Sabtu, 29 Juni 2013

Pluralis dan Toleransi


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Masalah pluralisme agama yang pada awalnya biasa saja akhirnya menjadi masalah yang sangat dilematik dan problematik. Pluralisme agama yang mula-mula hanya "fakta sosiologis" berubah menjadi masalah teologis sejak zaman Nabi, dan sekarang menjadi masalah bangsa. Terlebih pluralisme agama cenderung mengarah pada konflik yang dilandaskan pada truth claim setiap agama, termasuk Islam. Dari sana masalah pluralisme agama memang benar-benar menjadi "ancaman modernisme Islam". Maraknya konflik kekerasan akhir-akhir ini, mendorong para agamawan  mempertanyakan kembali bagaimana konsep tentang  pluralisme agama, dan bagaimana aplikasi pluralisme dalam masyarakat. Apakah pluralisme agama dilihat sebagai integrating/actors  ataukah sebagai  dividing factors.  Di sinilah sebenarnya pedebatan tentang pluralisme agama menjadi semakin ramai dan menemukan relevansinya. Pandangan tentang pluralisme sendiri ada beberapa hal yang secara tidak langsung dikaitkan dengan pandangan dan responsnya terhadap agama lain.
Sekurangnya-kurangnya ada lima pandangan tentang pluralisme agama. Pertama,  eksklusivisme absolut, yang melihat bahwa kebenaran hanya ada pada agamanya sendiri. Agama orang  lain salah, bahkan "agama setan". Pandangan semacam ini merupakan cara pandang mayoritas umat beragama di dunia, termasuk di negeri ini.
Kedua, relativisme absolut, cara pandang yang melihat bahwa setiap agama memiliki kebenaran, tetapi tidak bisa diperbandingkan. Pengakuan akan adanya kebenaran pada bentuk agama yang dianut memang harus dipertahankan. Akan tetapi pengakuan semacam ini juga harus memberi tempat pada bentuk agama lain juga sebagai kebenaran yang diakui secara mutlak oleh para pemeluknya. Kemutlakan yang diyakini oleh setiap penganut agama pada tataran bentuk ini tetap harus dilihat secara relatif.
Ketiga,  pluralisme hegemonik. Cara pandang yang menyatakan bahwa terdapat kebenaran dalam setiap agama, tetapi kebenaran yang paling sempurna ada pada agama sendiri. Agama lain memiliki kebenaran tetapi tidak sebagaimana agamanya. Sikap pluralisme semacam ini bisa disebut sebagai pluralisme standar ganda. Menganggap ada banyak kebenaran, tetapi kebenaran mutlak hanyalah pada agamanya. Pandangan keagamaan seperti ini terjadi sampai abad ke-20 di kalangan Katolik dan Kristen, sebagaimana dijelaskan Karl Rehner. Islam, oleh Ninian Smart, dimasukkan sebagai agama yang memiliki cara pandang pluralisme hegemonik, karena sekalipun mengakui kebenaran agama Yahudi dan Kristen tetap menyatakan bahwa Islamlah agama yang paling benar dan sempurna.
Keempat, pluralisme realistik, yaitu cara pandang yang menyatakan bahwa semua agama memiliki posisi yang sama dalam kebenaran. Masing-masing memiliki kebenaran dengan kadarnya sendiri-sendiri. Dan keilma, pluralisme regulatif suatu cara pandang tentang kebenaran agama yang terdapat pada tiap-tiap agama yang pada suatu saat akan bersatu karena mengalami evolusi.
Dari kelima cara pandang atas pluralisme agama tersebut, dalam perkembangannya masyarakat agama belakangan ini barangkali cenderung menempatkan diri pada posisi pluralisme hegemonik, bahkan eksklusivisme absolut yang bukan saja belum melihat pluralisme agama sebagai bagian agama-agama yang memiliki kebenaran, tetapi tidak sempurna, melainkan malahan kebenaran dianggap hanya ada pada dirinya, sehingga agama lain tidak lebih dari agama sesat, dan "agama setan".
Jika kemudian kita menengok sejarah kelam agama-agama di Indonesia yang seakan-akan penuh konflik sosial sejatinya karena apa yang terjadi selama puluhan tahun kita lalai dengan pesan dasar para founding fathers bangsa ini. Dengan demikian hubungan antarumat beragama perlu mendapat nama baru, dan substansi baru. Selain menimbulkan sikap apologetis, juga kerukunan atau toleransi hanya cocok untuk masyarakat agraris, tetapi tidak sesuai untuk masyarakat industrial. Kerukunan itu mengarah ke dalam masyarakat beragama sendiri, berorientasi ke belakang ke zaman "normal", dan merujuk pada status quo. Yang diperlukan adalah konsep baru yang bersifat keluar dan tidak asyik dengan diri sendiri saja, melihat ke depan dengan bersama-sama menghadapi masa depan kemanusiaan, dan dinamis yang merujuk pada kerjasama. Oleh karena itu, kerukunan atau toleransi sudah saatnya digantikan dengan  kerjasama atau koperasi;  di masa depan yang diperlukan bukan kerukunan atau toleransi, tetapi kerjasama atau koperasi antarumat beragama (ta’awun ‘ala al-birri wa at-taqwa). 
Dengan kata lain, hubungan antarumat beragama sudah saatnya bergerak dari inward looking ke outward looking. Lebih jauh, dialog antaragama bukan hanya bertujuan untuk hidup bersama secara damai dengan membiarkan pemeluk agama lain ada (ko-eksistensi), melainkan juga berpartisipasi secara aktif meng-ada-kan pemeluk lain itu (pro-eksistensi).[1] Artinya, dialog tidak hanya mengantarkan pada sikap bahwa setiap agama berhak untuk bereksistensi secara bersama-sama, melainkan juga mengakui dan mendukung — bukan berarti menyamakan — eksistensi semua agama. Barangkali inilah yang dimaksudkan oleh Raimundo Panikkar dengan istilah dialog intra-religius, yaitu yang tidak hanya menuntut suatu sikap inklusif, melainkan juga sikap paralelisme, dengan mengakui bahwa agama merupakan jalan-jalan yang sejajar.
Dalam konteks era transisi demokrasi di Indonesia, maka kerjasama atau koperasi antarumat beragama menjadi penting dakm pemberdayaan demokrasi. Sebagaimana dinyatakan oleh Robert W. Hefner, bahwa demokratisasi memerlukan  organisasi  warga yang bercirikan kesukarelaan, asosiasi independen, dan keseimbangan kekuasaan antara negara dan masyarakat yang sama baiknya dengan organisasi warga itu sendiri. Semua ini dapat membantu menciptakan komitmen dan keseimbangan yang sesuai dengan kebiasaan demokrasi. Akan tetapi, aktivitas-aktivitas ini masih belum cukup jika tetap menjadi pengalaman kelompok-kelompok yang terisolir. Demokrasi pada akhirnya memerlukan  budaya publik yang diambil dari pengalaman yang terpisah ini untuk mempromosikan kebiasaan partisipasi dan toleransi yang bersifat universal. Budaya warga ini meningkatkan kebiasaan-kebiasaan demokrasi yang diajarkan, antara lain dakm asosiasi-asosiasi warga sehingga membuat sifat-sifat terbaiknya tersedia bagi seluruh masyarakat. Diskusi mutakhir meneenai kondisi  vane membuat demokrasi berfungsi seluruhnva konsisten dalam menekankan bahwa demokrasi tergantung tidak saja pada negara, melainkan juga pad budaya dan organisasi masyarakat secara keseluruhan. Kesemuanya  itu harus terlibat dalam interaksi yang saling menguntungkan.[2]
Kerjasama kemanusiaan yang dimiliki oleh setiap agama seperti prinsip kejujuran keadilan, musyawarah, persamaan dan solidaritas hemat saya dapat menjadi bagian strategis kerjasama antarumat bergama di negeri pluralistik ini. Agama-agama sudah seharusnya lebih banyak memperbincangkan masalah kemanusiaan dalam masarakat ketimbang membahas masalah-masalah teologis yang starandarnya seringkali berbeda-beda antara satu dan lainnya. Tidak boleh ada standar ganda dalam berdialog dan kerjasama sehingga tetapi menyisakan pertanyaan, jangan-jangan kita akan dimanfaatkan dan atau kita memanfaatkan mereka, sebab kita jauh lebih baik dari mereka. Karena perbedaan cara pandang teologi itulah, padahal masalah teologi tidak semuanya murni agama, itu hanya sebagain bahagian dari beragama, jika kita mengikuti perspekti: agama dari  kaum akademisi khususnya sosiolog, yang mengkatagorikan agama adalah  adanya sistem keyakinan, sistem simbol-ritual dan sistem organisasi. Dimana di dalamnya; ada pemimpin, umat, kitab dan hierarki lainnya.
Kini, multikulturalisme sedang menjadi isu penting, utamanya pasca merebaknya rangkaian konflik etnik dan agama. Isu ini tidak hanya berkaitan dengan problem mengelola kemajemukan, keragaman serta pengakuan akan keberbedaan, bahkan sudah merambah ke dunia pendidikan. Beberapa pakar yang memiliki shared concern terhadap ide ini, mulai menggagas pentingnya pendidikan multikultural untuk masyarakat Indonesia, suatu pendidikan yang dirancang khusus untuk menciptakan struktur dan proses yang membuka dan memberi kesempatan yang sama pada semua ekspresi kultural dan agama senyatanya.
Pendidikan agama yang berwawasan multikultural menawarkan pendekatan dialogis untuk menanamkan kesadaran hidup bersama dalam keragaman dan perbedaan. Pendidikan ini dibangun atas semangat kesetaraan dan kesederajatan, saling percaya, saling memahami, menghargai persamaan, perbedaan dan keunikan. Model pendidikan seperti akan memberi konstruk pendidikan yang bebas dari prasangka dan stereotipe mengenai agama orang lain. Melalui pendidikan multikultural ini, kita  mengharapkan agar para pelajar, generasi muda dapat membebaskan dirinya dari prasangka, bias dan diskriminasi atas nama apapun, baik itu agama, etnik, budaya maupun kelas sosial.
Perumusan dan implementasi pendidikan multikultural ini, memang masih memerlukan pembahasan serius dan khusus, baik mengenai isinya, maupun strategi yang ditempuh. Terlepas dari itu, yang jelas pembinaan kerukunan umat beragama bagi generasi muda saat ini membutuhkan pendidikan multikultural, yang diharapkan dapat memberikan kontribusi penting bagi pembentukan “kebhinnekaan” yang diikat “keikaan” yang betul-betul aktual, tidak hanya sekedar slogan dan jargon.
B.     Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan-permasalahan sebagai berikut :
1.      Bagaimana pengertian dan konsepsi pluralis dan toleran?
2.      Bagaimana karakteristik masyarakat pluralis dan toleran?
C.    Tujuan Pembahasan
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan pembahasan dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Untuk mengetahui pengertian dan konsepsi pluralis dan toleran;
2.      Untuk mengetahui karakteristik masyarakat pluralis dan toleran.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian dan Konsepsi Pluralis serta Toleransi
Secara etimologi, pluralisme agama, berasal dari dua kata, yaitu "pluralisme" dan "agama". Dalam bahasa Arab diterjemahkan "al-ta'addudiyyah al-diniyyah" dan dalam bahasa Inggris "religious pluralism". Oleh karena istilah pluralisme agama berasal dari bahasa Inggris, maka untuk mendefinisikannya secara akurat harus merujuk kepada kamus bahasa tersebut. Pluralism berarti "jama'" atau lebih dari satu. Pluralism dalam bahasa Inggris menurut Anis Malik Thoha mempunyai tiga pengertian. Pertama, pengertian kegerejaan: (i) sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur kegerejaan, (ii) memegang dua jabatan atau lebih secara bersamaan, baik bersifat kegerejaan maupun non kegerejaan. Kedua, pengertian filosofis; berarti sistem pemikiran yang mengakui adanya landasan pemikiran yang mendasarkan lebih dari satu.[3] Sedangkan ketiga, pengertian sosio-politis: adalah suatu system yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok, baik yang bercorak ras, suku, aliran maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat kerakteristik di antara kelompok-kelompok tersebut.
Namun dari segi konteks dimana "pluralisme agama' sering digunakan dalam studi-studi dan wacana sosio-ilmiah pada era modern ini, memiliki definisi yang berbeda. John Hick, yang dikutip Anis Malik Thoha misalnya menyatakan : "…pluralisme agama adalah suatu gagasan bahwa agama-agama besar dunia merupakan persepsi dan konsepsi yang berbeda tentang, dan secara bertepatan merupakan respon real atau Yang Maha Agung dari dalam pranata cultural manusia yang bervariasi; dan bahwa transpormasi wujud manusia dari pemusatan-diri menuju pemusatan hakiki terjadi secara nyata dalam setiap masing-masing pranata cultural manusia tersebut dan terjadi, sejauh yang dapat diamati, sampai pada batas yang sama". Dengan kata lain, Hick menurut Anis menegaskan sejatinya semua agama adalah merupakan manifestasi-manifestasi dari realitas yang satu. Dengan demikian, semua agama sama dan tak ada yang lebih baik dari yang lain.
Majelis Ulama Indonesia mendefiniskan Pluralisme Agama sebagai : "Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga". Lebih lanjut Nurchalish Madjid yang dikutip Adian Husaini, dalam majalah Media Dakwah Edisi No. 358 tahun 2005 pluralisme agama adalah istilah khas dalam teologi. Dia juga menyatakan bahwa ada tiga sikap dialog agama yang dapat diambil, yaitu pertama, sikap ekslusif dalam melihat agama lain (agama-agama yang lain adalah jalan yang salah, yang menyesatkan bagi pengikutnya; kedua, sikap inklusif (Agama-agama lain adalah bentuk inplisit agama kita); ketiga sikap pluralis yang biasa terekspresi dalam macam-macam rumusan, misalnya " Agama-agama lain adalah jalan yang sama-sama sah untuk mencapai kebenaran yang sama", "Agama-agama lain berbicara secara berbeda, tetapi merupakan kebenaran-kebenaran yang sama sah". Atau ' Setiap agama mengekspresikan bagian penting sebuah kebenaran.”[4]
Sementara dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) “Pluralisme” berasal dari kata “plural” yang artinya jamak atau lebih dari satu. Pluralistis mengandung arti banyak macam, bersifat keadaan masyarakat yang majemuk (bersangkutan dengan sistem sosial dan politiknya). Menurut M. Shiddiq al-Jawi Istilah Pluralisme (agama) sebenarnya mengandung 2 (dua) hal sekaligus, pertama, gambaran realitas bahwa di sana ada keanekaragaman agama. Kedua, pandangan atau pendirian filosofis tertentu menyikapi realitas keanekaragaman agama yang ada.[5]
Sedangkan dalam Islam yang dimaksud pluralisme adalah paham kemajemukan yang melihatnya sebagai suatu kenyataan yang bersifat positif dan sebagai keharusan bagi keselamatan umat manusia.[6] Pluralitas merupakan kemajemukan yang didasari oleh keutamaan (keunikan) dan kekhasan. Pluralitas tidak dapat dimasukan kepada kesatuan yang tidak mempunyai bagian-bagian yang tidak menciptakan “keutamaan”, ”keunikan”, dan ”kekhasan” tersendiri.  Tanpa adanya kesatuan yang mencakup seluruh segi maka tidak dapat dibayangkan kemajemukan, keunikan, kekhasan atau pluralitas itu. Demikian juga sebaliknya. Pluralisme atau kemajemukan adalah kenyataan yang telah menjadi kehendak Tuhan, sebagaimana dinyatakan dalam al-Quran (QS. al-Hujurat [49] ayat 13) :
$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.sŒ 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© Ÿ@ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ׎Î7yz
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. al-Hujarrat : 13).
Tetapi yang paling penting adalah bagaimana umat islam mengembangkan dimensi pluralitas itu sehingga menerima pluralisme, yakni sistem nilai yang memandang secara positif-optimis terhadap kemajemukan itu sendiri, dengan menerimanya sebagai kenyataan dan berbuat sebaik mungkin atas dasar kenyataan itu. Pluralisme dan kemajemukan bersifat  “Alami dalam diri manusia dan mereka diciptakan dengan kesiapan untuk itu” serta ditakdirkan untuknya. Pluralisme dan kemajemukan adalah “Ciptaan Illahi”, bukan sekedar sesuatu yang dibolehkan atau satu macam hak dari hak asasi manusia. Jika kemajemukan dan pluralitas merupakan faktor-faktor yang membuahkan perbedaan maka faktor kesatuan kemanusiaan menjadi ikatan persatuan mereka. Karena “tidak mungkin manusia berbeda pada lahir mereka, tetapi tidak berbeda dalam batin mereka. Dan tidak sesuai pula dengan hikmah jika sesuatu terus membanyak, tapi tidak berbeda-beda. Juga tidak mungkin jika suatu jenis dan macam telah disatukan, tapi elemen-elemennya tidak kunjung bertemu dan bersatu.
Hubungan islam dan pluralisme memiliki dasar argumentasi yang kuat. Menurut Nurcholish Majid hal itu berangkat dari semangat humanitas dan universalitas Islam.[7] Yang dimaksud dengan semangat humanitas adalah Islam merupakan agama kemanusiaan (fitrah) atau dengan kata lain cita-cita Islam sejalan dengan cita-cita manusia pada umumnya. Dan misi Nabi Muhammad adalah untuk mewujudkan rahmat bagi seluruh alam, jadi bukan semata-mata untuk menguntungkan komunitas islam saja. Sedangkan pengertian universalitas islam dapat dilacak dari term al-islam yang berarti sikap pasrah pada Tuhan . dengan pengertian tersebut, semua agama yang benar pasti bersifat al-islam. Tafsir al-islam seperti ini bermuara pada konsep kesatuan kenabian dan kerasulan, yang kemusiaan dalam urutannya membawa kepada konsep kesatuan umat yang beriman.[8]
Sementara itu, dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, toleransi berasal dari kata “toleran” (Inggris: tolerance; Arab: tasamuh) yang berarti batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan. Secara etimologi, toleransi adalah kesabaran, ketahanan emosional, dan kelapangan dada.[9] Sedangkan menurut istilah (terminologi), toleransi yaitu bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, dan sebagainya) yang berbeda dan atau yang bertentangan dengan pendiriannya.[10] Jadi, toleransi beragama adalah ialah sikap sabar dan menahan diri untuk tidak mengganggu dan tidak melecehkan agama atau sistem keyakinan dan ibadah penganut agama-agama lain.
Dari kajian bahasa di atas, toleransi mengarah kepada sikap terbuka dan mau mengakui adanya berbagai macam perbedaan, baik dari sisi suku bangsa, warna kulit, bahasa, adapt-istiadat, budaya, bahasa, serta agama. Ini semua merupakan fitrah dan sunnatullah yang sudah menjadi ketetapan Tuhan. Seluruh manusia tidak akan bisa menolak sunnatullah ini. Dengan demikian, bagi manusia, sudah selayaknya untuk mengikuti petunjuk Tuhan dalam menghadapi perbedaan-perbedaan itu. Toleransi antar umat beragama yang berbeda termasuk ke dalam salah satu risalah penting yang ada dalam system teologi Islam. Karena Tuhan senantiasa mengingatkan kita akan keragaman manusia, baik dilihat dari sisi agama, suku, warna kulit, adat-istiadat, dan sebagainya.
Konsep toleransi yang ditawarkan Islam sangatlah rasional dan praktis serta tidak berbelit-belit. Namun, dalam hubungannya dengan keyakinan (akidah) dan ibadah, umat Islam tidak mengenal kata kompromi. Ini berarti keyakinan umat Islam kepada Allah tidak sama dengan keyakinan para penganut agama lain terhadap tuhan-tuhan mereka. Demikian juga dengan tata cara ibadahnya. Bahkan Islam melarang penganutnya mencela tuhan-tuhan dalam agama manapun. Maka kata tasamuh atau toleransi dalam Islam bukanlah “barang baru”, tetapi sudah diaplikasikan dalam kehidupan sejak agama Islam itu lahir.
Karena itu, agama Islam menurut hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Rasulullah saw. pernah ditanya tentang agama yang paling dicintai oleh Allah, maka beliau menjawab: al-Hanafiyyah as-Samhah (agama yang lurus yang penuh toleransi), itulah agama Islam.[11]
Sikap toleransi antar umat beragama bisa dimulai dari hidup bertetangga baik dengan tetangga yang seiman dengan kita atau tidak. Sikap toleransi itu direfleksikan dengan cara saling menghormati, saling memuliakan dan saling tolong-menolong. Hal ini telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. ketika suatu saat beliau dan para sahabat sedang berkumpul, lewatlah rombongan orang Yahudi yang mengantar jenazah. Nabi saw. langsung berdiri memberikan penghormatan. Seorang sahabat berkata: “Bukankah mereka orang Yahudi wahai rasul?” Nabi saw. menjawab “Ya, tapi mereka manusia juga”. Jadi sudah jelas, bahwa sisi akidah atau teologi bukanlah urusan manusia, melainkan Tuhan SWT dan tidak ada kompromi serta sikap toleran di dalamnya. Sedangkan kita bermu’amalah dari sisi kemanusiaan kita. Mengenai sistem keyakinan dan agama yang berbeda-beda, al-Qur’an menjelaskan pada ayat terakhir surat al-Kafirun :
Bahwa prinsip menganut agama tunggal merupakan suatu keniscayaan. Tidak mungkin manusia menganut beberapa agama dalam waktu yang sama; atau mengamalkan ajaran dari berbagai agama secara simultan. Oleh sebab itu, al-Qur’an menegaskan bahwa umat islam tetap berpegang teguh pada system ke-Esaan Allah secara mutlak; sedangkan orang kafir pada ajaran ketuhanan yang ditetapkannya sendiri. Dalam ayat lain Allah juga menjelaskan tentang prinsip dimana setiap pemeluk agama mempunyai sistem dan ajaran masing-masing sehingga tidak perlu saling hujat menghujat.
Pada taraf ini konsepsi tidak menyinggung agama kita dan agama selain kita, juga sebaliknya. Dalam masa kehidupan dunia, dan untuk urusan dunia, semua haruslah kerjasama untuk mencapai keadilan, persamaan dan kesejahteraan manusia. Sedangkan untuk urusan akhirat, urusan petunjuk dan hidayah adalah hak mutlak Tuhan SWT. Maka dengan sendirinya kita tidak sah memaksa kehendak kita kepada orang lain untuk menganut agama kita.
B.     Masyarakat Pluralis dan Toleransi
Salah satu faktor pendorong untuk memunculkan pandangan yang menyatakan semua agama sama adalah kebutuhan untuk menciptakan kehidupan yang damai dalam masyarakat majmuk seperti di Indonesia. Pengalaman sejarah mengajarkan bahwa perbedaan agama serta aliran dalam suatu agama sering menimbulkan hubungan yang tidak harmonis antara sesama warga dari suatu kelompok masyarakat. Bahkan, agama menjadi penyulut konflik dan peperangan. Oleh karena itu, pembinaan sikap toleran di antara umat beragama memang sangat diperlukan. Hanya saja, pendekatan dan strategi yang digunakan perlu dikaji dengan seksama agar tidak kontra produktif.
Sikap toleran dalam beragama tidak perlu dibentuk dengan menyatakan bahwa semua agama sama karena kenyataannya masing-masing agama memang berbeda. Anak didik harus disadarkan bahwa suatu agama berbeda dengan agama lain serta diajari bagaimana memilih agama secara benar dan bertanggung jawab. Setiap penganut agama harus dididik setia dan yakin sepenuhnya akan kebenaran dan keunggulan agama yang dianutnya. Anak-anak harus dididik untuk mencintai dan menegakkan agama yang dianutnya dengan ikhlas dan penuh kesungguhan. Ia harus selalu konsisten untuk tunduk pada agamanya serta menjalani hidup sesuai dengan agama yang dianutnya.
Toleransi harus ditanamkan dengan pengertian yang benar dan kesadaran yang penuh, bukan dengan pengelabuan, paksaan, dan intimidasi. Dalam konteks ini, al-Quran mengajarkan bahwa dalam beragama tidak boleh ada pemaksaan (la ikraha fi al-din). Agama harus dilandasi syahadat, pengakuan yang tulus atas dasar pemahaman yang benar. Di samping itu, Islam juga mendorong umatnya untuk selalu berbuat baik terhadap orang lain tanpa melihat perbedaan agama atau keyakinan. Tidak ada satu ayat al-Quran atau Sunnah Nabi pun yang mengajarkan untuk membenci dan mencela orang lain yang tidak seagama. Dari segi agama, penyerangan dan intimidasi terhadap orang-orang yang tidak seiman adalah dosa. Keinginan untuk menyebarkan paham atau agama sendiri kepada orang lain harus dilakukan dengan penuh kasih sayang dan sikap terbuka, bukan dengan marah, kebencian, intimidasi atau berbagai umpan yang menggiurkan. Kesuksesan dakwah Nabi Muhammad justru ditentukan oleh sikap beliau yang sangat toleran terhadap mereka yang belum beriman. Islam sendiri datang sebagai pembawa rahmat bagi alam semesta. Perintah perang dalam Islam adalah untuk menciptakan kedamaian, yaitu ketika pihak lain melanggar hak-hak seorang Muslim, bukan sebagai cara untuk mengislamkan orang lain.
Dalam toleransi, diperlukan saling menghargai dan menghormati paham dan pandangan masing-masing. Betapapun kita yakin akan kekeliruan dan kesalahan paham atau agama seseorang, tidak ada hak kita untuk membenci dan memarahinya. Tidak ada hak seseorang untuk menghukum orang lain atas kekeliruan paham dan kesalahan agamanya. Tugas seorang ‘alim, dalam Islam, hanyalah menyampaikan dan mengingatkan selama peringatan masih berguna bagi yang bersangkutan. Jika tidak, maka berlaku ayat lakum dinukum waliyadin.  
Undang-undang Pendidikan Nasional menyuratkan tentang pendidikan berbasis masyarakat,[12] yang didalamnya disebutkan bahwa pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh dan untuk masyarakat. Dari ketentuan yang tersurat dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional terlihat bahwa pendidikan berbasis masyarakat ditujukan untuk memperoleh output pendidikan  yang dapat berperan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Namun penulis kuatir, keberadaan dari pendidikan  berbasis masyarakat ini justru akan menajamkan friksi  kemajemukan masyarakat bangsa Indonesia, karena dengan penyelenggaraan pendidikan yang  diselenggarakan berdasarkan karakteristik wilayah, sosial dan budaya masayarakat Indonesia maka ego kedaerahan akan semakin  tinggi dan ini sangat berbahaya.
Sejauh ini, toleransi itu adalah hal yang paling penting di dalam melakukan praktik dan pelaksanaan demokrasi. Tapi belum dijelaskan arti dari kata itu, apa arti sebenarnya toleransi itu? Apakah yang dimaksud dengan bahwa apa saja yang dipikirkan seseorang itu baik?. Apakah maksudnya bahwa tiap orang harusnya merasakan empati dengan orang yang memiliki keyakinan atau kehidupan yang berbeda? Memang, yang paling penting dipahami dalam konsep toleransi itu bahwa Toleransi mejadi paling penting saat seseorang tidak setuju atau merasa tidak empati dengan yang lainya. Kapan saja orang bertemu dengan keadaan ini dimuka umum, orang itu haruslah ingat bahwa semuanya warga negara memiliki hak-ak dasar (hak azazi) dan hukum yang sama. Jadi dengan demikian ”toleransi” adalah kemampuan dan kemauan orang itu sendiri dan masyarakat umum untuk berhati-hati terhadap hak-hak orang golongan kecil/minoritas dimana mereka hidup dalam peraturan yang dirumuskan oleh mayoritas yang memang adalah arti dasar demokrasi itu.
Sementara itu, melihat peran pentingnya sikap pluralisme untuk bisa mengakui dan menghormati  “perbedaan” dan sikap seperti ini ternyata memiliki landasan teologis dari Al-Qur’an maka, teologi pluralisme seperti ini sangat penting untuk ditekankan pada peserta didik melalui pendidikan agama, sebab persoalan teologi sampai sekarang masih menimbulkan kebingungan di antara agama-agama. Soal teologi yang menimbulkan kebingungan adalah standar: bahwa agama kita adalah agama yang paling sejati berasal dari Tuhan, sedangkan agama lain adalah hanya kontruksi manusia. Dalam sejarah, standar ganda ini biasanya dipakai untuk menghakimi agama lain dalam derajad keabsahan teologis di bawah agama kita sendiri. Lewat standar ganda inilah kita menyaksikan bermunculnya perang klaim-klaim kebenaran dan janji penyelamatan, yang kadang-kadang kita melihatnya berlebihan, dari satu agama atas agama lain.
Demi tujuan itu, maka pendidikan sebenarnya masih dianggap sebagai instrumen penting. Sebab, “pendidikan” sampai sekarang masih diyakini mempunyai peran besar dalam membentuk karakter individu-individu yang dididiknya, dan mampu menjadi “guiding light” bagi generasi muda penerus bangsa. Dalam konteks inilah, pendidikan agama sebagai media penyadaran umat perlu membangun teologi inklusif dan pluralis, demi harmonisasi agama-agama (yang telah menjadi kebutuhan masyarakat agama sekarang). Hal tersebut dengan suatu pertimbangan, bahwa salah satu peran dan fungsi pendidikan agama diantaranya adalah untuk meningkatkan keberagamaan peserta didik dengan keyakinan agama sendiri, dan memberikan kemungkinan keterbukaan untuk mempelajari dan mempermasalahkan agama lain sebatas untuk menumbuhkan sikap toleransi.[13] Ini artinya, pendidikan agama pada prinsipnya, juga ikut andil dan memainkan peranan yang sangat besar dalam menumbuh-kembangkan sikap-sikap pluralisme dalam diri siswa.
Apalagi, kalau mencermati pernyatan yang telah disampaikan oleh Alex R. Rodger bahwa “pendidikan agama merupakan bagian integral dari pendidikan pada umumnya dan berfungsi untuk membantu perkembangan pengertian yang dibutuhkan bagi orang-orang yang berbeda iman, sekaligus juga untuk memperkuat ortodoksi keimanan bagi mereka”.[14] Artinya pendidikan agama adalah sebagai wahana untuk mengekplorasi sifat dasar keyakinan agama di dalam proses pendidikan dan secara khusus mempertanyakan adanya bagian dari pendidikan keimanan dalam masyarakat. Pendidikan agama dengan begitu, seharusnya mampu merefleksikan persoalan pluralisme, dengan mentransmisikan nilai-nilai yang dapat menumbuhkan sikap toleran, terbuka dan kebebasan dalam diri generasi muda.
Sedangkan secara umum, pandangan Islam terhadap agama lain (Ahli Kitab—pen) sangat positif dan sangat kontruktif. Hal ini dapat dilihat dari nilai dan ajarannya yang memberikan peluang dan mendorong kepada umat Islam untuk dapat melakukan interaksi sosial, kerja sama dengan mereka. Tentang hal ini, Farid Asaeck telah menunjukkan bukti-bukti sebagai berikut :
Pertama, Ahli  Kitab, sebagai penerima wahyu, diakui sebagai bagian dari komunitas. Ditujukan kepada semua nabi, al-Qur’an mengatakan: “Dan sungguh inilah umatmu, umat yang satu” (QS al-Mu’miuun: 52). Sehingga konsep Islam tentang para pengikut Kitab Suci atau Ahli Kitab yaitu konsep yang memberikan pengakuan tertentu kepada para penganut agama lain, yang memiliki Kitab Suci dengan memberikan kebebasan menjalankan ajaran agamanya masing-masing.
Kedua, dalam dua bidang sosial terpenting, makanan dan perkawinan, sikap murah hati al-Qur’an terlihat jelas, bahwa makanan “orang-orang yang diberi Alkitab” dinyatakan sebagai sah (halal) bagi kaum muslim dan makanan kaum muslim sah bagi mereka (QS al-Maidah: 5). Demikian juga, pria muslim diperkenankan mengawini “wanita suci dari Ahli Kitab” (QS al-Maidah: 5). Jika kaum Muslim diperkenankan hidup berdampingan dengan golongan lain dalam hubungan yang seintim hubungan perkawinan, ini menunjukkan secara eksplisit bahwa permusuhan tidak dianggap sebagai norma dalam hubungan Muslim-kaum lain.
Ketiga, dalam bidang hukum agama, norma-norma dan peraturan kaum Yahudi dan Nasrani diakui (QS al-Maidah: 47) dan bahkan dikuatkan oleh Nabi ketika beliau diseru untuk menyelesaikan perselisihan di antara mereka (QS al-Maidah: 42-43). Keempat, kesucian kehidupan religius penganut agama wahyu lainya ditegaskan oleh fakta bahwa izin pertama yang pernah diberikan bagi perjuangan bersenjata dimaksudkan untuk menjamin terpeliharanya kesucian ini, “Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagai manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja dan sinagog-sinagog orang Yahudi, dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak di sebut nama Allah” (QS al-Hajj: 40).[15]
Perintah Islam agar umatnya bersikap toleran, bukan hanya pada agama Yahudi dan Kristen, tetapi juga kepada agama-agama lain. Ayat 256 surat al-Baqarah mengatakan bahwa tidak ada paksaan dalam soal agama karena jalan lurus dan benar telah dapat dibedakan dengan jelas dari jalan salah dan sesat. Terserahlan kepada manusia memilih jalan yang dikehendakinya. Telah dijelaskan mana jalan benar yang akan membawa kepada kesengsaraan. Manusia merdeka memilih jalan yang dikehendakinya. Kemerdekaan ini diperkuat oleh ayat 6 surah al-Kafirun yang mengatakan: Bagimulah agamamu dan bagiku agamaku.   
Demikianlah beberapa prinsip dasar al-Qur’an yang berkaitan dengan masalah pluralisme dan anjuran untuk dapat menunjukkan sikap saling menghormati, ramah dan bersahabat dengan agama Kristen, secara khusus. Dengan begitu, jauh-jauh hari, al-Qur’an sesungguhnya telah mensinyalir akan munculnya bentuk “truth claim.[16] Baik itu dalam wilayah intern umat beragama maupun wilayah antar-umat beragama. Kedua-duanya, sama-sama tidak favourable dan tidak kondusif bagi upaya membangun tata pergaulan masyarakat pluralistik yang sehat.
Dengan begitu, dapat pula dikatakan konsepsi pluralisme dalam Islam sudah terbawa pada misi awal agama ini diturunkan, yakni membawa kasih terhadap seluruh alam tanpa batas-batas atau benturan-benturan dimensi apapun. Semua orang yang mengaku Islam haruslah menunjukkan sikap saling “mengasihi” kepada sesama manusia. Karena seseorang bisa disebut sebagai seorang muslim, menurut kanjeng nabi adalah Al-Muslimu man salima Al-muslimuna min lisanihi wa yadihi. Maksudnya adalah seorang muslim yang senantiasa menebarkan sikap damai dan rasa aman dihati masyarakatnya.
Identik dengan istilah ‘pluralisme’ yang berarti ‘beragam’, penda­pat orang tentang istilah ini juga beraneka ragam pula. Secara harfiah pluralisme berarti jamak, beberapa, berbagai hal, keberbagaian atau banyak. Oleh karenanya sesuatu dikatakan plural pasti  terdiri dari banyak hal jenis, pelbagai sudut pandang serta latar belakang. [17]
Demikian juga dalam menyikapi pluralisme beragama. Sikap yang seyogyanya dilakukan seseorang adalah dengan memahami dan menilai “yang” (agama) lain berdasarkan standar  mereka sendiri serta memberi peluang bagi mereka untuk mengartikulasikan keyakinannya secara bebas. Alwi Shihab memberi gabaran cukup baik dalam mengartikulasikan plu­ralisme agama. Menurutnya,  “Pluralisme agama adalah bahwa tiap pe­meluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak orang lain, tetapi juga terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan per­samaan, guna tercapainya kerukunan dalam kebhinekaan”[18]. Melalui pe­mahaman tentang pluralisme yang benar dengan diikuti upaya mewu­judkan kehidupan yang damai seperti inilah akan tercipta toleransi antar umat beragama di Indonesia.
Toleransi yang dimaksud tentu saja bukan toleransi negatif (negatif tolerance) sebagaimana yang dulu pernah dijalankan oleh pemerintah orde baru, tetapi toleransi yang benar adalah toleransi positif (positive tolerance). Sikap toleran yang disebut pertama adalah sikap toleransi semu dan penuh dengan kepura-puraan. Toleransi jenis pertama ini menganjurkan seseorang untuk tidak menonjolkan agamanya di hada­pan orang yang beragama lain. Jika Anda Kristen, maka jangan menon­jol-nonjolkan ke-Kristenan Anda di hadapan orang Muslim, demikian pula sebaliknya.  Sementara toleransi yang tersebut kedua adalah toleransi yang sesungguhnya, yang mengajak setiap umat beragama untuk jujur mengakui dan mengekspresikan keberagamaannya tanpa ditutup-tutupi. Dengan demikian identitas masing-masing umat beragama tidak tereliminasi, bahkan masing-masing agama dengan bebas dapat mengembangkannya.  Inilah toleransi yang dulu pernah dianjurkan oleh Kuntowijoyo.[19]
Meskipun konsep toleransi positif seperti di atas terbilang konsep lama, tetapi implemenetasinya bukanlah perkara mudah. Sebuah survei mutaakhir yang dilakukan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta terhadap Sikap Komunitas Pendidikkan Islam dan Toleransi dan Pluralisme memperlihatkan beberapa gambaran yang cukup mengkhawatirkan. Survei yang dilakukan di awal tahun 2006 ini secara umum menunjukkan bahwa komunitas pendidikkan Islam Indonesia memperlihatkan sikap kurang bahkan tidak toleran.[20] Adanya fakta seperti ini tentu merupakan sesuatu sangat memprihatinkan karena hal ini terjadi di komunitas pendidikkan agama Islam. Artinya jika komunitas pendidikkan saja sebagai bagian dari transmisi ajaran Islam- menunjukkan sikap demikian, maka bisa dibayangkan bagaimana dengan komunitas awam.




BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Pluralisme adalah paham kemajemukan yang melihatnya sebagai suatu kenyataan yang bersifat positif dan sebagai keharusan bagi keselamatan umat manusia. Pluralitas merupakan kemajemukan yang didasari oleh keutamaan (keunikan) dan kekhasan. Pluralitas tidak dapat dimasukan kepada kesatuan yang tidak mempunyai bagian-bagian yang tidak menciptakan “keutamaan”, ”keunikan”, dan ”kekhasan” tersendiri. Sedangkan toleransi berasal dari kata “toleran” (Inggris: tolerance; Arab: tasamuh) yang berarti batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan. Secara etimologi, toleransi adalah kesabaran, ketahanan emosional, dan kelapangan dada. Sedangkan menurut istilah (terminologi), toleransi yaitu bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, dan sebagainya) yang berbeda dan atau yang bertentangan dengan pendiriannya. Jadi, toleransi beragama adalah ialah sikap sabar dan menahan diri untuk tidak mengganggu dan tidak melecehkan agama atau sistem keyakinan dan ibadah penganut agama-agama lain.
Konsepsi pluralisme dalam Islam sudah terbawa pada misi awal agama ini diturunkan, yakni membawa kasih terhadap seluruh alam tanpa batas-batas atau benturan-benturan dimensi apapun. Semua orang yang mengaku Islam haruslah menunjukkan sikap saling “mengasihi” kepada sesama manusia. Karena seseorang bisa disebut sebagai seorang muslim, menurut kanjeng nabi adalah al-muslimu man salima al-muslimuna min lisanihi wa yadihi. Maksudnya adalah seorang muslim yang senantiasa menebarkan sikap damai dan rasa aman dihati masyarakatnya.
Toleransi harus ditanamkan dengan pengertian yang benar dan kesadaran yang penuh, bukan dengan pengelabuan, paksaan, dan intimidasi. Dalam konteks ini, al-Quran mengajarkan bahwa dalam beragama tidak boleh ada pemaksaan (la ikraha fi al-din). Agama harus dilandasi syahadat, pengakuan yang tulus atas dasar pemahaman yang benar. Di samping itu, Islam juga mendorong umatnya untuk selalu berbuat baik terhadap orang lain tanpa melihat perbedaan agama atau keyakinan. Tidak ada satu ayat al-Quran atau Sunnah Nabi pun yang mengajarkan untuk membenci dan mencela orang lain yang tidak seagama. Dari segi agama, penyerangan dan intimidasi terhadap orang-orang yang tidak seiman adalah dosa. Keinginan untuk menyebarkan paham atau agama sendiri kepada orang lain harus dilakukan dengan penuh kasih sayang dan sikap terbuka, bukan dengan marah, kebencian, intimidasi atau berbagai umpan yang menggiurkan. Kesuksesan dakwah Nabi Muhammad justru ditentukan oleh sikap beliau yang sangat toleran terhadap mereka yang belum beriman. Islam sendiri datang sebagai pembawa rahmat bagi alam semesta.
B.     Saran-saran
1.      Pluralisme adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, sehingga seyogyanya semua elemen masyarakat dapat menjaganya dengan sebaik-baiknya;
2.      Toleransi juga menjadi amat penting ketika keragaman lingkungan terbentuk, sehingga seyogyanya masing-masing kelompok dapat menahan diri dan menghormati kelompok lain demi tercapainya lingkungan yang kondusif;
3.      Multikulturalisme memang tidak bisa dihindari, sehingga seyogyanya generasi muda kita dibekali dengan pendidikan multikultural agar ke depan, konflik di masyarakat dapat diminimalisir.



DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Amir Aziz. 1999. Neo-Modernisme Islam di Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Anis Malik Thoha. 2005. Tren Pluralisme Agama, Tinjauan Kritis, Cetakan 1. Jakarta : Perspektif.
Bachtiar Effendi. 2002. “Menyoal Pluralisme di Indonesia” dalam Living Together in Plural Societies; Pengalaman Indonesia Inggris,  Ed. Raja Juli Antoni. Yogyakarta: Pustaka Perlajar.
Farid Esack. 2000. Qur’an, Liberation, and Pluralism, Diterjemahkan oleh : Watung A. Budiman. Bandung : Mizan.
Hans Kung dan Karl Kuschel. 1999. Etika Global. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Hefner, Robert W. 2000. Civil Islam: Muslim and Democratication in Indonesia. Princeton : Princeton University Press.
M. Amin Abdullah. 1999. Studi Agama: Normativitas atau Historisitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rodger, Alex R. 1982.  Educational and Faith in Open Society. Britain : The Handel Press.
Sealy, John. 1985. Religious Education Philosophical Perspective. London: George Allen & Unwin.
Soedijarto. 2000. Pendidikan Nasional sebagai wahana Mencerdaskan Kehidupan Bangsa dan Membangun Peradaban Negara-Bangsa. Jakarta : CINAPS.
Syafa’atun Elmirzanah, et. al. 2002. Pluralisme, Konflik dan Perdamaian Studi Bersama Antar Iman. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


[1] Hans Kung dan Karl Kuschel, Etika Global, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999), hal. 17.
[2] Robert W. Hefner, Civil Islam: Muslim and Democratication in Indonesia, (Princeton : Princeton University Press, 2000), hal. 214 – 215.
[3] Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama, Tinjauan Kritis, Cetakan 1, (Jakarta : Perspektif, 2005), hal. 11.
[4] Majalah Media Dakwah Edisi No. 358 tahun 2005.
[5]http://www.khilafah1924.org/index.php?option=com_content&task=view&id=75&Itemid=47
[6] M. Ja’far Nashir,  Respon Islam Terhadap Multikulturalisme, artikel, tt, , tgl 23-05-09, 12:30.
[7] Ahmad Amir Aziz, Neo-Modernisme Islam di Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 1999), hal. 50
[8] Ibid., hal. 51.
[9] Tafsir Pase, hal. 110
[10] Binsar A. Hutabarat, Kebebasan Beragama vs Toleransi Beragama, www.google.com, diakses pada 19/04/2013.
[11] Tafsir Pase, hal. 110
[12] Soedijarto, Pendidikan Nasional sebagai wahana Mencerdaskan Kehidupan Bangsa dan Membangun Peradaban Negara-Bangsa, (Jakarta : CINAPS, 2000), hal. 77.
[13] John Sealy, Religious Education Philosophical Perspective, (London: George Allen & Unwin, 1985), hal. 43 – 44.
[14] Alex R Rodger, Educational and Faith in Open Society, (Britain : The Handel Press, 1982), hal. 61.
[15] Farid Esack,  Qur’an, Liberation, and Pluralism, Diterjemahkan oleh: Watung A. Budiman, (Bandung : Mizan, 2000), hal. 206 – 207.
[16] M. Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hal. 68.
[17] Syafa’atun Elmirzanah, et. al., Pluralisme, Konflik dan Perdamaian Studi Bersama Antar Iman, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hal. 7.
[18] Alwi Shihab, Islam…, Op. Cit., hal. 340.
[19] Bachtiar Effendi, “Menyoal Pluralisme di Indonesia” dalam Living Together in Plural Societies; Pengalaman Indonesia Inggris,  Ed. Raja Juli Antoni, (Yogyakarta: Pustaka Perlajar,  2002), hal. 239-249.
[20] Lihat “Kekerasan Keagamaan di Kalangan Muslim: Mempertimbangkan Faktor Pendidikkan” dalam Buletin Islam & Good Governance, Edisi XIII, September 2006, (Jakarta, PPIM UIN Jakarta, 2006), hal. 1 – 8.

1 komentar:

Silakan tulis komentar Anda