BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Masalah pluralisme
agama yang pada awalnya biasa saja akhirnya menjadi masalah yang sangat
dilematik dan problematik. Pluralisme agama yang mula-mula hanya "fakta
sosiologis" berubah menjadi masalah teologis sejak zaman Nabi, dan
sekarang menjadi masalah bangsa. Terlebih pluralisme
agama cenderung mengarah pada konflik yang dilandaskan pada truth claim setiap agama, termasuk
Islam. Dari sana masalah
pluralisme agama memang benar-benar menjadi "ancaman modernisme
Islam". Maraknya konflik kekerasan akhir-akhir ini, mendorong para
agamawan mempertanyakan kembali
bagaimana konsep tentang pluralisme
agama, dan bagaimana aplikasi pluralisme dalam masyarakat. Apakah
pluralisme agama dilihat sebagai integrating/actors ataukah sebagai dividing
factors. Di sinilah sebenarnya pedebatan tentang pluralisme agama
menjadi semakin ramai dan menemukan relevansinya. Pandangan tentang pluralisme
sendiri ada beberapa hal yang secara tidak langsung dikaitkan dengan pandangan
dan responsnya terhadap agama lain.
Sekurangnya-kurangnya
ada lima pandangan tentang pluralisme agama. Pertama, eksklusivisme absolut, yang melihat bahwa
kebenaran hanya ada pada agamanya sendiri. Agama orang lain salah, bahkan "agama setan".
Pandangan semacam ini merupakan cara pandang mayoritas umat beragama di dunia,
termasuk di negeri ini.
Kedua, relativisme absolut, cara pandang yang melihat bahwa
setiap agama memiliki kebenaran, tetapi tidak bisa diperbandingkan. Pengakuan
akan adanya kebenaran pada bentuk agama yang dianut memang harus dipertahankan.
Akan tetapi pengakuan semacam ini juga harus memberi tempat pada bentuk agama
lain juga sebagai kebenaran yang diakui secara mutlak oleh para pemeluknya.
Kemutlakan yang diyakini oleh setiap penganut agama pada tataran bentuk ini
tetap harus dilihat secara relatif.
Ketiga, pluralisme
hegemonik. Cara pandang yang menyatakan bahwa terdapat kebenaran dalam setiap
agama, tetapi kebenaran yang paling sempurna ada pada agama sendiri. Agama lain
memiliki kebenaran tetapi tidak sebagaimana agamanya. Sikap pluralisme semacam
ini bisa disebut sebagai pluralisme standar ganda. Menganggap ada banyak
kebenaran, tetapi kebenaran mutlak hanyalah pada agamanya. Pandangan keagamaan
seperti ini terjadi sampai abad ke-20 di kalangan Katolik dan Kristen,
sebagaimana dijelaskan Karl Rehner. Islam, oleh Ninian Smart, dimasukkan
sebagai agama yang memiliki cara pandang pluralisme hegemonik, karena sekalipun
mengakui kebenaran agama Yahudi dan Kristen tetap menyatakan bahwa Islamlah
agama yang paling benar dan sempurna.
Keempat, pluralisme realistik, yaitu cara pandang yang
menyatakan bahwa semua agama memiliki posisi yang sama dalam kebenaran.
Masing-masing memiliki kebenaran dengan kadarnya sendiri-sendiri. Dan keilma,
pluralisme regulatif suatu cara pandang tentang kebenaran agama yang terdapat
pada tiap-tiap agama yang pada suatu saat akan bersatu karena mengalami
evolusi.
Dari kelima cara pandang atas pluralisme agama tersebut,
dalam perkembangannya masyarakat agama belakangan ini barangkali cenderung
menempatkan diri pada posisi pluralisme hegemonik, bahkan eksklusivisme absolut
yang bukan saja belum melihat pluralisme agama sebagai bagian agama-agama yang
memiliki kebenaran, tetapi tidak sempurna, melainkan malahan kebenaran dianggap
hanya ada pada dirinya, sehingga agama lain tidak lebih dari agama sesat, dan
"agama setan".
Jika kemudian kita menengok sejarah kelam agama-agama di
Indonesia yang seakan-akan penuh konflik sosial sejatinya karena apa yang
terjadi selama puluhan tahun kita lalai dengan pesan dasar para founding fathers bangsa ini. Dengan
demikian hubungan antarumat beragama perlu mendapat nama baru, dan substansi
baru. Selain menimbulkan sikap apologetis, juga kerukunan atau toleransi hanya
cocok untuk masyarakat agraris, tetapi tidak sesuai untuk masyarakat
industrial. Kerukunan itu mengarah ke dalam masyarakat beragama sendiri,
berorientasi ke belakang ke zaman "normal", dan merujuk pada status
quo. Yang diperlukan adalah konsep baru yang bersifat keluar dan tidak asyik
dengan diri sendiri saja, melihat ke depan dengan bersama-sama menghadapi masa
depan kemanusiaan, dan dinamis yang merujuk pada kerjasama. Oleh karena itu,
kerukunan atau toleransi sudah saatnya digantikan dengan kerjasama atau koperasi; di masa depan yang diperlukan bukan kerukunan
atau toleransi, tetapi kerjasama atau koperasi antarumat beragama (ta’awun ‘ala al-birri wa at-taqwa).
Dengan kata lain, hubungan antarumat beragama sudah saatnya
bergerak dari inward looking ke outward looking. Lebih jauh, dialog
antaragama bukan hanya bertujuan untuk hidup bersama secara damai dengan
membiarkan pemeluk agama lain ada (ko-eksistensi), melainkan juga
berpartisipasi secara aktif meng-ada-kan pemeluk lain itu (pro-eksistensi).[1]
Artinya, dialog tidak hanya mengantarkan pada sikap bahwa setiap agama berhak
untuk bereksistensi secara bersama-sama, melainkan juga mengakui dan mendukung
— bukan berarti menyamakan — eksistensi semua agama. Barangkali inilah yang
dimaksudkan oleh Raimundo Panikkar dengan istilah dialog intra-religius, yaitu
yang tidak hanya menuntut suatu sikap inklusif, melainkan juga sikap
paralelisme, dengan mengakui bahwa agama merupakan jalan-jalan yang sejajar.
Dalam konteks era transisi demokrasi di Indonesia, maka
kerjasama atau koperasi antarumat beragama menjadi penting dakm pemberdayaan
demokrasi. Sebagaimana dinyatakan oleh Robert W. Hefner, bahwa demokratisasi
memerlukan organisasi warga yang bercirikan kesukarelaan, asosiasi
independen, dan keseimbangan kekuasaan antara negara dan masyarakat yang sama
baiknya dengan organisasi warga itu sendiri. Semua ini dapat membantu
menciptakan komitmen dan keseimbangan yang sesuai dengan kebiasaan demokrasi.
Akan tetapi, aktivitas-aktivitas ini masih belum cukup jika tetap menjadi
pengalaman kelompok-kelompok yang terisolir. Demokrasi pada akhirnya
memerlukan budaya publik yang diambil
dari pengalaman yang terpisah ini untuk mempromosikan kebiasaan partisipasi dan
toleransi yang bersifat universal. Budaya warga ini meningkatkan kebiasaan-kebiasaan
demokrasi yang diajarkan, antara lain dakm asosiasi-asosiasi warga sehingga
membuat sifat-sifat terbaiknya tersedia bagi seluruh masyarakat. Diskusi
mutakhir meneenai kondisi vane membuat
demokrasi berfungsi seluruhnva konsisten dalam menekankan bahwa demokrasi
tergantung tidak saja pada negara, melainkan juga pad budaya dan organisasi
masyarakat secara keseluruhan. Kesemuanya
itu harus terlibat dalam interaksi yang saling menguntungkan.[2]
Kerjasama kemanusiaan yang dimiliki oleh setiap agama
seperti prinsip kejujuran keadilan, musyawarah, persamaan dan solidaritas hemat
saya dapat menjadi bagian strategis kerjasama antarumat bergama di negeri
pluralistik ini. Agama-agama sudah seharusnya lebih banyak memperbincangkan
masalah kemanusiaan dalam masarakat ketimbang membahas masalah-masalah teologis
yang starandarnya seringkali berbeda-beda antara satu dan lainnya. Tidak boleh
ada standar ganda dalam berdialog dan kerjasama sehingga tetapi menyisakan
pertanyaan, jangan-jangan kita akan dimanfaatkan dan atau kita memanfaatkan
mereka, sebab kita jauh lebih baik dari mereka. Karena perbedaan cara pandang
teologi itulah, padahal masalah teologi tidak semuanya murni agama, itu hanya
sebagain bahagian dari beragama, jika kita mengikuti perspekti: agama dari kaum akademisi khususnya sosiolog, yang mengkatagorikan
agama adalah adanya sistem keyakinan,
sistem simbol-ritual dan sistem organisasi. Dimana di dalamnya; ada pemimpin,
umat, kitab dan hierarki lainnya.
Kini, multikulturalisme sedang menjadi isu penting, utamanya
pasca merebaknya rangkaian konflik etnik dan agama. Isu ini tidak hanya
berkaitan dengan problem mengelola kemajemukan, keragaman serta pengakuan akan
keberbedaan, bahkan sudah merambah ke dunia pendidikan. Beberapa pakar yang
memiliki shared concern terhadap ide ini, mulai menggagas pentingnya
pendidikan multikultural untuk masyarakat Indonesia, suatu pendidikan yang
dirancang khusus untuk menciptakan struktur dan proses yang membuka dan memberi
kesempatan yang sama pada semua ekspresi kultural dan agama senyatanya.
Pendidikan agama yang berwawasan multikultural menawarkan
pendekatan dialogis untuk menanamkan kesadaran hidup bersama dalam keragaman
dan perbedaan. Pendidikan ini dibangun atas semangat kesetaraan dan
kesederajatan, saling percaya, saling memahami, menghargai persamaan, perbedaan
dan keunikan. Model pendidikan seperti akan memberi konstruk pendidikan yang
bebas dari prasangka dan stereotipe mengenai agama orang lain. Melalui
pendidikan multikultural ini, kita
mengharapkan agar para pelajar, generasi muda dapat membebaskan dirinya
dari prasangka, bias dan diskriminasi atas nama apapun, baik itu agama, etnik,
budaya maupun kelas sosial.
Perumusan dan implementasi pendidikan multikultural ini,
memang masih memerlukan pembahasan serius dan khusus, baik mengenai isinya,
maupun strategi yang ditempuh. Terlepas dari itu, yang jelas pembinaan
kerukunan umat beragama bagi generasi muda saat ini membutuhkan pendidikan
multikultural, yang diharapkan dapat memberikan kontribusi penting bagi
pembentukan “kebhinnekaan” yang diikat “keikaan” yang betul-betul aktual, tidak
hanya sekedar slogan dan jargon.
B.
Perumusan
Masalah
Berdasarkan latar
belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan-permasalahan sebagai
berikut :
1.
Bagaimana pengertian
dan konsepsi pluralis dan toleran?
2.
Bagaimana karakteristik
masyarakat pluralis dan toleran?
C.
Tujuan
Pembahasan
Berdasarkan perumusan
masalah di atas, maka tujuan pembahasan dalam makalah ini adalah sebagai
berikut :
1.
Untuk mengetahui
pengertian dan konsepsi pluralis dan toleran;
2.
Untuk mengetahui
karakteristik masyarakat pluralis dan toleran.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
dan Konsepsi Pluralis serta Toleransi
Secara
etimologi, pluralisme agama, berasal dari dua kata, yaitu
"pluralisme" dan "agama". Dalam bahasa Arab diterjemahkan
"al-ta'addudiyyah al-diniyyah" dan dalam bahasa Inggris "religious
pluralism". Oleh karena istilah pluralisme agama berasal dari bahasa
Inggris, maka untuk mendefinisikannya secara akurat harus merujuk kepada kamus
bahasa tersebut. Pluralism berarti "jama'" atau lebih dari satu.
Pluralism dalam bahasa Inggris menurut Anis Malik Thoha mempunyai tiga
pengertian. Pertama, pengertian kegerejaan: (i) sebutan untuk orang yang
memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur kegerejaan, (ii) memegang dua
jabatan atau lebih secara bersamaan, baik bersifat kegerejaan maupun non
kegerejaan. Kedua, pengertian filosofis; berarti sistem pemikiran yang
mengakui adanya landasan pemikiran yang mendasarkan lebih dari satu.[3]
Sedangkan ketiga, pengertian sosio-politis: adalah suatu system yang mengakui
koeksistensi keragaman kelompok, baik yang bercorak ras, suku, aliran maupun
partai dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat
kerakteristik di antara kelompok-kelompok tersebut.
Namun dari segi konteks dimana "pluralisme agama'
sering digunakan dalam studi-studi dan wacana sosio-ilmiah pada era modern ini,
memiliki definisi yang berbeda. John Hick, yang dikutip Anis Malik Thoha
misalnya menyatakan : "…pluralisme agama adalah suatu gagasan bahwa
agama-agama besar dunia merupakan persepsi dan konsepsi yang berbeda tentang,
dan secara bertepatan merupakan respon real atau Yang Maha Agung dari dalam
pranata cultural manusia yang bervariasi; dan bahwa transpormasi wujud manusia
dari pemusatan-diri menuju pemusatan hakiki terjadi secara nyata dalam setiap
masing-masing pranata cultural manusia tersebut dan terjadi, sejauh yang dapat
diamati, sampai pada batas yang sama". Dengan kata lain, Hick menurut Anis
menegaskan sejatinya semua agama adalah merupakan manifestasi-manifestasi dari
realitas yang satu. Dengan demikian, semua agama sama dan tak ada yang lebih
baik dari yang lain.
Majelis Ulama Indonesia mendefiniskan Pluralisme Agama
sebagai : "Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa
semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif;
oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya
saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan
bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga".
Lebih lanjut Nurchalish Madjid yang dikutip Adian Husaini, dalam majalah Media
Dakwah Edisi No. 358 tahun 2005 pluralisme agama adalah istilah khas dalam
teologi. Dia juga menyatakan bahwa ada tiga sikap dialog agama yang dapat diambil,
yaitu pertama, sikap ekslusif dalam melihat agama lain (agama-agama yang
lain adalah jalan yang salah, yang menyesatkan bagi pengikutnya; kedua, sikap
inklusif (Agama-agama lain adalah bentuk inplisit agama kita); ketiga sikap
pluralis yang biasa terekspresi dalam macam-macam rumusan, misalnya "
Agama-agama lain adalah jalan yang sama-sama sah untuk mencapai kebenaran yang
sama", "Agama-agama lain berbicara secara berbeda, tetapi merupakan
kebenaran-kebenaran yang sama sah". Atau ' Setiap agama mengekspresikan bagian
penting sebuah kebenaran.”[4]
Sementara dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia)
“Pluralisme” berasal dari kata “plural” yang artinya jamak atau lebih dari
satu. Pluralistis mengandung arti banyak macam, bersifat keadaan masyarakat
yang majemuk (bersangkutan dengan sistem sosial dan politiknya). Menurut M.
Shiddiq al-Jawi Istilah Pluralisme (agama) sebenarnya mengandung 2 (dua)
hal sekaligus, pertama, gambaran realitas bahwa di sana ada keanekaragaman
agama. Kedua, pandangan atau pendirian filosofis tertentu menyikapi realitas
keanekaragaman agama yang ada.[5]
Sedangkan dalam
Islam yang dimaksud pluralisme
adalah paham kemajemukan yang melihatnya sebagai suatu kenyataan yang bersifat
positif dan sebagai keharusan bagi keselamatan umat manusia.[6]
Pluralitas merupakan kemajemukan yang didasari oleh
keutamaan (keunikan) dan kekhasan. Pluralitas tidak dapat dimasukan kepada
kesatuan yang tidak mempunyai bagian-bagian yang tidak menciptakan “keutamaan”,
”keunikan”, dan ”kekhasan” tersendiri.
Tanpa adanya kesatuan yang mencakup seluruh segi maka tidak dapat
dibayangkan kemajemukan, keunikan, kekhasan atau pluralitas itu. Demikian juga
sebaliknya. Pluralisme atau kemajemukan adalah kenyataan yang telah menjadi
kehendak Tuhan, sebagaimana dinyatakan dalam al-Quran (QS. al-Hujurat [49] ayat
13) :
$pkr'¯»t
â¨$¨Z9$#
$¯RÎ)
/ä3»oYø)n=yz
`ÏiB
9x.s
4Ós\Ré&ur
öNä3»oYù=yèy_ur
$\/qãèä©
@ͬ!$t7s%ur
(#þqèùu$yètGÏ9
4 ¨bÎ)
ö/ä3tBtò2r&
yYÏã
«!$#
öNä39s)ø?r&
4 ¨bÎ)
©!$#
îLìÎ=tã
×Î7yz
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. al-Hujarrat :
13).
Tetapi yang paling penting adalah bagaimana umat islam
mengembangkan dimensi pluralitas itu sehingga menerima pluralisme, yakni sistem
nilai yang memandang secara positif-optimis terhadap kemajemukan itu sendiri,
dengan menerimanya sebagai kenyataan dan berbuat sebaik mungkin atas dasar
kenyataan itu. Pluralisme dan kemajemukan bersifat “Alami dalam diri manusia dan mereka
diciptakan dengan kesiapan untuk itu” serta ditakdirkan untuknya. Pluralisme
dan kemajemukan adalah “Ciptaan Illahi”, bukan sekedar sesuatu yang dibolehkan
atau satu macam hak dari hak asasi manusia. Jika kemajemukan dan pluralitas
merupakan faktor-faktor yang membuahkan perbedaan maka faktor kesatuan
kemanusiaan menjadi ikatan persatuan mereka. Karena “tidak mungkin manusia
berbeda pada lahir mereka, tetapi tidak berbeda dalam batin mereka. Dan tidak
sesuai pula dengan hikmah jika sesuatu terus membanyak, tapi tidak
berbeda-beda. Juga tidak mungkin jika suatu jenis dan macam telah disatukan,
tapi elemen-elemennya tidak kunjung bertemu dan bersatu.
Hubungan islam dan pluralisme memiliki dasar argumentasi
yang kuat. Menurut Nurcholish Majid hal itu berangkat dari semangat humanitas
dan universalitas Islam.[7]
Yang dimaksud dengan semangat humanitas adalah Islam merupakan agama
kemanusiaan (fitrah) atau dengan kata lain cita-cita Islam sejalan dengan
cita-cita manusia pada umumnya. Dan misi Nabi Muhammad adalah untuk mewujudkan
rahmat bagi seluruh alam, jadi bukan semata-mata untuk menguntungkan komunitas
islam saja. Sedangkan pengertian universalitas islam dapat dilacak dari term
al-islam yang berarti sikap pasrah pada Tuhan . dengan pengertian tersebut,
semua agama yang benar pasti bersifat al-islam. Tafsir al-islam seperti ini
bermuara pada konsep kesatuan kenabian dan kerasulan, yang kemusiaan dalam
urutannya membawa kepada konsep kesatuan umat yang beriman.[8]
Sementara itu, dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, toleransi
berasal dari kata “toleran” (Inggris: tolerance; Arab: tasamuh)
yang berarti batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih
diperbolehkan. Secara etimologi, toleransi adalah kesabaran, ketahanan
emosional, dan kelapangan dada.[9]
Sedangkan menurut istilah (terminologi), toleransi yaitu bersifat atau bersikap
menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat,
pandangan, kepercayaan, kebiasaan, dan sebagainya) yang berbeda dan atau yang
bertentangan dengan pendiriannya.[10]
Jadi, toleransi beragama adalah ialah sikap sabar dan menahan diri untuk tidak
mengganggu dan tidak melecehkan agama atau sistem keyakinan dan ibadah penganut
agama-agama lain.
Dari kajian bahasa di atas, toleransi mengarah kepada sikap
terbuka dan mau mengakui adanya berbagai macam perbedaan, baik dari sisi suku
bangsa, warna kulit, bahasa, adapt-istiadat, budaya, bahasa, serta agama. Ini
semua merupakan fitrah dan sunnatullah yang sudah menjadi ketetapan Tuhan. Seluruh
manusia tidak akan bisa menolak sunnatullah ini. Dengan demikian, bagi manusia,
sudah selayaknya untuk mengikuti petunjuk Tuhan dalam menghadapi
perbedaan-perbedaan itu. Toleransi antar umat beragama yang berbeda termasuk ke
dalam salah satu risalah penting yang ada dalam system teologi Islam. Karena
Tuhan senantiasa mengingatkan kita akan keragaman manusia, baik dilihat dari
sisi agama, suku, warna kulit, adat-istiadat, dan sebagainya.
Konsep toleransi yang ditawarkan Islam sangatlah rasional
dan praktis serta tidak berbelit-belit. Namun, dalam hubungannya dengan
keyakinan (akidah) dan ibadah, umat Islam tidak mengenal kata kompromi. Ini
berarti keyakinan umat Islam kepada Allah tidak sama dengan keyakinan para
penganut agama lain terhadap tuhan-tuhan mereka. Demikian juga dengan tata cara
ibadahnya. Bahkan Islam melarang penganutnya mencela tuhan-tuhan dalam agama
manapun. Maka kata tasamuh atau toleransi dalam Islam bukanlah “barang
baru”, tetapi sudah diaplikasikan dalam kehidupan sejak agama Islam itu lahir.
Karena itu, agama Islam menurut hadits yang diriwayatkan
oleh Bukhari, Rasulullah saw. pernah ditanya tentang agama yang paling dicintai
oleh Allah, maka beliau menjawab: al-Hanafiyyah as-Samhah (agama yang
lurus yang penuh toleransi), itulah agama Islam.[11]
Sikap toleransi antar umat beragama bisa dimulai dari hidup bertetangga
baik dengan tetangga yang seiman dengan kita atau tidak. Sikap toleransi itu
direfleksikan dengan cara saling menghormati, saling memuliakan dan saling
tolong-menolong. Hal ini telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. ketika suatu
saat beliau dan para sahabat sedang berkumpul, lewatlah rombongan orang Yahudi
yang mengantar jenazah. Nabi saw. langsung berdiri memberikan penghormatan.
Seorang sahabat berkata: “Bukankah mereka orang Yahudi wahai rasul?” Nabi saw.
menjawab “Ya, tapi mereka manusia juga”. Jadi sudah jelas, bahwa sisi akidah
atau teologi bukanlah urusan manusia, melainkan Tuhan SWT dan tidak ada
kompromi serta sikap toleran di dalamnya. Sedangkan kita bermu’amalah dari sisi
kemanusiaan kita. Mengenai sistem keyakinan dan agama yang berbeda-beda,
al-Qur’an menjelaskan pada ayat terakhir surat al-Kafirun :
Bahwa prinsip menganut agama tunggal merupakan suatu
keniscayaan. Tidak mungkin manusia menganut beberapa agama dalam waktu yang
sama; atau mengamalkan ajaran dari berbagai agama secara simultan. Oleh sebab
itu, al-Qur’an menegaskan bahwa umat islam tetap berpegang teguh pada system
ke-Esaan Allah secara mutlak; sedangkan orang kafir pada ajaran ketuhanan yang
ditetapkannya sendiri. Dalam ayat lain Allah juga menjelaskan tentang prinsip
dimana setiap pemeluk agama mempunyai sistem dan ajaran masing-masing sehingga
tidak perlu saling hujat menghujat.
Pada taraf ini konsepsi tidak menyinggung agama kita dan
agama selain kita, juga sebaliknya. Dalam masa kehidupan dunia, dan untuk
urusan dunia, semua haruslah kerjasama untuk mencapai keadilan, persamaan dan
kesejahteraan manusia. Sedangkan untuk urusan akhirat, urusan petunjuk dan
hidayah adalah hak mutlak Tuhan SWT. Maka dengan sendirinya kita tidak sah
memaksa kehendak kita kepada orang lain untuk menganut agama kita.
B.
Masyarakat
Pluralis dan Toleransi
Salah
satu faktor pendorong untuk memunculkan pandangan yang menyatakan semua agama
sama adalah kebutuhan untuk menciptakan kehidupan yang damai dalam masyarakat
majmuk seperti di Indonesia. Pengalaman sejarah mengajarkan bahwa perbedaan
agama serta aliran dalam suatu agama sering menimbulkan hubungan yang tidak
harmonis antara sesama warga dari suatu kelompok masyarakat. Bahkan, agama
menjadi penyulut konflik dan peperangan. Oleh karena itu, pembinaan sikap
toleran di antara umat beragama memang sangat diperlukan. Hanya saja,
pendekatan dan strategi yang digunakan perlu dikaji dengan seksama agar tidak
kontra produktif.
Sikap
toleran dalam beragama tidak perlu dibentuk dengan menyatakan bahwa semua agama
sama karena kenyataannya masing-masing agama memang berbeda. Anak didik harus
disadarkan bahwa suatu agama berbeda dengan agama lain serta diajari bagaimana
memilih agama secara benar dan bertanggung jawab. Setiap penganut agama harus
dididik setia dan yakin sepenuhnya akan kebenaran dan keunggulan agama yang
dianutnya. Anak-anak harus dididik untuk mencintai dan menegakkan agama yang
dianutnya dengan ikhlas dan penuh kesungguhan. Ia harus selalu konsisten untuk
tunduk pada agamanya serta menjalani hidup sesuai dengan agama yang dianutnya.
Toleransi
harus ditanamkan dengan pengertian yang benar dan kesadaran yang penuh, bukan
dengan pengelabuan, paksaan, dan intimidasi. Dalam konteks ini, al-Quran
mengajarkan bahwa dalam beragama tidak boleh ada pemaksaan (la ikraha fi
al-din). Agama harus dilandasi syahadat, pengakuan yang tulus atas
dasar pemahaman yang benar. Di samping itu, Islam juga mendorong umatnya untuk
selalu berbuat baik terhadap orang lain tanpa melihat perbedaan agama atau
keyakinan. Tidak ada satu ayat al-Quran atau Sunnah Nabi pun yang mengajarkan
untuk membenci dan mencela orang lain yang tidak seagama. Dari segi agama,
penyerangan dan intimidasi terhadap orang-orang yang tidak seiman adalah dosa.
Keinginan untuk menyebarkan paham atau agama sendiri kepada orang lain harus
dilakukan dengan penuh kasih sayang dan sikap terbuka, bukan dengan marah,
kebencian, intimidasi atau berbagai umpan yang menggiurkan. Kesuksesan dakwah
Nabi Muhammad justru ditentukan oleh sikap beliau yang sangat toleran terhadap
mereka yang belum beriman. Islam sendiri datang sebagai pembawa rahmat bagi
alam semesta. Perintah perang dalam Islam adalah untuk menciptakan kedamaian,
yaitu ketika pihak lain melanggar hak-hak seorang Muslim, bukan sebagai cara
untuk mengislamkan orang lain.
Dalam toleransi, diperlukan saling menghargai dan
menghormati paham dan pandangan masing-masing. Betapapun kita yakin akan
kekeliruan dan kesalahan paham atau agama seseorang, tidak ada hak kita untuk
membenci dan memarahinya. Tidak ada hak seseorang untuk menghukum orang lain
atas kekeliruan paham dan kesalahan agamanya. Tugas seorang ‘alim, dalam
Islam, hanyalah menyampaikan dan mengingatkan selama peringatan masih berguna
bagi yang bersangkutan. Jika tidak, maka berlaku ayat lakum dinukum
waliyadin.
Undang-undang
Pendidikan Nasional menyuratkan tentang pendidikan berbasis masyarakat,[12]
yang didalamnya disebutkan bahwa pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan
pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi dan potensi
masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh dan untuk masyarakat. Dari
ketentuan yang tersurat dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional terlihat bahwa pendidikan berbasis masyarakat ditujukan
untuk memperoleh output pendidikan yang
dapat berperan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Namun penulis kuatir,
keberadaan dari pendidikan berbasis
masyarakat ini justru akan menajamkan friksi
kemajemukan masyarakat bangsa Indonesia, karena dengan penyelenggaraan
pendidikan yang diselenggarakan
berdasarkan karakteristik wilayah, sosial dan budaya masayarakat Indonesia maka
ego kedaerahan akan semakin tinggi dan
ini sangat berbahaya.
Sejauh ini, toleransi itu adalah hal yang paling penting di
dalam melakukan praktik dan pelaksanaan demokrasi. Tapi belum dijelaskan arti
dari kata itu, apa arti sebenarnya toleransi itu? Apakah yang dimaksud dengan
bahwa apa saja yang dipikirkan seseorang itu baik?. Apakah maksudnya bahwa tiap
orang harusnya merasakan empati dengan orang yang memiliki keyakinan atau
kehidupan yang berbeda? Memang, yang paling penting dipahami dalam konsep toleransi
itu bahwa Toleransi mejadi paling penting saat seseorang tidak setuju atau
merasa tidak empati dengan yang lainya. Kapan saja orang bertemu dengan keadaan
ini dimuka umum, orang itu haruslah ingat bahwa semuanya warga negara memiliki
hak-ak dasar (hak azazi) dan hukum yang sama. Jadi dengan demikian ”toleransi”
adalah kemampuan dan kemauan orang itu sendiri dan masyarakat umum untuk
berhati-hati terhadap hak-hak orang golongan kecil/minoritas dimana mereka
hidup dalam peraturan yang dirumuskan oleh mayoritas yang memang adalah arti
dasar demokrasi itu.
Sementara
itu, melihat peran pentingnya sikap pluralisme untuk bisa mengakui dan
menghormati “perbedaan” dan sikap
seperti ini ternyata memiliki landasan teologis dari Al-Qur’an maka, teologi
pluralisme seperti ini sangat penting untuk ditekankan pada peserta didik
melalui pendidikan agama, sebab persoalan teologi sampai sekarang masih
menimbulkan kebingungan di antara agama-agama. Soal teologi yang menimbulkan
kebingungan adalah standar: bahwa agama kita adalah agama yang paling sejati
berasal dari Tuhan, sedangkan agama lain adalah hanya kontruksi manusia. Dalam
sejarah, standar ganda ini biasanya dipakai untuk menghakimi agama lain dalam
derajad keabsahan teologis di bawah agama kita sendiri. Lewat standar ganda
inilah kita menyaksikan bermunculnya perang klaim-klaim kebenaran dan janji
penyelamatan, yang kadang-kadang kita melihatnya berlebihan, dari satu agama
atas agama lain.
Demi
tujuan itu, maka pendidikan sebenarnya masih dianggap sebagai instrumen
penting. Sebab, “pendidikan” sampai sekarang masih diyakini mempunyai peran
besar dalam membentuk karakter individu-individu yang dididiknya, dan mampu
menjadi “guiding light” bagi generasi
muda penerus bangsa. Dalam konteks inilah, pendidikan agama sebagai media
penyadaran umat perlu membangun teologi inklusif dan pluralis, demi harmonisasi
agama-agama (yang telah menjadi kebutuhan masyarakat agama sekarang). Hal
tersebut dengan suatu pertimbangan, bahwa salah satu peran dan fungsi
pendidikan agama diantaranya adalah untuk meningkatkan keberagamaan peserta
didik dengan keyakinan agama sendiri, dan memberikan kemungkinan keterbukaan
untuk mempelajari dan mempermasalahkan agama lain sebatas untuk menumbuhkan
sikap toleransi.[13]
Ini artinya, pendidikan agama pada prinsipnya, juga ikut andil dan memainkan
peranan yang sangat besar dalam menumbuh-kembangkan sikap-sikap pluralisme
dalam diri siswa.
Apalagi,
kalau mencermati pernyatan yang telah disampaikan oleh Alex R. Rodger bahwa
“pendidikan agama merupakan bagian integral dari pendidikan pada umumnya dan
berfungsi untuk membantu perkembangan pengertian yang dibutuhkan bagi
orang-orang yang berbeda iman, sekaligus juga untuk memperkuat ortodoksi
keimanan bagi mereka”.[14]
Artinya pendidikan agama adalah sebagai wahana untuk mengekplorasi sifat dasar
keyakinan agama di dalam proses pendidikan dan secara khusus mempertanyakan
adanya bagian dari pendidikan keimanan dalam masyarakat. Pendidikan agama
dengan begitu, seharusnya mampu merefleksikan persoalan pluralisme, dengan
mentransmisikan nilai-nilai yang dapat menumbuhkan sikap toleran, terbuka dan
kebebasan dalam diri generasi muda.
Sedangkan
secara umum, pandangan Islam terhadap agama lain (Ahli Kitab—pen) sangat
positif dan sangat kontruktif. Hal ini dapat dilihat dari nilai dan ajarannya
yang memberikan peluang dan mendorong kepada umat Islam untuk dapat melakukan
interaksi sosial, kerja sama dengan mereka. Tentang hal ini, Farid Asaeck telah
menunjukkan bukti-bukti sebagai berikut :
Pertama, Ahli Kitab, sebagai penerima wahyu, diakui sebagai
bagian dari komunitas. Ditujukan kepada semua nabi, al-Qur’an mengatakan: “Dan sungguh inilah umatmu, umat yang satu”
(QS al-Mu’miuun: 52). Sehingga konsep Islam tentang para pengikut Kitab Suci
atau Ahli Kitab yaitu konsep yang memberikan pengakuan tertentu kepada para
penganut agama lain, yang memiliki Kitab Suci dengan memberikan kebebasan
menjalankan ajaran agamanya masing-masing.
Kedua, dalam dua bidang sosial
terpenting, makanan dan perkawinan, sikap murah hati al-Qur’an terlihat jelas,
bahwa makanan “orang-orang yang diberi Alkitab” dinyatakan sebagai sah (halal)
bagi kaum muslim dan makanan kaum muslim sah bagi mereka (QS al-Maidah: 5).
Demikian juga, pria muslim diperkenankan mengawini “wanita suci dari Ahli
Kitab” (QS al-Maidah: 5). Jika kaum Muslim diperkenankan hidup berdampingan
dengan golongan lain dalam hubungan yang seintim hubungan perkawinan, ini
menunjukkan secara eksplisit bahwa permusuhan tidak dianggap sebagai norma
dalam hubungan Muslim-kaum lain.
Ketiga, dalam bidang hukum agama,
norma-norma dan peraturan kaum Yahudi dan Nasrani diakui (QS al-Maidah: 47) dan
bahkan dikuatkan oleh Nabi ketika beliau diseru untuk menyelesaikan
perselisihan di antara mereka (QS al-Maidah: 42-43). Keempat, kesucian kehidupan religius penganut agama wahyu lainya
ditegaskan oleh fakta bahwa izin pertama yang pernah diberikan bagi perjuangan
bersenjata dimaksudkan untuk menjamin terpeliharanya kesucian ini, “Dan
sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagai manusia dengan sebagian yang
lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja dan
sinagog-sinagog orang Yahudi, dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak di
sebut nama Allah” (QS al-Hajj: 40).[15]
Perintah
Islam agar umatnya bersikap toleran, bukan hanya pada agama Yahudi dan Kristen,
tetapi juga kepada agama-agama lain. Ayat 256 surat al-Baqarah mengatakan bahwa
tidak ada paksaan dalam soal agama karena jalan lurus dan benar telah dapat
dibedakan dengan jelas dari jalan salah dan sesat. Terserahlan kepada manusia
memilih jalan yang dikehendakinya. Telah dijelaskan mana jalan benar yang akan
membawa kepada kesengsaraan. Manusia merdeka memilih jalan yang dikehendakinya.
Kemerdekaan ini diperkuat oleh ayat 6 surah al-Kafirun yang mengatakan: Bagimulah agamamu dan bagiku agamaku.
Demikianlah
beberapa prinsip dasar al-Qur’an yang berkaitan dengan masalah pluralisme dan
anjuran untuk dapat menunjukkan sikap saling menghormati, ramah dan bersahabat
dengan agama Kristen, secara khusus. Dengan begitu, jauh-jauh hari, al-Qur’an
sesungguhnya telah mensinyalir akan munculnya bentuk “truth claim.”[16]
Baik itu dalam wilayah intern umat beragama maupun wilayah antar-umat beragama.
Kedua-duanya, sama-sama tidak favourable
dan tidak kondusif bagi upaya membangun tata pergaulan masyarakat pluralistik
yang sehat.
Dengan
begitu, dapat pula dikatakan konsepsi pluralisme dalam Islam sudah terbawa pada
misi awal agama ini diturunkan, yakni membawa kasih terhadap seluruh alam tanpa
batas-batas atau benturan-benturan dimensi apapun. Semua orang yang mengaku
Islam haruslah menunjukkan sikap saling “mengasihi” kepada sesama manusia.
Karena seseorang bisa disebut sebagai seorang muslim, menurut kanjeng nabi
adalah Al-Muslimu man salima Al-muslimuna
min lisanihi wa yadihi. Maksudnya adalah seorang muslim yang senantiasa
menebarkan sikap damai dan rasa aman dihati masyarakatnya.
Identik
dengan istilah ‘pluralisme’ yang berarti ‘beragam’, pendapat orang tentang
istilah ini juga beraneka ragam pula. Secara harfiah pluralisme berarti jamak,
beberapa, berbagai hal, keberbagaian atau banyak. Oleh karenanya sesuatu
dikatakan plural pasti terdiri dari
banyak hal jenis, pelbagai sudut pandang serta latar belakang. [17]
Demikian
juga dalam menyikapi pluralisme beragama. Sikap yang seyogyanya dilakukan
seseorang adalah dengan memahami dan menilai “yang” (agama) lain berdasarkan
standar mereka sendiri serta memberi
peluang bagi mereka untuk mengartikulasikan keyakinannya secara bebas. Alwi Shihab
memberi gabaran cukup baik dalam mengartikulasikan pluralisme agama.
Menurutnya, “Pluralisme agama adalah
bahwa tiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak orang
lain, tetapi juga terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan, guna
tercapainya kerukunan dalam kebhinekaan”[18].
Melalui pemahaman tentang pluralisme yang benar dengan diikuti upaya mewujudkan
kehidupan yang damai seperti inilah akan tercipta toleransi antar umat beragama
di Indonesia.
Toleransi
yang dimaksud tentu saja bukan toleransi negatif (negatif tolerance)
sebagaimana yang dulu pernah dijalankan oleh pemerintah orde baru, tetapi
toleransi yang benar adalah toleransi positif (positive tolerance).
Sikap toleran yang disebut pertama adalah sikap toleransi semu dan penuh dengan
kepura-puraan. Toleransi jenis pertama ini menganjurkan seseorang untuk tidak
menonjolkan agamanya di hadapan orang yang beragama lain. Jika Anda Kristen,
maka jangan menonjol-nonjolkan ke-Kristenan Anda di hadapan orang Muslim, demikian
pula sebaliknya. Sementara toleransi
yang tersebut kedua adalah toleransi yang sesungguhnya, yang mengajak setiap
umat beragama untuk jujur mengakui dan mengekspresikan keberagamaannya tanpa
ditutup-tutupi. Dengan demikian identitas masing-masing umat beragama tidak
tereliminasi, bahkan masing-masing agama dengan bebas dapat
mengembangkannya. Inilah toleransi yang
dulu pernah dianjurkan oleh Kuntowijoyo.[19]
Meskipun
konsep toleransi positif seperti di atas terbilang konsep lama, tetapi
implemenetasinya bukanlah perkara mudah. Sebuah survei mutaakhir yang
dilakukan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta
terhadap Sikap Komunitas Pendidikkan Islam dan Toleransi dan Pluralisme
memperlihatkan beberapa gambaran yang cukup mengkhawatirkan. Survei yang
dilakukan di awal tahun 2006 ini secara umum menunjukkan bahwa komunitas
pendidikkan Islam Indonesia memperlihatkan sikap kurang bahkan tidak toleran.[20]
Adanya fakta seperti ini tentu merupakan sesuatu sangat memprihatinkan karena
hal ini terjadi di komunitas pendidikkan agama Islam. Artinya jika komunitas
pendidikkan saja sebagai bagian dari transmisi ajaran Islam- menunjukkan sikap
demikian, maka bisa dibayangkan bagaimana dengan komunitas awam.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pluralisme
adalah paham kemajemukan yang melihatnya sebagai suatu kenyataan yang bersifat
positif dan sebagai keharusan bagi keselamatan umat manusia.
Pluralitas merupakan kemajemukan yang didasari oleh keutamaan (keunikan) dan
kekhasan. Pluralitas tidak dapat dimasukan kepada kesatuan yang tidak mempunyai
bagian-bagian yang tidak menciptakan “keutamaan”, ”keunikan”, dan ”kekhasan”
tersendiri. Sedangkan toleransi berasal dari kata “toleran” (Inggris: tolerance;
Arab: tasamuh) yang berarti batas ukur untuk penambahan atau
pengurangan yang masih diperbolehkan. Secara etimologi, toleransi adalah
kesabaran, ketahanan emosional, dan kelapangan dada. Sedangkan menurut istilah
(terminologi), toleransi yaitu bersifat atau bersikap menenggang (menghargai,
membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan,
kebiasaan, dan sebagainya) yang berbeda dan atau yang bertentangan dengan
pendiriannya. Jadi, toleransi beragama adalah ialah sikap sabar dan menahan
diri untuk tidak mengganggu dan tidak melecehkan agama atau sistem keyakinan
dan ibadah penganut agama-agama lain.
Konsepsi
pluralisme dalam Islam sudah terbawa pada misi awal agama ini diturunkan, yakni
membawa kasih terhadap seluruh alam tanpa batas-batas atau benturan-benturan
dimensi apapun. Semua orang yang mengaku Islam haruslah menunjukkan sikap
saling “mengasihi” kepada sesama manusia. Karena seseorang bisa disebut sebagai
seorang muslim, menurut kanjeng nabi adalah al-muslimu
man salima al-muslimuna min lisanihi wa yadihi. Maksudnya adalah seorang
muslim yang senantiasa menebarkan sikap damai dan rasa aman dihati
masyarakatnya.
Toleransi
harus ditanamkan dengan pengertian yang benar dan kesadaran yang penuh, bukan
dengan pengelabuan, paksaan, dan intimidasi. Dalam konteks ini, al-Quran
mengajarkan bahwa dalam beragama tidak boleh ada pemaksaan (la ikraha fi
al-din). Agama harus dilandasi syahadat, pengakuan yang tulus atas
dasar pemahaman yang benar. Di samping itu, Islam juga mendorong umatnya untuk
selalu berbuat baik terhadap orang lain tanpa melihat perbedaan agama atau
keyakinan. Tidak ada satu ayat al-Quran atau Sunnah Nabi pun yang mengajarkan
untuk membenci dan mencela orang lain yang tidak seagama. Dari segi agama,
penyerangan dan intimidasi terhadap orang-orang yang tidak seiman adalah dosa.
Keinginan untuk menyebarkan paham atau agama sendiri kepada orang lain harus
dilakukan dengan penuh kasih sayang dan sikap terbuka, bukan dengan marah,
kebencian, intimidasi atau berbagai umpan yang menggiurkan. Kesuksesan dakwah
Nabi Muhammad justru ditentukan oleh sikap beliau yang sangat toleran terhadap
mereka yang belum beriman. Islam sendiri datang sebagai pembawa rahmat bagi
alam semesta.
B.
Saran-saran
1.
Pluralisme adalah
bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, sehingga
seyogyanya semua elemen masyarakat dapat menjaganya dengan sebaik-baiknya;
2.
Toleransi juga menjadi
amat penting ketika keragaman lingkungan terbentuk, sehingga seyogyanya
masing-masing kelompok dapat menahan diri dan menghormati kelompok lain demi
tercapainya lingkungan yang kondusif;
3.
Multikulturalisme
memang tidak bisa dihindari, sehingga seyogyanya generasi muda kita dibekali
dengan pendidikan multikultural agar ke depan, konflik di masyarakat dapat
diminimalisir.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Amir Aziz. 1999. Neo-Modernisme Islam di Indonesia.
Jakarta: Rineka Cipta.
Anis Malik Thoha. 2005. Tren Pluralisme Agama, Tinjauan Kritis, Cetakan 1. Jakarta : Perspektif.
Bachtiar Effendi. 2002. “Menyoal Pluralisme di Indonesia” dalam Living Together in Plural Societies;
Pengalaman Indonesia Inggris, Ed.
Raja Juli Antoni. Yogyakarta: Pustaka Perlajar.
Farid Esack.
2000. Qur’an, Liberation, and Pluralism,
Diterjemahkan oleh : Watung A. Budiman. Bandung : Mizan.
Hans Kung dan Karl Kuschel. 1999. Etika Global. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar.
Hefner, Robert W. 2000. Civil Islam: Muslim and Democratication in
Indonesia. Princeton : Princeton University Press.
M. Amin
Abdullah. 1999. Studi Agama: Normativitas
atau Historisitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rodger, Alex R. 1982. Educational
and Faith in Open Society. Britain : The Handel Press.
Sealy, John.
1985. Religious Education Philosophical
Perspective. London: George Allen & Unwin.
Soedijarto. 2000. Pendidikan Nasional sebagai
wahana Mencerdaskan Kehidupan Bangsa dan Membangun Peradaban Negara-Bangsa.
Jakarta : CINAPS.
Syafa’atun Elmirzanah, et. al. 2002. Pluralisme,
Konflik dan Perdamaian Studi Bersama Antar Iman. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
[1] Hans
Kung dan Karl Kuschel, Etika Global, (Yogyakarta
: Pustaka Pelajar, 1999), hal. 17.
[2] Robert
W. Hefner, Civil Islam: Muslim and
Democratication in Indonesia, (Princeton : Princeton University Press, 2000),
hal. 214 – 215.
[3] Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama, Tinjauan Kritis, Cetakan 1, (Jakarta : Perspektif, 2005), hal.
11.
[4] Majalah
Media Dakwah Edisi No. 358 tahun 2005.
[5]http://www.khilafah1924.org/index.php?option=com_content&task=view&id=75&Itemid=47
[7] Ahmad
Amir Aziz, Neo-Modernisme Islam di
Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 1999), hal. 50
[8] Ibid.,
hal. 51.
[9] Tafsir
Pase, hal. 110
[10] Binsar
A. Hutabarat, Kebebasan Beragama vs Toleransi Beragama, www.google.com,
diakses pada 19/04/2013.
[11] Tafsir
Pase, hal. 110
[12] Soedijarto, Pendidikan Nasional sebagai wahana
Mencerdaskan Kehidupan Bangsa dan Membangun Peradaban Negara-Bangsa, (Jakarta
: CINAPS, 2000), hal. 77.
[13] John Sealy, Religious
Education Philosophical Perspective, (London: George Allen & Unwin,
1985), hal. 43 – 44.
[14] Alex R Rodger,
Educational and Faith in Open Society,
(Britain : The Handel Press, 1982), hal. 61.
[15] Farid Esack, Qur’an, Liberation, and Pluralism,
Diterjemahkan oleh: Watung A. Budiman, (Bandung : Mizan, 2000), hal. 206 –
207.
[16] M. Amin Abdullah, Studi
Agama: Normativitas atau Historisitas, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999),
hal. 68.
[17]
Syafa’atun Elmirzanah, et. al., Pluralisme, Konflik dan Perdamaian Studi
Bersama Antar Iman, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hal. 7.
[19]
Bachtiar Effendi, “Menyoal Pluralisme di
Indonesia” dalam Living Together in
Plural Societies; Pengalaman Indonesia Inggris, Ed. Raja Juli Antoni, (Yogyakarta: Pustaka
Perlajar, 2002), hal. 239-249.
[20] Lihat “Kekerasan Keagamaan di Kalangan Muslim:
Mempertimbangkan Faktor Pendidikkan” dalam Buletin Islam & Good Governance, Edisi XIII, September 2006,
(Jakarta, PPIM UIN Jakarta, 2006), hal. 1 – 8.
izin copy tadz
BalasHapus