Rabu, 15 Juni 2011

Peranan Unsur Sosial Budaya dalam Pengajaran BIPA


Peranan Unsur Sosial Budaya dalam Pengajaran BIPA

Mustakim
Pusat Bahasa Jakarta

1.  Pengantar

Bahasa pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial budaya masyarakat penuturnya karena selain merupakan fenomena sosial, bahasa juga merupakan fenomena budaya.  Sebagai fenomena sosial, bahasa merupakan suatu bentuk perilaku sosial yang digunakan sebagai sarana komunikasi dengan melibatkan sekurang-kurangnya dua orang peserta. Oleh karena itu, berbagai faktor sosial yang berlaku dalam komunikasi, seperti hubungan peran di antara peserta komunikasi, tempat komunikasi berlangsung, tujuan komunikasi, situasi komunikasi, status sosial, pendidikan, usia, dan jenis kelamin peserta komunikasi, juga berpengaruh dalam penggunaan bahasa.
Sementara itu, sebagai fenomena budaya, bahasa selain merupakan salah satu unsur budaya, juga merupakan sarana untuk mengekspresikan nilai-nilai budaya masyarakat penuturnya. Atas dasar itu, pemahaman terhadap unsur-unsur budaya suatu masyarakat--di samping terhadap berbagai unsur sosial yang telah disebutkan di atas--merupakan hal yang sangat penting dalam mempelajari suatu bahasa. Hal yang sama berlaku pula bagi bahasa Indonesia. Oleh karena itu, mempelajari bahasa Indonesia--lebih-lebih lagi bagi para penutur asing--berarti pula mempelajari dan menghayati perilaku dan tata nilai sosial budaya yang berlaku dalam masyarakat Indonesia.
Kenyataan tersebut mengisyaratkan bahwa dalam pengajaran bahasa, sudah semestinya pengajar tidak terjebak pada pengutamaan materi yang berkenaan dengan aspek-aspek kebahasaan semata, tanpa melibatkan berbagai aspek sosial budaya yang melatari penggunaan bahasa. Dalam hal ini, jika pengajaran bahasa itu hanya dititikberatkan pada penguasaan aspek-aspek kebahasaan semata, hasilnya tentu hanya akan melahirkan siswa yang mampu menguasai materi, tetapi tidak mampu berkomunikasi dalam situasi yang sebenarnya. Pengajaran bahasa yang demikian tentu tidak dapat dikatakan berhasil, lebih-lebih jika diukur dengan pendekatan komunikatif. Dengan perkataan lain, kemampuan berkomunikasi secara baik dan benar itu mensyaratkan adanya penguasaan terhadap aspek-aspek kebahasaan dan juga pengetahuan terhadap aspek-aspek sosial budaya yang menjadi konteks penggunaan bahasa.
Sayangnya, sejauh ini belum diketahui secara pasti sejauh mana pengetahuan tentang aspek-aspek sosial budaya itu diterapkan di dalam buku-buku ajar BIPA. Kecuali itu, juga belum diketahui unsur-unsur sosial budaya apa yang perlu diajarkan pada peserta BIPA. Padahal, pengetahuan tentang berbagai aspek sosial budaya itu sangat penting bagi para pembelajar BIPA. Untuk melengkapi pengetahuan itulah, makalah ini akan memaparkan hasil penelitian terhadap sejumlah buku BIPA, baik yang digunakan di dalam maupun di luar negeri. Tujuannya adalah untuk mengetahui sejauh mana pengetahuan tentang aspek-aspek sosial budaya itu diterapkan di dalam buku-buku ajar BIPA. Kecuali itu, akan dipaparkan pula aspek-aspek sosial budaya apa saja yang perlu diketahui oleh para pembelajar BIPA.
Untuk mencapai tujuan tersebut, penelitian ini didasari oleh konsep dasar teoretis yang memandang bahwa belajar berbahasa pada hakikatnya adalah belajar berkomunikasi. Belajar berkomunikasi berarti belajar bagaimana cara menyampaikan pesan dari satu pihak kepada pihak lain dengan menggunakan bahasa. Untuk itu, agar komunikasi yang dilakukan dapat berlangsung secara efektif dan efisien, dalam arti baik dan benar, pembelajar bahasa selain perlu memiliki pengetahuan tentang kaidah bahasa, seperti tata bahasa, sistem bunyi, dan leksikon, juga perlu mengetahui berbagai aspek sosial budaya yang berlaku dalam masyarakat yang bahasanya dipelajari. Dengan perkataan lain, kemampuan berkomunikasi secara baik dan benar itu dapat dicapai jika pembelajar memiliki kompetensi komunikatif.
Berbagai pendapat, seperti yang dikemukakan oleh Hymes (1971), Canale dan Swain (1980), Saville-Troike (1982:25), Canale (1983), Bachman (1990), menyiratkan kesamaan pandangan bahwa kompetensi komunikatif tidak hanya mencakup pengetahuan tentang bahasa, tetapi juga  mencakup kemampuan menggunakan bahasa itu sesuai dengan konteks sosial budayanya. Jadi, kompetensi komunikatif itu tidak hanya berisi pengetahuan tentang masalah kegramatikalan suatu ujaran, tetapi juga berisi pengetahuan tentang patut atau tidaknya suatu ujaran itu digunakan menurut status penutur dan pendengar, ruang dan waktu pembicaraan, derajat keformalan, medium yang digunakan, pokok pembicaraan, dan ranah yang melingkupi situasi pembicaraan itu.
Pandangan tersebut mengisyaratkan bahwa faktor-faktor sosial budaya yang menjadi konteks penggunaan bahasa merupakan hal yang perlu diketahui oleh para pembelajar bahasa agar mereka dapat berkomunikasi secara baik dan benar dalam situasi yang sebenarnya.

2.  Aspek-Aspek Sosial Budaya
Sesuai dengan hasil kajian yang telah dilakukan, konsep mengenai aspek-aspek sosial budaya--meskipun batas-batasnya tidak tegas benar--dapat dibedakan ke dalam aspek-aspek sosial dan aspek-aspek budaya. Berkenaan dengan hal itu, konsep mengenai aspek-aspek sosial yang dimaksud, antara lain, sebagai berikut.

(1)    Tempat komunikasi berlangsung
(2)    Tujuan komunikasi
(3)    Peserta komunikasi, yang meliputi status sosial, pendidikan, usia, dan jenis kelaminnya
(4)    Hubungan peran dan hubungan sosial di antara peserta komunikasi, termasuk relasi, ada-tidaknya hubungan kekerabatan, dan tingkat keakraban peserta komunikasi
(5)    Topik  pembicaraan
(6)    Situasi komunikasi
(7)    Waktu berlangsungnya komunikasi
(8)    Domain atau ranah pembicaraan
(9)    Sarana komunikasi yang digunakan
(10)  Ragam bahasa atau variasi bahasa
(11)  Penggunaan sistem sapaan
(12)  Peristiwa tutur (misalnya kuliah, pesta ulang tahun, upacara perkawinan,                  dsb.)

Agak berbeda dengan itu,  aspek-aspek budaya yang diharapkan ada di dalam buku-buku bahan ajar BIPA adalah sebagai berikut.

(1)    Benda-benda budaya (artifact)
(2)    Gerak-gerik anggota badan (kinesics)
(3)    Jarak fisik ketika berkomunikasi (proxemics)
(4)    Kontak pandangan mata ketika berkomunikasi
(5)    Penyentuhan (kinesthesics)
(6)    Adat-istiadat atau kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di masyarakat
(7)    Sistem nilai yang berlaku di masyarakat
(8)    Sistem religi yang dianut masyarakat
(9)    Mata pencarian penduduk
(10) Kesenian
(11) Pemanfaatan waktu
(12) Cara berdiri, cara duduk, dan cara menghormati orang lain
(13) Keramah-tamahan, tegur sapa, dan basa-basi
(14) Pujian
(15) Hal-hal yang tabu dan pantang
(16) Gotong royong dan tolong-menolong
(17) Sopan santun, termasuk penggunaan eufemisme

3.  Penerapannya di dalam Buku BIPA
Sesuai dengan data yang diperoleh, dapat dikemukakan bahwa belum semua buku bahan ajar BIPA menyajikan materi atau informasi tentang aspek-aspek sosial budaya masyarakat Indonesia. Hal itu terbukti dari 43 judul buku BIPA yang diamati, ternyata yang menyajikan materi tentang aspek-aspek sosial budaya masyarakat Indonesia hanya 24 buah atau 56%. Sisanya, sebanyak 19 judul buku atau 44% tidak menyajikan materi tersebut.
Meskipun demikian, dari 19 judul buku BIPA yang tidak menyajikan materi sosial budaya itu, 8 judul di antaranya (42%), atau 19% dari jumlah seluruh buku, tetap menyajikan informasi tentang aspek-aspek sosial budaya itu. Hanya saja, penyajiannya itu terbatas pada teks-teks bacaan saja. Selebihnya, 11 judul buku yang lain (58%), atau 26% dari jumlah seluruh buku, sama sekali tidak menyinggung masalah sosial budaya yang berlaku di dalam masyarakat Indonesia.
Pencantuman materi tentang aspek-aspek sosial budaya masyarakat Indonesia di dalam buku-buku tersebut, kecuali dalam buku Spoken Indonesian: A Course in Indonesian National Language  yang ditulis Edmund A. Anderson, hampir seluruhnya tidak diintegrasikan di dalam teks materi ajar. Pencantuman itu umumnya hanya dilakukan di dalam tajuk Catatan Budaya, sedangkan dalam beberapa buku yang lain pencantumannya di dalam tajuk Keterangan. Kenyataan itu menunjukkan bahwa materi tentang aspek-aspek sosial budaya--oleh para penulis buku BIPA--hanya dianggap sebagai pelengkap. Jadi, materi itu belum dipandang sebagai bagian yang penting di dalam pengajaran BIPA. Padahal, tanpa pengetahuan mengenai aspek-aspek sosial budaya itu mustahil pembelajar BIPA dapat berkomunikasi secara baik dan benar dengan menggunakan bahasa Indonesia.
Kenyataan tersebut memang patut disayangkan. Meskipun demikian, hal itu masih lebih baik daripada tidak mencantumkan informasi tentang aspek-aspek sosial budaya sama sekali. Paling tidak, meskipun hanya dicantumkan di dalam tajuk Catatan Budaya atau pun Keterangan, hal itu dapat mengingatkan para pengajar BIPA  bahwa materi tentang aspek-aspek sosial budaya itu perlu disampaikan kepada para pembelajar BIPA agar mereka mengenal masalah-masalah sosial budaya Indonesia. Dengan pengenalan itu, diharapkan mereka dapat berkomunikasi secara baik dan benar dengan menggunakan bahasa Indonesia.
Berbeda dengan buku-buku BIPA yang lain, dalam buku Edmund Anderson yang berjudul Spoken Indonesian: A Course in Indonesian National Language (1996), aspek-aspek sosial budaya masyarakat Indonesia dicantumkan secara eksplisit sebagai materi ajar yang utama. Di dalam buku itu, informasi tentang aspek-aspek sosial budaya yang dicantumkan meliputi jarak sosial (saling kenal atau tidaknya para peserta  komunikasi), jenis kelamin, usia, status sosial, dan hubungan kekeluargaan di antara para peserta komunikasi. Beberapa aspek sosial tersebut dianggap sebagai penentu yang penting dalam berkomunikasi dengan orang lain, terutama dalam memilih bentuk-bentuk ujaran yang sesuai dengan konteksnya, baik yang berupa konteks sosial maupun konteks budayanya.
Di samping hal tersebut, di dalam buku Anderson itu diberikan pula gambaran tentang situasi yang menentukan ragam bahasa, dan juga lokasi pembicaraan, seperti di kantor pos, di rumah, di restoran, dan di pasar. Informasi tersebut selain dicantumkan sebagai materi pelajaran, juga disertai pula dengan contoh-contoh penggunaannya. Bahkan, pembahasan mengenai hal itu dicantumkan di dalam bab tersendiri.

3.1  Aspek-Aspek Sosial di dalam Buku BIPA
Sebagaimana yang telah disebutkan pada Butir (2) di atas, aspek-aspek sosial yang mempengaruhi penggunaan bahasa ada dua belas jenis. Apakah seluruh aspek itu sudah dicantumkan sebagai materi ajar di dalam buku-buku BIPA? Untuk menjawab hal itu, uraian  berikut ini didasarkan  pada  sejumlah  data  yang  telah  diperoleh dalam penelitian ini.

Dari 24 buku BIPA yang mencantumkan informasi tentang aspek-aspek sosial budaya, ternyata aspek-aspek sosial itu hanya tercantum di dalam 16 judul buku.
Dari ke-16 buku BIPA tersebut, aspek-aspek sosial dalam berkomunikasi yang dicantumkan ternyata sebagian besar hampir sama karena umumnya aspek-aspek itu berupa  penggunaan bentuk-bentuk sapaan atau sistem sapaan beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Secara lebih eksplisit, dari 12 aspek sosial yang diharapkan ada, ternyata hanya 7 aspek yang terdapat di dalam buku-buku BIPA yang diteliti. Hal itu berarti, ada lima aspek lain yang belum tercantum di dalam buku-buku BIPA yang diteliti itu.
Ketujuh aspek sosial yang terdapat dalam buku-buku BIPA yang diteliti itu adalah sebagai berikut.
1.      Tempat komunikasi berlangsung
2.      Peserta komunikasi
3.      Hubungan peran atau hubungan sosial di antara peserta komunikasi
4.      Topik pembicaraan
5.      Situasi komunikasi
6.      Ragam bahasa atau variasi bahasa
7.      Penggunaan sistem sapaan

Sementara itu, kelima aspek sosial yang belum tercantum di dalam buku-buku BIPA yang diteliti itu adalah sebagai berikut.
1.      Tujuan komunikasi
2.      Waktu berlangsungnya komunikasi
3.      Ranah atau domain komunikasi
4.      Sarana komunikasi yang digunakan
5.      Peristiwa tutur

3.2  Aspek-Aspek Budaya di dalam Buku BIPA
Seperti yang telah dikemukakan pada Butir (2) di atas, aspek-aspek budaya yang diharapkan ada di dalam buku-buku BIPA berjumlah 17 jenis. Realisasinya, dari 43 judul buku BIPA yang diamati, ternyata yang menyajikan materi tentang aspek-aspek sosial budaya  hanya 24 judul buku.  Namun, apakah ke-24 buku itu juga seluruhnya menyajikan aspek-aspek budaya? Setelah dicermati, ternyata dari ke-24 buku itu, seluruhnya menyajikan materi tentang aspek-aspek budaya.
Dalam ke-24 buku BIPA tersebut, aspek-aspek budaya yang dicantumkan ternyata sebagian besar berupa benda-benda budaya, kesenian, dan adat-istiadat. Kecuali itu, hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa dari 17 aspek budaya yang diharapkan ada, ternyata hanya 12 aspek yang terdapat dalam buku-buku BIPA yang diteliti. Hal itu berarti, ada lima aspek lain yang tidak dicantumkan di dalam buku-buku BIPA yang diamati.
Kedua belas aspek budaya yang terdapat di dalam buku-buku BIPA yang diteliti adalah sebagai berikut.
(1)    Benda-benda budaya (artifact)
(2)    Gerak-gerik anggota badan (kinesics)
(3)    adat-istiadat atau kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di masyarakat
(4)    Sistem nilai yang berlaku di masyarakat
(5)    Sistem religi yang dianut masyarakat
(6)    Mata pencarian penduduk
(7)    Kesenian
(8)    Pemanfaatan waktu
(9)    Cara berdiri, cara duduk, dan cara menghormati orang lain
(10) Sopan santun, termasuk penggunaan eufemisme
(11) Gotong royong dan tolong-menolong
(12) Ramah tamah, tegur sapa, basa-basi

Sementara itu, kelima aspek budaya yang tidak tercantum di dalam buku-buku BIPA yang diteliti adalah sebagai berikut.
(1)    Jarak fisik ketika berkomunikasi (proxemics)
(2)    Kontak pandangan mata ketika berkomunikasi
(3)    Penyentuhan (kinesthesics)
(4)    Pujian
(5)    Hal-hal yang tabu dan pantang

4.  Peranannya dalam Pengajaran BIPA
Aspek-aspek sosial budaya mempunyai peranan yang amat penting dalam pengajaran BIPA. Peranannya itu terutama dapat menghindarkan pembelajar bahasa dari kemungkinan terjadinya benturan budaya (cultural shock) ketika berkomunikasi dengan penutur asli. Kecuali itu, dengan pemahaman terhadap aspek-aspek sosial budaya, pembelajar juga dapat mengetahui apakah unsur-unsur bahasa yang akan digunakannya itu dapat menyinggung perasaan orang lain atau mungkin bertentangan dengan norma-norma sosial budaya yang berlaku di masyarakat atau tidak. Dengan perkataan lain, pemahaman terhadap aspek-aspek sosial budaya itu dapat berperan dalam menanamkan tata krama (unggah-ungguh) pada diri si pembelajar dalam berkomunikasi dengan penutur asli.
Dengan mengetahui tata krama atau unggah-ungguh dalam berkomunikasi itu, pembelajar bahasa dapat berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar. Di samping itu, pemahaman terhadap aspek-aspek sosial budaya tersebut secara umum juga dapat berperan menambah wawasan pengetahuan dan penghayatan para pembelajar BIPA terhadap berbagai aspek sosial budaya masyarakat Indonesia.

5.  Simpulan
Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan di atas, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut.
Pertama, kemampuan berkomunikasi tidak hanya ditentukan oleh pengetahuan terhadap unsur-unsur kebahasaan, tetapi juga oleh pemahaman terhadap aspek-aspek sosial budaya yang berlaku dalam masyarakat. Aspek-aspek sosial budaya itu sangat berperan dalam penggunaan bahasa. Oleh karena itu, agar dapat berkomunikasi secara baik dan benar, pembelajar bahasa diharapkan dapat memahami aspek-aspek sosial budaya masyarakat yang bahasanya dipelajari.
Kedua, aspek-aspek sosial budaya yang perlu dipahami itu dapat dipilah ke dalam aspek-aspek sosial dan aspek-aspek budaya. Di dalam buku-buku BIPA yang diteliti, aspek-aspek sosial budaya tersebut ternyata belum sepenuhnya dicantumkan sebagai materi ajar. Hal itu terbukti dari 43 buku yang diteliti, ternyata hanya 24 buku (56%) yang mencantumkan aspek-aspek tersebut. Sisanya, sebanyak 8 buku (19%) hanya mencantumkannya di dalam teks-teks bacaan. Di dalam 11 buku yang lain (26%) aspek-aspek sosial budaya itu sama sekali tidak dicantumkan.
Ketiga, pencantuman aspek-aspek sosial budaya di dalam ke-24 buku BIPA tersebut ternyata belum diintegrasikan ke dalam teks materi ajar. Hal itu terbukti dari pencantuman aspek-aspek tersebut yang hanya di dalam tajuk Catatan Budaya atau pun Keterangan sehingga mengesankan bahwa pencantuman itu hanya sebagai pelengkap. Kenyataan tersebut mengindikasikan bahwa aspek-aspek sosial budaya itu belum dianggap sebagai bagian yang penting di dalam pengajaran BIPA. Padahal, tanpa pemahaman terhadap aspek-aspek sosial budaya itu mustahil pembelajar bahasa dapat berkomunikasi secara baik dan benar.
Terakhir, pengetahuan tentang aspek-aspek sosial budaya itu mempunyai peranan yang amat penting dalam pengajaran BIPA. Dengan pengetahuan itu, pembelajar bahasa dapat memahami tata krama dalam berbahasa dan dapat menghindarkan diri dari kemungkinan terjadinya benturan budaya (cultural shock).



PUSTAKA ACUAN


Bachman, Lyle F. 1990. Fundamental Considerations in Language Testing. Oxford: Oxford University Press.
Canale, M. dan M. Swain. 1980. "Theoretical Bases of Communicative Approach to Second Language Teaching and Learning". Dalam Applied Linguistics. I.1.
Canale, M. 1983. "From communicative Competence to Communicative Language Pedagogy". Dalam J.C. Richards dan R.Schmidt (Ed.). Language and Communication. London: Longman.
Fishman, Joshua A. 1972. "The Sociology of Language". Dalam P.P. Giglioli (Ed.). Language and Social Context. Harmondworth, Middlesex: Penguin Books.

Fishman, Joshua A. 1976. Reading in the Sociology of Language. The Hague: Mouton.
Hymes, Dell. 1971. "On Communicative Competence". Dalam Pride, J.B. dan Janet Holmes (Ed.). Sociolinguistics. Middlesex: Penguin Books.
Hymes, Dell. 1972. "Models of the Interaction of Language and Social Life". Dalam J.J. Gumperz dan Dell Hymes (Ed.). Directions in the Sociolinguistics. New York: Holt, Rinehart and Winston.
Hymes, Dell. 1974. Foundations in Sociolinguistics. Philadelphia: University of Pennsylvania Press.
Koentjaraningrat. 1974. Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia.
Koentjaraningrat. 1985. "Persepsi tentang Kebudayaan Nasional". Dalam Alfian (Ed.). Persepsi Masyarakat tentang Kebudayaan. Jakarta: PT Gramedia. Hlm. 99--141.
Sapir, Edward. 1964. Culture, Language, and Personality. Berkeley, Los Angeles: University of California Press.
Saville-troike, M. 1982. The ethnography of Communication. Oxford: Basil Blackwell.

Antropologi dan Kebudayaan


A. PENDAHULUAN

Seorang filsuf China; Lao Chai, pernah berkata bahwa suatu perjalanan yang bermil-mil jauhnya dimulai dengan hanya satu langkah. Pembaca dari materi ini juga baru memulai suatu langkah kedalam lapangan dari suatu bidang ilmu yang disebut dengan Antropologi.

Benda apa yang disebut dengan Antropologi itu? Beberapa atau bahkan banyak orang mungkin sudah pernah mendengarnya. Beberapa orang mungkin mempunyai ide-ide tentang Antropologi yang didapat melalui berbagai media baik media cetak maupun media elektronik. Beberapa orang lagi bahkan mungkin sudah pernah membaca literature-literature atau tulisan-tulisan tentang Antropologi.

Banyak orang berpikir bahwa para ahli Antropologi adalah ilmuwan yang hanya tertarik pada peninggalan-peninggalan masa lalu; Antroplogi bekerja menggali sisa-sisa kehidupan masa lalu untuk mendapatkan pecahan guci-guci tua, peralatan –peralatan dari batu dan kemudian mencoba memberi arti dari apa yang ditemukannya itu.

Pandangan yang lain mengasosiasikan Antropologi dengan teori Evolusi dan mengenyampingkan kerja dari Sang Pencipta dalam mempelajari kemunculan dan perkembangan mahluk manusia. Masyarakat yang mempunyai pandangan yang sangat keras terhadap penciptaan manusia  dari sudut agama kemudian melindungi bahkan melarang anak-anak mereka dari Antroplogi  dan doktrin-doktrinnya. Bahkan masih banyak orang awam yang berpikir kalau Antropologi itu bekerja atau meneliti orang-orang yang aneh dan eksotis yang tinggal di daerah-daerah yang jauh dimana mereka masih menjalankan kebiasaan-kebiasaan yang bagi masyarakat umum adalah asing.

Semua pandangan tentang ilmu Antroplogi ini pada tingkat tertentu ada benarnya, tetapi seperti ada cerita tentang beberapa orang buta yang ingin mengetahui bagaimana bentuk seekor gajah dimana masing-masing orang hanya meraba bagian-bagian tertentu saja sehingga anggapan mereka tentang bentuk gajah itupun menjadi bermacam-macam, terjadi juga pada Antropologi. Pandangan yang berdasarkan informasi yang sepotong-sepotong ini mengakibatkan kekurang pahaman masyarakat awam tentang apa sebenarnya Antropologi itu.

Antropologi memang tertarik pada masa lampau. Mereka ingin tahu tentang asal-mula manusia dan perkembangannya, dan mereka juga mempelajari masyarakat-masyarakat yang masih sederhana (sering disebut dengan primitif). Tetapi sekarang Antropologi juga mempelajari tingkah-laku manusia di tempat-tempat umum seperti di restaurant, rumah-sakit dan di tempat-tempat bisnis modern lainnya. Mereka juga tertarik dengan bentuk-bentuk pemerintahan atau negara modern yang ada sekarang ini sama tertariknya ketika mereka mempelajari bentuk-bentuk pemerintahan yang sederhana yang terjadi pada masa lampau atau masih terjadi pada masyarakat-masyarakat di daerah yang terpencil.

B. BIDANG ILMU ANTROPOLOGI


Dalam kenyataannya, Antropologi mempelajari semua mahluk manusia yang pernah hidup pada semua waktu dan semua tempat yang ada di muka bumi ini. Mahluk manusia ini hanyalah satu dari sekian banyak bentuk mahluk hidup yang ada di bumi ini yang diperkirakan muncul lebih dari 4 milyar tahun yang lalu.

Antropologi bukanlah satu satunya ilmu yang  mempelajari manusia. Ilmu-ilmu lain seperti ilmu Politik yang mempelajari kehidupan politik manusia, ilmu Ekonomi yang mempelajari ekonomi manusia atau ilmu Fisiologi yang mempelajari tubuh manusia dan masih banyak lagi ilmuilmu lain, juga mempelajari manusia. Tetapi ilmu-ilmu ini tidak mempelajari atau melihat manusia secara menyeluruh atau dalam ilmu Antropologi disebut dengan Holistik, seperti yang dilakukan oleh Antropologi. Antropologi berusaha untuk melihat segala aspek dari diri mahluk manusia pada semua waktu dan di semua tempat, seperti: Apa yang secara umum dimiliki oleh semua manusia? Dalam hal apa saja mereka itu berbeda? Mengapa mereka bertingkah-laku seperti itu? Ini semua adalah beberapa contoh pertanyaan mendasar dalam studi-studi Antropologi.

B.1. Cabang-cabang dalam Ilmu Antropologi


Seperti ilmu-ilmu lain, Antropologi juga mempunyai spesialisasi atau pengkhususan. Secara umum ada 3 bidang spesialisasi dari Antropologi, yaitu Antropologi Fisik atau sering disebut juga dengan istilah Antropologi Ragawi. Arkeologi dan Antropologi Sosial-Budaya.

B.1.1. Antropologi Fisik


Antropologi Fisik tertarik pada sisi fisik dari manusia. Termasuk didalamnya mempelajari gen-gen yang menentukan struktur dari tubuh manusia. Mereka melihat perkembangan mahluk manusia sejak manusia itu mulai ada di bumi sampai manusia yang ada sekarang ini. Beberapa ahli Antropologi Fisik menjadi terkenal dengan penemuan-penemuan fosil yang membantu memberikan keterangan mengenai perkembangan manusia. Ahli Antropologi Fisik yang lain menjadi terkenal karena keahlian forensiknya; mereka membantu dengan menyampaikan pendapat mereka pada sidang-sidang pengadilan dan membantu pihak berwenang dalam penyelidikan kasus-kasus pembunuhan.

B.1.2. Arkeologi


Ahli Arkeologi bekerja mencari benda-benda peninggalan manusia dari masa lampau. Mereka akhirnya banyak melakukan penggalian untuk menemukan sisa-sisa peralatan hidup atau senjata.  Benda –benda ini adalah barang tambang mereka. Tujuannya adalah menggunakan bukti-bukti yang mereka dapatkan untuk merekonstruksi atau membentuk kembali model-model kehidupan pada masa lampau. Dengan melihat pada bentuk kehidupan yang direnkonstruksi tersebut dapat dibuat dugaan-dugaan bagaimana masyarakat yang sisa-sisanya diteliti itu hidup atau bagaimana mereka datang ketempat itu atau bahkan dengan siapa saja mereka itu dulu berinteraksi.

 

B.1.3. Antropologi Sosial-Budaya


Antropologi Sosial-Budaya atau lebih sering disebut Antropologi Budaya berhubungan dengan apa yang sering disebut dengan Etnologi. Ilmu ini mempelajari tingkah-laku manusia, baik itu tingkah-laku individu atau tingkah laku kelompok. Tingkah-laku yang dipelajari disini bukan hanya kegiatan yang bisa diamati dengan mata saja, tetapi juga apa yang ada dalam pikiran mereka. Pada manusia, tingkah-laku ini tergantung pada proses pembelajaran. Apa yang mereka lakukan adalah hasil dari proses belajar yang dilakukan oleh manusia sepanjang hidupnya disadari atau tidak. Mereka mempelajari bagaimana bertingkah-laku ini dengan cara mencontoh atau belajar dari generasi diatasnya dan juga dari lingkungan alam dan sosial yang ada disekelilingnya. Inilah yang oleh para ahli Antropologi disebut dengan kebudayaan. Kebudayaan dari kelompok-kelompok manusia, baik itu kelompok kecil maupun kelompok yang sangat besar inilah yang menjadi objek spesial dari penelitian-penelitian Antropologi Sosial Budaya. Dalam perkembangannya Antropologi Sosial-Budaya ini memecah lagi kedalam bentuk-bentuk spesialisasi atau pengkhususan disesuaikan dengan bidang kajian yang dipelajari atau diteliti. Antroplogi Hukum yang mempelajari bentuk-bentuk hukum pada kelompok-kelompok masyarakat atau Antropologi Ekonomi yang mempelajari gejala-gejala serta bentuk-bentuk perekonomian pada kelompok-kelompok masyarakat adalah dua contoh dari sekian banyak bentuk spesialasi dalam Antropologi Sosial-Budaya.

C. KONSEP KEBUDAYAAN


Kata Kebudayaan atau budaya adalah kata yang sering dikaitkan dengan Antropologi. Secara pasti, Antropologi tidak mempunyai hak eksklusif untuk menggunakan istilah ini. Seniman seperti penari atau pelukis dll juga memakai istilah ini atau diasosiasikan dengan istilah ini, bahkan pemerintah juga mempunyai departemen untuk ini. Konsep ini memang sangat sering digunakan oleh Antropologi dan telah tersebar kemasyarakat luas bahwa Antropologi bekerja atau meneliti apa yang sering disebut dengan kebudayaan. Seringnya istilah ini digunakan oleh Antropologi dalam pekerjaan-pekerjaannya bukan berarti para ahli Antropolgi mempunyai pengertian yang sama tentang istilah tersebut. Seorang Ahli Antropologi yang mencoba mengumpulkan definisi  yang pernah dibuat mengatakan ada sekitar 160 defenisi kebudayaan yang dibuat oleh para ahli Antropologi. Tetapi dari sekian banyak definisi tersebut  ada suatu persetujuan bersama diantara para ahli Antropologi tentang arti dari istilah tersebut. Salah satu definisi kebudayaan dalam Antropologi dibuat seorang ahli bernama Ralph Linton yang memberikan defenisi kebudayaan yang berbeda dengan  pengertian kebudayaan dalam kehidupan sehari-hari:

“Kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan dari masyarakat dan tidak hanya mengenai sebagian tata cara hidup saja  yang dianggap lebih tinggi dan lebih diinginkan”.

Jadi, kebudayaan menunjuk pada berbagai aspek kehidupan. Istilah ini meliputi cara-cara berlaku, kepercayaan-kepercayaan dan sikap-sikap, dan juga hasil dari kegiatan manusia yang khas untuk suatu masyarakat atau kelompok penduduk tertentu.

Seperti semua konsep-konsep ilmiah, konsep kebudayaan berhubungan dengan beberapa aspek “di luar sana” yang hendak diteliti oleh seorang ilmuwan. Konsep-konsep kebudayaan yang dibuat membantu peneliti dalam melakukan pekerjaannya sehingga ia tahu apa yang harus dipelajari. Salah satu hal yang diperhatikan dalam penelitian Antropologi adalah perbedaan dan persamaan mahluk manusia dengan mahluk bukan manusia seperti simpanse atau orang-utan yang secara fisik banyak mempunyai kesamaan-kesamaan. Bagaimana konsep kebudayaan membantu dalam membandingkan mahluk-mahluk ini? Isu yang sangat penting disini adalah kemampuan belajar dari berbagai mahluk hidup. Lebah melakukan aktifitasnya hari demi hari, bulan demi bulan dan tahun demi tahun dalam bentuk yang sama. Setiap jenis lebah mempunyai pekerjaan yang khusus dan melakukan kegiatannya secara kontinyu tanpa memperdulikan perubahan lingkungan disekitarnya. Lebah pekerja terus sibuk mengumpulkan madu untuk koloninya. Tingkah laku ini sudah terprogram dalam gen mereka yang berubah secara sangat lambat dalam mengikuti perubahan lingkungan di sekitarnya. Perubahan tingkah laku lebah akhirnya harus menunggu perubahan dalam gen nya. Hasilnya adalah tingkah-laku lebah menjadi tidak fleksibel. Berbeda dengan manusia, tingkah laku manusia sangat fleksibel. Hal ini terjadi karena kemampuan yang luar biasa dari  manusia untuk belajar dari pengalamannya. Benar bahwa manusia tidak terlalu istimewa dalam belajar karena mahluk lainnya pun ada yang mampu belajar, tetapi kemampuan belajar dari manusia sangat luar-biasa dan hal lain yang juga sangat penting adalah kemampuannya untuk beradaptasi dengan apa yang telah dipelajari itu.

C.1. Kebudayaan Diperoleh dari Belajar

Kebudayaan yang dimiliki oleh manusia juga dimiliki dengan cara belajar. Dia tidak diturunkan secara bilogis atau pewarisan melalui unsur genetis. Hal ini perlu ditegaskan untuk membedakan perilaku manusia yang digerakan oleh kebudayaan dengan perilaku mahluk lain yang tingkah-lakunya digerakan oleh insting.

Ketika baru dilahirkan, semua tingkah laku manusia yang baru lahir tersebut digerakkan olen insting dan naluri. Insting atau naluri ini tidak termasuk dalam kebudayaan, tetapi mempengaruhi kebudayaan. Contohnya adalah kebutuhan akan makan. Makan adalah kebutuhan dasar yang tidak termasuk dalam kebudayaan. Tetapi bagaimana kebutuhan itu dipenuhi; apa yang dimakan, bagaimana cara memakan adalah bagian dari kebudayaan. Semua manusia perlu makan, tetapi kebudayaan yang berbeda dari kelompok-kelompoknya menyebabkan manusia melakukan kegiatan dasar itu dengan cara yang berbeda. Contohnya adalah cara makan yang berlaku sekarang. Pada masa dulu orang makan hanya dengan menggunakan tangannya saja, langsung menyuapkan makanan kedalam mulutnya, tetapi cara tersebut perlahan lahan berubah, manusia mulai menggunakan alat yang sederhana dari kayu untuk menyendok dan menyuapkan makanannya dan sekarang alat tersebut dibuat dari banyak bahan. Begitu juga tempat dimana manusia itu makan. Dulu manusia makan disembarang tempat, tetapi sekarang ada tempat-tempat khusus dimana makanan itu dimakan.  Hal ini semua terjadi karena manusia mempelajari atau mencontoh sesuatu yang dilakukan oleh generasi sebelumya atau lingkungan disekitarnya yang dianggap baik dan berguna dalam hidupnya.

Sebaliknya kelakuan yang didorong oleh insting tidak dipelajari. Semut semut yang dikatakan bersifat sosial tidak dikatakan memiliki kebudayaan, walaupun mereka mempunyai tingkah-laku yang teratur. Mereka membagi pekerjaannya, membuat sarang dan mempunyai pasukan penyerbu yang semuanya dilakukan tanpa pernah diajari atau tanpa pernah meniru dari semut yang lain. Pola kelakuan seperti ini diwarisi secara genetis.

C.2. Kebudayaan Milik Bersama

Agar dapat dikatakan sebagai suatu kebudayaan, kebiasaan-kebiasaan seorang individu harus dimiliki bersama oleh suatu kelompok manusia. Para ahli Antropologi membatasi diri untuk berpendapat suatu kelompok mempunyai kebudayaan jika para warganya memiliki secara bersama sejumlah pola-pola berpikir dan berkelakuan yang sama yang didapat melalui proses belajar.

Suatu kebudayaan dapat dirumuskan sebagai seperangkat kepercayaan, nilai-nilai dan cara berlaku atau kebiasaan yang dipelajari dan yang dimiliki bersama oleh para warga dari suatu kelompok masyarakat. Pengertian masyarakat sendiri dalam Antropologi adalah sekelompok orang yang tinggal di suatu wilayah dan yang memakai suatu bahasa yang biasanya tidak dimengerti oleh penduduk tetangganya.

C.3. Kebudayaan sebagai Pola

Dalam setiap masyarakat, oleh para anggotanya dikembangkan sejumlah pola-pola budaya yang ideal dan pola-pola ini cenderung diperkuat dengan adanya pembatasan-pembatasan kebudayaan. Pola-pola kebudayaan yang ideal itu memuat hal-hal yang oleh sebagian besar dari masyarakat tersebut diakui sebagai kewajiban yang harus dilakukan dalam keadaan-keadaan tertentu. Pola-pola inilah yang sering disebut dengan norma-norma, Walaupun kita semua tahu bahwa tidak semua orang dalam kebudayaannya selalu berbuat seperti apa yang telah mereka patokkan bersama sebagai hal yang ideal tersebut. Sebab bila para warga masyarakat selalu mematuhi dan mengikuti norma-norma yang ada pada masyarakatnya maka tidak akan ada apa yang disebut dengan  pembatasan-pembatasan kebudayaan. Sebagian dari pola-pola yang ideal tersebut dalam kenyataannya berbeda dengan perilaku sebenarnya karena pola-pola tersebut telah dikesampingkan oleh cara-cara yang dibiasakan oleh masyarakat.

Pembatasan kebudayaan itu sendiri biasanya tidak selalu dirasakan oleh para pendukung suatu kebudayaan. Hal ini terjadi karena individu-individu pendukungnya selalu mengikuti cara-cara berlaku dan cara berpikir yang telah dituntut oleh kebudayaan itu. Pembatasan-pembatasan kebudayaan baru terasa kekuatannya ketika dia ditentang atau dilawan. Pembatasan kebudayaan terbagi kedalam 2 jenis yaitu pembatasan kebudayaan yang langsung dan pembatasan kebudayaan yang tidak langsung. Pembatasan langsung terjadi ketika kita mencoba melakukan suatu hal yang menurut kebiasaan dalam kebudayaan kita merupakan hal yang tidak lazim atau bahkan hal yang dianggap melanggar tata kesopanan atau yang ada.  Akan ada  sindiran atau ejekan yang dialamatkan kepada sipelanggar kalau hal yang dilakukannya masih dianggap tidak terlalu berlawanan dengan kebiasaan yang ada, akan tetapi apabila hal yang dilakukannya tersebut sudah dianggap melanggar tata-tertib yang berlaku dimasyarakatnya, maka dia mungkin akan dihukum dengan aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakatnya.  Contoh dari pembatasan langsung misalnya ketika seseorang melakukan kegiatan seperti berpakaian yang tidak pantas kedalam gereja. Ada sejumlah aturan dalam setiap kebudayaan yang mengatur tentang hal ini. Kalau si individu tersebut hanya tidak mengenakan baju saja ketika ke gereja, mungkin dia hanya akan disindir atau ditegur dengan pelan. Akan tetapi bila si individu tadi adalah seorang wanita dan dia hanya mengenakan pakaian dalam untuk ke gereja, dia mungkin akan di tangkap oleh pihak-pihak tertentu karena dianggap mengganggu ketertiban umum. Dalam pembatasan-pembatasan tidak langsung, aktifitas yang dilakukan oleh orang yang melanggar tidak dihalangi atau dibatasi secara langsung akan tetapi kegiatan tersebut tidak akan mendapat respons atau tanggapan dari anggota kebudayaan yang lain karena tindakan tersebut tidak dipahami atau dimengerti oleh mereka. Contohnya: tidak akan ada orang yang melarang seseorang di pasar Hamadi, Jayapura untuk berbelanja dengan menggunakan bahasa Polandia, akan tetapi dia tidak akan dilayani karena tidak ada yang memahaminya.

Pembatasan-pembatasan kebudayaan ini tidak berarti menghilangkan kepribadian seseorang dalam kebudayaannya. Memang kadang-kadang pembatasan kebudayaaan tersebut menjadi tekanan-tekanan sosial yang mengatur tata-kehidupan yang berjalan dalam suatu kebudayaan, tetapi bukan berarti tekanan-tekanan sosial tersebut menghalangi individu-individu yang mempunyai pendirian bebas. Mereka yang mempunyai pendirian seperti ini akan tetap mempertahankan pendapat-pendapat mereka, sekalipun mereka mendapat tentangan dari pendapat yang mayoritas.

Kenyataan bahwa banyak kebudayaan dapat bertahan dan berkembang menunjukkan bahwa kebiasaan-kebiasaan yang dikembangkan oleh masyarakat pendukungnya disesuaikan dengan  kebutuhan-kebutuhan tertentu dari lingkungannya. Ini terjadi sebagai suatu strategi dari kebudayaan untuk dapat terus bertahan, karena kalau sifat-sifat budaya tidak disesuaikan kepada beberapa keadaan tertentu, kemungkinan masyarakat untuk bertahan akan berkurang. Setiap adat yang meningkatkan ketahanan suatu masyarakat dalam lingkungan tertentu biasanya merupakan adat yang dapat disesuaikan, tetapi ini bukan berarti setiap ada mode yang baru atau sistim yang baru langsung diadopsi dan adat menyesuaikan diri dengan pembaruan itu. Karena dalam adat-istiadat itu ada konsep yang dikenal dengan sistim nilai budaya yang merupakan konsep-konsep mengenai apa yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga suatu kebudayaan tentang apa yang mereka anggap bernilai, berharga, dan penting dalam hidup, sehingga ia memberi pedoman, arah serta orientasi kepada kehidupan warga masyarakat pendukung kebudayaan tersebut.

C.4. Kebudayaan Bersifat Dinamis dan Adaptif

Pada umumnya kebudayaan itu dikatakan bersifat adaptif, karena kebudayaan melengkapi manusia dengan cara-cara penyesuaian diri pada kebutuhan-kebutuhan fisiologis dari badan mereka, dan penyesuaian pada lingkungan yang bersifat fisik-geografis maupun pada lingkungan sosialnya. Banyak cara yang wajar dalam hubungan tertentu pada suatu kelompok masyarakat memberi kesan janggal pada kelompok masyarakat yang lain, tetapi jika dipandang dari hubungan masyarakat tersebut dengan lingkungannya, baru hubungan tersebut bisa dipahami. Misalnya, orang akan heran kenapa ada pantangan-pantangan pergaulan seks pada masyarakat tertentu pada kaum ibu  sesudah melahirkan anaknya sampai anak tersebut mencapai usia tertentu. Bagi orang di luar kebudayaan tersebut, pantangan tersebut susah dimengerti, tetapi bagi masrakat pendukung kebudayaan yang melakukan pantangan-pantangan seperti itu, hal tersebut mungkin suatu cara menyesuaikan diri pada lingkungan fisik dimana mereka berada. Mungkin daerah dimana mereka tinggal tidak terlalu mudah memenuhi kebutuhan makan mereka, sehingga sebagai strategi memberikan gizi yang cukup bagi anak bayi dibuatlah pantangan-pantangan tersebut. Hal ini nampaknya merupakan hal yang sepele tetapi sebenarnya merupakan suatu pencapaian luar biasa dari kelompok masyarakat tersebut untuk memahami lingkungannya dan berinteraksi dengan cara melakukan pantangan-pantangan tersebut. Pemahaman akan lingkungan seperti ini dan penyesuaian yang dilakukan oleh kebudayaan tersebut membutuhkan suatu pengamatan yang seksama dan dilakukan oleh beberapa generasi untuk sampai pada suatu kebijakan yaitu melakukan pantangan tadi. Begitu juga dengan penyesuaian kepada lingkungan sosial suatu masyarakat; bagi orang awam mungkin akan merasa adalah suatu hal yang tidak perlu untuk membangun kampung jauh diatas bukit atau kampung di atas air dan sebagainya, karena akan banyak sekali kesulitan-kesulitan praktis dalam memilih tempat-tempat seperti itu. Tetapi bila kita melihat mungkin pada hubungan-hubungan sosial yang terjadi di daerah itu, akan didapat sejumlah alasan mengapa pilihan tersebut harus dilakukan. Mungkin mereka mendapat tekanan-tekanan sosial dari kelompok-kelompok masyarakat disekitarnya dalam bentuk yang ekstrim sehingga mereka harus mempertahankan diri dan salah satu cara terbaik dalam pilihan mereka adalah membangun kampung di puncak bukit.

Kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam masyarakat tertentu merupakan cara penyesuaian masyarakat itu terhadap lingkungannya, akan tetapi cara penyesuaian tidak akan selalu sama. Kelompok masyarakat yang berlainan mungkin saja akan memilih cara-cara yang berbeda terhadap keadaan yang sama. Alasan mengapa masyarakat tersebut mengembangkan suatu jawaban terhadap suatu masalah dan bukan jawaban yang lain yang dapat dipilih tentu mempunyai sejumlah alasan dan argumen. Alasan–alasan ini sangat banyak dan bervariasi dan ini memerlukan suatu penelitian untuk menjelaskannya.

Tetapi harus diingat juga bahwa masyarakat itu tidak harus selalu menyesuaikan diri pada suatu keadaan yang khusus. Sebab walaupun pada umumnya orang akan mengubah tingkah-laku mereka sebagai jawaban  atau penyesuaian atas suatu keadaan yang baru sejalan dengan perkiraan hal itu akan berguna bagi mereka, hal itu tidak selalu terjadi. Malahan ada masyarakat yang dengan mengembangkan nilai budaya tertentu untuk menyesuaikan diri mereka malah mengurangi ketahanan masyarakatnya sendiri. Banyak kebudayaan yang punah karena hal-hal seperti ini. Mereka memakai kebiasaan-kebiasaan baru sebagai bentuk penyesuaian terhadap keadaan-keadaan baru yang masuk kedalam atau dihadapi kebudayaannya tetapi mereka tidak sadar bahwa kebiasaan-kebiasaan yang baru yang dibuat sebagai penyesuaian terhadap unsur-unsur baru yang masuk dari luar kebudayaannya malah merugikan mereka sendiri. Disinilah pentingnya filter atau penyaring budaya dalam suatu kelompok masyarakat.  Karena  sekian banyak aturan, norma atau adat istiadat yang ada dan berlaku pada suatu kebudayaan bukanlah suatu hal yang baru saja dibuat atau dibuat dalam satu dua hari saja. Kebudayaan dengan sejumlah normanya itu merupakan suatu akumulasi dari hasil pengamatan, hasil belajar dari pendukung kebudayaan tersebut terhadap lingkungannya selama beratus-ratus tahun dan dijalankan hingga sekarang karena terbukti telah dapat mempertahankan kehidupan masyarakat tersebut.

Siapa saja dalam masyakarat yang melakukan filterasi atau penyaringan ini tergantung dari masyarakat itu sendiri. Kesadaran akan melakukan penyaringan ini juga tidak selalu sama pada setiap masyarakat dan hasilnya juga berbeda pada setiap masyarakat. Akan terjadi pro-kontra antara berbagai elemen dalam masyarakat, perbedaan persepsi antara generasi tua dan muda, terpelajar dan yang kolot dan banyak lagi lainnya.

D. PENUTUP

Benar bahwa unsur-unsur dari suatu kebudayaan tidak dapat dimasukan kedalam kebudayaan lain tanpa mengakibatkan sejumlah perubahan pada kebudayaan itu. Tetapi harus dingat bahwa kebudayaan itu tidak bersifat statis, ia selalu berubah. Tanpa adanya “gangguan” dari kebudayaan lain atau asing pun dia akan berubah dengan berlalunya waktu. Bila tidak dari luar, akan ada individu-individu dalam kebudayaan itu sendiri yang akan memperkenalkan variasi-variasi baru dalam tingkah-laku yang akhirnya akan menjadi milik bersama dan dikemudian hari akan menjadi bagian dari kebudayaannya. Dapat juga terjadi karena beberapa aspek dalam lingkungan kebudayaan tersebut mengalami perubahan dan pada akhirnya akan membuat kebudayaan tersebut secara lambat laun menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi tersebut.




REFERENSI

Benedict, Ruth, Patterns of Culture. Boston: Houghton Mifflin Co., 1980.

Harris, Marvin, “Culture, People, Nature; An Introduction to General Anthropology”New York, Harper and Row Publishers, 1988.

Richardson, Miles,  “Anthropologist-the Myth Teller,” American Ethnologist, 2, no.3  (August 1975).

Perubahan Sosial


Perubahan sosial dapat diartikan sebagai segala perubahan pada lembaga-lembaga sosial dalam suatu masyarakat. Perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga sosial itu selanjutnya mempunyai pengaruhnya pada sistem-sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, pola-pola perilaku ataupun sikap-sikap dalam masyarakat itu yang terdiri dari kelompok-kelompok sosial.
Masih banyak faktor-faktor penyebab perubahan sosial yang dapat disebutkan, ataupun mempengaruhi proses suatu perubahan sosial. Kontak-kontak dengan kebudayaan lain yang kemudian memberikan pengaruhnya, perubahan pendidikan, ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu, penduduk yang heterogen, tolerasi terhadap perbuatan-perbuatan yang semula dianggap menyimpang dan melanggar tetapi yang lambat laun menjadi norma-norma, bahkan peraturan-peraturan atau hukum-hukum yang bersifat formal.
Perubahan itu dapat mengenai lingkungan hidup dalam arti lebih luas lagi, mengenai nilai-nilai sosial, norma-norma sosial, pola-pola keperilakuan, strukturstruktur, organisasi, lembaga-lembaga, lapisan-lapisan masyarakat, relasi-relasi sosial, sistem-sistem komunikasi itu sendiri. Juga perihal kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial, kemajuan teknologi dan seterusnya.
Ada pandangan yang menyatakan bahwa perubahan sosial itu merupakan suatu respons ataupun jawaban dialami terhadap perubahan-perubahan tiga unsur utama :
1. Faktor alam
2. Faktor teknologi
3. Faktor kebudayaan
Kalau ada perubahan daripada salah satu faktor tadi, ataupun kombinasi dua diantaranya, atau bersama-sama, maka terjadilah perubahan sosial. Faktor alam apabila yang dimaksudkan adalah perubahan jasmaniah, kurang sekali menentukan perubahan sosial. Hubungan korelatif antara perubahan slam dan perubahan sosial atau masyarakat tidak begitu kelihatan, karena jarang sekali alam mengalami perubahan yang menentukan, kalaupun ada maka prosesnya itu adalah lambat. Dengan demikian masyarakat jauh lebih cepat berubahnya daripada perubahan alam. Praktis tak ada hubungan langsung antara kedua perubahan tersebut. Tetapi kalau faktor alam ini diartikan juga faktor biologis, hubungan itu bisa di lihat nyata. Misalnya saja pertambahan penduduk yang demikian pesat, yang mengubah dan memerlukan pola relasi ataupun sistem komunikasi lain yang baru. Dalam masyarakat modern, faktor teknologi dapat mengubah sistem komunikasi ataupun relasi sosial. Apalagi teknologi komunikasi yang demikian pesat majunya sudah pasti sangat menentukan dalam perubahan sosial itu.

A.    Proses Perubahan Sosial
Proses perubahan sosial terdiri dari tiga tahap barurutan : (1) invensi yaitu proses di mana ide-ide baru diciptakan dan dikembangkan, (2) difusi, ialah proses di mans ide-ide baru itu dikomunikasikan ke dalam Sistem sosial, dan (3) konsekwensi yakni perubahan-perubahan yang terjadi dalam sistem social sebagai akibat pengadopsian atau penolakan inovasi. Perubahan terjadi jika penggunaan atau penolakan ide baru itu mempunysi akibat. Karena itu perubahan sosial adalah akibat komunikasi sosial.
Beberapa pengamat terutama ahli anthropologi memerinci dua tahap tambahan dalam urutan proses di atas. Salah satunya ialah pengembangan inovasi yang terjadi telah invensi sebelum terjadi difusi. Yang dimaksud ialah proses terbentuknya ide baru dari suatu bentuk hingga menjadi suatu bentuk yang memenuhi kebutuhan audiens penerima yang menghendaki. Kami tidak memaaukkan tahap ini karena ia tidak selalu ada. Misalnya, jika inovasi itu dalam bentuk yang siap pakai. Tahap terakhir yang terjadi setelah konsekwensi, adalah menyusutnya inovasi, ini menjadi bagian dari konsekwensi.
Yang memicu terjadinya perubahan dan sebaliknya perubahan sosial dapat juga terhambat kejadiannya selagi ada faktor yang menghambat perkembangannya. Faktor pendorong perubahan sosial meliputi kontak dengan kebudayaan lain, sistem masyarakat yang terbuka, penduduk yang heterogen serta masyarakat yang berorientasi ke masa depan. Faktor penghambat antara lain sistem masyarakat yang tertutup, vested interest, prasangka terhadap hal yang baru serta adat yang berlaku.
Perubahan sosial dalam masyarakat dapat dibedakan dalam perubahan cepat dan lambat, perubahan kecil dan besar serta perubahan direncanakan dan tidak direncanakan. Tidak ada satu perubahan yang tidak meninggalkan dampak pada masyarakat yang sedang mengalami perubahan tersebut. Bahkan suatu penemuan teknologi baru dapat mempengaruhi unsur-unsur budaya lainnya. Dampak dari perubahan sosial antara lain meliputi disorganisasi dan reorganisasi sosial, teknologi serta cultural.

B.    Penyebab Perubahan Sosial
1.     Dari Dalam Masyarakat
ü  Mobilitas Penduduk
Mobilitas penduduk ini meliputi bukan hanya perpindahan penduduk dari desa ke kota atau sebaiiknya, tetapi juga bertambah dan berkurangnya penduduk
ü  Penemuan-penemuan baru (inovasi)
Adanya penemuan teknologi baru, misalnya teknologi plastik. Jika dulu daun jati, daun pisang dan biting (lidi) dapat diperdagangkan secara besar-besaran maka sekarang tidak lagi.
Suatu proses sosial perubahan yang terjadi secara besar-besaran dan dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama sering disebut dengan inovasi atau innovation. Penemuan-penemuan baru sebagai sebab terjadinya perubahan-perubahan dapat dibedakan dalam pengertian-pengertian Discovery dan Invention
Discovery adalah penemuan unsur kebudayaan baru baik berupa alat ataupun gagasan yang diciptakan oleh seorang individu atau serangkaian ciptaan para individu.
Discovery baru menjadi invention kalau masyarakat sudah mengakui dan menerapkan penemuan baru itu.
ü  Pertentangan masyarakat
Pertentangan dapat terjadi antara individu dengan kelompok atau antara kelompok dengan kelompok.
ü  Terjadinya Pemberontakan atau Revolusi
Pemberontakan dari para mahasiswa, menurunkan rezim Suharto pada jaman orde baru. Munculah perubahan yang sangat besar pada Negara dimana sistem pemerintahan yang militerisme berubah menjadi demokrasi pada jaman refiormasi. Sistem komunikasi antara birokrat dan rakyat menjadi berubah (menunggu apa yang dikatakan pemimpin berubah sebagai abdi masyarakat).
2.     Dari Luar Masyarakat
ü  Peperangan
Negara yang menang dalam peperangan pasti akan menanamkan nilai-nilai sosial dan kebudayaannya.
ü  Lingkungan
Terjadinya banjir, gunung meletus, gempa bumi, dll yang mengakibatkan penduduk di wilayah tersebut harus pindah ke wilayah lain. Jika wilayah baru keadaan alamnya tidak sama dengan wilayah asal mereka, maka mereka harus menyesuaikan diri dengan keadaan di wilayah yang baru guna kelangsungan kehidupannya.
ü  Kebudayaan Lain
Masuknya kebudayaan Barat dalam kehidupan masyarakat di Indonesia menyebabkan terjadinya perubahan.

C.    Faktor-faktor Pendorong dan Penghambat Perubahan Sosial
1.     Faktor-faktor Pendorong
ü  Intensitas hubungan/kontak dengan kebudayaan lain
ü  Tingkat Pendidikan yang maju
ü  Sikap terbuka dari masyarakat
ü  Sikap ingin berkembang dan maju dari masyarakat
2.     Faktor-faktor Penghambat
ü  Kurangnya hubungan dengan masyarakat luar
ü  Perkembangan pendidikan yang lambat
ü  Sikap yang kuat dari masyarakat terhadap tradisi yang dimiliki
ü  Rasa takut dari masyarakat jika terjadi kegoyahan (pro kemapanan)
ü  Cenderung menolak terhadap hal-hal baru

D.    Dampak Akibat Perubahan Sosial
Arah perubahan meliputi beberapa orientasi, antara lain (1) perubahan dengan orientasi pada upaya meninggalkan faktor-faktor atau unsur-unsur kehidupan sosial yang mesti ditinggalkan atau diubah, (2) perubahan dengan orientasi pada suatu bentuk atau unsur yang memang bentuk atau unsur baru, (3) suatu perubahan yang berorientasi pada bentuk, unsur, atau nilai yang telah eksis atau ada pada masa lampau. Tidaklah jarang suatu masyarakat atau bangsa yang selain berupaya mengadakan proses modernisasi pada berbagai bidang kehidupan, apakah aspek ekonomis, birokrasi, pertahanan keamanan, dan bidang iptek; namun demikian, tidaklah luput perhatian masyarakat atau bangsa yang bersangkutan untuk berupaya menyelusuri, mengeksplorasi, dan menggali serta menemukan unsur-unsur atau nilai-nilai kepribadian atau jatidiri sebagai bangsa yang bermartabat.
Dalam memantapkan orientasi suatu proses perubahan, ada beberapa faktor yang memberikan kekuatan pada gerak perubahan tersebut, yang antara lain adalah sebagai berikut, (1) suatu sikap, baik skala individu maupun skala kelompok, yang mampu menghargai karya pihak lain, tanpa dilihat dari skala besar atau kecilnya produktivitas kerja itu sendiri, (2) adanya kemampuan untuk mentolerir adanya sejumlah penyimpangan dari bentuk-bentuk atau unsur-unsur rutinitas, sebab pada hakekatnya salah satu pendorong perubahan adanya individu-individu yang menyimpang dari hal-hal yang rutin. Memang salah satu ciri yang hakiki dari makhluk yang disebut manusia itu adalah sebagai makhluk yang disebut homo deviant, makhluk yang suka menyimpang dari unsur-unsur rutinitas, (3) mengokohkan suatu kebiasaan atau sikap mental yang mampu memberikan penghargaan (reward) kepada pihak lain (individual, kelompok) yang berprestasi dalam berinovasi, baik dalam bidang sosial, ekonomi, dan iptek, (4) adanya atau tersedianya fasilitas dan pelayanan pendidikan dan pelatihan yang memiliki spesifikasi dan kualifikasi progresif, demokratis, dan terbuka bagi semua fihak yang membutuhkannya.
Modernisasi, menunjukkan suatu proses dari serangkaian upaya untuk menuju atau menciptakan nilai-nilai (fisik, material dan sosial) yang bersifat atau berkualifikasi universal, rasional, dan fungsional. Lazimnya suka dipertentangkan dengan nilai-nilai tradisi. Modernisasi berasal dari kata modern (maju), modernity (modernitas), yang diartikan sebagai nilai-nilai yang keberlakuan dalam aspek ruang, waktu, dan kelompok sosialnya lebih luas atau universal, itulah spesifikasi nilai atau values. Sedangkan yang lazim dipertentangkan dengan konsep modern adalah tradisi, yang berarti barang sesuatu yang diperoleh seseorang atau kelompok melalui proses pewarisan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Umumnya tradisi meliputi sejumlah norma (norms) yang keberlakuannya tergantung pada (depend on) ruang (tempat), waktu, dan kelompok (masyarakat) tertentu. Artinya keberlakuannya terbatas, tidak bersifat universal seperti yang berlaku bagi nilai-nilai atau values. Sebagai contoh atau kasus, seyogianya manusia mengenakkan pakaian, ini merupakan atau termasuk kualifikasi nilai (value). Semua fihak cenderung mengakui dan menganut nilai atau value ini. Namun, pakaian model apa yang harus dikenakan itu? Perkara model pakaian yang disukai, yang disenangi, yang biasa dikenakan, itulah yang menjadi urusan norma-norma yang dari tempat ke tempat, dari waktu ke waktu, dan dari kelompok ke kelompok akan lebih cenderung beraneka ragam.
Spesifikasi norma-norma dan tradisi bila dilihat atas dasar proses modernisasi adalah sebagai berikut, (1) ada norma-norma yang bersumber dari tradisi itu, boleh dikatakan sebagai penghambat kemajuan atau proses modernisasi, (2) ada pula sejumlah norma atau tradisi yang memiliki potensi untuk dikembangkan, disempurnakan, dilakukan pencerahan, atau dimodifikasi sehingga kondusif dalam menghadapi proses modernisasi, (3) ada pula yang betul-betul memiliki konsistensi dan relevansi dengan nilai-nilai baru. Dalam kaitannya dengan modernisasi masyarakat dengan nilai-nilai tradisi ini, maka ditampilkan spesifikasi atau kualifikasi masyarakat modern, yaitu bahwa masyarakat atau orang yang tergolong modern (maju) adalah mereka yang terbebas dari kepercayaan terhadap tahyul. Konsep modernisasi digunakan untuk menamakan serangkaian perubahan yang terjadi pada seluruh aspek kehidupan masyarakat tradisional sebagai suatu upaya mewujudkan masyarakat yang bersangkutan menjadi suatu masyarakat industrial. Modernisasi menunjukkan suatu perkembangan dari struktur sistem sosial, suatu bentuk perubahan yang berkelanjutan pada aspek-aspek kehidupan ekonomi, politik, pendidikan, tradisi dan kepercayaan dari suatu masyarakat, atau satuan sosial tertentu.
Modernisasi suatu kelompok satuan sosial atau masyarakat, menampilkan suatu pengertian yang berkenaan dengan bentuk upaya untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang sadar dan kondusif terhadap tuntutan dari tatanan kehidupan yang semakin meng-global pada saat kini dan mendatang. Diharapkan dari proses menduniakan seseorang atau masyarakat yang bersangkutan, manakala dihadapkan pada arus globalisasi tatanan kehidupan manusia, suatu masyarakat tertentu (misalnya masyarakat Indonesia) tidaklah sekedar memperlihatkan suatu fenomena kebengongan semata, tetapi diharapkan mampu merespons, melibatkan diri dan memanfaatkannya secara signifikan bagi eksistensi bagi dirinya, sesamanya, dan lingkungan sekitarnya. Adapun spesifikasi sikap mental seseorang atau kelompok yang kondusif untuk mengadopsi dan mengadaptasi proses modernisasi adalah, (1) nilai budaya atau sikap mental yang senantiasa berorientasi ke masa depan dan dengan cermat mencoba merencanakan masa depannya, (2) nilai budaya atau sikap mental yang senantiasa berhasrat mengeksplorasi dan mengeksploitasi potensi-potensi sumber daya alam, dan terbuka bagi pengembangan inovasi bidang iptek. Dalam hal ini, memang iptek bisa dibeli, dipinjam dan diambil alih dari iptek produk asing, namun dalam penerapannya memerlukan proses adaptasi yang sering lebih rumit daripada mengembangkan iptek baru, (3) nilai budaya atau sikap mental yang siap menilai tinggi suatu prestasi dan tidak menilai tinggi status sosial, karena status ini seringkali dijadikan suatu predikat yang bernuansa gengsi pribadi yang sifat normatif, sedangkan penilai obyektif hanya bisa didasarkan pada konsep seperti apa yang dikemukakan oleh D.C. Mc Clelland (Koentjaraningrat, 1985), yaitu achievement-oriented, (4) nilai budaya atau sikap mental yang bersedia menilai tinggi usaha fihak lain yang mampu meraih prestasi atas kerja kerasnya sendiri.
Tanpa harus suatu masyarakat berubah seperti orang Barat, dan tanpa harus bergaya hidup seperti orang Barat, namun unsur-unsur iptek Barat tidak ada salahnya untuk ditiru, diambil alih, diadopsi, diadaptasi, dipinjam, bahkan dibeli. Manakala persyaratan ini telah dipenuhi dan keempat nilai budaya atau sikap mental yang telah ditampilkan telah dimiliki oleh suatu masyarakat tersebut. Khusus untuk masyarakat di Indonesia, sejarah masa lampau mengajarkan bahwa sistem ekonomi, politik, dan kebudayaan dari kerajaan-kerajaan besar di Asia seperti India dan Cina, yang diadopsi dan diadaptasi oleh kerajaan-kerajaan di Nusantara ini, seperti Sriwijaya dan Majapahit, namun fakta sejarah tidak membuktikan bahwa orang-orang Sriwijaya dan Majapahit, dalam pengadopsian dan pengadaptasian nilai-nilai kebudayaan tadi sekaligus menjadi orang India atau Cina.
Proses modernisasi sampai saat ini masih tampak dimonopoli oleh masyarakat perkotaan (urban community), terutama di kota-kota Negara Sedang Berkembang, seperti halnya di Indonesia. Kota-kota di negara-negara sedang berkembang menjadi pusat-pusat modernisasi yang diaktualisasikan oleh berbagai bentuk kegiatan pembangunan, baik aspek fisik-material, sosio-kultural, maupun aspek mental-spiritual. Kecenderungan-kecenderungan seperti ini, menjadikan daerah perkotaan sebagai daerah yang banyak menjanjikan kehidupan yang lebih baik bagi penduduk pedesaan, terutama bagi generasi mudanya. Obsesi semacam ini menjadi pendorong kuat bagi penduduk pedesaan untuk beramai-ramai membanjiri dan memadati setiap sudut daerah perkotaan, dalam suatu proses sosial yang disebut urbanisasi. Fenomena demografis seperti ini, selanjutnya menjadi salah satu sumber permasalahan bagi kebijakan-kebijakan dalam upaya penataan ruang dan kehidupan masyarakat perkotaan. Sampai dengan saat sekarang ini masalah perkotaan ini masih menunjukkan gelagat yang semakin ruwet dan kompleks.
 

DAFTAR PUSTAKA


Aris Tanudirjo, Daud. 1993. Sejarah Perkembangan Budaya di Dunia dan di Indonesia. Yogyakarta:Widya Utama

Gumgum Gumilar, 2001. Teori Perubahan Sosial. Unikom. Yogyakarta.

Soekmono, R.tt. 1988. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia. Jakarta:Kanisius

Suyanto, 2002. Merefleksikan Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia. Kompas, 17 Desember 2002, hal. 5.

http://jibis.pnri.go.id/informasi-rujukan/indeks-makalah/thn/2007/bln/03/tgl/29/id/1002

http://id.wikipedia.org/wiki/Perubahan_sosial_budaya