BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Perkembangan
pendidikan Islam pada masa Orde Lama sangat terkait dengan peran Departemen
Agama yang mulai resmi berdiri 3 Januari 1946. Lembaga ini secara intensif
memperjuangkan politik pendidikan Islam di Indonesia. Secara lebih spesifik,
usaha ini ditangani oleh suatu bagian khusus yang mengurusi masalah pendidikan
agama. Dalam salah satu nota Islamic
education in Indonesia yang disusun oleh bagian pendidikan Departemen Agama
pada tanggal 1 September 1956, tugas bagian pendidikan agama ada tiga, yaitu
memberi pengajaran agama di sekolah negeri dan partikulir, memberi pengetahuan
umum di Madrasah, dan mengadakan Pendidikan Guru Agama serta Pendidikan Hakim
Islam Negeri. Tugas pertama dan kedua dimaksudkan untuk upaya konvergensi
pendidikan dualistis, sedangkan tugas yang ketiga dimaksudkan untuk memenuhi
kebutuhan pegawai Departemen Agama itu sendiri. Berdasarkan keterangan di atas,
ada dua hal yang penting berkaitan dengan pendidikan Islam pada masa Orde Lama,
yaitu pengembangan dan pembinaan madrasah dan pendidikan Islam di sekolah umum.
Eksistensi pendidikan
Islam di Indonesia adalah suatu kenyataan yang sudah berlangsung sangat panjang
dan sudah memasyarakat. Pada masa penjajahan Belanda dan penduduk Jepang,
pendidikan diselenggarakan oleh masyarakat sendiri dengan mendirikan pesantren,
sekolah dan tempat latihan-latihan lain. Setelah merdeka, pendidikan Islam
dengan cirri khasnya madrasah dan pesantren mulai mendapatkan perhatian dan
pembinaan dari pemerintah Republik di Indonesia.
Pemerintahan pada
masa Orde Lama yang dimaksudkan kepada rentang waktu 1945 sampai dengan 1965
diberi tugas oleh UUD 1945 untuk mengusahakan agar terbentuknya suatu system
pendidikan dan pengajaran yang bersifat nasional. Oleh karena itu, pastilah
sejarah mencatat bagaimana pemerintah Orde Lama memberikan sumbangsih yang
signifikan terhadap perkembangan pendidikan Islam.[1]
Merupakan sebuah
kepentingan yang sangat esensi daan urgen bagi setiap manusia kehidupan yang
berbasis dan bernuansa agama. Agam bukanlah suatu mimpi atau sesuatu yang hanya
dinilai tampak oleh panca indra, namun agama lebih nampak dan kelihatan secara
jelas jika dipandang dengan hati dan keyakinan, agama juga lebih terasa dalam
kehidupan dan tingkah laku manusia dalam sehari hari, lebih-lebih dikala
manusia sudah tidak mampu lagi untuk menggunakan segenap kemampuannya dalam
menangani berbagai masalah dan resiko yang dihadapinya sehari-hari. Karena
agama sangat berkaitan dengan Ketuhanan yaitu hubungan antara pencipta (Khaliq)
dan yang diciptakan (makhulq), jika segala upaya manusia sudah dikerahkan
dengan semaksimal mungkin maka pada akhirnya manusia mengembalikan semuanya
kepada Tuahnnya.
Berasal dari situlah
bahwa kehidupan manusia merasa sangat butuh secara primer akan kehidupan
beragama, karena dengan itulah manusia dapat mengenal Tuahnnya, syari’atnya dan
petunjuk-petunjuknya sehingga manusia melangkah dalam jalur yang benar dengan
sebuah harapan segala apa yang dilakukan memperoleh hasil akhir yang baik,
yaitu baik menurut sesamanya dan menurut Tuhannya. Bahkan manusia juga sangat
berharap terpenuhinnya cita-cita hidup mulia didunia dan menempati syurga
ketika ia berada dialam akhirat pasca ia meninggalkan dunia.
Secara sepintas
masalah agama memang remeh bahkan memang kadang diremehkan oleh sebagian
kalangan, itu terbukti dengan dengan sebuah pengakuan sekelompok orang yang
mengaku memeluk agama namun pada kenyataannya ia tidak pernah mentaati
syariat-syariat agamannya. Agama kadang juga hanyalah dianggap sebuah simbol
jati diri seorang yang hidup dunia, namun kaidah-kaidah agamanya tidak pernah
dipahami, dimengerti dan bahkan tidak diaplikasikan dalam kehidupannya. Inilah
yang menyebabkan bahwa agama tidak pernah tampak dalam kaca mata mereka, dan
bahkan ia merasa tidak mendapatkan sebuah konstribusi dari agamnya.
Oleh karena itu seluruh masyarakat Indonesia bersepakat melalui perwakilannya
di DPR dan Pemerintah bahwa Negara Indonesia adalah Berketuhan Yang Maha Esa.
Seperti yang termaktub didalam sila ke-1 Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha
Esa, artinya bahwa setiap warga negara Indonesia wajib memeluk salah satu agama
resmi yang ada di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa betapa penting pengaruh
agama terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dengan pandangan
kepentingan dan sejarah turut mewarnainya Islam dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara di Indonesia maka sangat dirasa penting dalam menngenalkan,
mengajarkan, mendidik dan memberikan pengertian secara kaffah tentang ajaran
agama Islam kepada generasi bangsa pada khususnya mereka yang memeluk agama
Islam. Oleh karena itulah pendidikan agama wajib disampaikan dalam pendidikan
formal dan bagi para anak bangsa yang beragama Islam wajib mendapatkan materi
Pendidikan Agama Islam. Ini dimaksudkan agar dapat menanamkan pendidikan
karakter sejak awal. Sehingga pasca siswa/mahasiswa meneyelesaikan studinya
mampu mengaplikasikan kehidupan beragama secara mandiri dalam pergaulan
sehari-hari yang berdampingan dengan warga negara sesama agama dan anatar agama
dengan harmonis dengan asas saling menghormati.
B.
Perumusan
Masalah
Berdasarkan latar
belakang masalah di atas, mada dapat dirumuskan permasalahan-permasalahan
sebagai berikut :
1.
Apa yang dimaksud
dengan pendidikan Islam?
2.
Bagaimana perkembangan
pendidikan Islam pada Masa Pemerintahan Orde Lama?
C.
Tujuan
Pembahasan
Berdasarkan perumusan
masalah di atas, maka tujuan pembahasan dalam makalah ini adl sebagai berikut :
1.
Untuk mengetahui
tentang pengertian pendidikan Islam; dan
2.
Untuk mengetahui
perkembangan pendidikan Islam pada Masa Pemerintahan Orde Lama.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
dan Tujuan Pendidikan Islam
1.
Pengertian Pendidikan Islam
Pendidikan merupakan sebuah kebutuhan
pokok bagi setiap manusia yang hidup, lebih-lebih bagi mereka yang hidup pada
lingkungan sosial, karena dengan pendidikan manusia mendapatkan sebuah
informasi-informasi yang sehingga mampu digunakan sebagai bekal hidup dan
berkorelasi dengan sesamanya dan dengan Tuhannya.
Jika pendidikan diartikan sebagai sarana latihan dalam membentuk mental, moral
dan fisik yang bisa menghasilkan manusia berbudaya tinggi dan bermartabat
berarti pendidikan adalah sesuatu yang dapat menumbuhkan kepribadian dan
menanamkan rasa tanggungjawab. Dengan begitu pendidikan merupakan sebuah modal
awal bagi kehidupan manusia ketika didunia maupun diakhirat.
Apabila
dibicarakan tentang ilmu pendidikan Islam, karena Islam, sebagai agama Allah
yang tertulis dalam al-Quran dan as-Sunnah, ilmu pendidikan Islam adalah
sekumpulan pengetahuan yang bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah yang
dijadikan landasan pendidikan.[2]
Secara aplikatif, pendidikan Islam artinya mentransformasikan nilai-nilai Islam
terhadap anak didik di lingkungan sekolah, keluarga dan masyarakat.
Pendidikan
secara terminologis dapat diartikan sebagai pembinaan, pembentukan, pengarahan,
pencerdasan, pelatihan yang ditujukan kepada semua anak didik secara formal
maupun nonformal dengan tujuan membentuk anak didik yang cerdas,
berkepribadian, memiliki keterampilan atau keahlian tertentu sebagai bekal
dalam kehidupannya di masyarakat. Secara formal, pendidikan adalah pengajaran (at-tarbiyah at-ta’lim). Sebagaimana
Muhaimin katakan bahwa pendidikan adalah aktivitas atau upaya yang sadar
terencana, dirancang untuk membantu seseorang mengembangkan pandangan hidup,
sikap hidup dan keterampilan hidup, baik yang bersifat manual (petunjuk
praktis) maupun mental dan sosial.[3]
Setiap kebutuhan pendidikan pada
prinsipnya didasarkan pada kondisi lingkungan, budaya dan idiologi atau
kepercayaan, sehingga kebutuhan setiap manusia wajar jika berbeda dengan yang
lainnya, namun juga tidak menutup kemungkinan bahwa kebutuhan pendidikan atar
manusia ada yang sama. Hal yang berkaitan dengan dengan pandangan ini adalah
bahwa setiap manusia yang beragama Islam sudah pasti membutuhkan informasi yang
dapat dipertanggungjawabkan atas kebenarannya yaitu pendidikan Islam. Setiap
muslim pasti berharap mampu memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam
dengan tujuan agar mendapat rahmat Allah SWT.
Dengan demikian pengertian pendidikan
Islam adalah suatu sistem kependidikan yang mencangkup seluruh aspek kehidupan
yang dibutuhkan oleh hamba Allah, sebagaimana Islam telah menjadi pedoman bagi
seluruh aspek kehidupan manusia, baik duniawi maupun ukhrawi.
2.
Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan dan sasaran pendidikan
berbeda-beda menurut pandangan hidup masing-masing pendidik atau lembaga
pendidikan. Oleh karenanya perlu dirumuskan pandangan hidup Islam yang
mengarahkan tujuan dan sasaran pendidikan Islam. Pendidikan Islam
diberikan berasal dari sumber pokok yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadis, sumber
tersebut adalah sumber materi yang utama karena seluruh tuntunan Islam
didasarkan atas dua sumber tersebut. Dengan demikian bahwa pendidikan Islam
diberikan untuk mengenalkan samapai pada tingkatan pemahaman tentang
kaidah-kaidah Islam dan berrikut pelaksanaan ibadahnya tanpa sedikitpun yang
berlawanan dengan sumber kedua hukum tersebut.
Bila dilihat dari pendekatan sistem
instruksional tertentu, pendidikan Islam bisa dibagi dalam berbagai tujuan,
yaitu sebagai berikut :
a. Tujuan intruksional khusus (TIK),
diarahkan pada setiap bidang studi yang harus dikuasai dan diamalkan oleh anak
didik;
b. Tujuan intruksional umum (TIU),
diarahkan pada penguasaan atau pengamalan suatu bidang studi secara umum atau
garis besarnya sebagai suatu kebulatan;
c. Tujuan institusional, adalah tujuan
yang harus dicapai melalui garis-garis besar program pengajaran di tiap
institusi pendidikan;
d. Tujuan institusional, adalah tujuan
yang harus dicapai menurut program pendidikan di tiap sekolah atau lembaga
pendidikan tertentu secara bulat seperti tujuan institusional SLTP/SLTA;
e. Tujuan umum atau tujuan nasional, adalah
cita-cita hidup yang ditetapkan untuk dicapai melalui proses kependidikan
dengan berbagai cara atau sistem, baik sistem formal (sekolah), sistem
nonformal (nonklasikal dan nonkurikuler), maupun sistem informal (yang tidak
terkait oleh formalitas program, waktu, ruang, dan materi).
Dengan harapan bahwa tujuan pelaksanaan pendidikan Islam
pada tataran materi maupun pelaksanaannya tidak melenceng dari tuntunan pokok
ajaran agama Islam. Tujuan akhir pendidikan Islam pada hakekatnya adalah
realisasi dari cita-cita ajaran Islam itu sendiri, yang membawa misi bagi
kesejahteraan umat manusia di dunia dan akhirat.
B.
Perkembangan
Pendidikan Islam pada Masa Orde Lama
Setelah Indonesia
berhasil meraih kemerdekaannya sendiri, Indonesia melahirkan kehidupan baru di
segala bidang, termasuk pendidikan. Sebagai modal pertama
dipergunakanlah Rancangan Usaha Pendidikan/Pengajaran dan juga
dikeluarkan “ instruksi umum” oleh Menteri P dan K, yaitu Ki Hajar
Dewantara. Selain itu pula bangsa Indonesia menggunakan UUD 1945 sebagai
pedoman dan dasar penyelenggaraan pendidikan nasional.
Dalam pada itu,
pemerintah memberi perhatian serius terhadap pendidikan agama
yang ditandai dengan penghargaan tinggi bagi pendidikan Islam, termasuk
lembaga-lembaga pendidikan yang sudah ada. Usaha untuk itu dimulai dengan
“pengumuman dari BPKNIP (Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat)
berdasarkan pada berita RI tahun II No. 4 dan 5 hal. 20 kolom 1 bahwa dalam
memajukan pendidikan dan pengajaran di langgar-langgar dan madrasah berjalan
terus dan diperpesat.[4]
Selanjutnya adanya
pemberian bantuan terhadap lembaga tersebut sebagaimana yang dianjurkan oleh
Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP) bertepatan
pada tanggal 27 Desember 1945, yang menyebutkan bahwa madrasah dan
pesantren yang pada hakikatnya adalah satu alat dan sumber pendidikan dan
pencerdasan rakyat jelata yang sudah berakar dalam masyarakat Indonesia pada
umumnya, hendaklah pula mendapat perhatian dan bantuan nyata berupa tuntunan
dan bantuan material dari pemerintah.
Pada tanggal 3
Januari 1946 dibentuk Departemen Agama, dimana tugasnya mengurusi
penyelenggaraan pendidikan agama di sekolah umum dan mengurusi sekolah agama
seperti pondok pesantren dan madrasah. Telah ada Panitia Penyelidik Pengajaran
Republik Indonesia yang diketuai oleh Ki Hajar Dewantara, panitia ini
merekomendasikan mengenai sekolah-sekolah agama, dalam laporannya tanggal 2
Juni 1946 yang berbunyi : pengajaran yang bersifat pondok pesantren dan
madrasah perlu dipertinggi dan dimodernisasikan serta diberikan bantuan biaya
dan lain-lain.[5]
Selanjutnya
eksistensi pendidikan agama sebagai komponen pendidikan nasional dituangkan
dalam Undang-Undang Pokok Pendidikan dan Pengajaran No. 4 Tahun 1950, yang
sampai sekarang masih berlaku, dimana dinyatakan bahwa belajar di
sekolah-sekolah agama yang telah mendapat pengakuan dari Menteri Agama dianggap
telah memenuhi kewajiban belajar.
Langkah demi langkah
pada akhirnya pendidikan Islam semakin terintegrasikan secara total dalam
pendidikan nasional. Pentingnya pendidikan agama yang telah terintegralkan
dengan pendidikan nasional akhirnya mendapat kekuatan hukum dalam Rumusan
Komisi Pembaharuan Pendidikan Nasional yang berbunyi : pendidikan nasional
ialah usaha dasar untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia
yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dengan mengusahakan perkembangan
kehidupan beragama, kehidupan yang berkepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
nilai budaya, pengetahuan, ketrampilan, daya estetik, dan jasmaninya sehingga
ia dapat mengembangkan dirinya bersama-sama dengan sesama manusia membangun
masyarakatnya, seta membudayakan alam sekitar.[6] Kemudian
dikukuhkan dalam GBHN berdasarkan TAP MPR No. II/1983.
Penyelenggara
pendidikan agama setelah Indonesia merdeka mendapat perhatian serius dari
pemerintah, baik di sekolah negeri maupun swasta. Usaha untuk itu dimulai
dengan memberikan bantuan terhadap lembaga sebagaimana yang dianjurkan oleh Badan
Pekerja Komite Nasional Pusat (BPKNP) 27 desember 1945 menyebutkan bahwa madrasah
dan pesantren yang pada hakikatnya adalah satu alat dan pencerdasan rakyat
jelata yang sudah berurat berakar dalam masyarakat Indonesia pada umumnya,
hendaklah pula mendapat perhatian dan bantuan nyata tututan dan bantuan
material dari pemerintah.”
Kenyataan yang
demikian timbul karena kesadaran umat Islam yang dalam, setelah sekian lama
terpuruk di bawah kekuasaan penjajah. Pada zaman penjajahan Belanda, pintu
masuk pendidikan modern bagi umat Islam sangat sempit. Dalam hal ini, ada dua
hal yang menjadi penyebabnya, yaitu:
1. Sikap dan kebijaksanaan pemerintah kolonial
Belanda yang sangat diskriminatif terhadap kaum muslimin;
2. Politik nonkooperatif para
ulama terhadap Belanda yang menfatwakan bahwa ikut serta dalam budaya Belanda,
termasuk pendidikan modernnya, adalah suatu bentuk penyelewengan agama. Mereka
berpegang teguh pada salah satu hadis Nabi Muhammad SAW. Yang artinya, “Barang
siapa menyerupai suatu golongan, maka ia termasuk ke dalam golongan itu.” Hadis
tersebut melandasi sikap para ulama pada waktu itu.[7]
Akan tetapi, keadaan
berubah secara radikal setelah tercapainya kemerdekaan Indonesia, seakan-akan
merupakan ganjaran bagi para ulama atau yang dijiwai oleh keislaman, yaitu
kemerdekaan membuahkan sesuatu yang luar biasa besar manfaatnya bagi kaum
muslimin, terutama di bidang pendidikan modern. Kemerdekaan Indonesia merupakan
hasil perjuangan yang berkepanjangan, terutama melalui berbagai organisasi
pergerakan, baik sosial, agama maupun politik. Oleh karena itu, wujud
kemerdekaan adalah cermin, cita-cita perjuangan bersama dari bangsa Indonesia.
Dengan demikian, bentuk sistem dan tata cara pemerintahan disusun atas dasar
cita-cita dan kehendak bangsa Indonesia. Dasar Negara yang telah disepakati
bersama saat mendirikan Negara adalah Pancasila, yang tertuang dalam pembukaan
UUD 1945 dan merupakan kesatuan yang tak terpisahkan dengan batang tubuh UUD
1945. Pancasila dan UUD 1945 inilah yang kemudian dijadikan titik tolak
pengelolaan Negara dalam membangun bangsa Indonesia.[8]
Meskipun Indonesia
baru memproklamirkan kemerdekaannya dan tengah menghadapi revolusi fisik.
Pemerintah Indonesia sudah bebenah terutama memperhatikan masalah pendidikan
yang dianggap cukup vital dan untuk itu dibentuklah Kementrian Pendidikan dan
Pengajaran dan Kebudayaan (PP dan K). Dengan terbentuknya Kementrian PP dan K
tersebut, maka diadakanlah berbagai usaha terutama system pendidikan dan
menyelesaikannya dengan keadaan yang baru.
Kementrian PP dan K
pertama Ki Hajar Dewantara mengeluarkan Instruksi Umum yang isinya
memerintahkan pada semua kepala-kepala sekolah dan guru-guru, yaitu:
1. Mengibarkan Sang Merah Putih tiap-tiap
di halaman sekolah;
2. Melagukan lagu kebangsaan Indonesia
Raya;
3. Menghentikan pengibaran bendera Jepang
dan menghapuskan nyanyian Kimigayo yang merupakan lagu kebangsaan Jepang;
4. Menghapuskan pelajaran Bahasa jepang,
serta segala ucapan yang berasal dari pemerintah Bala Tentara Jepang;
5. Memberi semangat kebangsaan kepada semua
murid-muridnya.
Tindakan pertama yang
diambil pemerintah Indonesia ialah menyesuaikan pendidikan dengan tuntunan dan
aspirasi rakyat, sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 Pasal 31 yang berbunyi :
1) tiap-tiap warga Negara berhak mendapat pengajaran; dan 2) Pemerintah
mengusahakan suatu system pengajaran nasoinal yang diatur dengan undang-undang.
Pada periode Orde
Lama ini, berbagai peristiwa dialami oleh bangsa Indonesia dalam dunia
pendidikan, yaitu : 1) dari tahun 1945-1950 landasan idiil pendidikan ialah UUD
1945 dan falsafah Pancasila; 2) pada permulaan tahun 1949 dengan terbentuknya
Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) di Negara bagian timur dianut suatu sistem
pendidikan yang diwarisi dari zaman pemerintahan Belanda; 3) pada tanggal 17 Agustus
1950, dengan terbentuknya kembali Negara Kesatuan RI, landasan idiil UUDS RI;
4) pada tahun 1959 Presiden mendekritkan RI kembali ke UUD 1945 dan menetapkan
Manifesta Politik RI menjadi Haluan Negara. Dibidang pendidikan ditetapkan Sapta
Usaha Tama dan Pancawhardana; dan 5) pada tahun dan UUD 1945 secara
murni dan konsekuen.[9]
1.
Kebijakan
Pemerintah Orde Lama Bidang Pendidikan Islam
Pada tanggal 17Agustus
1945 Indonesia merdeka. Tetapi musuh-musuh Indonesia tidak diam saja, bahkan
berusaha untuk menjajah kembali. Pada bulan oktober 1945 para ulama di Jawa
memproklamasikan perang jihad fi sabilillah terhadap Belanda /
Sekutu. Hal ini berarti memberikan fatwa kepastian hukum terhadap perjuangan
umat Islam. Pahlawan perang berarti pahlawan jihad yang berkategori sebagai
syuhada perang. Isi fatwa tersebut adalah sebagai berikut :
a. Kemerdekaan Indonesia wajib
dipertahankan;
b. Pemerintah RI adalah satu-satunya yang
sah yang wajib dibela dan diselamatkan;
c. Musuh-musih RI (Belanda / sekutu),
pasti akan menjajah kembali bangsa Indonesia. Karena itu kita wajib mengangkat
senjata menghadapi mereka;
d. Kewajiban-kewajiban tersebut diatas
adalah fi sabilillah;
Ditinjau dari segi
pendidikan rakyat, maka fatwa ulama tersebut besar sekali artinya. Fatwa
tersebut memberikan faedah sebagai berikut : a) para ulama santri-santri dapat
mempraktikan ajaran fi sabilillah
yang sudah dikaji bertahun-tahun dalam pengajian kitab suci fikih di pondok
atau madrasah; dan b) pertanggungjawaban mempertahankan kemerdekaan tanah air
itu menjadi sempurna terhadap sesame manusia dan terhadap Tuhan yang Maha Esa.
Pada bulan Desember
1946 dikeluarkan peraturan bersama dua menteri, yaitu Menteri Agama dan Menteri
Pendidikan dan Pengajaran yang menetapkan bahwa pendidikan agama diberikan
mulai kelas IV SR (Sekolah Rakyat = Sekolah Dasar) sampai kelas VI. Pada masa
itu keadaan keamanan di Indonesia masih belum mantap sehingga SKB Dua Menteri
belum dapat berjalan dengan semestinya. Daerah-daerah di luar Jawa masih banyak
yang memberikan pendidikan agama mualai kelas I SR. Pemerintah
membentuk Majelis Pertimbangan Pengajaran Agama Islam pada tahun 1947 yang
dipimpin oleh Ki Hajar Dewantara dari Departemen P dan K, serta Prof. Drs.
Abdullah Sigit dari Departemen Agama. Tugasnya ikut amengatur pelaksanaan dan
menteri pengajaran agama yang diberikan di sekolah umum.
Pada tahun 1950
dimana kedaulatan Indonesia telah pilih untuk seluruh Indonesia, maka rencana
pendidikan agama untuk seluruh wilayah Indonesia makin disempurnakan dengan
dibentuknya panitia bersama yang dipimpin Prof. Mahmud Yunus dari Departemen
Agama, Mr. Hadi dari Departemen P dan K, hasil dari panitia itu adalah SKB yang
dikeluarkan pada bulan Januari. Isinya ialah :
a. Pendidikan agama yang diberikan mulai
kelas IV Sekolah Rakyat;
b. Di daerah-daerah yang masyarakat
agamanya kuat (misalnya, di Sumatera, Kalimantan, dan lain-lain), maka
pendidikan agama diberikan mulai kelas I SR dengan catatan bahwa pengetahuan
umumnya tidak boleh berkurang dibandingkan dengan sekolah lain yang pendidikan
agamanya diberikan mulai kelas IV;
c. Disekolah Lanjutan Pertama dan Tingkat
Atas (umum dan kejuruan) diberikan pendidikan agama sebanyak 2 jam seminggu;
d. Pendidikan agama diberikan kepada
murid-murid sedikitnya 10 orang dalam satu kelas dan mendapat izin dari orang tua
/ walinya;
e. Pengangkatan guru agama, biaya
pendidikan agama, dan materi pendidikan agama ditanggung oleh Departemen Agama.
Dalam siding pleno
MPRS, pada bulan Desember 1960 diputuskan bahwa melaksanakan Manipol Usdek
dibidang mental/agama/kebudayaan dengan syarat spiritual dan material agar
setiap warga Negara dapat mengembangkan kepribadiannya dan kebangsaan Indonesia
serta menolak pengaruh-pengaruh buruk kebudayaan asing (Bab II Pasal 2 ayat
1)”. Dalam ayat 3 dari pasal tersebut dinyatakan bahwa pendidikan agama menjadi
mata pelajaran di sekolah-sekolah umum, mulai sekolah rendah (dasar) sampai
Universitas, dengan pengertian bahwa murid berhak ikut serta dalam pendidikan
agama jika wali/ murid dewasa menyatakan keberatannya.
Pada
tahun 1966 MPRS bersidang lagi. Dalam keputusannya, bidang pendidikan agama
telah mengalami kemajuannya dengan menghilangkan kalimat terakhir dari
keputusan yang terdahulu. Dengan demikian, maka sejak tahun 1966 pendidikan
agama menjadi hak wajib dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi
Umum Negeri di seluruh Indonesia.
2.
Pembentukan Perundangan Pendidikan pada
Masa Orde Lama
Menjelang lahirnya
Undang-Undang Pokok Pendidikan dan Pengajaran, Panitia Penyelidik Pendidikan
dan Pengajaran (1946) melapor kepada menteri PP dan K (Mr. Soewandi) untuk
membentuk Panitia Penyelidik Pendididikan dan Pengajaran yang diketuai K.H.
Dewantara. Mereka diberi tugas untuk meninjau kembali dasar-dasar isi, susunan
dan seluruh usaha pendidikan/pengajaran. Laporan panitia tersebut tidak dapat
disiarkan secara luas karena adanya serbuan tentara Belanda, maka secara
diam-diam mereka mengadakan :
a.
Kongres Pendidikan di Solo (1947)
Tanggal 4 sampai 7 Maret
1947 di Solo diadakan Kongres Pendidikan Indonesia, di bawah pimpinan Prof.
Sunaryo Kalapaking. Tujuannya ialah meninjau kembali berbagai masalah
pendidikan dan pengajaran. Kongres ini mendapat perhatian besar dari para
cendekiawan.
Pada tahun 1948
Menteri PP dan K (Mr. Ali Sastroamidjojo) membentuk panitia pembentukan Rencana
Undang-Undang Pokok Pendidikan dan Pengajaran. Panitia itu diketuai oleh K.H.
Dewantara yang ditugaskan untuk menyusun rencana UUPP di sekolah. Panitia
bekerja dengan memperhatikan hasil pekerjaan panitia terdahulu dan hasil
kongres pendidikan di Solo.
b.
Kongres Pendidikan di Yogyakarta (1949)
Pada tanggal 24 Juli
1949 di bawah pimpinan K.H. Dewantara dan sekretarisnya S. Brodjonegoro
dilangsungkan kongres pendidikan di Yogyakarta. Menteri PP dan K (Ki. S.
Mangunsarkoro) mengharapkan agar kongres ini dapat menghasilkan bahan-bahan bermanfaat
yang dapat dipergunakan untuk menyusun UUPP, yang sesuai dengan cita-cita
nasional bangsa Indonesia. Maka dengan kerja keras para panitia penyelidik
pendidikan pengajaran dicetuskan UU tentang Dasar-dasar Pendidikan dan
Pengajaran di Sekolah untuk seluruh Indonesia (1950).
Setelah panitia
bekerja dengan giat, rencana UU dapat diselesaikan dan diajukan kepada BP. KNIP
dan dengan suara terbanyak diterimalah rencana Undang-Undang itu. Setelah
disahkan oleh Acting President Mr. Asaat di Yogyakarta dan
Menteri PP dan K, maka RUU itu diresmikan menjadi UU No. 4 tahun 1950 dengan
nama UU tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah (UUPP). Untuk
sementara UUPP hanya berlaku di daerah Yogyakarta. Kemudian setelah Negara
Kesatuan Republik Indonesia dibentuk, maka UUPP diterima oleh DPR pada tanggal
27 januari 1954, dan diberlakukan pada tanggal 18 maret 1954. Kini UUPP
menjelma menjadi UU No. 12 tahun 1954 tentang Pernyataan berlakunya UU No. 4
tahun 1950 dari Republik Indonesia dahulu tentang dasar-dasar pendidikan dan
pengajaran di sekolah untuk Indonesia. UUPP tersebut seluruhnya terdiri dari 17
Bab dan 30 pasal. UU tersebut belum sempurna, masih banyak
kekurangan-kekurangannya. Masih terlampau ringkas dan singkat, untuk
menyempurnakannya dibentuk suatu komisi, yang diketahui oleh Katopo. Komisi ini
ternyata tidak dapat memberikan hasil usahanya yang kongkret.[10]
3.
Perkembangan
dan Pembinaan Madrasah Pada Masa Orde Lama
Mempelajari
perkembangan madrasah tentunya berkaiatan erat dengan peran Departemen Agama
sebagai andalan politis yang dapat mengangkat posisi madrasah sehingga
memperoleh perhatian secara terus-menerus dari kalangan pengambil kebijakan.
Tentunya, tidak juga melupakan usaha-usaha keras yang sudah dirintis oleh
sejumlah tokoh seperti Ahmad Dahlan, Hasyim Asy’ari dan Mahmud Yunus. Dalam hal
ini, Departemen Agama secara lebih tajam mengembangkan program-program
perluasan dan peningkatan mutu madrasah.
Madarasah sebagai
penyelenggara pendidikan di akui secara formal pada tahun 1950. UU No. 4 tahun
1950 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah pasal 10
menyatakan bahwa belajar di sekolah agama telah mendapat pengakuan dari
Departemen agama dan sudah di anggap memenuhi kewajiban belajar. Untuk mendapat
pengakuan dari Departemen Agama, madarasah harus memberikan mata pelajaran
agama sebagai mata pelajaran pokok paling tidak 6 jam dalam seminggu.
Jenjang pendidikan
dalam sistem madarasah terdiri dari 3 jenjang yaitu yang
pertama Madarasah Ibtidaiyah yang di setarakan dengan sekolah dasar
(SD) dengan lama pendidikan 6 tahun, yang ke dua Madarasah Tsanawiyah Pertama
(MTs) yang setara dengan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dengan lama 4 tahun.
Dan ke tiga Madarasah Tsanawiyah Atas atau Madarasah Aliyah (MA) yang setara
dengan Sekolah Menengah Atas (SMA) dengan lama 4 tahun. Rumusan kurikulum
seperti itu bertujuan untuk merespon pendapat umum yang menyatakan bahwa
madarasah tidak hanya mengajarkan agama dan untuk menjawab kesan tidak baik
yang melekat pada madarasah yaitu pelajaran umum tidak akan mencapai tingkat
yang sama bila di bandingkan dengan pendidikan umum.
Perkembangan
madarasah pada Orde Lama adalah berdirinya madarasah Pendidikan Guru Agama
(PGA) yang sudah ada sebelum kemerdekaan terutama di wilayah Minangkabau dan Pendidikan
Hakim Islam Negeri (PHIN). Tujuannya untuk mencetak tenaga-tenaga proposional
yang siap untuk mengembangkan pendidikan madrasah sekaligus ahli agama yang
proposional.
Sejarah perkembangan
PGA dan PHIN bermula dari program Departement Agama yang di tangani oleh Drs. Abdullah
Sigit sebagai penanggung jawab bagian pendidikan. Pada tahun 1950 bagian
tersebut membuka dua lembaga pendidikan dan madrasah professional keguruan,
yaitu : (1) Sekolah Guru Agama Islam (SGAI) dan sekolah Guru Hakim Agama Islam (SGHAI).
SGAI memiliki dua jenjang yaitu: (a) jangka panjang yang di tempuh salama 5
tahun untuk siswa tamatan SR/MI dan (b) jenjang jangka pendek yang di tempuh
selama 2 tahun untuk lulusan SMP/MTs. Sedangkan SGHAI di tempuh
selama 4 tahun untuk lulusan SMP/MTs yang memiliki 4 bagian yaitu : a) bagian
“a” untuk mencetak guru kesustraan; b) bagian “b” untuk mencetak guru Ilmu
Alam/Ilmu Pasti; c) bagian “c” untuk mencetak guru agama; dan d) bagian “d”
untuk mencetak guru pendidikan agama.
Pada tahun 1951, sesuai
dengan Ketetapan Menteri Agama, 15 Pebruari 1951, kedua madrasah tersebut di
ubah namanya SGAI menjadi “PGA (Pendidikan Guru Agama)” dan SGHAI menjadi SGHA
(Sekolah Guru Hakim Agama). Kemudian pada masa H.M. Arifin Tam yang menjadi Kepala
“Jawatan Pendidikan Agama” adalah badan pengembanagan dari bagian pendidikan di
Departemen Agama. Ketentuan-ketentuan tentang PGA dan SGHA di ubah. PGA yang 5
tahun menjadi 6 tahun, terdiri dari PGA pertama 4 tahun dan PGA atas 2 tahun.
Sedangkan PGA jangka pendek dan SGHA di hapuskan. Sebagai pengganti SGHA bagian
“d” didirikan PHIN (Pendidikan Hakim Islam Negeri) dengan lama 3 tahun untuk
PGA pertama.
Sedangkan Perguruan
tinggi Islam khusus fakultas-fakultas mulai mendapat perhatian pada
tanggal 1950. Pada tanggal 12 Agustus 1950, fakultas agama UII dipisahkan dan
di ambil alih oleh pemerintah. Pada tanggal 26 September 1951 secara resmi di
buka perguruan tinggi baru dengan nama PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam
Negeri) di bawah pengawasan Kementrian Agama. Pada tahun 1957, di Jakarta di
dirikan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA). Akademi ini bertujuan sebagai sekolah
latihan bagi para pejabat yang berdinas di pemerintahan (Kementrian Agama) dan
untuk pengajaran agama di sekolah. Pada tahun 1960 PTAIN dan ADIA disatukan
menjadi IAIN.[11]
4.
Pendidikan
Agama Islam di Sekolah Umum pada Masa Orde Lama
Peraturan resmi
pertama tentang pendidikan agama di sekolah umum, dicantumkankan dalam UU
Pendidikan tahun 1950 No.4 dan UU Pendidikan tahun 1954 No. 20 yang berbunyi :
a) pada sekolah-sekolah negeri di selenggarakan pelajaran agama. Dan orang tua
murid berhak menetapkan apakah anaknya mengikuti pelajaran tesebut
atau tidak; dan b) cara menyelenggarakan PA di sekolah-sekolah
negeri di atur melalui menteri pendidikan,pengajaran dan kebudayaan (PPK)
bersama menteri agama.
Pada tahun 1960
sidang MPRS menetapkan bahwa pendidikan agama diselenggarakan di Perguruan
Tinggi Umum dan memberikan kebebasan kepada mahasiswa untuk mengikuti ataupun
tidak. Namun, pada tahun 1967 (pada awal orde baru), ketetapan itu diubah
dengan mewajibkan mahasiswa mengikuti mata kuliah agama dan mata kuliah ini
termasuk kedalam system penilaian.
Penjelasan pasal ini
antara lain menetapkan bahwa pengajaran agama tidak mempengaruhi kenaikan kelas
para murid.
Sebelumnya, telah ada ketetapan bersama Departemen PKK dan Departemen Agama
yang dikeluarkan pada 20 Januari 1951. Isi dari ketetapan itu adalah :
a. Pendidikan agama diberikan mulai kelas
IV Sekolah Rakyat selama 2 jam per minggu;
b. Di daerah-daerah yang masyarakat
agamanya kuat (misalnya di Sumatera, kalimantan, dan lain-lain), maka
pendidikan agama diberikan mulai pada kelas I SR dengan catatan bahwa mutu
pengetahuan umumnya tidak boleh berkurang di bandingkan dengan sekolah lain
yang pendidikan agamanya di berikan mulai kelas IV;
c. Di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dan
Tingkat Atas (umum dan kejuruan), diberikan pendidikan agama sebanyak 2 jam per
minggu, sesuai dengan agama para murid;
d. Untuk pelajaran ini, harus hadir
sekurang-kurangnya 10 orang murid untuk agama tertentu. Selama berlangsungnya
pelajaran agama, murid yang beragama lain boleh meninggalkan ruang belajar;
e. Sedangkan kurikulum dan bahan pelajaran
ditetapkan oleh Menteri Agama dengan persetujuan Menteri PKK.
5.
Lembaga
Pendidikan Islam
Setelah Indonesia
merdeka dan mempunyai Departemen Agama, maka secara instransional Departemen
Agama diserahi kewajiban dan bertanggung jawab tehadap pembinaan dan
pengembangan pendidikan agama dalam lembaga-lembaga tersebut. Lembaga
pendidikan agama Islam yang berstatus negeri dan ada yang berstatus swasta. Pendidikan
agama Islam mulai diajarkan secara resmi di sekolah-sekolah umum negeri pada
tahun 1946, dengan keluarnya SKB Menteri Agama dan Menteri P dan K. Sebagai
tindak lanjutnya ialah penyediaan dan pengadaan tenaga guru agama yang
ditugaskan di sekolah-sekolah umum negeri.
a. Perkembangan Madrasah
Madrasah sebagai
lembaga penyelenggara pendidikan diakui oleh negara secara formal pada tahun
1950. Hal ini sesuai dengan Undang-undang No. 4 tahun 1950 tentang dasar-dasar
Pendidikan dan Pengajaran di sekolah pasal 10. Jenjang pendidikan dengan sistem
madrasah terdiri dari tiga jenjang. Pertama, Madrasah Ibtidaiyah dengan lama
pendidikan 6 tahun. Kedua, Madrasah Tsanawiyah Pertama untuk 4 tahun. Ketiga,
Madrasah Tsanawiyah Atas untuk 4 tahun. Perjenjangan ini sesuai dengan gagasan
Mahmud Yunus sebagai Kepala Seksi Islam pada Kantor Agama Provinsi. Sedangkan
kurikulum yang diselenggarakan terdiri dari sepertiga pelajaran agama dan
sisanya pelajaran umum.
Perkembangan madrasah
yang cukup penting pada masa Orde Lama adalah berdirinya madrasah Pendidikan
Guru Agama (PGA) dan Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN). Tujuan pendiriannya
adalah untuk mencetak tenaga-tenaga profesional yang siap mengembangkan
madrasah sekaligus keagamaan profesional.
Sejarah perkembangan PGA dan PHIN bermula dari program Departemen Agama yang
ditangani oleh Drs. Abdullah Sigit sebagai penanggung jawab bagian pendidikan.
Pada tahun 1950, bagian itu membuka 2 lembaga pendidikan dan madrasah
profesional keguruan yaitu Sekolah Guru Agama Islam (SGAI) dan Sekolah Guru
Hakim Agama Islam (SGHAI). SGAI terdiri dari 2 jenjang yaitu jenjang jangka
panjang selama 5 tahun yg diperuntukkan bagi siswa tamatan SR/MI, dan yang kedua
jenjang jangka pendek selama 2 tahun yg diperuntukkan bagi lulusan SMP/MTs.
Sedangkan, SGHAI di tempuh selama 4 tahun yang diperuntukkan bagi lulusan
SMP/MTs.
Pada tahun 1951, sesuai dengan Ketetapan Manteri Agama 15 Februari 1951, kedua
madrasah ini di ubah namanya. SGAI menjadi PGA (Pendidikan Guru Agama) dan
SGHAI menjadi SGHA (Sekolah Guru Hakim Agama). Kemudian, pada masa H.M. Arifin
Tamyang menjadi kepala “Jawatan Pendidikan Agama” adalah badan yg merupakan
pengembangan dari bagian pendidikan di Departemen Agama. Ketentuan-ketentuan
tentang PGA dan SGHA di ubah. PGA pendidikannya menjadi 6 tahun dan terdiri
dari PGA pertama 4 tahun dan PGA atas 2 tahun. PGA jangka pendek dan SGHA
dihapuskan. Sebagai pengganti SGHA dididrikan PHIN ( Pendidikan Hakim Islam
Negeri ) dengan wakktu belajar 3 tahun yg diperuntukkan bagi lulusun PGA
pertama.
Pada era Orde Lama
perkembangan pendidikan Islam dimadrasah lebih fokus dan tajam dalam rangka
mengembangkan program-program perluasan dan peningkatan mutu madrasah, hal ini
dilakukan secara terprogram dan serius oleh Departemen Agama.
Melalui Undang-Undang nomor 4 tahun 1950 tentang Dasar-Dasar Pendidikan Dan
Pengajaran Disekolah pasal 10 menyatakan bahwa belajar disekolah agama yang
telah mendapat pengakuan Departemen Agama, sudah dianggap memenuhi kewajiban belajar.
Dengan demikian bahwa negara/ pemerintah mengakui secara sah dan formal bahwa
madrasah sebagai lembaga penyelenggara pendidikan. Sedangkan untuk mendapatkan
pengakuan dari Departemen Agama, maka madrasah harus memberikan mata pelajaran
agama sebagai mata pelajaran pokok dengan jumlah jam paling sedikit 6 jam
perminggu secara teratur disamping mata pelajaran umum.
Dengan persyaratan tersebut diadakan pendaftaran madrasah yang memenuhi syarat.
Perjenjangan ini
sesuai dengan gagasan Mahmud Yunus sebagai Kepala Seksi Islam pada Kantor Agama
Provinsi. Sedangkan kurikulum yang diselenggarakan terdiri dari sepertiga
pelajaran agama dan sisanya pelajaran umum. Rumusan kurikulum seperti itu
bertujuan untuk merespon pendapat umum yang menyatakan bahwa madrasah tidak
cukup mengajarkan agama dan untuk menjawab kesan tidak baik yang melekat kepada
madrasah, yaitu pelajaran umum madrasah tidak akan mencapai tingkat yang sama
bila dibandingkan dengan sekolah negeri/ umum.
b. Perkembangan Perguruan Tinggi Islam
Perguruan tinggi
Islam khusus terdiri dari fakultas-fakultas keagamaan mulai mendapat perhatian
pada tahun 1950. Pada tanggal 12 Agustus 1950, fakultas agama UII dipisahkan
dan diambil alih oleh pemerintah. Pada tanggal 26 September 1951 secara resmi
dibuka perguruan tinggi baru dengan nama PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam)
dibawah pengawasan Kementrian Agama.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kemerdekaan Indonesia membawa dampak baik terhadap
eksistensi pendidikan agama. Hal ini terbukti saat pemerintah member perhatian
khusus terhadap pendidikan agama. Seiring berjalannya waktu pendidikan agama
semakin menaiki tangga kesuksesannya, ia telah menjadi bagian dari pendidikan
nasional serta pendidikan agama pun telah mendapat pengakuan dari pemerintah,
seperti madrasah.
Pendidikan Islam pada masa Orde Lama terfokus kedalam dua
hal, pertama perkembangan dan peningkatan mutu madrasah sehingga diharapkan
mampu sejajar dengan sekolah umum, dan kedua memperluas jangkauan pengajaran
agama, tidak terbatas pada madrasah, tetapi menjangkau sekolah umum bahkan
perguruan tinggi umum. Kedua hal ini terkait erat dengan upaya pemerintah dalam
hal ini diwakili oleh Departemen Agama melakukan konvergensi dualisme
pendidikan yang telah tumbuh sejak masa kolonial.
Sehingga dengan dua hal tersebut warga negara yang menekuni disiplin ilmu agama
Islam tetap mendapatkan kemampuan dibidang umum dan mampu menyesuaikan serta bersaing
ditengah masyarakat yang sangat beragam dan komplek. Selain itu warga negara
yang menekuni disiplin ilmu umum kiranya juga tetap mendapatkan pengetahuan
agama yang sehingga bisa diterapkan dalam kewajiban ibadahnya, khususnya mereka
yang memeluk agama Islam mampu mengaplikasikan kompetensi dengan tetap didasari
dengan Iman dan Taqwa.
B.
Saran-saran
1.
Sejarah perkembangan
pendidikan Islam telah melalui perjuangan yang fluktuatif, sebagai generasi
bangsa, seyogyanya kita mengisi kemerdekaan berpendidikan sekarang ini dengan
sebaik-baiknya;
2.
Masyarakat merupakan
basis utama dalam proses penerapan pendidikan Islam, seyogyanya masyarakat
dapat dengan antusias dan penuh tanggung jawab mengikuti pendidikan Islam
secara berkelanjutan;
3.
Pemerintah sebagai
pemegang kebijakan dan kewenangan dalam pendidikan, seyogyanya dapat secara
bertanggung jawab dan berkesinambungan dalam pengembangan pendidikan Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Hanun Asrohah. 1999. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta
: Logos Wacana Ilmu.
Hasan Basri. 2009. Filsafat
Pendidikan Islam, Cetakan I. Bandung : Pustaka Setia.
http://haanadza.blogspot.com/2008/03/pendidikan-Islam-pada-masa-orde-lama.html,
diakses pada 25/05/2013.
http://makalah-ibnu.blogspot.com/2009/12/sistem-pendidikan-Islam-pada-masa-orde.html,
diakses pada 25/05/2013.
Muhaimin.
2001. Paradigma Pendidikan Islam : Upaya
Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah. Bandung : Rosdakarya.
Mustafa dan Abdullah. 1997. Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia. Bandung : Pustaka Setia.
Nizar Samsul. 2007. Sejarah
Pendidikan Islam. Bandung : Kencana.
[1] http://haanadza.blogspot.com/2008/03/pendidikan-Islam-pada-masa-orde-lama.html,
diakses pada 25/05/2013.
[2] Drs. Hasan Basri, M.Ag, Filsafat Pendidikan Islam, Cetakan I, (Bandung : Pustaka Setia, 2009), hal. 11.
[3] Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam : Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama
Islam di Sekolah, (Bandung : Rosdakarya, 2001), hal. 37.
[7] http://makalah-ibnu.blogspot.com/2009/12/sistem-pendidikan-Islam-pada-masa-orde.html,
diakses pada 25/05/2013.
[8] Mustafa dan Abdullah, Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia, (Bandung
: Pustaka Setia, 1997), hal. 128-129.
[11] http://haanadza.blogspot.com/2008/03/pendidikan-Islam-pada-masa-orde-lama.html,
diakses pada 25/05/2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan tulis komentar Anda