Sabtu, 29 Juni 2013

Perkembangan Pend Islam pada Masa Orde Lama


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Perkembangan pendidikan Islam pada masa Orde Lama sangat terkait dengan peran Departemen Agama yang mulai resmi berdiri 3 Januari 1946. Lembaga ini secara intensif memperjuangkan politik pendidikan Islam di Indonesia. Secara lebih spesifik, usaha ini ditangani oleh suatu bagian khusus yang mengurusi masalah pendidikan agama. Dalam salah satu nota Islamic education in Indonesia yang disusun oleh bagian pendidikan Departemen Agama pada tanggal 1 September 1956, tugas bagian pendidikan agama ada tiga, yaitu memberi pengajaran agama di sekolah negeri dan partikulir, memberi pengetahuan umum di Madrasah, dan mengadakan Pendidikan Guru Agama serta Pendidikan Hakim Islam Negeri. Tugas pertama dan kedua dimaksudkan untuk upaya konvergensi pendidikan dualistis, sedangkan tugas yang ketiga dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan pegawai Departemen Agama itu sendiri. Berdasarkan keterangan di atas, ada dua hal yang penting berkaitan dengan pendidikan Islam pada masa Orde Lama, yaitu pengembangan dan pembinaan madrasah dan pendidikan Islam di sekolah umum.
Eksistensi pendidikan Islam di Indonesia adalah suatu kenyataan yang sudah berlangsung sangat panjang dan sudah memasyarakat. Pada masa penjajahan Belanda dan penduduk Jepang, pendidikan diselenggarakan oleh masyarakat sendiri dengan mendirikan pesantren, sekolah dan tempat latihan-latihan lain. Setelah merdeka, pendidikan Islam dengan cirri khasnya madrasah dan pesantren mulai mendapatkan perhatian dan pembinaan dari pemerintah Republik di Indonesia.
Pemerintahan pada masa Orde Lama yang dimaksudkan kepada rentang waktu 1945 sampai dengan 1965 diberi tugas oleh UUD 1945 untuk mengusahakan agar terbentuknya suatu system pendidikan dan pengajaran yang bersifat nasional. Oleh karena itu, pastilah sejarah mencatat bagaimana pemerintah Orde Lama memberikan sumbangsih yang signifikan terhadap perkembangan pendidikan Islam.[1]
Merupakan sebuah kepentingan yang sangat esensi daan urgen bagi setiap manusia kehidupan yang berbasis dan bernuansa agama. Agam bukanlah suatu mimpi atau sesuatu yang hanya dinilai tampak oleh panca indra, namun agama lebih nampak dan kelihatan secara jelas jika dipandang dengan hati dan keyakinan, agama juga lebih terasa dalam kehidupan dan tingkah laku manusia dalam sehari hari, lebih-lebih dikala manusia sudah tidak mampu lagi untuk menggunakan segenap kemampuannya dalam menangani berbagai masalah dan resiko yang dihadapinya sehari-hari. Karena agama sangat berkaitan dengan Ketuhanan yaitu hubungan antara pencipta (Khaliq) dan yang diciptakan (makhulq), jika segala upaya manusia sudah dikerahkan dengan semaksimal mungkin maka pada akhirnya manusia mengembalikan semuanya kepada Tuahnnya.
Berasal dari situlah bahwa kehidupan manusia merasa sangat butuh secara primer akan kehidupan beragama, karena dengan itulah manusia dapat mengenal Tuahnnya, syari’atnya dan petunjuk-petunjuknya sehingga manusia melangkah dalam jalur yang benar dengan sebuah harapan segala apa yang dilakukan memperoleh hasil akhir yang baik, yaitu baik menurut sesamanya dan menurut Tuhannya. Bahkan manusia juga sangat berharap terpenuhinnya cita-cita hidup mulia didunia dan menempati syurga ketika ia berada dialam akhirat pasca ia meninggalkan dunia.
Secara sepintas masalah agama memang remeh bahkan memang kadang diremehkan oleh sebagian kalangan, itu terbukti dengan dengan sebuah pengakuan sekelompok orang yang mengaku memeluk agama namun pada kenyataannya ia tidak pernah mentaati syariat-syariat agamannya. Agama kadang juga hanyalah dianggap sebuah simbol jati diri seorang yang hidup dunia, namun kaidah-kaidah agamanya tidak pernah dipahami, dimengerti dan bahkan tidak diaplikasikan dalam kehidupannya. Inilah yang menyebabkan bahwa agama tidak pernah tampak dalam kaca mata mereka, dan bahkan ia merasa tidak mendapatkan sebuah konstribusi dari agamnya.

Oleh karena itu seluruh masyarakat Indonesia bersepakat melalui perwakilannya di DPR dan Pemerintah bahwa Negara Indonesia adalah Berketuhan Yang Maha Esa. Seperti yang termaktub didalam sila ke-1 Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, artinya bahwa setiap warga negara Indonesia wajib memeluk salah satu agama resmi yang ada di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa betapa penting pengaruh agama terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dengan pandangan kepentingan dan sejarah turut mewarnainya Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia maka sangat dirasa penting dalam menngenalkan, mengajarkan, mendidik dan memberikan pengertian secara kaffah tentang ajaran agama Islam kepada generasi bangsa pada khususnya mereka yang memeluk agama Islam. Oleh karena itulah pendidikan agama wajib disampaikan dalam pendidikan formal dan bagi para anak bangsa yang beragama Islam wajib mendapatkan materi Pendidikan Agama Islam. Ini dimaksudkan agar dapat menanamkan pendidikan karakter sejak awal. Sehingga pasca siswa/mahasiswa meneyelesaikan studinya mampu mengaplikasikan kehidupan beragama secara mandiri dalam pergaulan sehari-hari yang berdampingan dengan warga negara sesama agama dan anatar agama dengan harmonis dengan asas saling menghormati.
B.     Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, mada dapat dirumuskan permasalahan-permasalahan sebagai berikut :
1.      Apa yang dimaksud dengan pendidikan Islam?
2.      Bagaimana perkembangan pendidikan Islam pada Masa Pemerintahan Orde Lama?
C.    Tujuan Pembahasan
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan pembahasan dalam makalah ini adl sebagai berikut :
1.      Untuk mengetahui tentang pengertian pendidikan Islam; dan
2.      Untuk mengetahui perkembangan pendidikan Islam pada Masa Pemerintahan Orde Lama.




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian dan Tujuan Pendidikan Islam
1.      Pengertian Pendidikan Islam
Pendidikan merupakan sebuah kebutuhan pokok bagi setiap manusia yang hidup, lebih-lebih bagi mereka yang hidup pada lingkungan sosial, karena dengan pendidikan manusia mendapatkan sebuah informasi-informasi yang sehingga mampu digunakan sebagai bekal hidup dan berkorelasi dengan sesamanya dan dengan Tuhannya.

Jika pendidikan diartikan sebagai sarana latihan dalam membentuk mental, moral dan fisik yang bisa menghasilkan manusia berbudaya tinggi dan bermartabat berarti pendidikan adalah sesuatu yang dapat menumbuhkan kepribadian dan menanamkan rasa tanggungjawab. Dengan begitu pendidikan merupakan sebuah modal awal bagi kehidupan manusia ketika didunia maupun diakhirat.

Apabila dibicarakan tentang ilmu pendidikan Islam, karena Islam, sebagai agama Allah yang tertulis dalam al-Quran dan as-Sunnah, ilmu pendidikan Islam adalah sekumpulan pengetahuan yang bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah yang dijadikan landasan pendidikan.[2] Secara aplikatif, pendidikan Islam artinya mentransformasikan nilai-nilai Islam terhadap anak didik di lingkungan sekolah, keluarga dan masyarakat.
Pendidikan secara terminologis dapat diartikan sebagai pembinaan, pembentukan, pengarahan, pencerdasan, pelatihan yang ditujukan kepada semua anak didik secara formal maupun nonformal dengan tujuan membentuk anak didik yang cerdas, berkepribadian, memiliki keterampilan atau keahlian tertentu sebagai bekal dalam kehidupannya di masyarakat. Secara formal, pendidikan adalah pengajaran (at-tarbiyah at-ta’lim). Sebagaimana Muhaimin katakan bahwa pendidikan adalah aktivitas atau upaya yang sadar terencana, dirancang untuk membantu seseorang mengembangkan pandangan hidup, sikap hidup dan keterampilan hidup, baik yang bersifat manual (petunjuk praktis) maupun mental dan sosial.[3]
Setiap kebutuhan pendidikan pada prinsipnya didasarkan pada kondisi lingkungan, budaya dan idiologi atau kepercayaan, sehingga kebutuhan setiap manusia wajar jika berbeda dengan yang lainnya, namun juga tidak menutup kemungkinan bahwa kebutuhan pendidikan atar manusia ada yang sama. Hal yang berkaitan dengan dengan pandangan ini adalah bahwa setiap manusia yang beragama Islam sudah pasti membutuhkan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan atas kebenarannya yaitu pendidikan Islam. Setiap muslim pasti berharap mampu memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan tujuan agar mendapat rahmat Allah SWT.
Dengan demikian pengertian pendidikan Islam adalah suatu sistem kependidikan yang mencangkup seluruh aspek kehidupan yang dibutuhkan oleh hamba Allah, sebagaimana Islam telah menjadi pedoman bagi seluruh aspek kehidupan manusia, baik duniawi maupun ukhrawi. 
2.      Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan dan sasaran pendidikan berbeda-beda menurut pandangan hidup masing-masing pendidik atau lembaga pendidikan. Oleh karenanya perlu dirumuskan pandangan hidup Islam yang mengarahkan tujuan dan sasaran pendidikan Islam. Pendidikan Islam diberikan berasal dari sumber pokok yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadis, sumber tersebut adalah sumber materi yang utama karena seluruh tuntunan Islam didasarkan atas dua sumber tersebut. Dengan demikian bahwa pendidikan Islam diberikan untuk mengenalkan samapai pada tingkatan pemahaman tentang kaidah-kaidah Islam dan berrikut pelaksanaan ibadahnya tanpa sedikitpun yang berlawanan dengan sumber kedua hukum tersebut.
Bila dilihat dari pendekatan sistem instruksional tertentu, pendidikan Islam bisa dibagi dalam berbagai tujuan, yaitu sebagai berikut :
a.       Tujuan intruksional khusus (TIK), diarahkan pada setiap bidang studi yang harus dikuasai dan diamalkan oleh anak didik;
b.      Tujuan intruksional umum (TIU), diarahkan pada penguasaan atau pengamalan suatu bidang studi secara umum atau garis besarnya sebagai suatu kebulatan;
c.       Tujuan institusional, adalah tujuan yang harus dicapai melalui garis-garis besar program pengajaran di tiap institusi pendidikan;
d.      Tujuan institusional, adalah tujuan yang harus dicapai menurut program pendidikan di tiap sekolah atau lembaga pendidikan tertentu secara bulat seperti tujuan institusional SLTP/SLTA;
e.       Tujuan umum atau tujuan nasional, adalah cita-cita hidup yang ditetapkan untuk dicapai melalui proses kependidikan dengan berbagai cara atau sistem, baik sistem formal (sekolah), sistem nonformal (nonklasikal dan nonkurikuler), maupun sistem informal (yang tidak terkait oleh formalitas program, waktu, ruang, dan materi). 
Dengan harapan bahwa tujuan pelaksanaan pendidikan Islam pada tataran materi maupun pelaksanaannya tidak melenceng dari tuntunan pokok ajaran agama Islam. Tujuan akhir pendidikan Islam pada hakekatnya adalah realisasi dari cita-cita ajaran Islam itu sendiri, yang membawa misi bagi kesejahteraan umat manusia di dunia dan akhirat. 
B.     Perkembangan Pendidikan Islam pada Masa Orde Lama
Setelah Indonesia berhasil meraih kemerdekaannya sendiri, Indonesia melahirkan kehidupan baru di segala bidang, termasuk pendidikan. Sebagai  modal pertama dipergunakanlah Rancangan Usaha Pendidikan/Pengajaran dan juga dikeluarkan  “ instruksi umum” oleh Menteri P dan K, yaitu Ki Hajar Dewantara. Selain itu pula bangsa Indonesia menggunakan UUD 1945 sebagai pedoman dan dasar penyelenggaraan pendidikan nasional.
Dalam pada itu, pemerintah memberi perhatian serius terhadap pendidikan agama yang ditandai dengan penghargaan tinggi bagi pendidikan Islam, termasuk lembaga-lembaga pendidikan yang sudah ada. Usaha untuk itu dimulai dengan “pengumuman dari BPKNIP (Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat) berdasarkan pada berita RI tahun II No. 4 dan 5 hal. 20 kolom 1 bahwa dalam memajukan pendidikan dan pengajaran di langgar-langgar dan madrasah berjalan terus dan diperpesat.[4]
Selanjutnya adanya pemberian bantuan terhadap lembaga tersebut sebagaimana yang dianjurkan oleh Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP) bertepatan pada tanggal 27 Desember 1945, yang menyebutkan bahwa madrasah dan pesantren yang pada hakikatnya adalah satu alat dan sumber pendidikan dan pencerdasan rakyat jelata yang sudah berakar dalam masyarakat Indonesia pada umumnya, hendaklah pula mendapat perhatian dan bantuan nyata berupa tuntunan dan bantuan material dari pemerintah.
Pada tanggal 3 Januari 1946 dibentuk Departemen Agama, dimana tugasnya mengurusi penyelenggaraan pendidikan agama di sekolah umum dan mengurusi sekolah agama seperti pondok pesantren dan madrasah. Telah ada Panitia Penyelidik Pengajaran Republik Indonesia yang diketuai oleh Ki Hajar Dewantara, panitia ini merekomendasikan mengenai sekolah-sekolah agama, dalam laporannya tanggal 2 Juni 1946 yang berbunyi : pengajaran yang bersifat pondok pesantren dan madrasah perlu dipertinggi dan dimodernisasikan serta diberikan bantuan biaya dan lain-lain.[5]
Selanjutnya eksistensi pendidikan agama sebagai komponen pendidikan nasional dituangkan dalam Undang-Undang Pokok Pendidikan dan Pengajaran No. 4 Tahun 1950, yang sampai sekarang masih berlaku, dimana dinyatakan bahwa belajar di sekolah-sekolah agama yang telah mendapat pengakuan dari Menteri Agama dianggap telah memenuhi kewajiban belajar.
Langkah demi langkah pada akhirnya pendidikan Islam semakin terintegrasikan secara total dalam pendidikan nasional. Pentingnya pendidikan agama yang telah terintegralkan dengan pendidikan nasional akhirnya mendapat kekuatan hukum dalam Rumusan Komisi Pembaharuan Pendidikan Nasional yang berbunyi : pendidikan nasional ialah usaha dasar untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dengan mengusahakan perkembangan kehidupan beragama, kehidupan yang berkepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, nilai budaya, pengetahuan, ketrampilan, daya estetik, dan jasmaninya sehingga ia dapat mengembangkan dirinya bersama-sama dengan sesama manusia membangun masyarakatnya, seta membudayakan alam sekitar.[6] Kemudian dikukuhkan dalam GBHN berdasarkan TAP MPR No. II/1983.
Penyelenggara pendidikan agama setelah Indonesia merdeka mendapat perhatian serius dari pemerintah, baik di sekolah negeri maupun swasta. Usaha untuk itu dimulai dengan memberikan bantuan terhadap lembaga sebagaimana yang dianjurkan oleh Badan Pekerja Komite Nasional Pusat (BPKNP) 27 desember 1945 menyebutkan bahwa madrasah dan pesantren yang pada hakikatnya adalah satu alat dan pencerdasan rakyat jelata yang sudah berurat berakar dalam masyarakat Indonesia pada umumnya, hendaklah pula mendapat perhatian dan bantuan nyata tututan dan bantuan material dari pemerintah.”
Kenyataan yang demikian timbul karena kesadaran umat Islam yang dalam, setelah sekian lama terpuruk di bawah kekuasaan penjajah. Pada zaman penjajahan Belanda, pintu masuk pendidikan modern bagi umat Islam sangat sempit. Dalam hal ini, ada dua hal yang menjadi penyebabnya, yaitu:
1.      Sikap dan kebijaksanaan pemerintah kolonial Belanda yang sangat diskriminatif terhadap kaum muslimin;
2.      Politik nonkooperatif  para ulama terhadap Belanda yang menfatwakan bahwa ikut serta dalam budaya Belanda, termasuk pendidikan modernnya, adalah suatu bentuk penyelewengan agama. Mereka berpegang teguh pada salah satu hadis Nabi Muhammad SAW. Yang artinya, “Barang siapa menyerupai suatu golongan, maka ia termasuk ke dalam golongan itu.” Hadis tersebut melandasi sikap para ulama pada waktu itu.[7]
Akan tetapi, keadaan berubah secara radikal setelah tercapainya kemerdekaan Indonesia, seakan-akan merupakan ganjaran bagi para ulama atau yang dijiwai oleh keislaman, yaitu kemerdekaan membuahkan sesuatu yang luar biasa besar manfaatnya bagi kaum muslimin, terutama di bidang pendidikan modern. Kemerdekaan Indonesia merupakan hasil perjuangan yang berkepanjangan, terutama melalui berbagai organisasi pergerakan, baik sosial, agama maupun politik. Oleh karena itu, wujud kemerdekaan adalah cermin, cita-cita perjuangan bersama dari bangsa Indonesia. Dengan demikian, bentuk sistem dan tata cara pemerintahan disusun atas dasar cita-cita dan kehendak bangsa Indonesia. Dasar Negara yang telah disepakati bersama saat mendirikan Negara adalah Pancasila, yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 dan merupakan kesatuan yang tak terpisahkan dengan batang tubuh UUD 1945. Pancasila dan UUD 1945 inilah yang kemudian dijadikan titik tolak pengelolaan Negara dalam membangun bangsa Indonesia.[8]
Meskipun Indonesia baru memproklamirkan kemerdekaannya dan tengah menghadapi revolusi fisik. Pemerintah Indonesia sudah bebenah terutama memperhatikan masalah pendidikan yang dianggap cukup vital dan untuk itu dibentuklah Kementrian Pendidikan dan Pengajaran dan Kebudayaan (PP dan K). Dengan terbentuknya Kementrian PP dan K tersebut, maka diadakanlah berbagai usaha terutama system pendidikan dan menyelesaikannya dengan keadaan yang baru.
Kementrian PP dan K pertama Ki Hajar Dewantara mengeluarkan Instruksi Umum yang isinya memerintahkan pada semua kepala-kepala sekolah dan guru-guru, yaitu:
1.      Mengibarkan Sang Merah Putih tiap-tiap di halaman sekolah;
2.      Melagukan lagu kebangsaan Indonesia Raya;
3.      Menghentikan pengibaran bendera Jepang dan menghapuskan nyanyian Kimigayo yang merupakan lagu kebangsaan Jepang;
4.      Menghapuskan pelajaran Bahasa jepang, serta segala ucapan yang berasal dari pemerintah Bala Tentara Jepang;
5.      Memberi semangat kebangsaan kepada semua murid-muridnya.
Tindakan pertama yang diambil pemerintah Indonesia ialah menyesuaikan pendidikan dengan tuntunan dan aspirasi rakyat, sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 Pasal 31 yang berbunyi : 1) tiap-tiap warga Negara berhak mendapat pengajaran; dan 2) Pemerintah mengusahakan suatu system pengajaran nasoinal yang diatur dengan undang-undang.
Pada periode Orde Lama ini, berbagai peristiwa dialami oleh bangsa Indonesia dalam dunia pendidikan, yaitu : 1) dari tahun 1945-1950 landasan idiil pendidikan ialah UUD 1945 dan falsafah Pancasila; 2) pada permulaan tahun 1949 dengan terbentuknya Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) di Negara bagian timur dianut suatu sistem pendidikan yang diwarisi dari zaman pemerintahan Belanda; 3) pada tanggal 17 Agustus 1950, dengan terbentuknya kembali Negara Kesatuan RI, landasan idiil UUDS RI; 4) pada tahun 1959 Presiden mendekritkan RI kembali ke UUD 1945 dan menetapkan Manifesta Politik RI menjadi Haluan Negara. Dibidang pendidikan ditetapkan Sapta Usaha Tama dan Pancawhardana; dan 5) pada tahun dan UUD 1945 secara murni  dan konsekuen.[9]
1.      Kebijakan Pemerintah Orde Lama Bidang Pendidikan Islam
Pada tanggal 17Agustus 1945 Indonesia merdeka. Tetapi musuh-musuh Indonesia tidak diam saja, bahkan berusaha untuk menjajah kembali. Pada bulan oktober 1945 para ulama di Jawa memproklamasikan perang jihad fi sabilillah terhadap Belanda / Sekutu. Hal ini berarti memberikan fatwa kepastian hukum terhadap perjuangan umat Islam. Pahlawan perang berarti pahlawan jihad yang berkategori sebagai syuhada perang. Isi fatwa tersebut adalah sebagai berikut :
a.       Kemerdekaan Indonesia wajib dipertahankan;
b.      Pemerintah RI adalah satu-satunya yang sah yang wajib dibela dan diselamatkan;
c.       Musuh-musih RI (Belanda / sekutu), pasti akan menjajah kembali bangsa Indonesia. Karena itu kita wajib mengangkat senjata menghadapi mereka;
d.      Kewajiban-kewajiban tersebut diatas adalah fi sabilillah;
Ditinjau dari segi pendidikan rakyat, maka fatwa ulama tersebut besar sekali artinya. Fatwa tersebut memberikan faedah sebagai berikut : a) para ulama santri-santri dapat mempraktikan ajaran fi sabilillah yang sudah dikaji bertahun-tahun dalam pengajian kitab suci fikih di pondok atau madrasah; dan b) pertanggungjawaban mempertahankan kemerdekaan tanah air itu menjadi sempurna terhadap sesame manusia dan terhadap Tuhan yang Maha Esa.
Pada bulan Desember 1946 dikeluarkan peraturan bersama dua menteri, yaitu Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Pengajaran yang menetapkan bahwa pendidikan agama diberikan mulai kelas IV SR (Sekolah Rakyat = Sekolah Dasar) sampai kelas VI. Pada masa itu keadaan keamanan di Indonesia masih belum mantap sehingga SKB Dua Menteri belum dapat berjalan dengan semestinya. Daerah-daerah di luar Jawa masih banyak yang memberikan pendidikan agama  mualai kelas I SR. Pemerintah membentuk Majelis Pertimbangan Pengajaran Agama Islam pada tahun 1947 yang dipimpin oleh Ki Hajar Dewantara dari Departemen P dan K, serta Prof. Drs. Abdullah Sigit dari Departemen Agama. Tugasnya ikut amengatur pelaksanaan dan menteri pengajaran agama yang diberikan di sekolah umum.
Pada tahun 1950 dimana kedaulatan Indonesia telah pilih untuk seluruh Indonesia, maka rencana pendidikan agama untuk seluruh wilayah Indonesia makin disempurnakan dengan dibentuknya panitia bersama yang dipimpin Prof. Mahmud Yunus dari Departemen Agama, Mr. Hadi dari Departemen P dan K, hasil dari panitia itu adalah SKB yang dikeluarkan pada bulan Januari. Isinya ialah :
a.       Pendidikan agama yang diberikan mulai kelas IV Sekolah Rakyat;
b.      Di daerah-daerah yang masyarakat agamanya kuat (misalnya, di Sumatera, Kalimantan, dan lain-lain), maka pendidikan agama diberikan mulai kelas I SR dengan catatan bahwa pengetahuan umumnya tidak boleh berkurang dibandingkan dengan sekolah lain yang pendidikan agamanya diberikan mulai kelas IV;
c.       Disekolah Lanjutan Pertama dan Tingkat Atas (umum dan kejuruan) diberikan pendidikan agama sebanyak 2 jam seminggu;
d.      Pendidikan agama diberikan kepada murid-murid sedikitnya 10 orang dalam satu kelas dan mendapat izin dari orang tua / walinya;
e.       Pengangkatan guru agama, biaya pendidikan agama, dan materi pendidikan agama ditanggung oleh Departemen Agama.
Dalam siding pleno MPRS, pada bulan Desember 1960 diputuskan bahwa melaksanakan Manipol Usdek dibidang mental/agama/kebudayaan dengan syarat spiritual dan material agar setiap warga Negara dapat mengembangkan kepribadiannya dan kebangsaan Indonesia serta menolak pengaruh-pengaruh buruk kebudayaan asing (Bab II Pasal 2 ayat 1)”. Dalam ayat 3 dari pasal tersebut dinyatakan bahwa pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah umum, mulai sekolah rendah (dasar) sampai Universitas, dengan pengertian bahwa murid berhak ikut serta dalam pendidikan agama jika wali/ murid dewasa menyatakan keberatannya.
   Pada tahun 1966 MPRS bersidang lagi. Dalam keputusannya, bidang pendidikan agama telah mengalami kemajuannya dengan menghilangkan kalimat terakhir dari keputusan yang terdahulu. Dengan demikian, maka sejak tahun 1966 pendidikan agama menjadi hak wajib dari Sekolah Dasar sampai  Perguruan Tinggi Umum Negeri di seluruh Indonesia.
2.      Pembentukan Perundangan Pendidikan pada Masa Orde Lama
Menjelang lahirnya Undang-Undang Pokok Pendidikan dan Pengajaran, Panitia Penyelidik Pendidikan dan Pengajaran (1946) melapor kepada menteri PP dan K (Mr. Soewandi) untuk membentuk Panitia Penyelidik Pendididikan dan Pengajaran yang diketuai K.H. Dewantara. Mereka diberi tugas untuk meninjau kembali dasar-dasar isi, susunan dan seluruh usaha pendidikan/pengajaran. Laporan panitia tersebut tidak dapat disiarkan secara luas karena adanya serbuan tentara Belanda, maka secara diam-diam mereka mengadakan :
a.      Kongres Pendidikan di Solo (1947)
Tanggal 4 sampai 7 Maret 1947 di Solo diadakan Kongres Pendidikan Indonesia, di bawah pimpinan Prof. Sunaryo Kalapaking. Tujuannya ialah meninjau kembali berbagai masalah pendidikan dan pengajaran. Kongres ini mendapat perhatian besar dari para cendekiawan.
Pada tahun 1948 Menteri PP dan K (Mr. Ali Sastroamidjojo) membentuk panitia pembentukan Rencana Undang-Undang Pokok Pendidikan dan Pengajaran. Panitia itu diketuai oleh K.H. Dewantara yang ditugaskan untuk menyusun rencana UUPP di sekolah. Panitia bekerja dengan memperhatikan hasil pekerjaan panitia terdahulu dan hasil kongres pendidikan di Solo.
b.      Kongres Pendidikan di Yogyakarta (1949)
Pada tanggal 24 Juli 1949 di bawah pimpinan K.H. Dewantara dan sekretarisnya S. Brodjonegoro dilangsungkan kongres pendidikan di Yogyakarta. Menteri PP dan K (Ki. S. Mangunsarkoro) mengharapkan agar kongres ini dapat menghasilkan bahan-bahan bermanfaat yang dapat dipergunakan untuk menyusun UUPP, yang sesuai dengan cita-cita nasional bangsa Indonesia. Maka dengan kerja keras para panitia penyelidik pendidikan pengajaran dicetuskan UU tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah untuk seluruh Indonesia (1950).
Setelah panitia bekerja dengan giat, rencana UU dapat diselesaikan dan diajukan kepada BP. KNIP dan dengan suara terbanyak diterimalah rencana Undang-Undang itu. Setelah disahkan oleh Acting President Mr. Asaat di Yogyakarta dan Menteri PP dan K, maka RUU itu diresmikan menjadi UU No. 4 tahun 1950 dengan nama UU tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah (UUPP). Untuk sementara UUPP hanya berlaku di daerah Yogyakarta. Kemudian setelah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibentuk, maka UUPP diterima oleh DPR pada tanggal 27 januari 1954, dan diberlakukan pada tanggal 18 maret 1954. Kini UUPP menjelma menjadi UU No. 12 tahun 1954 tentang Pernyataan berlakunya UU No. 4 tahun 1950 dari Republik Indonesia dahulu tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah untuk Indonesia. UUPP tersebut seluruhnya terdiri dari 17 Bab dan 30 pasal. UU tersebut belum sempurna, masih banyak kekurangan-kekurangannya. Masih terlampau ringkas dan singkat, untuk menyempurnakannya dibentuk suatu komisi, yang diketahui oleh Katopo. Komisi ini ternyata tidak dapat memberikan hasil usahanya yang kongkret.[10]
3.      Perkembangan dan Pembinaan Madrasah Pada Masa Orde Lama
Mempelajari perkembangan madrasah tentunya berkaiatan erat dengan peran Departemen Agama sebagai andalan politis yang dapat mengangkat posisi madrasah sehingga memperoleh perhatian secara terus-menerus dari kalangan pengambil kebijakan. Tentunya, tidak juga melupakan usaha-usaha keras yang sudah dirintis oleh sejumlah tokoh seperti Ahmad Dahlan, Hasyim Asy’ari dan Mahmud Yunus. Dalam hal ini, Departemen Agama secara lebih tajam mengembangkan program-program perluasan dan peningkatan mutu madrasah.
Madarasah sebagai penyelenggara pendidikan di akui secara formal pada tahun 1950. UU No. 4 tahun 1950 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah pasal 10 menyatakan bahwa belajar di sekolah agama telah mendapat pengakuan dari Departemen agama dan sudah di anggap memenuhi kewajiban belajar. Untuk mendapat pengakuan dari Departemen Agama, madarasah harus memberikan mata pelajaran agama sebagai mata pelajaran pokok paling tidak 6 jam dalam seminggu.
Jenjang pendidikan dalam sistem madarasah terdiri dari 3 jenjang yaitu    yang pertama Madarasah Ibtidaiyah yang di setarakan dengan  sekolah dasar (SD) dengan lama pendidikan 6 tahun, yang ke dua Madarasah Tsanawiyah Pertama (MTs) yang setara dengan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dengan lama 4 tahun. Dan ke tiga Madarasah Tsanawiyah Atas atau Madarasah Aliyah (MA) yang setara dengan Sekolah Menengah Atas (SMA) dengan lama 4 tahun. Rumusan kurikulum seperti itu bertujuan untuk merespon pendapat umum yang menyatakan bahwa madarasah tidak hanya mengajarkan agama dan untuk menjawab kesan tidak baik yang melekat pada madarasah yaitu pelajaran umum tidak akan mencapai tingkat yang sama bila di bandingkan dengan pendidikan umum.
Perkembangan madarasah pada Orde Lama adalah berdirinya madarasah Pendidikan Guru Agama (PGA) yang sudah ada sebelum kemerdekaan terutama di wilayah Minangkabau dan Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN). Tujuannya untuk mencetak tenaga-tenaga proposional yang siap untuk mengembangkan pendidikan madrasah sekaligus ahli agama yang proposional.
Sejarah perkembangan PGA dan PHIN bermula dari program Departement Agama yang di tangani oleh Drs. Abdullah Sigit sebagai penanggung jawab bagian pendidikan. Pada tahun 1950 bagian tersebut membuka dua lembaga pendidikan dan madrasah professional keguruan, yaitu : (1) Sekolah Guru Agama Islam (SGAI) dan sekolah Guru Hakim Agama Islam (SGHAI). SGAI memiliki dua jenjang yaitu: (a) jangka panjang yang di tempuh salama 5 tahun untuk siswa tamatan SR/MI dan (b) jenjang jangka pendek yang di tempuh selama 2 tahun untuk lulusan SMP/MTs. Sedangkan  SGHAI di tempuh selama 4 tahun untuk lulusan SMP/MTs yang memiliki 4 bagian yaitu : a) bagian “a” untuk mencetak guru kesustraan; b) bagian “b” untuk mencetak guru Ilmu Alam/Ilmu Pasti; c) bagian “c” untuk mencetak guru agama; dan d) bagian “d” untuk mencetak guru pendidikan agama.
Pada tahun 1951, sesuai dengan Ketetapan Menteri Agama, 15 Pebruari 1951, kedua madrasah tersebut di ubah namanya SGAI menjadi “PGA (Pendidikan Guru Agama)” dan SGHAI menjadi SGHA (Sekolah Guru Hakim Agama). Kemudian pada masa H.M. Arifin Tam yang menjadi Kepala “Jawatan Pendidikan Agama” adalah badan pengembanagan dari bagian pendidikan di Departemen Agama. Ketentuan-ketentuan tentang PGA dan SGHA di ubah. PGA yang 5 tahun menjadi 6 tahun, terdiri dari PGA pertama 4 tahun dan PGA atas 2 tahun. Sedangkan PGA jangka pendek dan SGHA di hapuskan. Sebagai pengganti SGHA bagian “d” didirikan PHIN (Pendidikan Hakim Islam Negeri) dengan lama 3 tahun untuk PGA pertama.
Sedangkan Perguruan tinggi Islam khusus fakultas-fakultas  mulai mendapat perhatian pada tanggal 1950. Pada tanggal 12 Agustus 1950, fakultas agama UII dipisahkan dan di ambil alih oleh pemerintah. Pada tanggal 26 September 1951 secara resmi di buka perguruan tinggi baru dengan nama PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri) di bawah pengawasan Kementrian Agama. Pada tahun 1957, di Jakarta di dirikan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA). Akademi ini bertujuan sebagai sekolah latihan bagi para pejabat yang berdinas di pemerintahan (Kementrian Agama) dan untuk pengajaran agama di sekolah. Pada tahun 1960 PTAIN dan ADIA disatukan menjadi IAIN.[11]
4.      Pendidikan Agama Islam di Sekolah Umum pada Masa Orde Lama
Peraturan resmi pertama tentang pendidikan agama di sekolah umum, dicantumkankan dalam UU Pendidikan tahun 1950 No.4 dan UU Pendidikan tahun 1954 No. 20 yang berbunyi : a) pada sekolah-sekolah negeri di selenggarakan pelajaran agama. Dan orang tua murid berhak menetapkan apakah anaknya mengikuti pelajaran tesebut atau   tidak; dan b) cara menyelenggarakan PA di sekolah-sekolah negeri di atur melalui menteri pendidikan,pengajaran dan kebudayaan (PPK) bersama menteri agama.
Pada tahun 1960 sidang MPRS menetapkan bahwa pendidikan agama diselenggarakan di Perguruan Tinggi Umum dan memberikan kebebasan kepada mahasiswa untuk mengikuti ataupun tidak. Namun, pada tahun 1967 (pada awal orde baru), ketetapan itu diubah dengan mewajibkan mahasiswa mengikuti mata kuliah agama dan mata kuliah ini termasuk kedalam system penilaian.
Penjelasan pasal ini antara lain menetapkan bahwa pengajaran agama tidak mempengaruhi kenaikan kelas para murid.

Sebelumnya, telah ada ketetapan bersama Departemen PKK dan Departemen Agama yang dikeluarkan pada 20 Januari 1951. Isi dari ketetapan itu adalah :

a.       Pendidikan agama diberikan mulai kelas IV Sekolah Rakyat selama 2 jam per minggu;
b.      Di daerah-daerah yang masyarakat agamanya kuat (misalnya di Sumatera, kalimantan, dan lain-lain), maka pendidikan agama diberikan mulai pada kelas I SR dengan catatan bahwa mutu pengetahuan umumnya tidak boleh berkurang di bandingkan dengan sekolah lain yang pendidikan agamanya di berikan mulai kelas IV;
c.       Di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dan Tingkat Atas (umum dan kejuruan), diberikan pendidikan agama sebanyak 2 jam per minggu, sesuai dengan agama para murid;
d.      Untuk pelajaran ini, harus hadir sekurang-kurangnya 10 orang murid untuk agama tertentu. Selama berlangsungnya pelajaran agama, murid yang beragama lain boleh meninggalkan ruang belajar;
e.       Sedangkan kurikulum dan bahan pelajaran ditetapkan oleh Menteri Agama dengan persetujuan Menteri PKK.
5.      Lembaga Pendidikan Islam
Setelah Indonesia merdeka dan mempunyai Departemen Agama, maka secara instransional Departemen Agama diserahi kewajiban dan bertanggung jawab tehadap pembinaan dan pengembangan pendidikan agama dalam lembaga-lembaga tersebut. Lembaga pendidikan agama Islam yang berstatus negeri dan ada yang berstatus swasta. Pendidikan agama Islam mulai diajarkan secara resmi di sekolah-sekolah umum negeri pada tahun 1946, dengan keluarnya SKB Menteri Agama dan Menteri P dan K. Sebagai tindak lanjutnya ialah penyediaan dan pengadaan tenaga guru agama yang ditugaskan di sekolah-sekolah umum negeri.
a.       Perkembangan Madrasah
Madrasah sebagai lembaga penyelenggara pendidikan diakui oleh negara secara formal pada tahun 1950. Hal ini sesuai dengan Undang-undang No. 4 tahun 1950 tentang dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di sekolah pasal 10. Jenjang pendidikan dengan sistem madrasah terdiri dari tiga jenjang. Pertama, Madrasah Ibtidaiyah dengan lama pendidikan 6 tahun. Kedua, Madrasah Tsanawiyah Pertama untuk 4 tahun. Ketiga, Madrasah Tsanawiyah Atas untuk 4 tahun. Perjenjangan ini sesuai dengan gagasan Mahmud Yunus sebagai Kepala Seksi Islam pada Kantor Agama Provinsi. Sedangkan kurikulum yang diselenggarakan terdiri dari sepertiga pelajaran agama dan sisanya pelajaran umum.
Perkembangan madrasah yang cukup penting pada masa Orde Lama adalah berdirinya madrasah Pendidikan Guru Agama (PGA) dan Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN). Tujuan pendiriannya adalah untuk mencetak tenaga-tenaga profesional yang siap mengembangkan madrasah sekaligus keagamaan profesional.

Sejarah perkembangan PGA dan PHIN bermula dari program Departemen Agama yang ditangani oleh Drs. Abdullah Sigit sebagai penanggung jawab bagian pendidikan. Pada tahun 1950, bagian itu membuka 2 lembaga pendidikan dan madrasah profesional keguruan yaitu Sekolah Guru Agama Islam (SGAI) dan Sekolah Guru Hakim Agama Islam (SGHAI). SGAI terdiri dari 2 jenjang yaitu jenjang jangka panjang selama 5 tahun yg diperuntukkan bagi siswa tamatan SR/MI, dan yang kedua jenjang jangka pendek selama 2 tahun yg diperuntukkan bagi lulusan SMP/MTs. Sedangkan, SGHAI di tempuh selama 4 tahun yang diperuntukkan bagi lulusan SMP/MTs.
Pada tahun 1951, sesuai dengan Ketetapan Manteri Agama 15 Februari 1951, kedua madrasah ini di ubah namanya. SGAI menjadi PGA (Pendidikan Guru Agama) dan SGHAI menjadi SGHA (Sekolah Guru Hakim Agama). Kemudian, pada masa H.M. Arifin Tamyang menjadi kepala “Jawatan Pendidikan Agama” adalah badan yg merupakan pengembangan dari bagian pendidikan di Departemen Agama. Ketentuan-ketentuan tentang PGA dan SGHA di ubah. PGA pendidikannya menjadi 6 tahun dan terdiri dari PGA pertama 4 tahun dan PGA atas 2 tahun. PGA jangka pendek dan SGHA dihapuskan. Sebagai pengganti SGHA dididrikan PHIN ( Pendidikan Hakim Islam Negeri ) dengan wakktu belajar 3 tahun yg diperuntukkan bagi lulusun PGA pertama.

Pada era Orde Lama perkembangan pendidikan Islam dimadrasah lebih fokus dan tajam dalam rangka mengembangkan program-program perluasan dan peningkatan mutu madrasah, hal ini dilakukan secara terprogram dan serius oleh Departemen Agama.

Melalui Undang-Undang nomor 4 tahun 1950 tentang Dasar-Dasar Pendidikan Dan Pengajaran Disekolah pasal 10 menyatakan bahwa belajar disekolah agama yang telah mendapat pengakuan Departemen Agama, sudah dianggap memenuhi kewajiban belajar. Dengan demikian bahwa negara/ pemerintah mengakui secara sah dan formal bahwa madrasah sebagai lembaga penyelenggara pendidikan. Sedangkan untuk mendapatkan pengakuan dari Departemen Agama, maka madrasah harus memberikan mata pelajaran agama sebagai mata pelajaran pokok dengan jumlah jam paling sedikit 6 jam perminggu secara teratur disamping mata pelajaran umum.
Dengan persyaratan tersebut diadakan pendaftaran madrasah yang memenuhi syarat.

Perjenjangan ini sesuai dengan gagasan Mahmud Yunus sebagai Kepala Seksi Islam pada Kantor Agama Provinsi. Sedangkan kurikulum yang diselenggarakan terdiri dari sepertiga pelajaran agama dan sisanya pelajaran umum. Rumusan kurikulum seperti itu bertujuan untuk merespon pendapat umum yang menyatakan bahwa madrasah tidak cukup mengajarkan agama dan untuk menjawab kesan tidak baik yang melekat kepada madrasah, yaitu pelajaran umum madrasah tidak akan mencapai tingkat yang sama bila dibandingkan dengan sekolah negeri/ umum.
b.      Perkembangan Perguruan Tinggi Islam
Perguruan tinggi Islam khusus terdiri dari fakultas-fakultas keagamaan mulai mendapat perhatian pada tahun 1950. Pada tanggal 12 Agustus 1950, fakultas agama UII dipisahkan dan diambil alih oleh pemerintah. Pada tanggal 26 September 1951 secara resmi dibuka perguruan tinggi baru dengan nama PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam) dibawah pengawasan Kementrian Agama.






BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Kemerdekaan Indonesia membawa dampak baik terhadap eksistensi pendidikan agama. Hal ini terbukti saat pemerintah member perhatian khusus terhadap pendidikan agama. Seiring berjalannya waktu pendidikan agama semakin menaiki tangga kesuksesannya, ia telah menjadi bagian dari pendidikan nasional serta pendidikan agama pun telah mendapat pengakuan dari pemerintah, seperti madrasah.
Pendidikan Islam pada masa Orde Lama terfokus kedalam dua hal, pertama perkembangan dan peningkatan mutu madrasah sehingga diharapkan mampu sejajar dengan sekolah umum, dan kedua memperluas jangkauan pengajaran agama, tidak terbatas pada madrasah, tetapi menjangkau sekolah umum bahkan perguruan tinggi umum. Kedua hal ini terkait erat dengan upaya pemerintah dalam hal ini diwakili oleh Departemen Agama melakukan konvergensi dualisme pendidikan yang telah tumbuh sejak masa kolonial.

Sehingga dengan dua hal tersebut warga negara yang menekuni disiplin ilmu agama Islam tetap mendapatkan kemampuan dibidang umum dan mampu menyesuaikan serta bersaing ditengah masyarakat yang sangat beragam dan komplek. Selain itu warga negara yang menekuni disiplin ilmu umum kiranya juga tetap mendapatkan pengetahuan agama yang sehingga bisa diterapkan dalam kewajiban ibadahnya, khususnya mereka yang memeluk agama Islam mampu mengaplikasikan kompetensi dengan tetap didasari dengan Iman dan Taqwa.

B.     Saran-saran
1.        Sejarah perkembangan pendidikan Islam telah melalui perjuangan yang fluktuatif, sebagai generasi bangsa, seyogyanya kita mengisi kemerdekaan berpendidikan sekarang ini dengan sebaik-baiknya;
2.        Masyarakat merupakan basis utama dalam proses penerapan pendidikan Islam, seyogyanya masyarakat dapat dengan antusias dan penuh tanggung jawab mengikuti pendidikan Islam secara berkelanjutan;
3.        Pemerintah sebagai pemegang kebijakan dan kewenangan dalam pendidikan, seyogyanya dapat secara bertanggung jawab dan berkesinambungan dalam pengembangan pendidikan Islam.


DAFTAR PUSTAKA

Hanun Asrohah. 1999.  Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta : Logos Wacana Ilmu.
Hasan Basri. 2009. Filsafat Pendidikan Islam, Cetakan I. Bandung : Pustaka Setia.
http://haanadza.blogspot.com/2008/03/pendidikan-Islam-pada-masa-orde-lama.html, diakses pada 25/05/2013.
http://makalah-ibnu.blogspot.com/2009/12/sistem-pendidikan-Islam-pada-masa-orde.html, diakses pada 25/05/2013.
Muhaimin. 2001. Paradigma Pendidikan Islam : Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah. Bandung : Rosdakarya.
Mustafa dan Abdullah. 1997. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Bandung : Pustaka Setia.
Nizar Samsul. 2007. Sejarah Pendidikan Islam. Bandung : Kencana.




[1] http://haanadza.blogspot.com/2008/03/pendidikan-Islam-pada-masa-orde-lama.html, diakses pada 25/05/2013.
[2] Drs. Hasan Basri, M.Ag, Filsafat Pendidikan Islam, Cetakan I,  (Bandung : Pustaka Setia, 2009), hal. 11.
[3] Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam : Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, (Bandung : Rosdakarya, 2001), hal. 37.
[4] Hanun Asrohah, M.Ag,  Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999),  hal. 177.
[5] Ibid.,   hal. 177.
[6] Ibid.,  hal. 178.
[7] http://makalah-ibnu.blogspot.com/2009/12/sistem-pendidikan-Islam-pada-masa-orde.html, diakses pada 25/05/2013.
[8] Mustafa dan Abdullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Bandung : Pustaka Setia, 1997), hal.  128-129.
[9] Nizar Samsul, Sejarah Pendidikan Islam, (Bandung : Kencana,  2007), hal. 346-347.
[10] Mustafa dan Abdullah,  Op. Cit., hal. 112-114.
[11] http://haanadza.blogspot.com/2008/03/pendidikan-Islam-pada-masa-orde-lama.html, diakses pada 25/05/2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan tulis komentar Anda