BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Eksistensi
pendidikan Islam di Indonesia adalah suatu kenyataan yang sudah berlangsung
sangat panjang dan sudah memasyarakat. Pada masa penjajahan Belanda dan
penduduk Jepang, pendidikan diselenggarakan oleh masyarakat sendiri dengan
mendirikan pesantren, sekolah dan tempat latihan-latihan lain. Setelah merdeka,
pendidikan Islam dengan ciri khasnya madrasah dan pesantren mulai mendapatkan
perhatian dan pembinaan dari pemerintah Republik di Indonesia.
Pemerintahan
pada masa Orde Baru yang dimaksudkan kepada rentang waktu 1945 sampai dengan
1965 diberi tugas oleh UUD 1945 untuk mengusahakan agar terbentuknya suatu
sistem pendidikan dan pengajaran yang bersifat nasional. Oleh karena itu,
pastilah sejarah mencatat bagaimana pemerintah Orde Baru memberikan sumbangsih
yang signifikan terhadap perkembangan pendidikan Islam. Pemerintahan
memandang bahwa agama mempunyai kedudukan dan peranan sangat penting dan
strategis. Peran utama agama sebagai landasan spiritual, moral dan etika dalam
pembangunan nasional, agama juga berpengaruh untuk membersihkan jiwa manusia
dan kemakmuran rakyat.
Agama sebagai
sistem nilai seharusnya dipahami dan diamalkan oleh setiap individu, warga dan
masyarakat hingga akhirnya dapat menjiwai kehidupan bangsa dan negara.
Secara
khusus pendidikan Islam dan bertanggung jawab atas kelangsungan tradisi ke
Islaman dalam arti yang seharusnya. Berdasarkan Undang-Undang dan Peraturan
tentang pendidikan dapat dilihat bahwa posisi pendidikan Islam dalam sistem
pendidikan nasional meliputi : pendidikan Islam seperti mata pelajaran,
pendidikan Islam sebagai lembaga, pendidikan Islam sebagai nilai. Pendidikan
Islam sebagai mata pelajaran adalah diberikan mata pelajaran agama Islam di
sekolah-sekolah mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Kedudukan
mata pelajaran ini semakin kuat dari satu fase ke fase yang lain.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan-permasalahan sebagai berikut :
1. Apa
yang dimaksud dengan pendidikan Islam? Dan
2. Bagaimana
perkembangan pendidikan Islam pada Masa Pemerintahan Orde Baru?
C. Tujuan Pembahasan
Berdasarkan
perumusan masalah di atas, maka tujuan pembahasan dalam makalah ini adl sebagai
berikut :
1. Untuk
mengetahui tentang pengertian pendidikan
Islam; dan
2. Untuk
mengetahui perkembangan pendidikan Islam pada Masa Pemerintahan Orde Baru.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pendidikan Islam
Secara etimologis, pendidikan menurut bahasa Arab adalah
“tarbiyah” dengan kata kerjanya “robba” yang berarti mengasuh, mendidik,
memelihara.[1]
Ki Hajar Dewantara berpendapat bahwa pendidikan adalah tuntutan di dalam hidup
tumbuhnya anak-anak, maksudnya pendidikan adalah menuntun segala kekuatan
kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai
anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang
setinggi-tingginya.[2]
Pendidikan adalah segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan anak-anak
untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan.[3] Menurut Arifin, pendidikan secara teoritis
mengandung pengertian “memberi makan” kepada jiwa anak didik sehingga
mendapatkan kepuasan rohaniah, juga sering diartikan dengan menumbuhkan
kemampuan dasar manusia.[4]
Menurut Undang-Undang Sisdiknas Bab 1 pasal 1 ayat
1, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan
memang sangat berguna bagi setiap individu. Jadi, pendidikan merupakan suatu
proses belajar mengajar yang membiasakan warga masyarakat sedini mungkin
menggali, memahami, dan mengamalkan semua nilai yang disepa kati sebagai nilai
terpuji dan dikehendaki, serta berguna bagi kehidupan dan perkembangan pribadi,
masyarakat, bangsa dan negara.
Menurut Zakiah Drajat, pendidikan
Islam merupakan pendidikan yang lebih banyak ditujukan kepada perbaikan sikap
mental yang akan terwujud dalam amal perbuatan, baik bagi keperluan diri
sendiri maupun orang lain yang bersifat teoritis dan praktis.[5] Dengan demikian, pendidikan Islam berarti
proses bimbingan dari pendidik terhadap perkembangan jasmani, rohani, dan akal
peserta didik ke arah terbentuknya pribadi muslim yang baik (Insan Kamil).
B. Perkembangan Pendidikan Islam pada
Masa Orde Baru
Orde
Baru adalah masa pemerintahan di Indonesia sejak 11 Maret 1966 hingga
terjadinya peralihan kepresidenan, dari presiden Soeharto ke presiden Habibi
pada 21 Mei 1998. Peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru membawa konsekuensi
perubahan strategi politik dan kebijakan pendidikan nasional. Pada dasarnya Orde
Baru adalah suatu korelasi total terhadap Orde Lama yang didominasi oleh PKI
dan dianggap telah menyelewengkan pancasila.
Masa
Orde Baru disebut juga sebagai Orde Konstitusional dan Orde Pembangunan. Yakni
bertujuan membangun manusia seutuhnya dan menyeimbangkan antara rohani dan
jasmani untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik. Pada tahun 1973-1978 dan
1983 dalam siding MPR yang kemudian menyusun GBHN. Selain itu, dalam Pelita IV
di bidang agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa makin di
kembangkan. Dengan semakin meningkatnya dan meluasnya pembangunan, maka
kehidupan keagamaan dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa harus semakin
diamalkan baik dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan social kemasyarakatan.
Diusahakan supaya terus bertambah sarana-sarana yang diperlukan bagi
pengembangan kehidupan keagamaan dan kehidupan kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa termasuk pendidikan agama Islam yang dimasukkan dalam kurikulum
sekolah mulai dari Sekolah Dasar sampai dengan Universitas Negeri.[6]
Kebijakan pemerintah Orde Baru mengenai
pendidikan Islam dalam
konteks madrasah di Indonesia
bersifat positif dan konstruktif, khususnya dalam dua dekade terakhir 1980- an
sampai dengan 1990-an. Pada pemerintah, lembaga pendidikan di kembangkan dalam
rangka pemerataan kesempatan peningkatan dan peningkatan mutu pendidikan.[7] Pada awal –
awal masa pemerintahan Orde Baru, kebijakan tentang madrasah bersifat
melanjutkan dan meningkatkan kebijakan orde lama. Pada tahap ini madrasah belum
di pandang sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, tetapi baru bersifat
lembaga pendidikan bersifat otonom di bawah pengawasan menteri agama.
Orde
Baru memberikan corak baru bagi kebijakan pendidikan agama Islam, karena
beralihnya pengaruh komunisme ke arah pemurnian Pancasila melalui rencana
pembangunan nasional berkelanjutan. Terjadilah pergeseran kebijakan, dari murid
berhak tidak ikut serta dalam pelajaran agama apabila mereka menyatakan
keberatannya, menjadi semua murid wajib mengikuti pendidikan agama mulai dari
sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Hasil dari kebijakan pemerintah tentang
pengajaran agama yang diberikan ke semua murid merupakan kewajiban mendapat
reaksi yang positif bagi rakyat dimana disini pemerintah tidak membedakan
siapapun dalam pengajaran pendidikan agama. Dan menjadikan semakin meningkatnya
dan meluasnya pembangunan, maka kehidupan keagamaan dan kepercayaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa harus semakin diamalkan baik dalam kehidupan pribadi maupun
kehidupan social kemasyarakatan. Diakui bahwa kebijakan pemerintah Orde Baru
mengenai pendidikan Islam dalam konteks madrasah di Indonesia bersifat positif, khususnya dalam dua dekade
terakhir 1980-an sampai dengan 1990-an. Pada masa pemerintahan Orde Baru,
lembaga pendidikan (madrasah) dikembangkan dalam rangka pemerataan
kesempatan dan peningkatan mutu pendidikan.
Pada
awal-awal masa pemerintahan Orde Baru, madrasah belum dipandang sebagai bagian
dari sistem pendidikan nasional, tetapi baru bersifat lembaga pendidikan otonom
di bawah pengawasan Menteri Agama. Hal ini disebabkan pendidikan madrasah
didominasi oleh muatan-muatan agama, menggunakan kurikulum yang belum
berstandar, memiliki struktur yang tidak seragam, dan kurang terpantaunya
manajemen pemerintah
madrasah oleh pemerintah.
Seiring dengan struktur madrasah yang
semakin lengkap, pada tanggal 10 sampai 20 Agustus 1970 telah diadakan
pertemuan di Cobogo, Bogor dalam rangka penyusunan kurikulum madrasah dalam
semua tingkatan secara nasional. Langkah ini merupakan salah satu kontribusi
pemerintah Orde Baru dalam mendekatkan hubungan madrasah dengan sekolah.
Otonomi yang diberikan Kementrian Agama untuk mengelola madrasah terus
dibarengi dengan kebijakan yang mengarah kepada penyempurnaan sistem
pendidikan nasional. Langkah ini menjadi agenda penting pada masa awal-awal
pemerintahan Orde Baru.
Dalam dekade 1970-an madrasah terus
dikembangkan untuk memperkuat keberadaannya, namun di awal-awal tahun 1970-an,
justru kebijakan pemerintah terkesan berupaya untuk mengisolasi madrasah dari
bagian sistem pendidikan nasional. Hal ini terlihat dengan langkah-langkah yang
ditempuh pemerintah dengan mengeluarkan suatu kebijakan berupa keputusan
Presiden (Kepres) Nomor 34 Tanggal 18 April Tahun 1972 tentang “Tanggung Jawab
Fungsional Pendidikan dan Latihan”. Isi keputusan ini pada intinya mencakup
tiga hal:
1.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan pendidikan umum dan kejuruan.
2.
Menteri Tenaga Kerja bertugas dan
bertanggung jawab atas pembinaan dan latihan keahlian dan kejuruan tenaga kerja
akan pegawai negeri.
3.
Ketua Lembaga Administrasi Negara
bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan pendidikan dan latihan khusus
untuk pegawai negeri.[8]
Dalam TAP MPRS Nomor XVII Tahun 1966
dijelaskan “agama merupakan salah satu unsur mutlak dalam pencapaian tujuan
nasional. Persoalan keagamaan dikelola oleh Departemen Agama, sedangkan
madrasah dalam TAP MPRS Nomor 2 Tahun 1960 adalah lembaga pendidikan otonom di
bawah pengawasan Menteri Agama”.6 Dari ketentuan ini,
Departemen Agama menyelenggarakan pendidikan madrasah tidak saja bersifat
keagamaan dan umum, tetapi juga bersifat kejuruan. Dengan Keputusan Presiden
No. 34 Tahun 1972 dan Inpres No.15 Tahun 1974, penyelenggaraan pendidikan umum
dan kejuruan sepenuhnya berada di bawah tanggung jawab Mendikbud. Selanjutnya,
Pemerintah mengeluarkan kebijakan dengan membentuk “SKB Tiga Menteri” (Kementerian
Agama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan Kementerian Dalam Negeri)
tahun 1975.[9]
Kesepakatan tiga menteri itu mengenai
“peningkatan mutu pendidikan madrasah”, dan memuat beberapa ketentuan yang
meliputi kelembagaan, kurikulum dan pengajaran. Dalam keputusan bersama ini
yang dimaksud dengan madrasah adalah lembaga pendidikan yang menjadikan mata
pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar yang diberikan
sekurang-kurangnya 30% di samping mata pelajaran umum.[10]
Hanun Asrohah menjelaskan bahwa untuk
merealisir SKB tersebut, Departemen Agama melalui penertiban, penyeragaman, dan
penyamaan perjenjangan pada madrasah-madrasah dengan langkah-langkah[11] :
1.
Menciutkan jumlah PGAN dan mengubah
status sebagian besar PGAN tersebut menjadi Madrasah Tsanawiyah atau Aliyah
Negeri.
2.
Mengubah status Sekolah Persiapan IAIN,
menjadi Madrasah Aliyah Negeri.
3.
PGA-PGA yang diselenggarakan oleh pihak
swasta, juga harus diubah statusnya menjadi Madrasah Tsanawiyah atau Madrasah
Aliyah.
Dalam Bab I Pasal 2 berbunyi : madrasah
itu meliputi tiga tingkatan, a) Madrasah Ibtidaiyah setingkat dengan
Sekolah Dasar; b) Madrasah Tsanawiyah setingkat Sekolah Menengah
Pertama; dan c) Madrasah Aliyah setingkat dengan Sekolah Menengah Atas. Dalam
pengelolaan dan pembinaan pendidikan, Depag telah mempunyai suatu otoritas
dalam mengelola dan membina madrasah sebagai salah satu lembaga pendidikan.[12]
Orda baru secara harfiyah juga berarti
masa yang baru yang menggantikan masa kekuasaan orde lama. Namun secara politis
Orde Baru diartikan suatu masa untuk mengembangkan negara Republik
Indonesia ke dalam sebuah tatanan yang sesuai dengan haluan negara sebagaimana
yang terdalam dalam Undang-Undang Dasar 1945 serta falsafah negara pancasila
secara murni dan konsekuen.[13]
Perpindahan kekuasaaan orde lama kepada Orde Baru ini dilakukan berdasar
analisis yang menyatakan banyaknya kebijakan pemerintahan yang telah melenceng
dari UUD 1945 dan Pancasila, sehingga apabila kekuasaan ini di teruskan maka
tujuan dan cita-cita proklamasi kemerdekaan akan jauh dari keberhasilan.
Secara umum kebijakan Orde Baru
diarahkan pada pembangunan ekonomi yang didukung oleh kondisi politik dan
keamanan yang stabil. Berdasarkan kebijakan ini maka kerjasama yang harmonis
antara pemerintah, angkatan bersenjata dan kaum pengusaha perlu dibangun dengan
seerat-eratnya. Untuk mendukung terlaksananya ini, pemerintah menggunaka
pendekatan sentralistik dan monoloyalitas dalam seluruh aspek kehidupan.[14]
Sentralisasi dalam bidang politik ini
adalah menyederhanakan partai politik menjadi tiga partai dengan satu ideologi.
Adapun dari tiga partai ini ada yang tergolong partai mayoritas dan partai
minoritas. Paratai Golongan karya (Golkar) mewakili pemerintah, pegawai, dan
karyawan dan ia merupakan partai pemerintah yang memiliki sarana prasarana,
biaya dan lainnya. Sehingga kedudukannya menjadi partai yang menghegemoni dua
partai minoritas sangat mudah dicapai. Sehingga Partai Persatuan Pembangunan
(PPP) yang mewakili kelompok Islam dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI)
yang mewakili kelompok nasionalis dan lainnya adalah partai minoritas yang
segala sesuatunya sangat sulit untuk bersebrangan dengan partai mayoritas. Jika
pimpinannya sependapat atau sejalan dengan Golkar maka mereka akan mendapat
kemudahan dan dukungan. Dan sebaliknya jika mereka berani menentang
ataupun sekedar terjadi tanda-tanda yang tidak sejalan maka mereka akan
mendapat gangguan, kesulitan bahkan Golkar berani memecah belah pimpinannya.
Selanjutnya kebijakan pemerintah dalam
bidang ekonomi mengambil bentuk sentralisasi dan monopoli. Upaya ini dilakukan
oleh Golkar dengan cara membentuk organisasi atau asosiasi yang mengatur dan
mengendalikan perekonomian mulai dari tingkat nasional sampai
daerah. Dengan organisasi dan asosiasi ini, maka seluruh organisasi dan
asosiasi perekonomian dapat dikendalikan oleh kepentingan Golkar.[15]
Karena politik, ekonomi, dan militer
sudah dikuasai oleh Orde Baru untuk mendukung kepentingannya, maka dengan mudah
Orde Baru dapat menguasai segala bidang di masyarakat.[16] Kebijakan
pemerintah yang bersifat sentralistik, monoloyalitas, monopoli, otoriter, dan
represif tersebut telah membungkam kebebasan berbicara, mematikan demokrasi,
menutup inovasi dan kreativitas masyarakat, menimbulkan apatisme di kalangan
masyarakat, merajalelanya praktik KKN, kesenjangan sosial, membesarnya utang,
dan kekacauan dalam masyarakat. Keadaan ini telah memicu timbulnya
gelombang protes dari kalangan elite politik, mahasiswa, dan seluruh lapisan
masyarakat yang menyatakan tidak puas kepada pemerintah Orde Baru, menurut DPR
atau MPR untuk menurunkan Soeharto. Gelombang demo dan protes ini terus
membesar, dan berbagai upaya untuk mengatasinya sudah mengalami jalan buntu,
hingga Soeharto secara terpaksa harus lengser keprabon, meletakkan
jabatannya dan menyerahkan kepada wakilnya Prof. Dr. Ing.Habibie pada tahun
1998. Dan sejak itulah Soeharto berakhir kekuasaannya.
Pada dasarnya seluruh kebijakan yang
lahir pada zaman Orde Baru, termaasuk dalam bidang pendidikan, di arahkan pada
upaya menopang pembangunan dalam bidang ekonomi yang ditopang oleh stabilitas
ekonomi dengan pendekatan sentralistik, monoloyalitas, dan monopoli. Kebijakan
dalam bidang politik selanjutnya bisa di lihat sebgai berikut : Pertama, masuknya
pendidikan Islam ke dalam sistem pendidikan nasional. Hal ini dimulai dengan
lahirnya Surat Keputusan Bersama Tiga Mentri (SKB 3 M), yaitu Mentri Pendidikan
Nasional, Mentri Agama, dan Mentri dalam Negri. Di dalam SKB 3 Mentri tersebut
antara lain dinyatakan bahwa lulusan madrasah dapat melanjutkan ke jenjang
pendidikan umum dan sebaliknya, berhak mendapatkan bantuan, sarana prasarana
dan diakui ijazahnya.
Kedua, pembaharuan
madrasah dan pesantren, baik pada aspek fisik maupun non fisik. Pada aspek
fisik pembaharuan dilakukan pada peningkatan dan perlengkapan infrastruktur,
sarana prasarana, dan fasilitas, seperti buku, perpustakaan, dan peraltan
labolatorium. Adapun pada aspek nonfisik meliputi pembaharuan bidang
kelembagaan, menejemen pengelolaan, kurikulum, mutu sumber daya manusia, proses
belajar mengajar, jaringan Information Technology (IT), dan
lain sebagainya. Pembaharuan Madrasah dan pesantren ini ditujukan agar selain
mutu madrasah dan pesantren tidak kalah dengan mutu sekolah umum, juga agar
para lulusannya dapat memasuki dunia kerja yang lebih luas. Hal ini di anggap
penting, agar lulusan madrasah dan pesantren dapat memiliki berbagai peluang
untuk memasuki lapangan kerja yang lebih luas, dengan demikian umat Islam tidak
hanya menjadi objek atau penonton pembangunan, melainkan dapat berperan sebagai
pelaku atau agen pembaharuan dan pembangunan dam segala bidang. Dengan cara
demikian, umat Islam dapat meningkatkan kesejahteraannya di bidang ekonomi dan
lain sebagainya.[17] Pembaharuan
pendidikan madrasah dan pesantren tersebut dibantu oleh pemerintah melalui
dana, baik yang berasal dari APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara) maupun
dana yang berasal dari pinjaman luar negri, seperti dari Islamic Development
Bank (IDB) dan Asian Development Bank (ADB).
Ketiga, pemberdayaan
pendidikan Islam nonformal. Pada zaman Orde Baru pertumbuhan dan perkembangan
pendidikan nonformal yang dilakasanakan atas inisiatif masyarakat mengalami
peningkatan yang amat signifikan. Pendidikan Islam nonformal tersebut antara
lain dalam bentuk majlis taklim baik untuk kalangan masyarakat Islam kelompok
masyarakat biasa, maupun bagi masyarakat menengah ke atas. Berbagai majlis
taklim baik yang diselenggarakan lembaga-lembaga kajian, maupun majlis taklim
mengalami perkembangan yang sangat pesat.
Keempat, peningkatan
atmosfer dan suasana praktik sosial keagamaan. Dalam kaitan ini, pemerintah Orde
Baru telah mendukung lahirnya berbagai pranata ekonomi, sosial, budaya dan
kesenian Islam. Lahirnya Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), Bank
Mu’amalat Indonesia (BMI), Harian Umum Republika, Undang-Undang
Peradilan Agama, Festifal Iqbal, Bayt Al-Qur’an, dan lainnya
adalah lahir pada zaman Orde Baru. Semua ini antara lain merupakan buah dari
keberhasilan pembaharuan pendidikan Islam sebagaimana tersebut di atas.
Beberapa faktor pendukung kemajuan
pendidikan Islam antara lain : Pertama, semakin membaiknya hubungan
dan kerjasama anntara umat Islam dan pemerintah. Kedua, Semakin
membaiknya ekonomi nasional. Dan ketiga, semakin stabil dan
amannya pemerintahan.
1. Keberhasilan-keberhasilan
Pendidikan Islam pada Masa Orde Baru
Masa Orde Baru ini mencatat banyak keberhasilan[18] diantaranya adalah :
a. Pemerintah memberlakukan
pendidikan agama dari tingkat SD hingga universitas (TAP MPRS
No.XXVII/MPRS/1966), madrasah mendapat perlakuan dan status yang sejajar dengan
sekolah umum, pesantren mendapat perhatian melalui subsidi dan pembinaan,
berdirinya MUI (Majelis Ulama Indonesia) pada tahun 1975, pelarangan SDSB
(Sumbangan Dana Sosial Berhadiah) mulai tahun 1993 setelah berjalan sejak awal
tahun 1980-an.
b. Pemerintah juga pada
akhirnya member izin pada pelajar muslimah untuk memakai rok panjang dan busana
jilbab di sekolah-sekolah Negeri sebagai ganti seragam sekolah yang biasanya
rok pendek dan kepala terbuka.
c. Terbentuknya UU No. 2
tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU No. 7 tahun 1989 tentang
peradilan agama, Kompilasi Hukum Islam (KHI), dukungan pemerintah terhadap
pendirian Bank Islam, Bank Muamalat Islam, yang telah lama diusulkan, lalu
diteruskan dengan pendirian BAZIS (Badan Amil Zakat Infak dan Sodaqoh) yang
idenya muncul sejak 1968, berdirinya Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila,
pemberlakuan label halal atau haram oleh MUI bagi produk makanan dan
minuman pada kemasannya, terutama bagi jenis olahan.
Selanjutnya pemerintah juga memfasilitasi penyebaran da’i ke
daerah terpencil dan lahan transmigrasi, mengadakan MTQ (Musabaqoh Tilawatil
Qur’an), peringatan hari besar Islam di Masjid Istiqlal, mencetak dan
mengedarkan mushaf Al-qur’an dan buku-buku agama Islam yang kemudian diberikan
ke masjid atau perpustakaan Islam, terpusatnya jama’ah haji di asrama haji,
berdirinya MAN PK (Program Khusus) mulai tahun 1986, dan pendidikan
pascasarjana untuk Dosen IAIN baik ke dalam maupun luar negeri, merupakan
kebijakan lainnya. Khusus mengenai kebijakan ini, Departemen Agama telah
membuka program pascasarjana IAIN sejak 1983 dan join cooperation dengan
Negara-negara Barat untuk studi lanjut jenjang Magister maupun Doktor. Selain
itu, penayangan pelajaran Bahasa Arab di TVRI dilakukan sejak 1990, dan
sebagainya. Akibat semua kebijakan tersebut, pembangunan bidang agama Islam
yang dilaksanakan Orde Baru mempercepat peningkatan jumlah umat Islam terdidik
dan kelas menengah muslim perkotaan
2. Kebijakan Pemerintah Orde Baru
mengenai Pendidikan Islam
Kebijakan pemerintah Orde
Baru mengenai pendidikan Islam dalam konteks madrasah di indonesia bersifat
positif dan konstruktif, khususnya dalam dua dekade terakhir 1980- an sampai
dengan 1990-an. Pada pemerintah, lembaga pendidikan di kembangkan dalam rangka
pemerataan kesempatan peningkatan dan peningkatan mutu pendidikan.[19]
Pada awal – awal masa
pemerintahan Orde Baru, kebijakan tentang madrasah bersifat melanjutkan dan
meningkatkan kebijakan orde lama. Pada tahap ini madrasah belum di pandang
sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, tetapi baru bersifat lembaga
pendidikan bersifat otonom di bawah pengawasan menteri agama. Menghadapi
kenyataan tersebut di atas, langkah pertama dalam melakukan pembaruan ini
adalah di keluarkannya kebijakan tahun 1967 sebagai respons terhadap TAP MPRS
No. XXVII tahun 1966 dengan melakukan formalisasi dan strukturisasi Madrasah.
Dalam dekade 1970-an
madrasah terus dikembangkan untuk memperkuat keberadaannya, namun di awal –awal
tahun 1970 –an, justru kebijakan pemerintah terkesan berupaya untuk mengisolasi
madrasah dari bagian sistem pendidikan nasional. Hal ini terlihat dengan
langkah yang di tempuh pemerintah dengan langkah yang di tempuh pemerintah
dengan mengeluarkan suatu kebijakan berupa Keputusan Presiden No. 34
tanggal 18 April tahun 1972 tentang Tanggung Jawab Fungsional
Pendidikan dan
Latihan. Isi keputusan ini mencakup tiga hal :
a. Menteri pendidikan dan
kebudayaan bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan pendidikan umum dan
kebijakan;
b. Menteri tenaga kerja
bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan dan latihan keahlian dan kejuruan
tenaga kerja akan pegawai negeri;
c. Ketua lembaga
Administrasi Negara bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan pendidikan
dan latihan khusus untuk pegawai negeri.
Selanjutnya, Kepres No 34 Tahun 1972 ini di pertegas oleh Inpres
No. 15 tahun 1974 yang mengatur operasionalnya. Dalam TAP MPRS Nomor XVII Tahun
1966 dijelaskan “agama merupakan salah satu unsur mutlak dalam pencapaian
tujuan nasional. Persoalan keagamaan dikelola oleh Departemen Agama, sedangkan
madrasah dalam TAP MPRS Nomor 2 Tahun 1960 adalah lembaga pendidikan otonom di
bawah bawah pengawasan Menteri Agama”. Dari ketentuan ini, Departemen Agama
menyelenggarakan pendidikan madrasah tidak saja bersifat keagamaan dan umum,
tetapi juga bersifat kejuruan. Dengan Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1972 dan Inpres
1974, penyelenggraan pendidikan dan kejuruan sepenuhnya berada di bawah
tanggung jawab Mendikbud.
3. Kurikulum Pendidikan Islam pada Masa Orde Baru
Setelah SKB ( Surat
Keputusan Bersama ) Tiga Menteri, usaha pengembangan madrasah selanjutnya
adalah di keluarkannya SKB tiga Menteri P&K No. 299/u/1984
dengan Menteri Agama No. 45 / 1984, tentang Pengaturan
Pembakuan Kurikulum Sekolah Umum dan Kurikulum Madrasah yang
isinya antara lain adalah mengizinkan kepada lulusan madrasah untuk melanjutkan
ke sekolah – sekolah umum yang lebih tinggi. SKB 2 menteri di jiwai oleh TAP
MPR No. II / TAP/MPR/1983 tentang perlunya penyesuaian sistem pendidikan
sejalan dengan daya kebutuhan bidang bersama, antara lain dilakukan melaui
perbaikan kurikulum sebagai salah satu diantara sebagai salah satu diantara
berbagai upaya perbaikan penyelenggaraan pendidikan di sekolah umum dan
Madrasah.
Dalam keputusan tersebut
terjadi perubahan berupa perbaikan dan penyempurnaan kurikulum sekolah umum dan
madrasah. Perubahan tersebut tertuang dalam KMA No. 99 tahun
1984 untuk tingkat MI, ketentuan KMA No. 100 untuk tingkat MTS, dan
MA No. 101
untuk tingkat PGAN. Keempat KMA tersebut merupakan upaya untuk memperbaiki
kurikulum madrasah agar lebih efektif dan efisien[20] antara
lain dalam hal :
a. Mengorganisasikan
program pengajaran;
b. Untuk
membentuk manusia memiliki ketakwaan kepada Tuhan Yang maha Esa sertakeharmonisan
sesama manusia dan lingkungannya;
c. Mengefektifkan
proses belajar mengajar;
d. Mengoptimalkan
waktu belajar.
Upaya dalam pengaturan dan
pembaruan kurikulum madrasah dikembangkan dengan menyusun kurikulum sesuai
dengan konsesus yang di tetapkan. Khusus untuk MA, waktu untuk setiap mata
pelajaran berlangsung 45 menit dan memakai semester. Sementara itu, jenis
program pendidikan dalam kurikulum madrasah terdiri dari program inti dan
program pilihan. Pengembangan kedua program kurikulum ini bagi menjadi dua
bagian yaitu: pendidikan agama, terdiri dari : Al-qur’an Hadits, Aqidah
Akhlak, Fikih,
SKI, dan Bahasa Arab, dan pendidikan umum antara lain :
PMP, PSPB, Bahasa dan Sastra Indonesia, Pengetahuan, Sains, Olahraga dan
kesehatan, Matematika, Pendidikan Seni, Pendidikan Keterampilan, Bahasa inggris
( MTS dan MA ), kimia (MA), Geografi ( MA), Biologi (MA),
Fisika ( MA) dan kimia (MA).
Sebagai esensi dari
pembakuan kurikulum di sekolah umum dan madrasah ini memuat antara lain :
a. Kurikulum
sekolah dan madrasah terdiri umum dan madrasah terdiri dari program inti dan
program pilihan;
b. Program
inti dalam rangka memenuhi tujuan pendidikan sekolah umum dan madrsah, dan
program inti sekolah umum dan madrasah secara kualitatif sama;
c. Proram
khusus ( pilihan ) di adakan untuk memberikan bekal kemampuan siswa yang akan
melanjutkan ke perguruan tinggi bagi sekolah menengah atas / Madrasah Aliyah;
d. Pengaturan
Pelaksanaan kurikulum sekolah umum dan madrasah mengenai sistem kredit
semester, bimbingan karir, ketuntasan belajar;
e. Hal
– hal yang berhubungan dengan tenaga guru dan sarana pendidikan dalam rangka keberhasilan
pelaksanaan kurikulum akan diatur bersama oleh kedua departemen yang
bersangkutan.
Dengan demikian, kurikulum
1984 tersebut pada hakikatnya mengacu pada SKB 3 dan SKB 2 menteri, baik dalam
program, tujuan maupun bahan kajian dan pelajarannya. Diantara rumusan
kurikulum 1984 memuat hal strategis sebagai berikut :
a. Program
kegiatan kurikulum madrasah ( MI, MTS dan MA) tahun 1984 di lakukan melalui
kegiatan internkurikuler, kokuler dan ekstrakurikuler, baik bdalam program inti
maupun program pilihan;
b. Proses
belajar mengajar di laksanakan dengan memperhatikan keserasian antara cara
seseorang belajar dengan apa yang di pelajarinya;
c. Penilaian
di lakukan secara berkesinambungan dan menyeluruh untuk peningkatan proses dan
hasil belajar, serta pengelolaan program.
Sejak
di keluarkannya SKB 3 menteri yang di lanjutkan dengan SKB 2 menteri, secara
formal madrasah sudah menjadi sekolah umum yang menjadikan agama sebagai ciri
khas kelembagannya. Kebijakan pemerintah dalam 2 SKB diatas menimbulkan dilema
baru bagi Madrasah. Disatu pihak materi pengetahuan umum bagi madarasah secara
kuantitas dan kualitas mengalami peningkatan, tetapi di pihak lain penguasaan
murid terhadap pengetahuan agama menjadi serba tanggung. Menyadari
kondisi seperti itu muncul keinginan pemerintah untuk mendirikan MA yang
bersifat khusus yang kemudian dikaenal dengan Madrasah Aliah Program khusus (
MAPK) yang di rintis oleh H. Munawir Sjadzali.
Setelah SKB Tiga Menteri,
usaha pengembangan madrasah selanjutnya adalah dikeluarkannya SKB Menteri
P&K Nomor 299/u/1984 dengan Menteri Agama Nomor 45 Tahun 1984, tentang
Pengaturan Pembakuan Kurikulum Sekolah Umum dan Kurikulum Madrasah yang isinya
antara lain adalah mengizinkan kepada lulusan madrasah untuk melanjutkan ke
sekolah-sekolah umum yang lebih tinggi.[21] SKB
2 Menteri dijiwai oleh TAP MPR No. II/TAP/MPR/1983 tentang Perlunya Penyesuaian
Sistem Pendidikan sejalan dengan adanya kebutuhan pembangunan di segala bidang,
antara lain dilakukan melalui perbaikan kurikulum sebagai salah satu di antara
berbagai upaya perbaikan penyelenggaraan pendidikan di Sekolah umu dan
madrasah.12
Selanjutnya, penilaian akan
menurunnya tingkat penguasaan ilmu-ilmu keagamaan lulusan madrasah ala SKB 3
Menteri direspons pemerintah dengan mendirikan MAPK.[22] Kelahiran
MAPK yang dirintis oleh H. Munawir Sjadzali, MA (ketika ia menjabat sebagai
Menteri Agama RI) menurut Ali Hasan dan Mukti Ali dilatarbelakingi oleh
kebutuhan akan tenaga ahli di bidang agama Islam (ulama) sesuai dengan tuntutan
pembangunan nasional, sehingga kondisi itu perlu dilakukan upaya peningkatan
mutu pendidikan pada MA.[23]
4. Jenis-jenis Pendidikan serta
Pengajaran Islam Masa Orde Baru
Jenis-jenis pendidikan Islam pada masa Orde Baru[24] adalah sebagai berikut :
a. Pesantren klasik,
semacam sekolah swasta keagamaan yang menyediakan asrama, yang sejauh mungkin
memberikan pendidikan yang bersifat pribadi, sebelumnya terbatas pada
pengajaran keagamaan serta pelaksanaan ibadah.
b. Madrasah diniyah, yaitu
sekolah-sekolah yang memberikan pengajaran tambahan bagi murid sekolah negeri
yang berusia 7 sampai 20 tahun.
c. Madrasah-madrasah
swasta, yaitu pesantren yang dikelola secara modern, yang bersamaan dengan
pengajaran agama juga diberikan pelajaran-pelajaran umum.
d. Madrasah Ibtidaiyah
Negeri (MIN), yaitu sekolah dasar negeri enam tahun, di mana perbandingan umum
kira-kira 1:2.
e. Suatu percobaan baru
telah ditambahkan pada Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) 6 tahun, dengan
menambahkan kursus selama 2 tahun, yang memberikan latihan ketrampilan
sederhana.
f. Pendidikan teologi agama
tertinggi. Pada tingkat universitas diberikan sejak tahun 1960 pada IAIN. IAIN
ini dimulai dengan dua bagian / dua fakultas di Yogyakarta dan dua fakultas di
Jakarta.
Memasuki dekade 90-an,
kebijakan pemerintah Orde Baru mengenai madrasah ditujukan secara penuh untuk
membangun satu sistem pendidikan nasional yang utuh. Dengan keluarnya UU No. 2
Tahun 1989, lembaga pendidikan agama memasuki era integrasi pendidikan ke dalam
Sistem Pendidikan Nasional. Dengan adanya kesamaan kurikulum yang dipakai oleh
lembaga pendidikan umum dan agama.[25]
UU
No. 2 Tahun 1989, memberikan efek positif terhadap pendidikan agama secara umum
dan lembaga pendidikan madrasah khusunya. Indikasi ini terlihat dalam pasal 4
bahwa pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan
mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki
pengetahuan yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan
dan kebangsaan. Dalam persoalan ini, tujuan pendidikan nasional secara umum
adalah mengembangkan intelektual, moral dan spritual.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pendidikan merupakan suatu proses pembelajaran yang
membiasakan kepada warga masyarakat sedini mungkin untuk menggali, memahami dan
mengamalkan semua nilai yang disepakati sebagai nilai yang terpujikan dan
dikehendaki, serta berguna bagi kehidupan dan perkembangan ciri pribadi,
masyarakat, bangsa dan negara.
Diawali dari proses
penegerian sejumlah madrasah oleh pemerintah RI pada masa Orde Baru yaitu tahun
1967, mulai dari Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah,
selangkah telah terlihat kebijakan pemerintah yang berkontribusi positif
terhadap pendidikan Islam yang kemudian disusul dengan munculnya SKB Tiga
Menteri tahun 1975 tentang peningkatan mutu madrasah dengan diakuinya ijazah
madrasah yang memiliki nilai yang sama dengan ijazah sekolah umum, lulusan
madrasah dapat melanjutkan pendidikan ke sekolah umum setingkat lebih atas dan
siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat.
Sejak di keluarkannya SKB 3
menteri yang di lanjutkan dengan SKB 2 menteri, secara formal madrasah sudah
menjadi sekolah umum yang menjadikan agama sebagai ciri khas kelembagannya.
Kebijakan pemerintah dalam 2 SKB diatas menimbulkan di lema baru bagi Madrasah.
Disatu pihak materi pengetahuan umum bagi madarasah secara kuantitas dan
kualitas mengalami peningkatan, tetapi di pihak lain penguasaan murid terhadap
pengetahuan agama menjadi seba tanggung . menyadari kondisi seperti itu muncul
keinginan pemerintah untuk mendirikan MA yang bersifat khusus yang kemudian
dikaenal dengan Madrasah Aliah Program khusus ( MAPK).
B. Saran-saran
1.
Pendidikan merupakan tuntutan juga
kewajiban setiap muslim, sehingga seyogyanya pendidikan menjadi budaya dan juga
kebiasaan masyarakat sejak lahir hingga tutup usia;
2.
Pemerintah sebagai pemangku kebijakan
seyogyanya hati-hati dan bijaksana dalam menentukan kurikulum pendidikan;
3.
Lembaga pendidikan harus mampu
mengaplikasikan kurikulum pendidikan dalam rangka mencapai tujuan pendidikan
yang telah ditetapkan.
DAFTAR
PUSTAKA
Abuddin
Nata. 2011. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana.
Alamsyah. 1982. Pembinaan Pendidikan Agama. Jakarta : Depag RI.
Ali Hasan dan Mukti Ali. 2003. Kapita Selekta
Pendidikan Islam,
Cetakan 1. Jakarta :
Pedoman Ilmu
Jaya.
Arifin. 2003. Ilmu Pendidikan
Islam. Jakarta : Bumi Aksara.
Haidar Nawawi. 1983. Perundang-undangan
Pendidikan.
Jakarta
: Ghalia
Indonesia.
Hanun Asrohah. 1999. Sejarah
Pendidikan Islam,Cetakan
1. Jakarta : Logos Wacana Ilmu.
Hasbullah. 2001. Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
http://tanjungpinangarticle.blogspot.com/2010/06/pendidikan-pada-masa-orde-lama-dan-orde-baru.html, diakses pada 23/05/2013.
Ngalim Purwanto. 1992. Ilmu Pendidikan
Teoritis. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Samsul
Nizar. 2007. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta : Kencana.
Suwito Fauzan. 2004. Perkembangan Pendidikan Islam di
Nusantara, Cetakan
1. Bandung :
Angkasa Bandung.
Zakiah Drajat. 1996. Ilmu
Pendidikan Islam. Jakarta : Bumi Aksara.
Zakki
Fuad. 2011. Sejarah Pendidikan Islam.
Surabaya: IAIN Sunan Ampel.
Zuhairini,
dkk. 1997. Sejarah Pendidikan Islam, Cetakan 4. Jakarta: Bumi Aksara.
[1] Zakiah Drajat, Ilmu
Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1996), hal. 25.
[2] Hasbullah, Sejarah Pendidikan
Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 4.
[3] Ngalim Purwanto, Ilmu
Pendidikan Teoritis, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1992), hal. 11.
[4] HM. Arifin, Ilmu Pendidikan
Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 2003), hal. 22.
[5] Zakiah Drajat, Op. Cit., hal. 25.
[6] Dra.
Zuhairini, dkk., Sejarah Pendidikan Islam, cet. 4, (Jakarta: Bumi
Aksara, 1997), hal. 156 – 157.
[9] SKB Tiga Menteri itu dikeluarkan pada tanggal 24 Maret
1975 di Jakarta oleh Menteri Agama Nomor 6 Tahun 1975, Menteri P&K Nomor
037/u/1975, dan Menteri Dalam Negeri Nomor 36 Tahun 1975, lihat juga
Alamsyah, Pembinaan Pendidikan
Agama, (Jakarta : Depag RI 1982), hal. 138.
[11] Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam,Cetakan
1, (Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 1999), hal. 199.
[21] Zuhairini, Op. Cit., hal. 198. Selanjutnya isi lengkap SKB 2 Menteri tersebut, lihat Hasbullah, Op.
Cit., hal. 17.
[23] M. Ali Hasan dan Mukti Ali, Kapita Selekta
Pendidikan Islam, Cetakan
1, (Jakarta : Pedoman Ilmu
Jaya, 2003), hal. 124.
[24] http://tanjungpinangarticle.blogspot.com/2010/06/pendidikan-pada-masa-orde-lama-dan-orde-baru.html, diakses
pada 23/05/2013.
[25] Suwito Fauzan, Perkembangan Pendidikan Islam di Nusantara, Cetakan
1, (Bandung : Angkasa
Bandung, 2004), hal. 200.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan tulis komentar Anda