Sabtu, 29 Juni 2013

Pendidikan Islam pada Awal Masuknya Islam ke Indonesia # 2


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Lahirnya agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah saw., pada abad ke-7 M, menimbulkan suatu tenaga penggerak yang luar biasa, yang pernah dialami oleh umat manusia. Islam merupakan gerakan raksasa yang telah berjalan sepanjang zaman dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Masuk dan berkembangnya Islam ke Indonesia dipandang dari segi historis dan sosiologis sangat kompleks dan terdapat banyak masalah, terutama tentang sejarah perkembangan awal Islam. Ada perbedaan antara pendapat lama dan pendapat baru. Pendapat lama sepakat bahwa Islam masuk ke Indonesia abad ke-13 M dan pendapat baru menyatakan bahwa Islam masuk pertama kali ke Indonesia pada abad ke-7 M.[1] Namun yang pasti, hampir semua ahli sejarah menyatakan bahwa daerah Indonesia yang mula-mula dimasuki Islam adalah daerah Aceh.[2]
Datangnya Islam ke Indonesia dilakukan secara damai, dapat dilihat melalui jalur perdagangan, dakwah, perkawinan, ajaran tasawuf dan tarekat, serta jalur kesenian dan pendidikan, yang semuanya mendukung proses cepatnya Islam masuk dan berkembang di Indonesia. Kegiatan pendidikan Islam di Aceh lahir, tumbuh dan berkembang bersamaan dengan berkembangnya Islam di Aceh. Konversi massal masyarakat kepada Islam pada masa perdagangan disebabkan oleh Islam merupakan agama yang siap pakai, asosiasi Islam dengan kejayaan, kejayaan militer Islam, mengajarkan tulisan dan hapalan, kepandaian dalam penyembuhan dan pengajaran tentang moral.[3]
Konversi massal masyarakat kepada Islam pada masa kerajaan Islam di Aceh tidak lepas dari pengaruh penguasa kerajaan serta peran ulama dan pujangga. Aceh menjadi pusat pengkajian Islam sejak zaman Sultan Malik Az-Zahir berkuasa, dengan adanya sistem pendidikan informal berupa halaqoh. Yang pada kelanjutannya menjadi sistem pendidikan formal. Dalam konteks inilah, akan membahas tentang pusat pengkajian Islam pada masa Kerajaan Islam dengan membatasi wilayah bahasan di daerah Aceh, dengan batasan masalah, pengertian pendidikan Islam, masuk dan berkembangnya Islam di Aceh, dan pusat pengkajian Islam pada masa tiga kerajaan besar Islam di Aceh.[4]
Pendidikan sebagai usaha sadar yang dilakukan oleh orang dewasa  untuk mendewasakan anak didik diselenggarakan baik melaui jalur sekolah maupun luar sekolah. Hal inilah yang menyebabkan sehingga pendidikan di Indonesia menjadi tanggung jawab bersama antara orangtua,  pemerintah, dan masyarakat. Pendidikan sangat penting dan tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan baik dalam kehidupan seseorang dan keluarga, maupun dalam  kehidupan berbangsa dan bernegara, karena maju mundurnya suatu bang-sa banyak ditentukan oleh maju mundurnya pendidikan bangsa itu.  
Sebagai makhluk Tuhan yang menyandang posisi sebagai khalifah di  muka bumi, manusia mempunyai empat macam tanggung jawab, yaitu :
1)  tanggung jawab terhadap Tuhan sebagai wujud rasa syukur melalui  beribadah kepada-Nya, 2) tanggung jawab terhadap diri sendiri yang  dimanifestasikan melalui pengembangan kapasitas potensial yang dimiliki  agar bermanfaat bagi masyarakat dan lingkungan, 3) tanggung jawab ter-hadap masyarakat yang diakibatkan munculnya rasa kesatuan, senasib dan  sepenanggungan dalam mempertahankan diri, dan 4) tanggung jawab terhadap alam semesta yang dimanifestasikan dengan cara menjaga kelesta-riannya untuk kesejahteraan masyarakat.[5]
Empat macam tanggung jawab itu tentunya harus seimbang dan  serasi, sebab bila terjadi stagnasi, maka akan muncul berbagai gejolak.  Salah satu upaya untuk dapat menyelaraskan dan menyeimbangkan ke-empat macam tanggung jawab itu adalah upaya menanamkan kesadaran  akan jati diri manusia dan salah satu cara yang dapat ditempuh dalam hal  ini adalah melalui pendidikan. 
Namun demikian, Sindhunata mengungkapkan pendapat kontroversial : “Sudah menjadi  kegelisahan berabad-abad lamanya, bahwa pendidikan dengan amat  mudah diperalat untuk melayani kepentingan masyarakat semata-mata.  Dalam pendidikan, anak ditempa secara tidak seimbang, sehingga kelak  mereka lebih dan makin tersedia sebagai “alat yang berguna” bagi masyarakat. Akan tetapi, sangatlah keliru jika pendidikan memutlakkan kepentingan masyarakat tersebut, sebab tujuan pendidikan bukanlah pertama-tama melayani masyarakat tersebut, melainkan membantu kelahiran  manusia-manusia dewasa dan matang, yang kelak dengan bebas dan sadar  dapat membantu masyarakat. 
Lebih lanjut, ia mengatakan, bahwa pendidikan lebih dari sekadar menghasilkan "kegunaan", pendidikan harus membantu manusia muda  agar mereka dapat mengolah bakat dan kemampuan persoalnya untuk  menemukan kepribadiannya. Pendidikan juga perlu membantu mereka  mengembangkan bakat kemampuan sosialnya agar masyarakat juga boleh  ikut memetik keuntungan dari perkembangan mereka. 
Dalam dunia pendidikan, yang dibutuhkan bukan hanya pengetahuan tentang kenyataan sosial yang ada, melainkan juga kemampuan  untuk menilai kenyataan sosial itu berdasarkan kriteria yang ditarik dari  suatu sistem nilai. Pembentukan akhlak dalam program pendidikan agama  biasanya berupa pelajaran tentang norma-norma atau kaidah-kaidah yang  hedaknya ditaati dalam hidup. Nilai-nilai ini biasanya diajarkan dalam  bentuk yang abstrak, yang relevansinya terhadap kenyataan sosial tidak  mudah ditangkap oleh anak didik, terutama mereka yang belum memiliki  banyak pengalaman sosial. 
Pendidikan Islam di Indonesia masuk dan berkembang seiring  dengan masuk dan berkembangnya agama Islam di Indonesia, karena  ajaran Islam dimulai dan disebarluaskan melalui media pendidikan.  Dengan mengutip ayat pertama dan kedua dalam Q.S. al-‘Alaq (96),  Mahmud Yunus merinci materi pendidikan Islam itu ke dalam empat  macam, yaitu :
1) pendidikan keagamaan, 2) pendidikan aqliyah amaliyah,  3) pendidikan akhlak dan budi pekerti, dan 4) pendidikan jasmani (kesehatan/kebersihan).[6] Keempat macam materi itu tentunya akan dapat  dikembangkan sesuai dengan tuntutan zaman. 
Karenanya, untuk melihat sejarah pendidikan Islam di Indonesia  tidak akan lepas dari tahapan awal masuknya Islam ke Indonesia yang oleh  Buya Hamka disinyalir sudah muncul tidak lama setelah Islam lahir di  Mekah. Menurut Hamka, pada tahun 674 M. sudah ada pemukiman orang-orang Arab (Islam) di Pantai Barat Sumatera.[7]
B.     Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan-permasalahan sebagai berikut :
1.      Apa yang dimaksud dengan pendidikan Islam?
2.      Bagaimana pendidikan Islam pada awal masuknya Islam ke Indonesia?
C.    Tujuan Pembahasan
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan pembahasan dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan pendidikan Islam; dan
2.      Untuk mengetahui pendidikan Islam pada awal masuknya Islam ke Indonesia.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Pendidikan Islam
Secara etimologis pendidikan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab “tarbiyah” dengan kata kerjanya “robba” yang berarti mengasuh, mendidik, memelihara.[8] Menurut pendapat Ki Hajar Dewantara, pendidikan adalah tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, maksudnya pendidikan adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.[9] Pendidikan adalah segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan.[10]  Menurut Arifin, pendidikan secara teoritis mengandung pengertian “memberi makan” kepada jiwa anak didik sehingga mendapatkan kepuasan rohaniah, juga sering diartikan dengan menumbuhkan kemampuan dasar manusia.[11]
Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Bab 1 pasal 1 ayat 1, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan memang sangat berguna bagi setiap individu. Jadi, pendidikan merupakan suatu proses belajar mengajar yang membiasakan warga masyarakat sedini mungkin menggali, memahami, dan mengamalkan semua nilai yang disepa kati sebagai nilai terpuji dan dikehendaki, serta berguna bagi kehidupan dan perkembangan pribadi, masyarakat, bangsa dan negara.
Pendidikan Islam menurut Zakiah Drajat merupakan pendidikan yang lebih banyak ditujukan kepada perbaikan sikap mental yang akan terwujud dalam amal perbuatan, baik bagi keperluan diri sendiri maupun orang lain yang bersifat teoritis dan praktis.[12]  Dengan demikian, pendidikan Islam berarti proses bimbingan dari pendidik terhadap perkembangan jasmani, rohani, dan akal peserta didik ke arah terbentuknya pribadi muslim yang baik (Insan Kamil).
B.     Pendidikan Islam pada Awal Masuknya Islam ke Indonesia
Hampir semua ahli sejarah menyatakan bahwa dearah Indonesia yang mula-mula di masuki Islam ialah daerah Aceh.[13]  Berdasarkan kesimpulan seminar tentang masuknya Islam ke Indonesia yang berlangsung di Medan pada tanggal 17 – 20 Maret 1963, yaitu:
1.    Islam untuk pertama kalinya telah masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M, dan langsung dari Arab;
2.    Daerah yang pertama kali didatangi oleh Islam adalah pesisir Sumatera, adapun kerajaan Islam yang pertama adalah di Pasai;
3.    Dalam proses pengislaman selanjutnya, orang-orang Islam Indonesia ikut aktif mengambil peranan dan proses penyiaran Islam dilakukan secara damai.
Kedatangan Islam di Indonesia, ikut mencerdaskan rakyat dan membawa peradaban yang tinggi dalam membentuk kepribadian bangsa Indonesia.[14] Masuknya Islam ke Indonesia ada yang mengatakan dari India, dari Persia, atau dari Arab.[15] Dan jalur yang digunakan adalah:
1.    Perdagangan, yang mempergunakan sarana pelayaran;
2.    Dakwah, yang dilakukan oleh mubaligh yang berdatangan bersama para pedagang, para mubaligh itu bisa dikatakan sebagai sufi pengembara;
3.    Perkawinan, yaitu perkawinan antara pedagang muslim, mubaligh dengan anak bangsawan Indonesia, yang menyebabkan terbentuknya inti sosial yaitu keluarga muslim dan masyarakat muslim;
4.    Pendidikan. Pusat-pusat perekonomian itu berkembang menjadi pusat pendidikan dan penyebaran Islam;
5.    Kesenian. Jalur yang banyak sekali dipakai untuk penyebaran Islam terutama di Jawa adalah seni.
Bentuk agama Islam itu sendiri mempercepat penyebaran Islam, apalagi sebelum masuk ke Indonesia telah tersebar terlebih dahulu ke daerah-daerah Persia dan India, dimana kedua daerah ini banyak memberi pengaruh kepada perkembangan kebudayaan Indonesia. Dalam perkembangan agama Islam di daerah Aceh, peranan mubaligh sangat besar, karena mubaligh tersebut tidak hanya berasal dari Arab, tetapi juga Persia, India, juga dari Negeri sendiri.
Ada dua faktor penting yang menyebabkan masyarakat Islam mudah berkembang di Aceh, yaitu :
1.    Letaknya sangat strategis dalam hubungannya dengan jalur Timur Tengah dan Tiongkok;
2.    Pengaruh Hindu – Budha dari Kerajaan Sriwijaya di Palembang tidak begitu berakar kuat dikalangan rakyat Aceh, karena jarak antara Palembang dan Aceh cukup jauh.[16]
Sedangkan Hasbullah mengutip pendapat Prof. Mahmud Yunus, memperinci faktor-faktor yang menyebabkan Islam dapat cepat tersebar di seluruh Indonesia.[17] antara lain :
1.    Agama Islam tidak sempit dan berat melakukan aturan-aturannya, bahkan mudah ditiru oleh segala golongan umat manusia, bahkan untuk masuk agama Islam saja cukup dengan mengucap dua kalimah syahadat saja;
2.    Sedikit tugas dan kewajiban Islam;
3.    Penyiaran Islam itu dilakukan dengan cara berangsur-angsur sedikit demi sedikit;
4.    Penyiaran Islam dilakukan dengan cara bijaksana;
5.    Penyiaran Islam dilakukan dengan perkataan yang mudah dipahami umum, dapat dimengerti oleh golongan bawah dan golongan atas.
Konversi massal masyarakat Nusantara kepada Islam pada masa perdagangan terjadi karena beberapa sebab[18]  yaitu :
1.    Portilitas (siap pakai) sistem keimanan Islam;
2.    Asosiasi Islam dengan kekayaan. Ketika penduduk pribumi Nusantara bertemu dan berinteraksi dengan orang muslim pendatang di pelabuhan, mereka adalah pedagang yang kaya raya. Karena kekayaan dan kekuatan ekonomi, mereka bisa memainkan peranan penting dalam bidang politik dan diplomatik;
3.    Kejayaan militer. Orang muslim dipandang perkasa dan tangguh dalam peperangan;
4.    Memperkenalkan tulisan. Agama Islam memperkenalkan tulisan ke berbagai wilayah Asia Tenggara yang sebagian besar belum mengenal tulisan;
5.    Mengajarkan penghapalan Al-Qur’an. Hapalan menjadi sangat penting bagi penganut baru, khususnya untuk kepentingan ibadah, seperti sholat;
6.    Kepandaian dalam penyembuhan. Tradisi tentang konversi kepada Islam berhubungan dengan kepercayaan bahwa tokoh-tokoh Islam pandai menyembuhkan. Sebagai contoh, Raja Patani menjadi muslim setelah disembuhkan dari penyakitnya oleh seorang Syaikh dari Pasai;
7.    Pengajaran tentang moral. Islam menawarkan keselamatan dari berbagai kekuatan jahat dan kebahagiaan di akhirat kelak.
Melalui faktor-faktor dan sebab-sebab tersebut, Islam cepat tersebar di seluruh Nusantara sehingga pada gilirannya nanti, menjadi agama utama dan mayoritas negeri ini.
1.      Pendidikan Islam pada Masa Kerajaan Samudra Pasai
Kerajaan Islam pertama di Indonesia adalah kerajaan Samudra Pasai, yang didirikan pada abad ke-10 M dengan raja pertamanya Malik Ibrahim bin Mahdum. Yang kedua bernama Al-Malik Al-Shaleh dan yang terakhir bernama Al-Malik Sabar Syah (tahun 1444 M/ abad ke-15 H).[19] Pada tahun 1345, Ibnu Batutah dari Maroko sempat singgah di Kerajaan Pasai pada zaman pemerintahan Malik Az-Zahir, raja yang terkenal alim dalam ilmu agama dan bermazhab Syafi’i, mengadakan pengajian sampai waktu sholat Ashar dan fasih berbahasa Arab serta mempraktekkan pola hidup yang sederhana.[20]  Keterangan Ibnu Batutah tersebut dapat ditarik kesimpulan pendidikan yang berlaku di zaman kerajaan Pasai sebagai berikut:
a.       Materi pendidikan dan pengajaran agama bidang syari’at adalah Fiqh mazhab Syafi’i;
b.      Sistem pendidikannya secara informal berupa majlis ta’lim dan halaqoh;
c.       Tokoh pemerintahan merangkap tokoh agama;
d.      Biaya pendidikan bersumber dari negara.[21]
Pada zaman kerajaan Samudra Pasai mencapai kejayaannya pada abad ke-14 M, maka pendidikan juga mendapat tempat tersendiri. Mengutip keterangan Tome Pires, yang menyatakan bahwa “di Samudra Pasai banyak terdapat kota, dimana antar warga kota tersebut terdapat orang-orang berpendidikan”.[22]  Menurut Ibnu Batutah juga, Pasai pada abad ke-14 M, sudah merupakan pusat studi Islam di Asia Tenggara, dan banyak berkumpul ulama-ulama dari negara-negara Islam. Ibnu Batutah menyatakan bahwa Sultan Malikul Zahir adalah orang yang cinta kepada para ulama dan ilmu pengetahuan. Bila hari jum’at tiba, Sultan sembahyang di Masjid menggunakan pakaian ulama, setelah sembahyang mengadakan diskusi dengan para alim pengetahuan agama, antara lain: Amir Abdullah dari Delhi, dan Tajudin dari Ispahan. Bentuk pendidikan dengan cara diskusi disebut Majlis Ta’lim atau halaqoh. Sistem halaqoh yaitu para murid mengambil posisi melingkari guru. Guru duduk di tengah-tengah lingkaran murid dengan posisi seluruh wajah murid menghadap guru.
2.      Pendidikan Islam pada Masa Kerajaan Perlak
Kerajaan Islam kedua di Indonesia adalah Perlak di Aceh. Rajanya yang pertama Sultan Alaudin (tahun 1161-1186 H/abad 12 M). Antara Pasai dan Perlak terjalin kerja sama yang baik sehingga seorang Raja Pasai menikah dengan Putri Raja Perlak. Perlak merupakan daerah yang terletak sangat strategis di Pantai Selat Malaka, dan bebas dari pengaruh Hindu.[23]  Kerajaan Islam Perlak juga memiliki pusat pendidikan Islam Dayah Cot Kala. Dayah disamakan dengan Perguruan Tinggi, materi yang diajarkan yaitu bahasa Arab, tauhid, tasawuf, akhlak, ilmu bumi, ilmu bahasa dan sastra Arab, sejarah dan tata negara, mantiq, ilmu falaq dan filsafat. Daerahnya kira-kira dekat Aceh Timur sekarang. Pendirinya adalah ulama Pangeran Teungku Chik M.Amin, pada akhir abad ke-3 H, abad 10 M. Inilah pusat pendidikan pertama.
Rajanya yang ke enam bernama Sultan Mahdum Alaudin Muhammad Amin yang memerintah antara tahun 1243-1267 M, terkenal sebagai seorang Sultan yang arif bijaksana lagi alim. Beliau adalah seorang ulama yang mendirikan Perguruan Tinggi Islam yaitu suatu Majlis Taklim tinggi dihadiri khusus oleh para murid yang sudah alim. Lembaga tersebut juga mengajarkan dan membacakan kitab-kitab agama yang berbobot pengetahuan tinggi, misalnya kitab Al-Umm karangan Imam Syafi’i.[24] Dengan demikian pada kerajaan Perlak ini proses pendidikan Islam telah berjalan cukup baik.
3.      Pendidikan Islam pada Masa Kerajaan Aceh Darussalam
Proklamasi kerajaan Aceh Darussalam adalah hasil peleburan kerajaan Islam Aceh di belahan Barat dan Kerajaan Islam Samudra Pasai di belahan Timur. Putra Sultan Abidin Syamsu Syah diangkat menjadi Raja dengan Sultan Alaudin Ali Mughayat Syah (1507-1522 M). Bentuk teritorial yang terkecil dari susunan pemerintahan Kerajaan Aceh adalah Gampong (Kampung), yang dikepalai oleh seorang Keucik dan Waki (wakil). Gampong-gampong yang letaknya berdekatan dan yang penduduknya melakukan ibadah bersama pada hari jum’at di sebuah masjid merupakan suatu kekuasaan wilayah yang disebut mukim, yang memegang peranan pimpinan mukim disebut Imeum mukim.[25]
Jenjang pendidikan yang ada di Kerajaan Aceh Darussalam diawali pendidikan terendah Meunasah (Madrasah). Yang berarti tempat belajar atau sekolah, terdapat di setiap gampong dan mempunyai multi fungsi antara lain :
a.       Sebagai tempat belajar Al-Qur’an;
b.      Sebagai Sekolah Dasar, dengan materi yang diajarkan yaitu menulis dan membaca huruf Arab, Ilmu agama, bahasa Melayu, akhlak dan sejarah Islam;
c.       Sebagai tempat ibadah sholat 5 waktu untuk kampung itu;
d.      Sebagai tempat sholat tarawih dan tempat membaca Al-Qur’an di bulan puasa;
e.       Tempat kenduri Maulud pada bulan Mauludan;
f.       Tempat menyerahkan zakat fitrah pada hari menjelang Idhul Fitri atau bulan puasa;
g.      Tempat mengadakan perdamaian bila terjadi sengketa antara anggota kampung;
h.      Tempat bermusyawarah dalam segala urusan.
i.        Letak meunasah harus berbeda dengan letak rumah, supaya orang segera dapat mengetahui mana yang rumah atau meunasah dan mengetahui arah kiblat sholat.[26]
Selanjutnya sistem pendidikan di Dayah (pesantren) seperti di Meunasah tetapi materi yang diajarkan adalah kitab Nahu, yang diartikan kitab yang dalam Bahasa Arab, meskipun arti Nahu sendiri adalah tata bahasa (Arab). Dayah biasanya dekat masjid, meskipun ada juga di dekat Teungku yang memiliki dayah itu sendiri, terutama dayah yang tingkat pelajarannya sudah tinggi. Oleh karena itu orang yang ingin belajar nahu itu tidak dapat belajar sambilan, untuk itu mereka harus memilih dayah yang agak jauh sedikit dari kampungnya dan tinggal di dayah tersebut yang disebut Meudagang. Di dayah telah disediakan pondok-pondok kecil mamuat dua orang tiap rumah. Dalam buku karangan Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, istilah Rangkang merupakan madrasah seringkat Tsanawiyah, materi yang diajarkan yaitu bahasa Arab, ilmu bumi, sejarah, berhitung, dan akhlak. Rangkang juga diselenggarakan disetiap mukim.[27]
Bidang pendidikan di kerajaan Aceh Darussalam benar-benar menjadi perhatian. Pada saat itu terdapat lembaga-lembaga negara yang bertugas dalam bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan yaitu :
a.       Balai Seutia Hukama, merupakan lembaga ilmu pengetahuan, tempat berkumpulnya para ulama, ahli pikir dan cendikiawan untuk membahas dan mengembangkan ilmu pengetahuan;
b.      Balai Seutia Ulama, merupakan jawatan pendidikan yang bertugas mengurus masalah-masalah pendidikan dan pengajaran;
c.       Balai Jama’ah Himpunan Ulama, merupakan kelompok studi tempat para ulama dan sarjana berkumpul untuk bertukar fikiran membahas persoalan pendidikan dan ilmu pendidikannya.
Aceh pada saat itu merupakan sumber ilmu pengetahuan dengan sarjana-sarjanaya yang terkenal di dalam dan luar negeri. Sehingga banyak orang luar datang ke Aceh untuk menuntut ilmu, bahkan ibukota Aceh Darussalam berkembang menjadi kota Internasional dan menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan.
Kerajaan Aceh telah menjalin suatu hubungan persahabatan dengan kerajaan Islam terkemuka di Timur Tengah yaitu kerajaan Turki. Pada masa itu banyak pula ulama dan pujangga-pujangga dari berbagai negeri Islam yang datang ke Aceh. Para ulama dan pujangga ini mengajarkan ilmu agama Islam (Theologi Islam) dan berbagai ilmu pengetahuan serta menulis bermacam-macam kitab berisi ajaran agama. Karenanya pengajaran agama Islam di Aceh menjadi penting dan Aceh menjadi kerajaan Islam yang kuat di nusantara. Diantara para ulama dan pijangga yang pernah datang ke kerajaan Aceh antara lain Muhammad Azhari yang mengajar ilmu Metafisika, Syekh Abdul Khair Ibn Syekh Hajar ahli dalam bidang pogmatik dan mistik, Muhammad Yamani ahli dalam bidang ilmu usul fiqh dan Syekh Muhammad Jailani Ibn Hasan yang mengajar logika.[28]
Tokoh pendidikan agama Islam lainnya yang berada di kerajaan Aceh adalah Hamzah Fansuri. Ia merupakan seorang pujangga dan guru agama yang terkenal dengan ajaran tasawuf yang beraliran wujudiyah. Diantara karya-karya Hamzah Fansuri adalah Asrar Al-Aufin, Syarab Al-Asyikin, dan Zuiat Al-Nuwahidin. Sebagai seorang pujangga ia menghasilkan karya-karya, Syair si burung pungguk, syair perahu.
Ulama penting lainnnya adalah Syamsuddin As-Samathrani atau lebih dikenal dengan Syamsuddin Pasai. Ia adalah murid dari Hamzah Fansuri yang mengembangkan paham wujudiyah di Aceh. Kitab yang ditulis, Mir’atul al-Qulub, Miratul Mukmin dan lainnya. Ulama dan pujangga lain yang pernah datang ke kerajaan Aceh ialah Syekh Nuruddin Ar-Raniri. Ia menentang paham wujudiyah dan menulis banyak kitab mengenai agama Islam dalam bahasa Arab maupun Melayu klasik. Kitab yang terbesar dan tertinggi mutu dalam kesustraan Melayu klasik dan berisi tentang sejarah kerajaan Aceh adalah kitab Bustanul Salatin.
Pada masa kejayaan kerajaan Aceh, masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M) oleh Sultannya banyak didirikan masjid sebagai tempat beribadah umat Islam, salah satu masjid yang terkenal Masjid Baitul Rahman, yang juga dijadikan sebagai Perguruan Tinggi dan mempunyai 17 daars (fakultas). Dengan melihat banyak para ulama dan pujangga yang datang ke Aceh, serta adanya Perguruan Tinggi, maka dapat dipastikan bahwa kerajaan Aceh menjadi pusat studi Islam. Karena faktor agama Islam merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat Aceh pada periode berikutnya. Menurut B.J. Boland, bahwa seorang Aceh adalah seorang Islam.[29]


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Pendidikan merupakan suatu proses belajar mengajar yang membiasakan kepada warga masyarakat sedini mungkin untuk menggali, memahami dan mengamalkan semua nilai yang disepakati sebagai nilai yang terpujikan dan dikehendaki, serta berguna bagi kehidupan dan perkembangan ciri pribadi, masyarakat, bangsa dan negara.
Pendidikan Islam merupakan proses bimbingan terhadap peserta didik ke arah terbentuknya pribadi muslim yang baik (insan kamil) Keberhasilan dan kemajuan pendidikan di masa kerajaan Islam di Aceh, tidak terlepas dari pengaruh Sultan yang berkuasa dan peran para ulama serta pujangga, baik dari luar maupun setempat, seperti peran tokoh-tokoh pendidikan seperti Hazah Fansuri, Syamsudin As-Sumatrani, dan Syaekh Nuruddin A-Raniri, yang menghasilkan karya-karya besar sehingga menjadikan Aceh sebagai pusat pengkajian Islam.
B.     Saran-saran
1.      Pendidikan merupakan kebutuhan hidup yang harus terus dikembangkan dalam upaya menggapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat;
2.      Melestarikan budaya luhur para tokoh perkembangan pendidikan Islam merupakan tanggung jawab bersama seluruh umat Islam;
3.      Teruslah belajar dan belajar dengan berbagai disiplin ilmu.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Mustofa Aly. 1999. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, untuk Fakultas Tarbiyah. Bandung  : Pustaka Setia.
Ach. Syaikhu1. 2011. Sejarah Pendidikan Islam (Telaah Kritis Dinamika Pendidikan Islam). Jurnal Falasifa, Vol. 2 No. 2 September 2011.
Arifin, HM. 2003. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta : Bumi Aksara.
Hamka. 1961. Sejarah Umat Islam. Jakarta: Nusantara.
Hasbullah. 2001. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Ibrahim Bukhari. 1981. Pengaruh Timbal Balik antara Pendidikan Islam dan Pergerakan  Nasional di Minangkabau. Jakarta: Gunung Tiga.
Ibrahim, M/ 1991. Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Jakarta : Tumaritis.
Mahmud Yunus. 1992. Sejarah Pendidikan Islam, Cetakan VII. Jakarta: Hidakarya Agung.
Musrifah Sunanto. 2005. Sejarah Peradaban Islam Indonesia. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Ngalim Purwanto. 1992. Ilmu Pendidikan Teoritis. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Taufik Abdullah, Ed. 1983. Agama dan Perubahan Sosial. Jakarta : Rajawali.
Yusuf Amir Feisal. 1995. Reorientasi Pendidikan Islam, Cet. I. Jakarta : Gema Insani  Press.
Zakiah Drajat. 1996. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta : Bumi Aksara.
Zauharini. 2000. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta : Bumi Aksara.


[1] Abdullah Mustofa Aly, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, untuk Fakultas Tarbiyah, (Bandung  : CV. Pustaka Setia, 1999), hal. 23. 
[2] Taufik Abdullah, Ed, Agama dan Perubahan Sosial, (Jakarta : Rajawali, 1983),
hal. 54.
[3] Musrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 20.
[4]  Ach. Syaikhu1, Sejarah Pendidikan Islam (Telaah Kritis Dinamika Pendidikan Islam), Jurnal Falasifa, Vol. 2 No. 2 September 2011, hal. 120.
[5] Yusuf Amir Feisal, Reorientasi Pendidikan Islam, Cet. I, (Jakarta : Gema Insani  Press, 1995), hal. 63–65.
[6] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, Cet. VII, (Jakarta: Hidakarya Agung,  1992), hal. 5–6.
[7] Hamka, Sejarah Umat Islam, (Jakarta: Nusantara, 1961), hal. 660–662. Lihat juga  Ibrahim Bukhari, Pengaruh Timbal Balik antara Pendidikan Islam dan Pergerakan  Nasional di Minangkabau, (Jakarta: Gunung Tiga, 1981), hal. 33.
[8] Zakiah Drajat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1996), hal. 25 
[9] Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 4.
[10] Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1992), hal. 11.
[11] HM. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 2003), hal. 22.
[12] Zakiah Drajat, Op. Cit., hal. 25.
[13] Taufik Abdullah, Op. Cit., hal.  4.
[14] Ibid., hal. 5.
[15] Musrifah Sunanto, Op. Cit., hal. 10-11.
[16] Abdullah Mustofa Aly, Op. Cit., hal. 53.
[17] Hasbullah, Op. Cit., hal. 19-20.
[18] Musrifah Sunanto, Op. Cit., hal. 20-21.
[19] Abdullah Mustofa Aly, Op. Cit., hal. 54.
[20] Zauharini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 2000), hal. 135.
[21] Ibid., hal. 136.
[22] M. Ibrahim, Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, (Jakarta : Tumaritis, 1991), hal. 61.
[23] Hasbullah, Op. Cit., hal. 29.
[24] Abdullah Mustofa Aly, Op. Cit., hal. 54.
[25] M. Ibrahim, Op. Cit., hal. 75.
[26] Ibid., hal. 76.
[27] Hasbullah, Op. Cit., hal. 32.
[28] M. Ibrahim, Op. Cit., hal. 88.
[29] Ibid., hal. 89.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan tulis komentar Anda