghadapi masalah-masalah kehidupan, sehingga manusia dapat mempertahankan hidupnya (pengetahuan macam ini disebut pengetahuan eksistensial).
Berpengetahuan merupakan syarat mutlak bagi manusia untuk mempertahankan hidupnya, dan untuk itu dalam diri manusia telah terdapat akal yang dapat dipergunakan berfikir untuk lebih mendalami dan memperluas pengetahuan. Paling tidak terdapat dua alasan mengapa manusia memerlukan pengetahuan/ilmu yaitu : 1) manusia tidak bisa hidup dalam alam yang belum terolah, sementara binatang siap hidup di alam asli dengan berbagai kemampuan bawaannya; 2) manusia merupakan makhluk yang selalu bertanya baik implisit maupun eksplisit dan kemampuan berfikir serta pengetahuan merupakan sarana untuk menjawabnya. Dengan demikian berfikir dan pengetahuan bagi manusia merupakan instrumen penting untuk mengatasi berbagai persoalah yang dihadapi dalam hidupnya di dunia, tanpa itu mungkin yang akan terlihat hanya kemusnahan manusia.
Filsafat dipandang sebagai bagian dari ilmu pendidikan yang merupakan perangkat nilai-nilai yang melandasi dan membimbing ke arah pencapaian tujuan pendidikan.[2] Filsafat merupakan suatu sistem yang dapat menentukan sikap hidup, dari filsafat yang dianut tergambar nilai-nilai yang dipegang, juga harapan-harapan yang didambakan.[3] Salah satu aliran filsafat yang terbentuk adalah positivisme.
Positivisme yang dirintis oleh Augeste Comte (1798 – 1857) menganggap pengetahuan mengenai fakta objektif sebagai pengetahuan yang sahih. Filsafat positivisme Comte mengalami perkembangan dramatis dengan lahirnya kaum positivisme logis, khususnya di dalam lingkaran Wina (Vienna Circle). Kaum positivisme logis memusatkan diri pada bahasa dan makna. Bagi kaum positivisme logis, semua metafisika secara literal adalah “nonsense“, tanpa makna. Salah seoranag tokoh terkemuka yang tergolong positivisme logis pada lingkaran Wina adalah Rudolf Carnap (1891 – 1970).
Beliau menyatakan bahwa pengetahuan manusia berkembang secara evolusi dalam tiga tahap, yaitu teologis, metafisik, dan positif. Pengetahuan positif merupakan puncak pengetahuan manusia yang disebutnya sebagai pengetahuan ilmiah. Sesuai dengan pandangan tersebut kebenaran metafisik yang diperoleh dalam metafisika ditolak, karena kebenarannya sulit dibuktikan dalam kenyataan. Auguste Comte mencoba mengembangkan Positivisme ke dalam agama atau sebagai pengganti agama. Hal ini terbukti dengan didirikannya Positive Societies di berbagai tempat yang memuja kemanusiaan sebagai ganti memuja Tuhan. Perkembangan selanjutnya dari aliran ini melahirkan aliran yang bertumpu kepada isi dan fakta-fakta yang bersifat materi, yang dikenal dengan Materialisme.
Terminologi positivisme dicetuskan pada pertengahan abad 19 oleh salah satu pendiri ilmu sosiologi yaitu Auguste Comte. Comte percaya bahwa dalam alam pikiran manusia melewati tiga tahapan historis yaitu teologi, metafisik, dan ilmiah. Dalam tahap teologi, fenomena alam dan sosial dapat dijelaskan berdasarkan kekuatan spiritual. Pada tahap metafisik manusia akan mencari penyebab akhir (ultimate cause) dari setiap fenomena yang terjadi. Dalam tahapan ilmiah usaha untuk menjelaskan fenomena akan ditinggalkan dan ilmuwan hanya akan mencari korelasi antar fenomena. Pengembangan penting dalam paham positivisme klasik dilakukan oleh ahli ilmu alam Ernst Mach yang mengusulkan pendekatan teori secara fiksi (fictionalist). Teori ilmiah bermanfaat sebagai alat untuk menghafal, tetapi perkembangan ilmu hanya terjadi bila fiksi yang bermanfaat digantikan dengan pernyataan yang mengandung hal yang dapat diobservasi. Meskipun Comte dan Mach mempunyai pengaruh yang besar dalam penulisan ilmu ekonomi (Comte mempengaruhi pemikiran J.S. Mill dan Pareto sedangkan pandangan Mach diteruskan oleh Samuelson dan Machlup), pengaruh yang paling utama adalah ide dalam pembentukan filosofi ilmiah pada abad 20 yang disebut logika positivisme (logical positivism).
Pengaruh positivisme dalam filosofi ilmiah menurun tajam mulai tahun 1960 sampai tahuan 1970. Tidak ada penerus yang dapat mengisi kekurangan dalam filosofi positivisme. Beberapa bentuk ajaran Popper nampaknya mampu untuk mengisi kekurangan ini. Karl Popper yang mengkritik induktivisme dan konfirmationisme, bapak dari falsifikasionisme dan rasionalisme kritis ini mempunyai cukup banyak pandangan dan pengaruh pada ahli filsafat generasi berikutnya. Mulai dari J. Agassi sampai Elie Zahar, dan termasuk beberapa pemikir seperti W.W. Bartley, P.K. Feyerabend, Noretta, Koertge, Imre Lakatos dan J.W.N. Watkins yang semua ahli filsafat tersebut mempunyai kritik atau pendapat yang dapat membuat pemikiran Popper terus berkembang. Pemikir lainnya adalah Thomas Kuhn yang telah berjasa dalam pengembangan ilmu pengetahuan normal dan revolusioner, paradigma dan matriks disiplin, serta pengembangan dalam analisis sosiologi yang menitikberatkan pada norma dan nilai ilmiah. Versi radikal dari pendekatan Kuhn adalah dalam ilmu sosiologi yang sekarang dikembangkan oleh grup sarjana dari Universitas Edinburgh, termasuk Barry Barnes dan David Bloor. Grup lain yang turut mengembangkan adalah Joseph Sneed dan Wolfgang Stegmuller dari sekolah strukturalis serta Ricahard Rorty dalam pengembangan pragmatis baru. Sampai saat ini belum diketahui secara pasti apakah pengembangan positivisme akan menjadi satu doktrin atau pandangan lain yang lebih sederhana dalam dunia ilmiah.
B.     Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan-permasalahan sebagai berikut :
1.      Bagaimana paradigma positivisme kaitannya dengan ilmu pengetahuan?
2.      Bagaimana pengaruh positivisme terhadap dunia ilmu pendidikan?


C.    Tujuan Pembahasan
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan pembahasan dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Untuk mengetahui paradigma positivisme kaitannya dengan ilmu pengetahuan;
2.      Untuk mengetahui pengaruh positivisme terhadap dunia ilmu pendidikan.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Paradigma Positivisme
Orang yang pertama menggunakan istilah sosiologi adalah August Comte (1798-1857). Beliau mengatakan ada tiga tingkatan intelektual yang harus dilalui masyarakat, ilmu pengetahuan, individu atau bahkan pemikiran masyarakat dan dunia sepanjang sejarahnya. Pertama, tahap teologis yang menjadi teologis yang menjadi menerangkan segala sesuatu, bukanlah para dewa. Dengan demikian pandangan terhadap ciptaan tuhan  mengalami degradasi kekuasaan dihadapan manusia, Ketiga, pada tahun 1800 dunia memasuki tahap positivistikyang ditandai oleh keyakinan terhadap sains.
Dasar-dasar filsafat ini dibangun oleh Saint Simon dan dikembangkan oleh Auguste Comte (1798-1857). Ia menyatakan bahwa pengetahuan manusia berkembang secara evolusi dalam tiga tahap, yaitu teologis, metafisik, dan positif. Pengetahuan positif merupakan puncak pengetahuan manusia yang disebutnya sebagai pengetahuan ilmiah. Sesuai dengan pandangan tersebut kebenaran metafisik yang diperoleh dalam metafisika ditolak, karena kebenarannya sulit dibuktikan dalam kenyataan. Auguste Comte mencoba mengembangkan Positivisme ke dalam agama atau sebagai pengganti agama. Hal ini terbukti dengan didirikannya Positive Societies di berbagai tempat yang memuja kemanusiaan sebagai ganti memuja Tuhan. Perkembangan selanjutnya dari aliran ini melahirkan aliran yang bertumpu kepada isi dan fakta-fakta yang bersifat materi, yang dikenal dengan Materialisme.
Menurutnya, untuk menciptakan masyarakat baru yang serba teratur, maka perlu adanya perbaikan jiwa atau budi terlebih dahulu. Menurut Comte, pemikiran, jiwa atau budi manusia berkembang dalam tiga tahap atau zaman: zaman teologis, zaman ontologis atau metafisis, dan zaman positivistis.[4]
Masa Comte haruslah mengabdikan ilmu yang disebutnya positif. Disamping matematika, fisika, biologi dalam ilmu ke masyarakatan pun semangat positif itu akan dapat kita alami dan daripada itu baiklah orang yang mengatakan bahwa ia tidak tahu saja.
4

Dengan demikian pada prinsipnya zaman positif atau zaman ketika orang tahu, bahwa tiada gunanya untuk berusaha mencapai pengenalan atau pengetahuan yang mutlak, baik pengenalan teologis maupun metafisis. Ia tidak lagi mau melacak asal dan tujuan terakhir seluruh alam semesta ini, atau melacak hakikat yang terjadi dari segala sesuatu yang berada dibelakang segala sesuatu. Sekarang orang berusaha menemukan hukum-hukum kesamaan dan urutan yang terdapat pada fakta-fakta yang telah dikenal atau yang disajikan kepadanya yaitu dengan pengamatan dengan memakai akalnya. Pada zaman ini pengertian menerangkan berarti fakta-fakta yang khusus dihubungkan dengan suatu fakta umum. Tujuan tertinggi dari zaman ini akan tercapai bilamana segala gejala telah dapat disusun dan diatur dibawah satu fakta yang umum saja seperti, gaya berat.

Paham ini tidak hanya besar pengaruhnya dibidang filsafat, akan tetapi juga besar pengaruhnya dibidang ilmu-ilmu yang lain. Dalam hal ini terbukti Comte menjadi besar pengaruhnya dalam sosiologi. Pengaruh positivisme tampak pula dalam ilmu jiwa, logika, sejarah, dan kesusilaan.
Nama positivisme diintroduksikan Aguste Comte dari kata positif yang artinya faktual. Menurut positivisme pengetahuan kita tidak boleh melebihi fakta-fakta. Positivisme menolak cabang filsafat seperti metafisika. Karena menanyakan hakikat benda-benda atau penyebab yang sebenarnya bagi positivisme tidak mempunyai arti apapun juga. Ilmu pengetahuan juga filsafat hanya menyelidiki fakta-fakta dan hubungannya. Tugas khusus filsafat antara mengkoordinasi ilmu-ilmu lain dan memperlihatkan kesatuan antara berbagai macam ilmu. Maksud positivisme sama dengan empirisme, yang menerima pengalaman bathiniah atau subjektif sebagai sumber pengetahuan.
Positivisme adalah doktrin filosofi dan ilmu pengetahuan sosial yang menempatkan peran sentral pengalaman dan bukti empiris sebagai basis dari ilmu pengetahuan dan penelitian. Terminologi positivisme dikenalkan oleh Auguste Comte untuk menolak doktrin nilai subyektif, digantikan oleh fakta yang bisa diamati serta penerapan metode ini untuk membangun ilmu pengetahuan yang diabdikan untuk memperbaiki kehidupan manusia.
Salah satu bagian dari tradisi positivisme adalah sebuah konsep yang disebut dengan positivisme logis. Positivisme ini dikembangkan oleh para filosof yang menamakan dirinya ‘Lingkaran Vienna’[5] pada awal abad ke duapuluh. Sebagai salah satu bagian dari positivisme, positivisme logis ingin membangun kepastian ilmu pengetahuan yang disandarkan lebih pada deduksi logis daripada induksi empiris. Kerangka pengembangan ilmu menurut tradisi positivisme telah memunculkan perdebatan tentang apakah ilmu pengetahuan sosial memang harus “diilmiahkan”. Kritik atas positivism berkaitan dengan penggunaan fakta-fakta yang kaku dalam penelitian sosial. Menurut para oponen positivism, penelitian dan pengembangan ilmu atas realitas sosial dan kebudayaan manusia tidak dapat begitu saja direduksi kedalam kuantifikasi angka yang bisa diverikasi karena realitas sosial sejatinya menyodorkan nilai-nilai yang bersifat kualitatif.[6] Menjawab kritik ini, kaum positivis mengatakan bahwa metode kualitatif yang digunakan dalam penelitian sosial tidak menemukan ketepatan karena sulitnya untuk di verifikasi secara empiris.
Tokoh-tokoh yang paling berpengaruh dalam mengembangkan tradisi positivisme adalah Thomas Kuhn, Paul K. Fyerabend, W.V.O. Quine, dan filosof lainnya. Pikiran-pikiran para tokoh ini membuka jalan bagi penggunaan berbagai metodologi dalam membangun pengetahuan dari mulai studi etnografi sampai penggunaan analisa statistik.
Pandangan empirisme semakin kuat pengaruhnya dalam cabang ilmu pengetahuan setelah munculnya pandangan August Comte (1798-1857) tentang Positivisme. Salah satu buah pikirannya yang sangat penting dan berpengaruh adalah tentang tiga tahapan/tingkatan cara berpikir manusia dalam berhadapan dengan alam semesta yaitu : tingkatan teologi, tingkatan metafisik, dan tingkatan positif.[7]
Tingkatan Teologi (Etat Theologique). Pada tingkatan ini manusia belum bisa memahami  hal-hal yang berkaitan dengan sebab akibat. Segala kejadian dialam semesta merupakan akibat dari suatu perbuatan Tuhan dan manusia hanya bersifat pasrah, dan yang dapat dilakukan adalah memohon pada Tuhan agar dijauhkan dari berbagai bencana. Tahapan ini terdiri dari tiga tahapan lagi yang berevolusi yakni dari tahap animisme, tahap politeisme, sampai dengan tahap monoteisme.
Tingkatan Metafisik (Etat Metaphisique). Pada dasarnya tingkatan ini merupakan suatu variasi dari cara berfikir teologis, dimana Tuhan atau Dewa-dewa diganti dengan kekuatan-kekuatan abstrak misalnya dengan istilah kekuatan alam. Dalam tahapan ini manusia mulai menemukan  keberanian dan merasa bahwa kekuatan yang menimbulkan bencana dapat dicegah dengan memberikan berbagai sajian-sajian sebagai penolak bala/bencana.
Tingkatan Positif (Etat Positive). Pada tahapan ini manusia sudah menemukan pengetahuan yang cukup untuk menguasai alam. Jika pada tahapan pertama manusia selalu dihinggapi rasa khawatir berhadapan dengan alam semesta, pada tahap kedua manusia mencoba mempengaruhi kekuatan yang mengatur alam semesta, maka pada tahapan positif manusia lebih percaya diri, dengan ditemukannya hukum-hukum alam, dengan bekal  itu manusia mampu menundukan/mengatur (pernyataan ini mengindikasikan adanya pemisahan antara subyek yang mengetahui dengan obyek yang diketahui)  alam serta memanfaatkannya untuk kepentingan manusia, tahapan ini merupakan tahapan dimana manusia dalam hidupnya lebih mengandalkan pada ilmu pengetahuan.
Dengan memperhatikan tahapan-tahapan seperti dikemukakan di atas nampak bahwa istilah positivisme mengacu pada tahapan ketiga (tahapan positif/pengetahuan positif) dari pemikiran Comte. Tahapan positif merupakan tahapan tertinggi, ini berarti  dua tahapan sebelumnya merupakan tahapan yang rendah dan primitif, oleh karena itu filsafat Positivisme merupakan filsafat yang anti metafisik, hanya fakta-fakta saja yang dapat diterima. Segala sesuatu yang bukan fakta atau gejala (fenomin) tidak mempunyai arti, oleh karena itu yang penting dan punya arti hanya satu yaitu mengetahui (fakta/gejala) agar siap bertindak (savoir pour prevoir).
Hukum dalam 3 tahap ini berlaku dibidang ilmu pengetahuan sendiri. Segala ilmu pengetahuan semula dikuasai oleh pengertian-pengertian teologis, sesudah itu dikeruhkan oleh pemikiran metafisis, dan akhirnya tiba dizaman hukum-hukum positif yang cerah. Pengaturan ilmu pengetahuan yang berarti harus disesuaikan dengan pembagian kawasan gejala-gejala atau penampakan-penampakan yang dipelajari ilmu itu.
Manusia harus menyelidiki dan mengkaji berbagai gejala yang terjadi beserta hubungan-hubungannya diantara gejala-gejala tersebut agar dapat meramalkan apa yang akan terjadi, Comte menyebut hubungan-hubungan tersebut dengan konsep-konsep dan hukum-hukum yang bersifat positif dalam arti berguna untuk diketahui karena benar-benar nyata bukan bersifat spekulasi seperti dalam metafisika. 
B.     Pengaruh Positivistik bagi Dunia Ilmu Pendidikan
Pandangan filosofis merupakan cara melihat pendidikan dari hakikat pendidikan dalam kehidupan manusia.[8] Selain itu, filsafat dapat diartikan juga sebagai pola pikir dengan ciri-ciri tertentu, yakni kritis, sistematis, logis, kontemplatif, radikal dan spekulatif.[9]
Sementara itu, pengaruh positivisme yang sangat besar dalam zaman modern sampai sekarang ini, telah mengundang para pemikir untuk mempertanyakannya, kelahiran post modernisme yang narasi awalnya dikemukakan oleh Daniel Bell dalam bukunya The cultural contradiction of capitalism, yang salah satu pokok fikirannya adalah bahwa etika kapitalisme yang menekankan kerja keras, individualitas, dan prestasi telah berubah menjadi hedonis konsumeristis.[10]
Positivisme merupakan salah satu akar utama dari filsafat modern selain analisis linguistik. Para postivitis Perancis abad ke-19, di bawah kepemimpinan Auguste Comte, berpegang bahwa pengetahuan (knowledge) harus didasarkan pada persepsi rasa (sense perception) dan investigasi ilmu pengetahuan (science) yang objektif, oleh karena itu, positivisme telah membatasi pengetahuan kepada statements  fakta yang dapat diobservasi dan hal-hal yang berkaitan dengannya, dan menolak pandangan dunia yang bersifat metafisik atau pandangan dunia yang berisi unsur-unsur yang tidak dapat diverifikasi secara empiris.  Sikap negatif terhadap setiap realitas di luar rasa (sense) manusia telah mempengaruhi banyak bidang-bidang pemikiran modern, termasuk pragmatisme, behaviorisme, naturalisme saintifik, dan gerakan analitik tersebut. Positivisme menjadi tempat berkumpul bagi kelompok ilmuwan abad 20 yang dikenal dengan nama ”Perkumpulan Vienna (Vienna Circle)”  . Kelompok ini terdiri dari ilmuwan ahli matematika, ahli logika simbol (symbolic logician) yang tertarik pada filsafat. Perkumpulan Vienna tersebut melihat filsafat sebagai logika sains dan bentuk pemikiran mereka yang kemudian dikenal sebagai positivisme logis. Tujuan utama kelompok ini adalah  untuk menemukan suatu sistem terminologis dan konseptual yang bersifat inklusif tapi umum (berlaku) terhadap semua sains. Perlu dicatat bahwa filsafat analitik merupakan istilah payung (umbrella term) yang mencakup beberapa pendirian yang agak berbeda yang biasanya mengacu kepada positvisme logis, empirisme logis, analisis linguistik, atomisme logis, dan analisis oxford.
Pada dasarnya logical positivisme berfikir bahwa tidak ada dalil yang dapat diterima dengan penuh arti kecuali jika dapat diverifikasi dengan alasan-alasan formal  (yaitu : logika dan matematika) atau diverifikasi pada tataran empiris, atau data yang nyata.
Model analitik positivistik logis dikenal dengan neo positivism dikembangkan oleh Bertrand Russell yang berakar pada dan meneruskan filsafat positivisme dari Comte yang merupakan peletak dasar pendekatan kuantitatif dalam pengembangan ilmu (science), dengan meletakkan matematika sebagai dasar bagi semua cabang ilmu.
 Positivisme memiliki pengaruh yang kuat pada metode ilmiah. Konsep-konsep positivisme menyumbangkan pendekatan baru dalam penemuan kebenaran ilmiah yang melahirkan revolusi paradigm. Prinsip dan prosedur dalam ilmu alam dan ilmu sosial,yang berasal dari asumsi John Stuart Mill (1843), terus hidup sampai sekarang sebagai paradigm metodologis. Mill tidak membedakan metodologi ilmu social dan ilmu kealaman.
August Comte ( 1798-1857 ) positivisme mendominasi wacana ilmu pengetahuan pada awal abad 20-an dengan menetapkan criteria-kriteria yang harus dipenuhi oleh manusia maupun alam untuk disebut sebagai ilmu yang benar. Kriteria adalah eksplanatoris dan prediktif. Demi terpenuhnya kriteria-kriteria tersebut, maka ilmu-ilmu harus memiliki pandangan dunia positivistic sebagai berikut : 1) objektif, teori-teori tentang semesta haruslah bebas nilai; 2) fenomenalisme, ilmu pengetahuan hanya membicarakan tentang semesta yang yang teramati; 3) reduksionisme  semesta di reduksi menjadi fakta-fakta keras yang dapat diamati; 4) naturalisme, alam semesta adalah objek-objek yang bergerak secara mekanis seperti bekerjanya jam.
Pengajaran utama dalam logika positivisme dikembangkan pada tahun 1920 oleh Moritz Schlich, Herbert Feigl, Kurt Gödel, Hans Hahn, Otto Neurath, Friedrich Waismann, Rudolf Carnap and kelompok lain yang sering disebut Vienna Circle.
Logika positivisme menempati posisi sebagai filosofi empiris yang radikal, dan para pendirinya percaya bahwa hal ini merupakan awal babak baru dalam penyelidikan filosofi. Tujuan dari seluruh analisis filosofi adalah analisis logika dari ilmu yang dinyatakan sebagai positif, atau empiris, yang merupakan label dari logika positivisme.
Tugas pertama bagi logika positivisme adalah mendefinisikan apa yang menjadi tuntutan dalam penyusunan suatu ilmu pengetahuan. Hasilnya adalah untuk menganalisis bentuk logika dari suatu pernyataan. Pernyataan yang tidak hanya analitis (sebagai contoh: definisi) atau sintetis (pernyataan yang merupakan bukti dari fakta) yang digolongkan sebagai nyata secara kognitif (cognitively significant) atau bermakna.
Semua pernyataan lain tidak nyata secara kognitif bila: tidak bermakna, bersifat metafisik, dan tidak ilmiah. Analisis filosofi yang menggunakan pernyataan seperti itu mungkin sebagai ekspresi sikap emosi, atau sikap umum mengenai kehidupan, atau nilai moral, tetapi tidak dapat dinyatakan sebagai ilmu pengetahuan.
Untuk menjalankan program ini, para pengikut logika positivisme membutuhkan kriteria yang obyektif yang dapat membedakan antara pernyataan sintetis yang tidak bermakna. Salah satu pemikiran awal untuk menjawabnya adalah mengemukakan prinsip dapat diverifikasi (verifiability): pernyataan hanya bermakna bila dapat diverifikasi. Sayangnya, pernyataan dalam bentuk universal (seperti: semua burung gagak berwarna hitam), yang sering digunakan dalam ilmu pengetahuan ternyata tidak dapat diverifikasi. Kriteria lainnya adalah dapat ditolak (falsifiability), sedangkan Ayer berpendapat harus dapat diverifikasi meskipun lemah, Carnap menambahkan dapat diubah bentuknya (translatability) ke dalam bahasa empiris dan dapat dikonfirmasi (confirmability). Tetapi, tidak ada satupun dari kriteria tersebut yang mampu membenarkan dalam memutuskan suatu persoalan. Dilema lain adalah adanya terminologi teori dalam pernyataan yang dibuat oleh ilmuwan. Beberapa ilmuwan positivis mengikuti Mach dalam mendesak untuk menghilangkan kriteria tersebut dalam dunia ilmiah, tetapi beberapa ilmuwan lain memegang teguh pernyataan tersebut.
Program akhir dari para ilmuwan positivis adalah menggabungkan tesis dalam ilmu pengetahuan, yaitu semua ilmu pengetahuan dapat memanfaatkan metode yang sama.
Hahn meninggal pada tahun 1934 dan Schlick dibunuh pada tahun 1936 oleh muridnya yang gila. Pada waktu Hitler berkuasa dan akhirnya memerangi para intelektual menjadi penyebab utama perpecahan dalam kelompok Vienna Circle pada tahun 1930. Logika positivisme mengalami modifikasi dan akhirnya digantikan selama dua dasa warsa dengan bentuk yang lebih matang dari pengajaran para positivis yang disebut logika empirisme (logical empiricism). Dikelompokkan melalui adanya perbedaan dalam membuat analisis, ahli falsafah yang mempunyai sumbangan pemikiran adalah Carnap, Ernest Nagel, Carl Hempel, dan Richard Braithwaite.
Ide para ilmuwan positivis mendapat tantangan yang hebat pada pertengahan abad ke-20. Kemungkinan tetap diterimanya model hypothetico-deductive dalam struktur teori dan tesis pengujian tidak langsung tergantung dari kemampuan menjelaskan perbedaan antara terminologi yang dapat diobservasi (mengacu pada dapat diobservasi secara langsung sampai fakta tentang atom) dan terminologi yang tidak dapat diobservasi secara teoritis. Sayangnya dalam dunia ilmiah ada tingkatan observasi dan tidak ada batasan yang jelas antara terminologi teori yang mengacu pada hal yang tidak dapat diobservasi dan terminologi bukan teori yang mengacu pada hal yang dapat diobservasi. Lebih jauh lagi, karena hal yang berhubungan dengan observasi ini bukan aktivitas yang netral tetapi memerlukan pemilihan data dan interpretasi, maka ada yang berpendapat (dari kritik yang disampaikan Karl Popper dan Norwood Hanson) bahwa semua observasi tergantung dari teori. Berdasarkan konfirmasionisme, kegagalan memecahkan problem dalam induktif dari Hume dan sejumlah paradoks dalam penggalian pengesahan ilmu pengetahuan maka ilmuwan berusaha membangun pengesahan secara logis induktif. Bahkan Popper menantang untuk membuat pernyataan yang layak yang mempunyai probabilitas induktif yang tinggi. Pada akhirnya, banyak penjelasan dalam bermacam-macam ilmu pengetahuan tidak dapat memenuhi dua model hukum penjelasan ilmiah tersebut.
Dalam konteks pendekatan positivistik logis, menurut Kunto Wibisono (1997), positivism merupakan suatu model dalam pengembangan ilmu pengetahuan (knowledge) yang di dalam langkah kerjanya menempuh cara melalui observasi, eksperimentasi, dan komparasi sebagaimana diterapkan dalam ilmu kealaman, dan model ini dikembangkan dalam ilmu-ilmu sosial.  Positivisme mempergunakan presisi, verifiabilitas, konfirmasi, dan eksperimentasi dengan derajat optimal,[11] dengan sejauh mungkin dapat melakukan prediksi dengan derajat yang optimal pula. Dengan demikian kebenaran ilmiah dan keberhasilan pendidikan  diukur secara positivistik, dalam arti yang benar  dan yang nyata haruslah konkrit, eksak, akurat, dan memberi kemanfaatan.
Implikasi paham positivisme  dalam pengembangan ilmu pendidikan tidak mengenal ilmu pendidikan secara utuh, namun yang ada adalah ilmu-ilmu pendidikan seperti : psikologi pendidikan, sosiologi pendidikan, administrasi pendidikan, dll. Ilmu-ilmu tersebut merupakan aplikasi dari llmu murni sebagai ilmu dasarnya. Positivisme merupakan model pendekatan ilmiah kuantitatif dalam keilmuan, para penganutnya menyebut dirinya berparadigma ilmiah. 
Dalam prinsip pendidikan haruslah dapat merangsang intelektual subjek didik untuk mencerahkan pemikiran yang akhirnya mencapai penerangan budi (moral light) serta pemahaman akan kebenaran (understanding of the truth). Dan ini memang sudah menjadi fitrah manusia yang selalu ingin tahu dan mencari kebenaran.[12] Selain itu, masyarakat pendidikan menghendaki agar pengajaran memperhatikan minat, kebutuhan dan kesiapan anak didik untuk belajar, serta dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan sosial sekolah.[13]


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dasar-dasar filsafat positivisme dibangun dikembangkan oleh Auguste Comte (1798-1857). Ia menyatakan bahwa pengetahuan manusia berkembang secara evolusi dalam tiga tahap, yaitu teologis, metafisik, dan positif. Positivisme mendominasi wacana ilmu pengetahuan pada awal abad 20-an dengan menetapkan criteria-kriteria yang harus dipenuhi oleh manusia maupun alam untuk disebut sebagai ilmu yang benar. Kriteria adalah eksplanatoris dan prediktif. Demi terpenuhnya kriteria-kriteria tersebut, maka ilmu-ilmu harus memiliki pandangan dunia positivistik sebagai berikut : 1) objektif, teori-teori tentang semesta haruslah bebas nilai; 2) fenomenalisme, ilmu pengetahuan hanya membecarakan tentang semesta yang yang teramati; 3) reduksionisme  semesta di reduksi menjadi fakta-fakta keras yang dapat diamati; 4) naturalisme, alam semesta adalah objek-objek yang bergerak secara mekanis.
Dalam konteks pendekatan positivistik logis, positivism merupakan suatu model dalam pengembangan ilmu pengetahuan (knowledge) yang di dalam langkah kerjanya menempuh cara melalui observasi, eksperimentasi, dan komparasi sebagaimana diterapkan dalam ilmu kealaman, dan model ini dikembangkan dalam ilmu-ilmu sosial.  Positivisme mempergunakan presisi, verifiabilitas, konfirmasi, dan eksperimentasi dengan derajat optimal, dengan sejauh mungkin dapat melakukan prediksi dengan derajat yang optimal pula. Dengan demikian kebenaran ilmiah dan keberhasilan pendidikan  diukur secara positivistik, dalam arti yang benar  dan yang nyata haruslah konkrit, eksak, akurat, dan memberi kemanfaatan.
B.     Saran-saran
1.      Pendidikan merupakan proses yang harus ditempuh oleh setiap manusia, oleh karena itu, seyogyanya positivism dapat diterapkan dalam konsep pendidikan tersebut;
2.      Pendidikan dimulai sejak anak lahir dan sepanjang hayat (long life education), seyognyanya konsep-konsep positif empiris yang diutamakan dalam proses pendidikan tersebut.



DAFTAR PUSTAKA
…. Calhoun, C. 2002. Dictionary of the Social Science. Oxforf : Oxford University Press.
…. Hasan Basri. 2009. Filsafat Pendidikan Islam, Cetakan 1. Bandung : Pustaka Setia.
…. IG.A.K. Wardani. 2009. Perspektif Pendidikan SD, Edisi I, Cetakan 3. Jakarta : Universitas Terbuka.
…. Ihat Hatimah. 2008. Pembelajaran Berwawasan Kemasyarakatan, Edisi I Cetakan 4. Jakarta : Universitas Terbuka.
…. Qodri Abdillah Azizy. 2000. Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani, Cet. 1. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
…. Rahmat Raharjo. 2010. Inovasi Kurikulum Pendidikan Agama Islam, Cetakan 1. Yogyakarta : Magnum Pustaka.
…. Rahmat Raharjo. 2012. Pengembangan & Inovasi Kurikulum, Cetakan 1. Yogyakarta : Baituna Publishing.
…. Sudarsono. 1993. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, Cetakan 1. Jakarta : Rineka Cipta.
…. Uhar Saputra. 2004. Filsafat Ilmu, Jilid 1. Kuningan : Universitas Kuningan.
…. Uyoh Sadulloh. 2003.  Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung : Alfabeta.


[1] Drs. Uhar Saputra, M.Pd, Filsafat Ilmu, Jilid 1, (Kuningan : Universitas Kuningan, 2004), hal. 15.
[2] Dr. H. Rahmat Raharjo, M.Ag, Pengembangan & Inovasi Kurikulum, Cetakan 1, (Yogyakarta : Baituna Publishing, 2012), hal. 28.
[3] Dr. H. Rahmat Raharjo, M.Ag, Inovasi Kurikulum Pendidikan Agama Islam, Cetakan 1, (Yogyakarta : Magnum Pustaka, 2010), hal. 31.
[4] Sudarsono, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, Cetakan 1, (Jakarta : Rineka Cipta, 1993), 
hal. 332

[5] Calhoun, C, Dictionary of the Social Science, (Oxforf : Oxford University Press, 2002), hal. 436.
[6] Ibid., hal. 437.
[7] Drs. Uhar Saputra, M.Pd, Op. Cit.,  hal. 41.
[8] Prof. Dr. IG.A.K. Wardani, dkk, Perspektif Pendidikan SD, Edisi I, Cetakan 3, (Jakarta : Universitas Terbuka, 2009), hal. 1.19.
[9] Drs. Hasan Basri, M.Ag, Filsafat Pendidikan Islam, Cetakan 1, (Bandung : Pustaka Setia, 2009), hal. 9.
[10] Drs. Uhar Saputra, M.Pd, Op. Cit. , hal. 42 – 43.
[11] Uyoh Sadulloh,  Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung : Alfabeta, 2003), hal. 22.
[12] Dr. H. A. Qodri Abdillah Azizy, M.A, dkk, Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani, Cet. 1, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000), hal. 65 – 66.
[13] Dra. Ihat Hatimah, M.Pd, dkk, Pembelajaran Berwawasan Kemasyarakatan, Edisi I Cetakan 4, (Jakarta : Universitas Terbuka, 2008), hal. 1.16.

1 komentar:

  1. terima kasih mas atas postingannya, sangat membantu lanjutkan lagi untuk share banyak ilmu

    BalasHapus

Silakan tulis komentar Anda