BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Lahirnya
agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah saw., pada abad ke-7 M, menimbulkan
suatu tenaga penggerak yang luar biasa, yang pernah dialami oleh umat manusia.
Islam merupakan gerakan raksasa yang telah berjalan sepanjang zaman dalam
pertumbuhan dan perkembangannya. Masuk dan berkembangnya Islam ke Indonesia
dipandang dari segi historis dan sosiologis sangat kompleks dan terdapat banyak
masalah, terutama tentang sejarah perkembangan awal Islam. Ada perbedaan antara
pendapat lama dan pendapat baru. Pendapat lama sepakat bahwa Islam masuk ke
Indonesia abad ke-13 M dan pendapat baru menyatakan bahwa Islam masuk pertama
kali ke Indonesia pada abad ke-7 M.[1]
Namun yang pasti, hampir semua ahli sejarah menyatakan bahwa daerah Indonesia
yang mula-mula dimasuki Islam adalah daerah Aceh.[2]
Datangnya
Islam ke Indonesia dilakukan secara damai, dapat dilihat melalui jalur
perdagangan, dakwah, perkawinan, ajaran tasawuf dan tarekat, serta jalur
kesenian dan pendidikan, yang semuanya mendukung proses cepatnya Islam masuk
dan berkembang di Indonesia. Kegiatan pendidikan Islam di Aceh lahir, tumbuh
dan berkembang bersamaan dengan berkembangnya Islam di Aceh. Konversi massal
masyarakat kepada Islam pada masa perdagangan disebabkan oleh Islam merupakan
agama yang siap pakai, asosiasi Islam dengan kejayaan, kejayaan militer Islam,
mengajarkan tulisan dan hapalan, kepandaian dalam penyembuhan dan pengajaran
tentang moral.[3]
Konversi massal masyarakat kepada Islam pada masa kerajaan
Islam di Aceh tidak lepas dari pengaruh penguasa kerajaan serta peran ulama dan
pujangga. Aceh menjadi pusat pengkajian Islam sejak zaman Sultan Malik Az-Zahir
berkuasa, dengan adanya sistem pendidikan informal berupa halaqoh. Yang pada
kelanjutannya menjadi sistem pendidikan formal. Dalam konteks inilah, akan
membahas tentang pusat pengkajian Islam pada masa Kerajaan Islam dengan
membatasi wilayah bahasan di daerah Aceh, dengan batasan masalah, pengertian
pendidikan Islam, masuk dan berkembangnya Islam di Aceh, dan pusat pengkajian
Islam pada masa tiga kerajaan besar Islam di Aceh.[4]
Pendidikan sebagai usaha sadar yang dilakukan oleh orang
dewasa untuk mendewasakan anak didik
diselenggarakan baik melaui jalur sekolah maupun luar sekolah. Hal inilah yang
menyebabkan sehingga pendidikan di Indonesia menjadi tanggung jawab bersama
antara orangtua, pemerintah, dan
masyarakat. Pendidikan sangat penting dan tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan
baik dalam kehidupan seseorang dan keluarga, maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, karena
maju mundurnya suatu bang-sa banyak ditentukan oleh maju mundurnya pendidikan
bangsa itu.
Sebagai makhluk Tuhan yang menyandang posisi
sebagai khalifah di muka bumi, manusia
mempunyai empat macam tanggung jawab, yaitu :
1) tanggung jawab terhadap Tuhan sebagai wujud rasa syukur melalui beribadah kepada-Nya, 2) tanggung jawab terhadap diri sendiri yang dimanifestasikan melalui pengembangan kapasitas potensial yang dimiliki agar bermanfaat bagi masyarakat dan lingkungan, 3) tanggung jawab ter-hadap masyarakat yang diakibatkan munculnya rasa kesatuan, senasib dan sepenanggungan dalam mempertahankan diri, dan 4) tanggung jawab terhadap alam semesta yang dimanifestasikan dengan cara menjaga kelesta-riannya untuk kesejahteraan masyarakat.[5]
1) tanggung jawab terhadap Tuhan sebagai wujud rasa syukur melalui beribadah kepada-Nya, 2) tanggung jawab terhadap diri sendiri yang dimanifestasikan melalui pengembangan kapasitas potensial yang dimiliki agar bermanfaat bagi masyarakat dan lingkungan, 3) tanggung jawab ter-hadap masyarakat yang diakibatkan munculnya rasa kesatuan, senasib dan sepenanggungan dalam mempertahankan diri, dan 4) tanggung jawab terhadap alam semesta yang dimanifestasikan dengan cara menjaga kelesta-riannya untuk kesejahteraan masyarakat.[5]
Empat macam tanggung jawab itu tentunya harus
seimbang dan serasi, sebab bila terjadi
stagnasi, maka akan muncul berbagai gejolak.
Salah satu upaya untuk dapat menyelaraskan dan menyeimbangkan ke-empat
macam tanggung jawab itu adalah upaya menanamkan kesadaran akan jati diri manusia dan salah satu cara
yang dapat ditempuh dalam hal ini adalah
melalui pendidikan.
Namun demikian, Sindhunata mengungkapkan
pendapat kontroversial : “Sudah menjadi
kegelisahan berabad-abad lamanya, bahwa pendidikan dengan amat mudah diperalat untuk melayani kepentingan
masyarakat semata-mata. Dalam
pendidikan, anak ditempa secara tidak seimbang, sehingga kelak mereka lebih dan makin tersedia sebagai “alat
yang berguna” bagi masyarakat. Akan tetapi, sangatlah keliru jika pendidikan
memutlakkan kepentingan masyarakat tersebut, sebab tujuan pendidikan bukanlah
pertama-tama melayani masyarakat tersebut, melainkan membantu kelahiran manusia-manusia dewasa dan matang, yang kelak
dengan bebas dan sadar dapat membantu
masyarakat.
Lebih lanjut, ia mengatakan, bahwa pendidikan
lebih dari sekadar menghasilkan "kegunaan", pendidikan harus membantu
manusia muda agar mereka dapat mengolah
bakat dan kemampuan persoalnya untuk
menemukan kepribadiannya. Pendidikan juga perlu membantu mereka mengembangkan bakat kemampuan sosialnya agar
masyarakat juga boleh ikut memetik
keuntungan dari perkembangan mereka.
Dalam dunia pendidikan, yang dibutuhkan bukan
hanya pengetahuan tentang kenyataan sosial yang ada, melainkan juga
kemampuan untuk menilai kenyataan sosial
itu berdasarkan kriteria yang ditarik dari
suatu sistem nilai. Pembentukan akhlak dalam program pendidikan agama biasanya berupa pelajaran tentang norma-norma
atau kaidah-kaidah yang hedaknya ditaati
dalam hidup. Nilai-nilai ini biasanya diajarkan dalam bentuk yang abstrak, yang relevansinya
terhadap kenyataan sosial tidak mudah
ditangkap oleh anak didik, terutama mereka yang belum memiliki banyak pengalaman sosial.
Pendidikan Islam di Indonesia masuk dan
berkembang seiring dengan masuk dan
berkembangnya agama Islam di Indonesia, karena
ajaran Islam dimulai dan disebarluaskan melalui media pendidikan. Dengan mengutip ayat pertama dan kedua dalam
Q.S. al-‘Alaq (96), Mahmud Yunus merinci
materi pendidikan Islam itu ke dalam empat
macam, yaitu :
1) pendidikan keagamaan, 2) pendidikan aqliyah amaliyah, 3) pendidikan akhlak dan budi pekerti, dan 4) pendidikan jasmani (kesehatan/kebersihan).[6] Keempat macam materi itu tentunya akan dapat dikembangkan sesuai dengan tuntutan zaman.
1) pendidikan keagamaan, 2) pendidikan aqliyah amaliyah, 3) pendidikan akhlak dan budi pekerti, dan 4) pendidikan jasmani (kesehatan/kebersihan).[6] Keempat macam materi itu tentunya akan dapat dikembangkan sesuai dengan tuntutan zaman.
Karenanya, untuk melihat sejarah pendidikan
Islam di Indonesia tidak akan lepas dari
tahapan awal masuknya Islam ke Indonesia yang oleh Buya Hamka disinyalir sudah muncul tidak lama
setelah Islam lahir di Mekah. Menurut
Hamka, pada tahun 674 M. sudah ada pemukiman orang-orang Arab (Islam) di Pantai
Barat Sumatera.[7]
B.
Perumusan
Masalah
Berdasarkan latar
belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan-permasalahan
sebagai berikut :
1.
Apa yang dimaksud
dengan pendidikan Islam?
2.
Bagaimana pendidikan
Islam pada awal masuknya Islam ke Indonesia?
C.
Tujuan
Pembahasan
Berdasarkan perumusan
masalah di atas, maka tujuan pembahasan dalam makalah ini adalah sebagai
berikut :
1.
Untuk mengetahui apa
yang dimaksud dengan pendidikan Islam; dan
2.
Untuk mengetahui
pendidikan Islam pada awal masuknya Islam ke Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Pendidikan Islam
Secara
etimologis pendidikan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab “tarbiyah” dengan kata kerjanya “robba”
yang berarti mengasuh, mendidik, memelihara.[8]
Menurut pendapat Ki Hajar Dewantara, pendidikan adalah tuntutan di dalam hidup
tumbuhnya anak-anak, maksudnya pendidikan adalah menuntun segala kekuatan
kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai
anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang
setinggi-tingginya.[9]
Pendidikan adalah segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan anak-anak
untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan.[10] Menurut Arifin, pendidikan secara teoritis
mengandung pengertian “memberi makan” kepada jiwa anak didik sehingga
mendapatkan kepuasan rohaniah, juga sering diartikan dengan menumbuhkan
kemampuan dasar manusia.[11]
Menurut
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Bab 1 pasal 1 ayat 1,
pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan
memang sangat berguna bagi setiap individu. Jadi, pendidikan merupakan suatu
proses belajar mengajar yang membiasakan warga masyarakat sedini mungkin
menggali, memahami, dan mengamalkan semua nilai yang disepa kati sebagai nilai
terpuji dan dikehendaki, serta berguna bagi kehidupan dan perkembangan pribadi,
masyarakat, bangsa dan negara.
Pendidikan Islam
menurut Zakiah Drajat merupakan pendidikan yang lebih banyak ditujukan kepada
perbaikan sikap mental yang akan terwujud dalam amal perbuatan, baik bagi
keperluan diri sendiri maupun orang lain yang bersifat teoritis dan praktis.[12] Dengan demikian, pendidikan Islam berarti
proses bimbingan dari pendidik terhadap perkembangan jasmani, rohani, dan akal
peserta didik ke arah terbentuknya pribadi muslim yang baik (Insan Kamil).
B.
Pendidikan
Islam pada Awal Masuknya Islam ke Indonesia
Hampir
semua ahli sejarah menyatakan bahwa dearah Indonesia yang mula-mula di masuki
Islam ialah daerah Aceh.[13] Berdasarkan kesimpulan seminar tentang
masuknya Islam ke Indonesia yang berlangsung di Medan pada tanggal 17 – 20
Maret 1963, yaitu:
1. Islam untuk pertama kalinya telah
masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M, dan langsung dari Arab;
2.
Daerah
yang pertama kali didatangi oleh Islam adalah pesisir Sumatera, adapun kerajaan
Islam yang pertama adalah di Pasai;
3.
Dalam
proses pengislaman selanjutnya, orang-orang Islam Indonesia ikut aktif
mengambil peranan dan proses penyiaran Islam dilakukan secara damai.
Kedatangan
Islam di Indonesia, ikut mencerdaskan rakyat dan membawa peradaban yang tinggi
dalam membentuk kepribadian bangsa Indonesia.[14]
Masuknya Islam ke Indonesia ada yang mengatakan dari India, dari Persia, atau
dari Arab.[15]
Dan jalur yang digunakan adalah:
1. Perdagangan, yang mempergunakan
sarana pelayaran;
2. Dakwah, yang dilakukan oleh
mubaligh yang berdatangan bersama para pedagang, para mubaligh itu bisa dikatakan
sebagai sufi pengembara;
3. Perkawinan, yaitu perkawinan
antara pedagang muslim, mubaligh dengan anak bangsawan Indonesia, yang
menyebabkan terbentuknya inti sosial yaitu keluarga muslim dan masyarakat
muslim;
4. Pendidikan. Pusat-pusat
perekonomian itu berkembang menjadi pusat pendidikan dan penyebaran Islam;
5.
Kesenian.
Jalur yang banyak sekali dipakai untuk penyebaran Islam terutama di Jawa adalah
seni.
Bentuk
agama Islam itu sendiri mempercepat penyebaran Islam, apalagi sebelum masuk ke
Indonesia telah tersebar terlebih dahulu ke daerah-daerah Persia dan India,
dimana kedua daerah ini banyak memberi pengaruh kepada perkembangan kebudayaan
Indonesia. Dalam perkembangan agama Islam di daerah Aceh, peranan mubaligh
sangat besar, karena mubaligh tersebut tidak hanya berasal dari Arab, tetapi
juga Persia, India, juga dari Negeri sendiri.
Ada dua
faktor penting yang menyebabkan masyarakat Islam mudah berkembang di Aceh,
yaitu :
1. Letaknya sangat strategis dalam
hubungannya dengan jalur Timur Tengah dan Tiongkok;
2.
Pengaruh
Hindu – Budha dari Kerajaan Sriwijaya di Palembang tidak begitu berakar kuat dikalangan
rakyat Aceh, karena jarak antara Palembang dan Aceh cukup jauh.[16]
Sedangkan
Hasbullah mengutip pendapat Prof. Mahmud Yunus, memperinci faktor-faktor yang
menyebabkan Islam dapat cepat tersebar di seluruh Indonesia.[17]
antara lain :
1. Agama Islam tidak sempit dan
berat melakukan aturan-aturannya, bahkan mudah ditiru oleh segala golongan umat
manusia, bahkan untuk masuk agama Islam saja cukup dengan mengucap dua kalimah
syahadat saja;
2. Sedikit tugas dan kewajiban
Islam;
3. Penyiaran Islam itu dilakukan dengan
cara berangsur-angsur sedikit demi sedikit;
4. Penyiaran Islam dilakukan dengan
cara bijaksana;
5.
Penyiaran
Islam dilakukan dengan perkataan yang mudah dipahami umum, dapat dimengerti
oleh golongan bawah dan golongan atas.
Konversi
massal masyarakat Nusantara kepada Islam pada masa perdagangan terjadi karena
beberapa sebab[18] yaitu :
1. Portilitas (siap pakai) sistem
keimanan Islam;
2. Asosiasi Islam dengan kekayaan.
Ketika penduduk pribumi Nusantara bertemu dan berinteraksi dengan orang muslim
pendatang di pelabuhan, mereka adalah pedagang yang kaya raya. Karena kekayaan
dan kekuatan ekonomi, mereka bisa memainkan peranan penting dalam bidang
politik dan diplomatik;
3. Kejayaan militer. Orang muslim
dipandang perkasa dan tangguh dalam peperangan;
4. Memperkenalkan tulisan. Agama
Islam memperkenalkan tulisan ke berbagai wilayah Asia Tenggara yang sebagian
besar belum mengenal tulisan;
5. Mengajarkan penghapalan
Al-Qur’an. Hapalan menjadi sangat penting bagi penganut baru, khususnya untuk
kepentingan ibadah, seperti sholat;
6. Kepandaian dalam penyembuhan.
Tradisi tentang konversi kepada Islam berhubungan dengan kepercayaan bahwa
tokoh-tokoh Islam pandai menyembuhkan. Sebagai contoh, Raja Patani menjadi
muslim setelah disembuhkan dari penyakitnya oleh seorang Syaikh dari Pasai;
7.
Pengajaran
tentang moral. Islam menawarkan keselamatan dari berbagai kekuatan jahat dan
kebahagiaan di akhirat kelak.
Melalui faktor-faktor dan sebab-sebab tersebut, Islam cepat
tersebar di seluruh Nusantara sehingga pada gilirannya nanti, menjadi agama utama
dan mayoritas negeri ini.
1.
Pendidikan
Islam pada Masa Kerajaan Samudra Pasai
Kerajaan
Islam pertama di Indonesia adalah kerajaan Samudra Pasai, yang didirikan pada
abad ke-10 M dengan raja pertamanya Malik Ibrahim bin Mahdum. Yang kedua
bernama Al-Malik Al-Shaleh dan yang terakhir bernama Al-Malik Sabar Syah (tahun
1444 M/ abad ke-15 H).[19]
Pada tahun 1345, Ibnu Batutah dari Maroko sempat singgah di Kerajaan Pasai pada
zaman pemerintahan Malik Az-Zahir, raja yang terkenal alim dalam ilmu agama dan
bermazhab Syafi’i, mengadakan pengajian sampai waktu sholat Ashar dan fasih
berbahasa Arab serta mempraktekkan pola hidup yang sederhana.[20] Keterangan Ibnu Batutah tersebut dapat
ditarik kesimpulan pendidikan yang berlaku di zaman kerajaan Pasai sebagai
berikut:
a. Materi pendidikan dan pengajaran
agama bidang syari’at adalah Fiqh mazhab Syafi’i;
b. Sistem pendidikannya secara
informal berupa majlis ta’lim dan halaqoh;
c.
Tokoh
pemerintahan merangkap tokoh agama;
d.
Biaya pendidikan
bersumber dari negara.[21]
Pada zaman kerajaan
Samudra Pasai mencapai kejayaannya pada abad ke-14 M, maka pendidikan juga
mendapat tempat tersendiri. Mengutip keterangan Tome Pires, yang menyatakan
bahwa “di Samudra Pasai banyak terdapat kota, dimana antar warga kota tersebut
terdapat orang-orang berpendidikan”.[22] Menurut Ibnu Batutah juga, Pasai pada abad
ke-14 M, sudah merupakan pusat studi Islam di Asia Tenggara, dan banyak
berkumpul ulama-ulama dari negara-negara Islam. Ibnu Batutah menyatakan bahwa
Sultan Malikul Zahir adalah orang yang cinta kepada para ulama dan ilmu
pengetahuan. Bila hari jum’at tiba, Sultan sembahyang di Masjid menggunakan
pakaian ulama, setelah sembahyang mengadakan diskusi dengan para alim
pengetahuan agama, antara lain: Amir Abdullah dari Delhi, dan Tajudin dari Ispahan.
Bentuk pendidikan dengan cara diskusi disebut Majlis Ta’lim atau halaqoh.
Sistem halaqoh yaitu para murid mengambil posisi melingkari guru. Guru duduk di
tengah-tengah lingkaran murid dengan posisi seluruh wajah murid menghadap guru.
2.
Pendidikan
Islam pada Masa Kerajaan Perlak
Kerajaan
Islam kedua di Indonesia adalah Perlak di Aceh. Rajanya yang pertama Sultan
Alaudin (tahun 1161-1186 H/abad 12 M). Antara Pasai dan Perlak terjalin kerja
sama yang baik sehingga seorang Raja Pasai menikah dengan Putri Raja Perlak.
Perlak merupakan daerah yang terletak sangat strategis di Pantai Selat Malaka,
dan bebas dari pengaruh Hindu.[23] Kerajaan Islam Perlak juga memiliki pusat
pendidikan Islam Dayah Cot Kala. Dayah disamakan dengan Perguruan Tinggi,
materi yang diajarkan yaitu bahasa Arab, tauhid, tasawuf, akhlak, ilmu bumi,
ilmu bahasa dan sastra Arab, sejarah dan tata negara, mantiq, ilmu falaq dan
filsafat. Daerahnya kira-kira dekat Aceh Timur sekarang. Pendirinya adalah
ulama Pangeran Teungku Chik M.Amin, pada akhir abad ke-3 H, abad 10 M. Inilah
pusat pendidikan pertama.
Rajanya yang ke enam bernama Sultan Mahdum Alaudin Muhammad
Amin yang memerintah antara tahun 1243-1267 M, terkenal sebagai seorang Sultan
yang arif bijaksana lagi alim. Beliau adalah seorang ulama yang mendirikan
Perguruan Tinggi Islam yaitu suatu Majlis Taklim tinggi dihadiri khusus oleh
para murid yang sudah alim. Lembaga tersebut juga mengajarkan dan membacakan
kitab-kitab agama yang berbobot pengetahuan tinggi, misalnya kitab Al-Umm karangan
Imam Syafi’i.[24]
Dengan demikian pada kerajaan Perlak ini proses pendidikan Islam telah berjalan
cukup baik.
3.
Pendidikan
Islam pada Masa Kerajaan Aceh Darussalam
Proklamasi
kerajaan Aceh Darussalam adalah hasil peleburan kerajaan Islam Aceh di belahan
Barat dan Kerajaan Islam Samudra Pasai di belahan Timur. Putra Sultan Abidin
Syamsu Syah diangkat menjadi Raja dengan Sultan Alaudin Ali Mughayat Syah
(1507-1522 M). Bentuk teritorial yang terkecil dari susunan pemerintahan
Kerajaan Aceh adalah Gampong (Kampung), yang dikepalai oleh seorang Keucik dan
Waki (wakil). Gampong-gampong yang letaknya berdekatan dan yang penduduknya
melakukan ibadah bersama pada hari jum’at di sebuah masjid merupakan suatu
kekuasaan wilayah yang disebut mukim, yang memegang peranan pimpinan mukim
disebut Imeum mukim.[25]
Jenjang
pendidikan yang ada di Kerajaan Aceh Darussalam diawali pendidikan terendah
Meunasah (Madrasah). Yang berarti tempat belajar atau sekolah, terdapat di
setiap gampong dan mempunyai multi fungsi antara lain :
a. Sebagai tempat belajar Al-Qur’an;
b.
Sebagai
Sekolah Dasar, dengan materi yang diajarkan yaitu menulis dan membaca huruf
Arab, Ilmu agama, bahasa Melayu, akhlak dan sejarah Islam;
c. Sebagai tempat ibadah sholat 5
waktu untuk kampung itu;
d. Sebagai tempat sholat tarawih dan
tempat membaca Al-Qur’an di bulan puasa;
e. Tempat kenduri Maulud pada bulan
Mauludan;
f. Tempat menyerahkan zakat fitrah
pada hari menjelang Idhul Fitri atau bulan puasa;
g. Tempat mengadakan perdamaian bila
terjadi sengketa antara anggota kampung;
h. Tempat bermusyawarah dalam segala
urusan.
i.
Letak
meunasah harus berbeda dengan letak rumah, supaya orang segera dapat mengetahui
mana yang rumah atau meunasah dan mengetahui arah kiblat sholat.[26]
Selanjutnya
sistem pendidikan di Dayah (pesantren) seperti di Meunasah tetapi materi yang
diajarkan adalah kitab Nahu, yang diartikan kitab yang dalam Bahasa Arab,
meskipun arti Nahu sendiri adalah tata bahasa (Arab). Dayah biasanya dekat
masjid, meskipun ada juga di dekat Teungku yang memiliki dayah itu sendiri,
terutama dayah yang tingkat pelajarannya sudah tinggi. Oleh karena itu orang
yang ingin belajar nahu itu tidak dapat belajar sambilan, untuk itu mereka
harus memilih dayah yang agak jauh sedikit dari kampungnya dan tinggal di dayah
tersebut yang disebut Meudagang. Di dayah telah disediakan pondok-pondok kecil
mamuat dua orang tiap rumah. Dalam buku karangan Hasbullah, Sejarah Pendidikan
Islam di Indonesia, istilah Rangkang merupakan madrasah seringkat Tsanawiyah,
materi yang diajarkan yaitu bahasa Arab, ilmu bumi, sejarah, berhitung, dan
akhlak. Rangkang juga diselenggarakan disetiap mukim.[27]
Bidang
pendidikan di kerajaan Aceh Darussalam benar-benar menjadi perhatian. Pada saat
itu terdapat lembaga-lembaga negara yang bertugas dalam bidang pendidikan dan
ilmu pengetahuan yaitu :
a. Balai Seutia Hukama, merupakan
lembaga ilmu pengetahuan, tempat berkumpulnya para ulama, ahli pikir dan
cendikiawan untuk membahas dan mengembangkan ilmu pengetahuan;
b. Balai Seutia Ulama, merupakan
jawatan pendidikan yang bertugas mengurus masalah-masalah pendidikan dan
pengajaran;
c.
Balai
Jama’ah Himpunan Ulama, merupakan kelompok studi tempat para ulama dan sarjana
berkumpul untuk bertukar fikiran membahas persoalan pendidikan dan ilmu
pendidikannya.
Aceh
pada saat itu merupakan sumber ilmu pengetahuan dengan sarjana-sarjanaya yang
terkenal di dalam dan luar negeri. Sehingga banyak orang luar datang ke Aceh
untuk menuntut ilmu, bahkan ibukota Aceh Darussalam berkembang menjadi kota
Internasional dan menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan.
Kerajaan
Aceh telah menjalin suatu hubungan persahabatan dengan kerajaan Islam terkemuka
di Timur Tengah yaitu kerajaan Turki. Pada masa itu banyak pula ulama dan
pujangga-pujangga dari berbagai negeri Islam yang datang ke Aceh. Para ulama
dan pujangga ini mengajarkan ilmu agama Islam (Theologi Islam) dan berbagai
ilmu pengetahuan serta menulis bermacam-macam kitab berisi ajaran agama.
Karenanya pengajaran agama Islam di Aceh menjadi penting dan Aceh menjadi
kerajaan Islam yang kuat di nusantara. Diantara para ulama dan pijangga yang
pernah datang ke kerajaan Aceh antara lain Muhammad Azhari yang mengajar ilmu
Metafisika, Syekh Abdul Khair Ibn Syekh Hajar ahli dalam bidang pogmatik dan
mistik, Muhammad Yamani ahli dalam bidang ilmu usul fiqh dan Syekh Muhammad
Jailani Ibn Hasan yang mengajar logika.[28]
Tokoh
pendidikan agama Islam lainnya yang berada di kerajaan Aceh adalah Hamzah
Fansuri. Ia merupakan seorang pujangga dan guru agama yang terkenal dengan
ajaran tasawuf yang beraliran wujudiyah. Diantara karya-karya Hamzah Fansuri
adalah Asrar Al-Aufin, Syarab Al-Asyikin, dan Zuiat Al-Nuwahidin. Sebagai seorang
pujangga ia menghasilkan karya-karya, Syair si burung pungguk, syair perahu.
Ulama
penting lainnnya adalah Syamsuddin As-Samathrani atau lebih dikenal dengan
Syamsuddin Pasai. Ia adalah murid dari Hamzah Fansuri yang mengembangkan paham
wujudiyah di Aceh. Kitab yang ditulis, Mir’atul
al-Qulub, Miratul Mukmin dan lainnya. Ulama dan pujangga lain yang pernah
datang ke kerajaan Aceh ialah Syekh Nuruddin Ar-Raniri. Ia menentang paham
wujudiyah dan menulis banyak kitab mengenai agama Islam dalam bahasa Arab
maupun Melayu klasik. Kitab yang terbesar dan tertinggi mutu dalam kesustraan
Melayu klasik dan berisi tentang sejarah kerajaan Aceh adalah kitab Bustanul Salatin.
Pada masa kejayaan kerajaan Aceh, masa Sultan Iskandar Muda
(1607-1636 M) oleh Sultannya banyak didirikan masjid sebagai tempat beribadah
umat Islam, salah satu masjid yang terkenal Masjid Baitul Rahman, yang juga
dijadikan sebagai Perguruan Tinggi dan mempunyai 17 daars (fakultas). Dengan
melihat banyak para ulama dan pujangga yang datang ke Aceh, serta adanya
Perguruan Tinggi, maka dapat dipastikan bahwa kerajaan Aceh menjadi pusat studi
Islam. Karena faktor agama Islam merupakan salah satu faktor yang sangat
mempengaruhi kehidupan masyarakat Aceh pada periode berikutnya. Menurut B.J.
Boland, bahwa seorang Aceh adalah seorang Islam.[29]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pendidikan
merupakan suatu proses belajar mengajar yang membiasakan kepada warga
masyarakat sedini mungkin untuk menggali, memahami dan mengamalkan semua nilai
yang disepakati sebagai nilai yang terpujikan dan dikehendaki, serta berguna
bagi kehidupan dan perkembangan ciri pribadi, masyarakat, bangsa dan negara.
Pendidikan Islam merupakan proses bimbingan terhadap peserta
didik ke arah terbentuknya pribadi muslim yang baik (insan kamil) Keberhasilan dan kemajuan pendidikan di masa kerajaan
Islam di Aceh, tidak terlepas dari pengaruh Sultan yang berkuasa dan peran para
ulama serta pujangga, baik dari luar maupun setempat, seperti peran tokoh-tokoh
pendidikan seperti Hazah Fansuri, Syamsudin As-Sumatrani, dan Syaekh Nuruddin
A-Raniri, yang menghasilkan karya-karya besar sehingga menjadikan Aceh sebagai
pusat pengkajian Islam.
B.
Saran-saran
1. Pendidikan
merupakan kebutuhan hidup yang harus terus dikembangkan dalam upaya menggapai
kebahagiaan di dunia dan di akhirat;
2. Melestarikan
budaya luhur para tokoh perkembangan pendidikan Islam merupakan tanggung jawab
bersama seluruh umat Islam;
3. Teruslah
belajar dan belajar dengan berbagai disiplin ilmu.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Mustofa Aly. 1999. Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia, untuk Fakultas Tarbiyah. Bandung : Pustaka Setia.
Ach. Syaikhu1. 2011. Sejarah Pendidikan Islam (Telaah Kritis Dinamika Pendidikan Islam). Jurnal Falasifa, Vol. 2 No. 2
September 2011.
Arifin,
HM. 2003. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta : Bumi Aksara.
Hamka. 1961. Sejarah Umat
Islam. Jakarta: Nusantara.
Hasbullah.
2001. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Ibrahim Bukhari. 1981. Pengaruh
Timbal Balik antara Pendidikan Islam dan Pergerakan Nasional di Minangkabau. Jakarta: Gunung
Tiga.
Ibrahim,
M/ 1991. Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Jakarta :
Tumaritis.
Mahmud
Yunus. 1992. Sejarah Pendidikan Islam,
Cetakan VII. Jakarta: Hidakarya Agung.
Musrifah
Sunanto. 2005. Sejarah Peradaban Islam Indonesia. Jakarta : Raja
Grafindo Persada.
Ngalim
Purwanto. 1992. Ilmu Pendidikan Teoritis. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Taufik
Abdullah, Ed. 1983. Agama dan Perubahan Sosial. Jakarta : Rajawali.
Yusuf Amir Feisal. 1995. Reorientasi
Pendidikan Islam, Cet. I. Jakarta : Gema Insani Press.
Zakiah
Drajat. 1996. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta : Bumi Aksara.
Zauharini.
2000. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta : Bumi Aksara.
[1] Abdullah
Mustofa Aly, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, untuk Fakultas Tarbiyah,
(Bandung : CV. Pustaka Setia, 1999),
hal. 23.
[2] Taufik Abdullah, Ed, Agama
dan Perubahan Sosial, (Jakarta : Rajawali, 1983),
hal. 54.
hal. 54.
[3] Musrifah Sunanto, Sejarah
Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2005), hal.
20.
[4] Ach. Syaikhu1, Sejarah Pendidikan Islam (Telaah
Kritis Dinamika Pendidikan Islam), Jurnal Falasifa, Vol. 2 No. 2 September 2011, hal. 120.
[5] Yusuf
Amir Feisal, Reorientasi Pendidikan
Islam, Cet. I, (Jakarta : Gema Insani
Press, 1995), hal. 63–65.
[6] Mahmud Yunus, Sejarah
Pendidikan Islam, Cet. VII, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1992), hal. 5–6.
[7] Hamka,
Sejarah Umat Islam, (Jakarta:
Nusantara, 1961), hal. 660–662. Lihat juga
Ibrahim Bukhari, Pengaruh Timbal
Balik antara Pendidikan Islam dan Pergerakan
Nasional di Minangkabau, (Jakarta: Gunung Tiga, 1981), hal. 33.
[8] Zakiah Drajat, Ilmu
Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1996), hal. 25
[9] Hasbullah, Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hal.
4.
[10] Ngalim Purwanto, Ilmu
Pendidikan Teoritis, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1992), hal. 11.
[11] HM. Arifin, Ilmu Pendidikan
Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 2003), hal. 22.
[12] Zakiah Drajat, Op. Cit., hal. 25.
[13] Taufik Abdullah, Op. Cit., hal. 4.
[14] Ibid., hal. 5.
[15] Musrifah Sunanto, Op. Cit., hal. 10-11.
[16] Abdullah Mustofa Aly, Op. Cit., hal. 53.
[17] Hasbullah, Op. Cit., hal. 19-20.
[18] Musrifah Sunanto, Op. Cit., hal. 20-21.
[19] Abdullah Mustofa Aly, Op. Cit., hal. 54.
[20] Zauharini, Sejarah
Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 2000), hal. 135.
[21] Ibid., hal. 136.
[22] M. Ibrahim, Sejarah Daerah
Propinsi Daerah Istimewa Aceh, (Jakarta : Tumaritis, 1991), hal. 61.
[23] Hasbullah, Op. Cit., hal. 29.
[24] Abdullah Mustofa Aly, Op. Cit., hal. 54.
[25] M. Ibrahim, Op. Cit., hal. 75.
[26] Ibid., hal. 76.
[27] Hasbullah, Op. Cit., hal. 32.
[28] M. Ibrahim, Op. Cit., hal. 88.
[29] Ibid., hal. 89.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan tulis komentar Anda