BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Dunia ilmu pengetahuan
berkembang begitu pesat. Penelitian demi penelitian terus dilakukan, dan
penemuan-penemuan baru pun ditemukan. Hal-hal yang dahulu dianggap
tidak berguna, nampak sepele, bahkan mungkin menjijikkan, kini berubah menjadi
sesuatu yang bernilai ekonomis dan diperlukan.
Sesuai dengan kemajuan zaman
dan meningkatnya kebutuhan kehidupan manusia, otak manusia nampaknya terus
berinovasi dan berkreasi untuk menemukan hal-hal baru dalam rangka memenuhi
kebutuhan hidupnya. Adanya krisis moneter membawa hikmah dan
berkah. Bukan saja menyadarkan manusia akan kelemahan dan kekerdilannya di
tengah himpitan dan gempuran badai kehidupan, di hadapan ke-Mahabesar-an al-Khaliq, tetapi
juga memaksa manusia untuk memeras otaknya agar dapat survive dalam
percaturan hidup dan kehidupan ini.
Belakangan ini marak bisnis ternak cacing dan jangkrik
seiring dengan meningkatnya permintaan di pasar terutama untuk pengobatan,
kosmetik dan pakan ikan. Menurut data Pusat Inkubator Bisnis Inkopin (PIBI)
Jawa Barat menunjukkan bahwa setiap tiga bulan industri farmasi, kosmetik dan
pakan ikan di wilayah Jawa Barat memerlukan 12.8 ton. Sementara untuk kebutuhan
ekspor ke Korea Selatan, sedikitnya 35.000 ton perbulan. Menurut Jawa Pos
permintaan negara Thailand lebih dari 120 ton perbulan. Sedangkan hasil ternak
jangkrik biasanya untuk konsumsi makanan burung piaraan. Pertanyaan yang timbul
mengingat bahwa media hidup cacing ternak adalah kotoran sapi perah yang
dicampur dengan tanah dan sayuran serta limbah atau sampah restoran sedangkan
pakan ternak jangkrik adalah sayur-sayuran.
Pertanyaan yang sering muncul adalah bagaimanakah
hukum halal-haramnya cacing dan jangkrik? Dapatkah cacing dan jangkrik
dijadikan sebagai objek bisnis? Bolehkah kita mengkonsumsi cacing untuk obat
seperti dalam ramuan shin she yang menggunakan cacing kering
untuk mengobati sakit tipes?
B.
Perumusan
Masalah
Berdasarkan uraian
latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan-permasalahan
sebagai berikut :
1. Bagaimana
hukum halal-haramnya penggunaan cacing dan jangkrik bagi manusia?
2. Bagaimana
hukum membudidayakan cacing dan jangkrik menurut pandangan Islam?
C.
Tujuan
Pembahasan
Berdasarkan uraian
latar belakang masalah dan perumusan masalah di atas, maka tujuan pembahasan
dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk
mengetahui bagaimana hukum halal-haramnya penggunaan cacing dan jangkrik bagi
manusia;
2. Untuk
mengetahui bagaimana hukum membudidayakan cacing dan jangkrik menurut pandangan
Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Budidaya
Cacing dan Jangkrik
Cacing tanah termasuk
hewan tingkat rendah karena tidak mempunyai tulang belakang (invertebrata). Cacing tanah termasuk
kelas Oligochaeta. Famili terpenting
dari kelas ini Megascilicidae dan Lumbricidae. Cacing tanah bukanlah
hewan yang asing bagi masyarakat kita, terutama bagi masyarakat pedesaan. Namun
hewan ini mempunyai potensi yang sangat menakjubkan bagi kehidupan dan
kesejahteraan manusia.
Jenis-jenis yang paling banyak
dikembangkan oleh manusia berasal dari family Megascolicidae dan Lumbricidae
dengan genus Lumbricus, Eiseinia,
heretima, Perionyx, Diplocardi dan Lidrillus.
Beberapa jenis cacing tanah yang kini banyak diternakan antara lain:
Pheretima, Periony dan Lumbricus. Ketiga jenis cacing tanah ini menyukai bahan organik yang berasal dari pupuk kandang dan sisa-sisa tumbuhan.[1] Cacing tanah jenis Lumbricus mempunyai bentuk tubuh pipih. Jumlah segmen yang dimiliki sekitar 90-195 dan klitelum yang terletak pada segmen 27-32. Biasanya jenis ini kalah bersaing dengan jenis yang lain sehingga tubuhnya lebih kecil. Tetapi bila diternakkan besar tubuhnya bisa menyamai atau melebihi jenis lain.
Beberapa jenis cacing tanah yang kini banyak diternakan antara lain:
Pheretima, Periony dan Lumbricus. Ketiga jenis cacing tanah ini menyukai bahan organik yang berasal dari pupuk kandang dan sisa-sisa tumbuhan.[1] Cacing tanah jenis Lumbricus mempunyai bentuk tubuh pipih. Jumlah segmen yang dimiliki sekitar 90-195 dan klitelum yang terletak pada segmen 27-32. Biasanya jenis ini kalah bersaing dengan jenis yang lain sehingga tubuhnya lebih kecil. Tetapi bila diternakkan besar tubuhnya bisa menyamai atau melebihi jenis lain.
Cacing tanah jenis Pheretima segmennya mencapai 95-150 segmen.
Klitelumnya terletak pada segmen 14-16. Tubuhnya berbentuk gilik panjang dan
silindris berwarna merah keunguan. Cacing tanah yang termasuk jenis Pheretima antara lain cacing merah,
cacing koot dan cacing kalung. Cacing tanah jenis Perionyx berbentuk gilig berwarna ungu tua sampai merah kecokelatan
dengan jumlah segmen 75-165 dan klitelumnya terletak pada segmen 13 dan 17.
Cacing ini biasanya agak manja sehingga dalam pemeliharaannya diperlukan
perhatian yang lebih serius. Cacing jenis Lumbricus
Rubellus memiliki keunggulan lebih dibanding kedua jenis yang lain di atas,
karena produktivitasnya tinggi (penambahan berat badan, produksi telur/anakan
dan produksi bekas cacing serta tidak banyak bergerak
Dalam bidang pertanian, cacing
menghancurkan bahan organik sehingga memperbaiki aerasi dan struktur tanah.
Akibatnya lahan menjadi subur dan penyerapan nutrisi oleh tanaman menjadi baik.
Keberadaan cacing tanah akan meningkatkan populasi mikroba yang menguntungkan
tanaman. Selain itu juga cacing tanah dapat digunakan sebagai:
1.
Bahan pakan
ternak. Berkat kandungan protein, lemak dan mineralnya yang tinggi, cacing
tanah dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak seperti unggas, ikan, udang dan
kodok.
2.
Bahan baku obat
dan bahan ramuan untuk penyembuhan penyakit. Secara tradisional cacing
tanah dipercaya dapat meredakan demam, menurunkan tekanan darah, menyembuhkan
bronchitis, reumatik sendi, sakit gigi dan tipus.
3.
Bahan baku
kosmetik. Cacing dapat diolah untuk digunakan sebagai pelembab kulit dan
bahan baku pembuatan lipstik.
4.
Makanan manusia.
Cacing merupakan sumber protein yang berpotensi untuk dimasukkan sebagai bahan
makanan manusia seperti halnya daging sapi atau ayam.
Binatang lain yang banyak
dibudidayakan adalah jangkrik. Serangga yang
di malam hari sering memamerkan kebolehan suaranya yang nyaring,
penuh irama, dan indah yang oleh karenanya disebut "Sharikh
al-Lail" itu, kini ternyata sangat diperlukan untuk pakan
burung-burung piaraan.[2]
Pada saat
belum banyak taman burung dan pencinta yang gandrung memeliharanya,
burung-burung bebas mencari makanan sendiri sesuai dengan seleranya. Setelah
banyak taman burung dan banyak pencinta binatang menjadikan burung sebagai
piaraan kesayangannya, kini burung-burung itu telah menjadi makhluk yang manja, bak raja dan ratu yang tinggal di
istana indah, menyanyi dan bersukaria, dengan memaksa para pencintanya menjadi
pelayan setianya. Mau tidak mau, mereka harus menyediakan menu makanan yang
lezat dan cukup untuk keperluan hidup kesehariannya.
Di antara
jenis serangga yang disajikan sebagai menu istimewa bangsa burung tersebut
adalah jangkrik. Bahkan ada burung tertentu yang apabila tidak
diberi makanan jangkrik, suaranya parau, tidak bagus, tetapi begitu diberi
makanan jangkrik, langsung berkicau dan manggung/bersuara nyaring dan indah.[3] Nampaknya
kenyaringan suara jangkrik yang dimakannya itu langsung mempengaruhi kicau dan
suara si burung tersebut.
Kondisi tersebut mau tidak mau mendorong manusia untuk memeras otaknya,
agar dengan cara mudah bisa mendapatkan jangkrik yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan makanan burung-burung piaraan kesayangannya. Dari sini muncullah
budidaya jangkrik. Dengan demikian, jangkrik yang tadinya hanya dapat dinikmati
suaranya, kini telah menjadi sesuatu yang berharga yang membuka lapangan kerja
dan peluang usaha.
B.
Hukum
Budidaya Cacing dan Jangkrik menurut Islam
Imam Syafi'i
dalam ar-Risalah menegaskan bahwa tak satu pun permasalahan
kehidupan yang dihadapi oleh umat Islam kecuali hal itu ada solusinya (dapat
diketahui status hukumnya) dalam al-Quran al-Karim (ada yang
langsung/manshush dan ada yang tidak langsung/ ghairu
manshush/maskut 'anhu).[4]
Hal yang sama berlaku pada sunah sejalan dengan penegasan Rasul :
اَلاَ وَاِنِّى اُوْتِيْتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ
"Ketahuilah, aku diberi kitab suci al-Qur'an,
dan sunah yang kedudukannya sama dengan al-Qur'an".[5]
Dari
penegasan Imam Syafi'i tersebut muncullah teori dalam kajian Ushul Fiqh bahwa
kasus hukum (kasus yang ingin diketahui hukumnya) yang dihadapi oleh
umat manusia itu dapat diklasifikasikan menjadi dua. Pertama, kasus yang ingin
diketahui hukumnya itu telah manshush (ditegaskan hukumnya secara langsung, tegas, dan
jelas) oleh teks al-Qur'an atau sunah. Kedua, ghairu
manshush / maskut 'anhu (belum atau tidak ditegaskan hukumnya)
oleh al-Qur'-an atau sunah.[6]
Untuk
kelompok pertama berlaku prinsip La Majala Lahu lil-Ijitihad (tidak
berlaku dan tidak diperlukan ijtihad); sementara itu untuk mengetahui status
hukum kelompok kedua berlaku prinsip La-hu Majal li-Ijtihad (berlaku
dan diperlukan ijtihad).[7]
Menurut
hemat penulis, masalah budidaya cacing dan jangkrik termasuk kategori ghairu
manshush/maskut 'anhu yang untuk mengetahui status hukumnya diperlukan
ijtihad. Dengan demikian masalahnya adalah ijtihadi.Menurut hemat
penulis, pemecahan terhadap masalah ini dapat ditempuh lewat tiga
pendekatan sebagai berikut :
·
Lewat
pendekatan kaidah yang dipedomani oleh jumhur fuqaha :
اَلاَصْلُ فِى الْمَنَا فِعِ
اَلاِبَاحَةُ
"Pada
dasarnya segala sesuatu yang bermanfaat adalah mubah/halal"[8]
1. Pendekatan
Kaidah al-Ashlu fi al-Manafi' al-Ibahah.
Budidaya
cacing dan jangkrik merupakan kasus baru, hukumnya belum/tidak ditegaskan,
bahkan belum disinggung sama sekali oleh al-Qur'an dan sunah. Dengan
demikian masalah tersebut termasuk katagori maskut 'anhu. Jumhur
fuqaha' berpendapat bahwa untuk menyelesaikan masalah yang maskut
'anhu hendaklah berpedoman pada kaidah :
اَلاَصْلُ فِى الْمَنَا فِعِ اَلاِبَاحَةُ
"Pada dasarnya segala
sesuatu yang bermanfaat adalah boleh/halal".
Kaidah ini besumber
dari:
هُوَ
الَّذِىْ خَلَقَ لَكُمْ مَا فِىالاَرْضِ جَمِيْعًا
وَسَخَّرَلَكُمْ مَا فِى السَّمَوَاتِ
وَمَا فِى الاَرْضِ جَمِيْعًا مِنْهُ
"Allah menundukkan
untukmu semua yang ada di langit dan di bumi (sebagai rahmat) dari-Nya". (al-Jasiyah : 13).
اَلَمْ
تَرَوْا اَنَّ اللهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَا فِىالسَّمَوَاتِ وَمَا فِى الاَرْضِ
وَاَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُ ظَاهِرَةً وَبَاطِنَةً
"Tidakkah kamu
memperhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untukmu apa yang ada di
langit dan apa yang ada di bumi dan menyempurnakan untukmu ni'mat-Nya lahir dan
batin". (Luqman : 20)[12]
Wajah
istidlal/metode pengambilan dalil
ketiga ayat di atas ialah, bahwa semua yang ada di muka bumi
dan di langit itu diciptakan oleh Allah SWT untuk kepentingan umat manusia. Ini
berarti semuanya itu halal bagi umat manusia, kecuali
bila membahayakan atau ada nashsh yang menyatakan keharamannya.
مَااَحَلَّ
اللهُ فِى كِتَابِهِ فَهُوَ حَلاَلٌ وَمَاحَرَّمَ فَهُوَ حَرَامٌ وَمَاسَكَتَ
عَنْهُ فَهُوَ عَفْوٌ فَاَقْبَلُوْا مِنَ اللهِ عَافِيَتَهُ فَاِنَّ اللهَ لَمْ يَكُنْ
لِيَنْسَى شَيْئًا
"Apa-apa yang dihalalkan
oleh Allah dalam kitab-Nya (al-Qur'an) adalah halal, apa-apa yang
diharamkan-Nya, hukumnya haram, dan apa-apa yang Allah diamkan/tidak dijelaskan
hukumnya, dimaafkan. Untuk itu terimalah pemaafan-Nya, sebab Allah tidak pernah
lupa tentang sesutu apa pun". (HR.
al-Hakim).
اِنَّ اللهَ
فَرَضَ فَرَائِضَ فَلاَ تُضَيِّعُوْهَا وَحَدَّ حُدُوْدًا فَلاَ تَعْتَدُوْهَا
وَحَرَّمَ اّشْيَاءَ فَلاَ تَنْتَهِكُوهَا وَسَكَتَ عَنْ اَشْيَاءَ رَحْمَةً
بِكُمْ مِنْ غَيْرِ نِسْيَانٍ فَلاَ تَبْحَثُوْا عَنْهَا
"Sesungguhnya Allah telah
mewajibkn beberapa kewajiban, maka janganlah kamu sia-siakan, menentukan
beberapa ketentuan, janganlah kamu langgar, mengharamkan
beberapa keharaman, janganlah kamu rusak. Dan Allah tidak menjelaskan hukum
beberapa hal karena sayang kepadamu, janganlah kamu cari-cari hukumnya." (HR. Turmuzi dan Ibnu
Majah).
Wajah
istidlal kedua hadis di atas
ialah bahwa ada beberapa hal yang sengaja tidak
dijelaskan hukumnya oleh Allah. Tidak dinyata-kan halal dan tidak pula
dinyatakan haram. Hal ini bukan karena Allah lupa (sebab Allah memang tidak
pernah lupa), tetapi karena kasih sayang Allah kepada hamba-Nya. Ini
menunjukkan bahwa sesuatu yang tidak ditegaskan halal atau haram itu, hukumnya
adalah halal. Tentu selama hal itu bermanfaat, tidak membahayakan.
Budidaya
cacing dan jangkrik dalam rangka menciptakan lapa-ngan
kerja baru, mengatasi pengangguran, dan memecahkan masalah PHK jelas
sangat bermanfaat. Oleh karena termasuk maskut 'anhu maka sesuai dengan keumuman ayat dan hadis di
atas, dan sejalan dengan kaidah al-Ashlu fi al-Manfi' al-Ibahah, menurut hemat penulis budidaya cacing dan
jangkrik tersebut hukumnya jelas mubah /halal.
2. Pendekatan maslahah
mursalah/istislah.
Al-Ghazali
menyatakan bahwa maslahah mursalah adalah :
مَالَمْ
يَشْهَدْ لَهُ مِنَ الشَّرْعِ بِالْـبُطْلاَنِ وَلاَ بِالاِعْتِبَارِ نَصٌّ
مُعَيَّنٌ
"Maslahat/kemaslahatan
yang tidak ditunjukkan oleh dalil tertentu dari syara', yang membatalkan atau
membenarkannya."[13]
Dalam
menanggapi masalah yang tidak ada penegasan hukumnya di dalam al-Qur'an, sunah,
dan ijma' serta tidak dapat diselesaikan lewat qiyas, al-Ghazali selaku
tokoh Ushuliyyin mazhab Syafi'i, Imam Malik dan mayoritas ashab-nya,
Mayoritas mazhab Hanbali berpendapat bahwa masalah semacam itu dapat
diselesaikan melalui metodologi istishlah atau berdasarkan maslahah mursalah.
Budidaya
cacing dan jangkrik jelas merupakan maslahah mursalah, yaitu suatu
maslahat/kemaslahatan yang tidak ada dalil tertentu baik dari al-Qur'an maupun
sunah yang membenarkan atau yang membatalkannya. Bukankah hal tersebut -
seperti telah disinggung di atas - dapat membuka lapangan kerja, mengatasi
pengangguran akibat PHK, dan menghasilkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup
manusia? Hasil budidayanya, yaitu cacing dapat dimanfaatkan untuk
menyuburkan tanah, mengatasi masalah sampah, bahan obat-obatan dan kosmetika,
yang juga bernilai ekonomis. Mengenai jangkrik, dapat dimanfaatkan untuk
makanan burung yang juga bisa mendatangkan peluang usaha. Bahkan ada beberapa restoran yang
menghidangkan menu jangkrik.
Berdasarkan
analisis ini jelas budidaya cacing dan jangkrik untuk keperluan sebagaimana
telah disebutkan di atas dapat dibenarkan (mubah/halal).
3. Pendekatan Maqasid
Syari'ah.
Ulama telah
konsensus bahwa tujuan pokok pen-syari'at-an / penetapan hukum Islam adalah
untuk mewujudkan kemaslahatan. Atas dasar ini maka muncullah suatu prinsip yang
populer di kalangan fuqaha' dan ushuliyyin :
اَيْنَمَا
كَانَتِ الْمَصْلَحَةُ فَثَمَّ حُكْمُ اللهِ
"Di mana ada maslahat, di
sanalah hukum Allah"
Artinya, maslahat yang tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum Islam dapat dijadikan pertimbangan
penetapan hukum Islam.[14]
Sebagaimana
telah disebutkan di atas, budidaya cacing dan jangkrik jelas merupakan
maslahat. Dan masalahat ini tidak berlawanan dengan prinsip-prinsip umum tujuan
pensyari'atan hukum Islam. Menurut hemat penulis, justru amat sejalan.
Sebagaimana diketahui, tujuan umum pensyari'atan hukum Islam adalah untuk
mewujudkan kemaslahatan dan menghindarkan kerusakan/bencana (جَلْبُ الْمَصَالِحِ وَدَفْعُ
الْمَفَاسِدِ/اَلْمَضَارِّ). Hal ini
direalisasikan dengan memelihara lima hal yang menjadi kebutuhan primer hidup
dan kehidupan manusia ( اَلْمُحَافَظَةُ
عَلَى الضَّرُوْرِيَّاتِ الْخَمْسِ ), yaitu agama, akal, jiwa, harta, dan
kehormatan/keturunan.
Menurut
hemat penulis, budidaya cacing dan jangkrik sebagai upaya mencari sumber ma'isyah untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia
adalah maslahat/kemaslahatan yang berhubungan dengan upaya memelihara harta
yang juga amat bersinggungan dengan kebutuhan primer yang lain, yakni agama,
jiwa, akal, dan kehormatan/keturunan. Sebab dengan budidaya itu
diharapkan dapat diperoleh sumber penghasilan/ uang. Dengan uang yang memadai
diharapkan akan tercukupi kebutuhan hidup seseorang dengan baik. Dengan
tercukupi kebutuhan hidupnya dengan baik, akan sehat fisiknya, terpelihara
jiwanya, sehat akalnya, terpelihara kehormatan/keturunannya, dan agamanya.
Bukankah al-Qur'an telah menegaskan bahwa uang/harta merupakan tulang punggung
kehidupan?[15] Bukankah Rasulullah telah menegaskan bahwa kefakiran
dapat berdampak pada kekufuran?[16]
Atas
dasar ini maka lewat pendekatan maqasid syari'ah, budidaya
cacing dan jangkrik sebagai upaya mencari sumber penghidupan, menurut hemat
penulis hukumnya jelas halal. Bahkan bisa menjadi wajib bila tidak ada lapangan
kerja lain selain itu. Sementara itu ia dituntut harus memenuhi kebutuhan hidup
dirinya dan keluarganya, Mim Babi Ma La Yatimmu al-Wajib Illa Bih
fahuwa Wajib. Bukankah pelaksanaan ibadah amat berkaitan dengan
pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, berupa papan, pangan, dan sandang?
Dari urain
di atas dapat diambil kesimpulan bahwa status hukum budidaya cacing dan
jangkrik dengan tujuan sebagaimana telah disebutkan di atas, baik lewat
pendekatan kaidah al-Aslu fi al-Mana-fi' al-Ibahah, maslahah mursalah, maupun maqasid
syari'ah adalah mubah/halal.
Demikian juga berdasarkan Keputusan
Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor Kep-139/MUI/IV/2000 tentang Makan dan
Budidaya Cacing dan Jangkrik bahwa membudidayakan cacing dan jangkrik hukumnya
adalah mubah atau boleh.[17]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian
pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
1. Membudidayakan
cacing untuk diambil sendiri manfaatnya, tidak untuk dimakan atau dijual,
hukumnya mubah atau boleh;
2. Membudidayakan
jangkrik untuk diambil manfaatnya, untuk obat/kosmetik misalnya, untuk dimakan
atau dijual, hukumnya adalah mubah atau boleh/halal, sepanjang tidak
menimbulkan bahaya/mudarat.
B.
Saran
1. Meskipun
membudidayakan cacing maupun jangkrik itu mubah, sebaiknya kita berhati-hati
dalam pemanfaatannya sehingga tidak sampai menyebabkan bahan tersebut memberi
mudarat bagi penggunanya;
2. Masih
banyak jenis makanan lain yang lebih sehat dan aman untuk dikonsumsi, sehingga
sebaiknya kita menghindari mengkonsumsi cacing dan jangkrik.
DAFTAR PUSTAKA
Abu
Dawud. (1955). Sunan Abi Dawud, Juz IV. Beirut
: Dar al-Fikri.
Al
Amidi. (1985). al-Ihkam fi Ushul
al-Ahkam, Juz IV. Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah.
Al
Asnawi. (1982). Nihayah as-Sul fi Syarh
Minhaj al Wusul. Beirut : ‘Alam al Kutub.
Ar-Razi.
(1988). al-Mashhul fi ‘Ilm al-Ushul, Juz
II. Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah.
Asy-Syafi’i.
(1947). Ar-Risalah. al-Qahirah : al-Babi
al-Halabi.
Departemen
Agama Republik Indonesia. (1989). Al-Qur'an
dan Terjemahnya. Semarang : Toha Putra.
Dyah
Habib & Ali Akipin. (1999). Tabloid
Peluang No. 41 Tahun I/20-26 Agustus 1999.
Onny
Untung. (1999). Majalah Trubus No. 357,
Edisi Agustus 1999.
[6] Ar-Razi, al-Mahshul fi 'Ilm al-Ushul,
(Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, 1988), juz II, hal. 39, al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul
al-ahkam, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Imiyah, 1985), juz IV, hal. 164, Abd al-Wahhab al-Khallaf, Mashadir
at-Tasyri' fi Ma la Nashsha Fih, (Damsyiq: Dar al-Qalam, t.th.), hal. 8 - 10.
[8] Al-Asnawi, Nihayah as-Sul fi
Syarh Minhaj al-Wusul, (Beirut: 'Alam al-Kutub, 1982),
juz IV, hal. 352
[9] Al-Ghazali, al-Mustasfa min 'Im al-Ushul,
(Beirut: Dar al-Fikr, 1967), juz I, hal. 286-287, Asy-Syatibi, al-I'tisham, (Beirut:
Dar al-Ma'rifah, 1957), juz II, hal. 113-115, al-Muwafaqat fi Ushul asy-Syari'ah, (Beirut:
Dar al-Fikr, 1977), juz I, hal. 16
[10] Abdullah Darraz, Syarh Jalil 'ala
al-Muwafaqat, (Beirut: Dar al-Malayiin, 1987), juz I, hal. 5-6
[11] Departemen
Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan
Terjemahnya, (Semarang : Toha Putra,
1989), hal. 13.
[12] Ibid., hal. 655.
[14] Yusuf al-Qardlawi, al-Ijtihad
al-Mu'ashir, (Bairut: Dar at-Tauzi' wa-an-Nasyr al-Islami, 1994), hal. 68.
[17]
Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor Kep-139/MUI/IV/2000 tentang
Makan dan Budidaya Cacing dan Jangkrik.
An-Nu'man bin Basyir berkata, "Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda, 'Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan di antara keduanya terdapat hal-hal musyabbihat (syubhat / samar, tidak jelas halal-haramnya), yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia. Barangsiapa yang menjaga hal-hal musyabbihat, maka ia telah membersihkan kehormatan dan agamanya. Dan, barangsiapa yang terjerumus dalam syubhat, maka ia seperti penggembala di sekitar tanah larangan, hampir-hampir ia terjerumus ke dalamnya. Ketahuilah bahwa setiap raja mempunyai tanah larangan, dan ketahuilah sesungguhnya tanah larangan Allah adalah hal-hal yang diharamkan-Nya. Ketahuilah bahwa di dalam tubuh ada sekerat daging. Apabila daging itu baik, maka seluruh tubuh itu baik; dan apabila sekerat daging itu rusak, maka seluruh tubuh itu pun rusak. Ketahuilah, dia itu adalah hati.'" (HR. Bukhori)[1]
BalasHapusCatatan Kaki:
[1] Saya (Sofyan Efendi) mengambil hadits ke-6 ini langsung dari kitab Ringkasan Shahih Bukhari karya Al-Albani, karena saya melihat arti (terjemahan) yang disampaikan kurang tepat. Tulisan aslinya adalah sebagai berikut: Dari Abu Abdillah Nu’man bin Basyir rodhiyallohu’anhu, dia berkata: ”Aku pernah mendengar Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda: ’Sesungguhnya sesuatu yang halal telah jelas serta yang haram juga telah jelas dan diantara keduanya terdapat perkara-perkara syubhat (yang masih samar/tidak jelas); yang kebanyakan manusia tidak mengetahui (hukum)nya. Barangsiapa yang berhati-hati terhadap perkara syubhat, maka sesungguhnya dia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Dan barangsiapa yang terjerumus kepada perkara syubhat, pasti akan terjerumus kepada yang haram. Seperti halnya seorang penggembala yang menggembala di sekitar daerah larangan, sehingga dikhawatirkan hampir-hampir (menggembala) di dalamnya. Ingatlah bahwa tiap-tiap raja mempunyai larangan. Ingatlah bahwa larangan Alloh adalah apa-apa yang diharamkan-Nya. Ingatlah bahwa di dalam tubuh ada segumpal daging, jika baik, maka baiklah seluruh tubuhnya, jika ia rusak maka rusaklah seluruh tubuhnya. Ingatlah, ia adalah jantung.” (HR. Bukhori dan Muslim). Padahal kalimat yang tepat bukan menyatakan "pasti", tapi "hampir-hampir" serta segumpal daging tersebut adalah "hati", bukan "jantung". Wallaahu'alam. Saya memohon ampun kepada Allah jika seandainya saya yang salah.