Selasa, 06 November 2012

Hukum Budidaya Cacing dan Jangkrik


BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang Masalah
Dunia ilmu pengetahuan berkembang begitu pesat. Penelitian demi penelitian terus dilakukan, dan penemuan-penemuan baru pun ditemukan. Hal-hal yang  dahulu dianggap tidak berguna, nampak sepele, bahkan mungkin menjijikkan, kini berubah menjadi sesuatu yang bernilai ekonomis dan diperlukan. 
Sesuai dengan kemajuan zaman dan meningkatnya kebutuhan kehidupan manusia, otak manusia nampaknya terus berinovasi dan berkreasi untuk menemukan hal-hal baru dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Adanya krisis moneter membawa hikmah dan berkah. Bukan saja menyadarkan manusia akan kelemahan dan kekerdilannya di tengah himpitan dan gempuran badai kehidupan, di hadapan ke-Mahabesar-an al-Khaliq, tetapi juga memaksa manusia untuk memeras otaknya agar dapat survive dalam percaturan hidup dan kehidupan ini.
Belakangan ini marak bisnis ternak cacing dan jangkrik seiring dengan meningkatnya permintaan di pasar terutama untuk pengobatan, kosmetik dan pakan ikan. Menurut data Pusat Inkubator Bisnis Inkopin (PIBI) Jawa Barat menunjukkan bahwa setiap tiga bulan industri farmasi, kosmetik dan pakan ikan di wilayah Jawa Barat memerlukan 12.8 ton. Sementara untuk kebutuhan ekspor ke Korea Selatan, sedikitnya 35.000 ton perbulan. Menurut Jawa Pos permintaan negara Thailand lebih dari 120 ton perbulan. Sedangkan hasil ternak jangkrik biasanya untuk konsumsi makanan burung piaraan. Pertanyaan yang timbul mengingat bahwa media hidup cacing ternak adalah kotoran sapi perah yang dicampur dengan tanah dan sayuran serta limbah atau sampah restoran sedangkan pakan ternak jangkrik adalah sayur-sayuran.
Pertanyaan yang sering muncul adalah bagaimanakah hukum halal-haramnya cacing dan jangkrik? Dapatkah cacing dan jangkrik dijadikan sebagai objek bisnis? Bolehkah kita mengkonsumsi cacing untuk obat seperti dalam ramuan shin she yang menggunakan cacing kering untuk mengobati sakit tipes?
B.     Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan-permasalahan sebagai berikut :
1.      Bagaimana hukum halal-haramnya penggunaan cacing dan jangkrik bagi manusia?
2.      Bagaimana hukum membudidayakan cacing dan jangkrik menurut pandangan Islam?
C.     Tujuan Pembahasan
Berdasarkan uraian latar belakang masalah dan perumusan masalah di atas, maka tujuan pembahasan dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Untuk mengetahui bagaimana hukum halal-haramnya penggunaan cacing dan jangkrik bagi manusia;
2.      Untuk mengetahui bagaimana hukum membudidayakan cacing dan jangkrik menurut pandangan Islam.


BAB II
PEMBAHASAN

A.     Budidaya Cacing dan Jangkrik
Cacing tanah termasuk hewan tingkat rendah karena tidak mempunyai tulang belakang (invertebrata). Cacing tanah termasuk kelas Oligochaeta. Famili terpenting dari kelas ini Megascilicidae dan Lumbricidae. Cacing tanah bukanlah hewan yang asing bagi masyarakat kita, terutama bagi masyarakat pedesaan. Namun hewan ini mempunyai potensi yang sangat menakjubkan bagi kehidupan dan kesejahteraan manusia.
Jenis-jenis yang paling banyak dikembangkan oleh manusia berasal dari family Megascolicidae dan Lumbricidae dengan genus Lumbricus, Eiseinia, heretima, Perionyx, Diplocardi dan Lidrillus.
Beberapa jenis cacing tanah yang kini banyak diternakan antara lain:
Pheretima, Periony dan Lumbricus. Ketiga jenis cacing tanah ini menyukai bahan organik yang berasal dari pupuk kandang dan sisa-sisa tumbuhan.[1] Cacing tanah jenis Lumbricus mempunyai bentuk tubuh pipih. Jumlah segmen yang dimiliki sekitar 90-195 dan klitelum yang terletak pada segmen 27-32. Biasanya jenis ini kalah bersaing dengan jenis yang lain sehingga tubuhnya lebih kecil. Tetapi bila diternakkan besar tubuhnya bisa menyamai atau melebihi jenis lain.
Cacing tanah jenis Pheretima segmennya mencapai 95-150 segmen. Klitelumnya terletak pada segmen 14-16. Tubuhnya berbentuk gilik panjang dan silindris berwarna merah keunguan. Cacing tanah yang termasuk jenis Pheretima antara lain cacing merah, cacing koot dan cacing kalung. Cacing tanah jenis Perionyx berbentuk gilig berwarna ungu tua sampai merah kecokelatan dengan jumlah segmen 75-165 dan klitelumnya terletak pada segmen 13 dan 17. Cacing ini biasanya agak manja sehingga dalam pemeliharaannya diperlukan perhatian yang lebih serius. Cacing jenis Lumbricus Rubellus memiliki keunggulan lebih dibanding kedua jenis yang lain di atas, karena produktivitasnya tinggi (penambahan berat badan, produksi telur/anakan dan produksi bekas cacing serta tidak banyak bergerak
Dalam bidang pertanian, cacing menghancurkan bahan organik sehingga memperbaiki aerasi dan struktur tanah. Akibatnya lahan menjadi subur dan penyerapan nutrisi oleh tanaman menjadi baik. Keberadaan cacing tanah akan meningkatkan populasi mikroba yang menguntungkan tanaman. Selain itu juga cacing tanah dapat digunakan sebagai:
1.         Bahan pakan ternak. Berkat kandungan protein, lemak dan mineralnya yang tinggi, cacing tanah dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak seperti unggas, ikan, udang dan kodok.
2.         Bahan baku obat dan bahan ramuan untuk penyembuhan penyakit. Secara tradisional cacing tanah dipercaya dapat meredakan demam, menurunkan tekanan darah, menyembuhkan bronchitis, reumatik sendi, sakit gigi dan tipus.
3.         Bahan baku kosmetik. Cacing dapat diolah untuk digunakan sebagai pelembab kulit dan bahan baku pembuatan lipstik.
4.         Makanan manusia. Cacing merupakan sumber protein yang berpotensi untuk dimasukkan sebagai bahan makanan manusia seperti halnya daging sapi atau ayam.
Binatang lain yang banyak dibudidayakan adalah jangkrik. Serangga yang di malam hari sering memamerkan kebolehan suaranya yang  nyaring, penuh irama, dan indah yang oleh karenanya disebut "Sharikh al-Lail" itu, kini ternyata sangat diperlukan untuk pakan burung-burung piaraan.[2]
Pada saat belum banyak taman burung dan pencinta yang gandrung memeliharanya, burung-burung bebas mencari makanan sendiri sesuai dengan seleranya. Setelah banyak taman burung dan banyak pencinta binatang menjadikan burung sebagai piaraan kesayangannya, kini burung-burung itu telah menjadi makhluk yang manja, bak raja dan ratu yang tinggal di istana indah, menyanyi dan bersukaria, dengan memaksa para pencintanya menjadi pelayan setianya. Mau tidak mau, mereka harus menyediakan menu makanan yang lezat dan cukup untuk keperluan hidup kesehariannya.
Di antara jenis serangga yang disajikan sebagai menu istimewa bangsa burung tersebut adalah jangkrik. Bahkan ada burung tertentu yang  apabila tidak diberi makanan jangkrik, suaranya parau, tidak bagus, tetapi begitu diberi makanan jangkrik, langsung berkicau dan manggung/bersuara nyaring dan indah.[3] Nampaknya kenyaringan suara jangkrik yang dimakannya itu langsung mempengaruhi kicau dan suara si burung tersebut.  
Kondisi tersebut mau tidak mau mendorong manusia untuk memeras otaknya, agar dengan cara mudah bisa mendapatkan jangkrik yang cukup untuk memenuhi kebutuhan makanan burung-burung piaraan kesayangannya. Dari sini muncullah budidaya jangkrik. Dengan demikian, jangkrik yang tadinya hanya dapat dinikmati suaranya, kini telah menjadi sesuatu yang berharga yang membuka lapangan kerja dan peluang usaha.
B.     Hukum Budidaya Cacing dan Jangkrik menurut Islam
Imam  Syafi'i dalam ar-Risalah menegaskan bahwa tak satu pun permasalahan kehidupan yang dihadapi oleh umat Islam kecuali hal itu ada solusinya (dapat diketahui status hukumnya) dalam al-Quran  al-Karim (ada yang langsung/manshush  dan ada yang tidak langsung/ ghairu manshush/maskut 'anhu).[4] Hal yang sama berlaku pada sunah sejalan dengan penegasan Rasul :
اَلاَ وَاِنِّى اُوْتِيْتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ
"Ketahuilah, aku diberi kitab suci al-Qur'an, dan sunah yang kedudukannya sama dengan al-Qur'an".[5]
Dari penegasan Imam Syafi'i tersebut muncullah teori dalam kajian Ushul Fiqh bahwa kasus hukum  (kasus yang ingin diketahui hukumnya) yang dihadapi oleh umat manusia itu dapat diklasifikasikan menjadi dua. Pertama, kasus yang ingin diketahui hukumnya itu telah manshush (ditegaskan hukumnya secara langsung, tegas, dan jelas) oleh teks al-Qur'an atau sunah. Kedua,  ghairu manshush / maskut 'anhu (belum atau tidak ditegaskan hukumnya) oleh al-Qur'-an atau sunah.[6]
Untuk kelompok pertama berlaku prinsip La Majala Lahu lil-Ijitihad (tidak berlaku dan tidak diperlukan ijtihad); sementara itu untuk mengetahui status hukum kelompok kedua berlaku prinsip La-hu Majal li-Ijtihad (berlaku dan diperlukan ijtihad).[7]
Menurut hemat penulis, masalah budidaya cacing dan jangkrik termasuk kategori ghairu manshush/maskut 'anhu yang untuk mengetahui status hukumnya diperlukan ijtihad. Dengan demikian masalahnya adalah ijtihadi.Menurut hemat penulis, pemecahan terhadap masalah ini dapat ditempuh lewat tiga pendekatan sebagai berikut :
·            Lewat pendekatan kaidah yang dipedomani oleh jumhur fuqaha :
اَلاَصْلُ فِى الْمَنَا فِعِ اَلاِبَاحَةُ
"Pada dasarnya segala sesuatu yang bermanfaat  adalah mubah/halal"[8]
·            Lewat pendekatan maslahah mursalah/istishlah.[9]
·            Lewat pendekatan maqasid syari'ah (tujuan hukum Islam).[10]       
1.  Pendekatan Kaidah al-Ashlu fi al-Manafi' al-Ibahah.      
Budidaya cacing dan jangkrik merupakan kasus baru, hukumnya belum/tidak ditegaskan, bahkan belum disinggung sama sekali oleh al-Qur'an dan sunah. Dengan demikian masalah tersebut termasuk katagori maskut 'anhu. Jumhur fuqaha' berpendapat bahwa untuk menyelesaikan masalah yang maskut 'anhu hendaklah berpedoman pada kaidah :
اَلاَصْلُ فِى الْمَنَا فِعِ اَلاِبَاحَةُ
"Pada dasarnya segala sesuatu yang bermanfaat adalah boleh/halal".
 Kaidah ini besumber dari:
       هُوَ الَّذِىْ خَلَقَ لَكُمْ مَا فِىالاَرْضِ جَمِيْعًا
"Allah-lah yang menjadikan semua yang ada di bumi untuk kamu sekalian". (al-Baqarah : 29).[11]
   وَسَخَّرَلَكُمْ مَا فِى السَّمَوَاتِ وَمَا فِى الاَرْضِ جَمِيْعًا مِنْهُ
"Allah menundukkan untukmu semua yang ada di langit dan di bumi (sebagai rahmat) dari-Nya". (al-Jasiyah : 13).
اَلَمْ تَرَوْا اَنَّ اللهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَا فِىالسَّمَوَاتِ وَمَا فِى الاَرْضِ وَاَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُ ظَاهِرَةً وَبَاطِنَةً
"Tidakkah kamu memperhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan menyempurnakan untukmu ni'mat-Nya lahir dan batin". (Luqman : 20)[12]
Wajah istidlal/metode pengambilan dalil ketiga ayat di atas ialah, bahwa   semua yang ada di muka bumi dan di langit itu diciptakan oleh Allah SWT untuk kepentingan umat manusia. Ini berarti semuanya itu halal bagi umat manusia,    kecuali bila membahayakan atau ada nashsh yang menyatakan keharamannya. 
مَااَحَلَّ اللهُ فِى كِتَابِهِ فَهُوَ حَلاَلٌ وَمَاحَرَّمَ فَهُوَ حَرَامٌ وَمَاسَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ عَفْوٌ فَاَقْبَلُوْا مِنَ اللهِ عَافِيَتَهُ فَاِنَّ اللهَ لَمْ يَكُنْ لِيَنْسَى شَيْئًا
"Apa-apa yang dihalalkan oleh Allah dalam kitab-Nya (al-Qur'an) adalah halal, apa-apa yang diharamkan-Nya, hukumnya haram, dan apa-apa yang Allah diamkan/tidak dijelaskan hukumnya, dimaafkan. Untuk itu terimalah pemaafan-Nya, sebab Allah tidak pernah lupa tentang sesutu apa pun". (HR. al-Hakim).
اِنَّ اللهَ فَرَضَ فَرَائِضَ فَلاَ تُضَيِّعُوْهَا وَحَدَّ حُدُوْدًا فَلاَ تَعْتَدُوْهَا وَحَرَّمَ اّشْيَاءَ فَلاَ تَنْتَهِكُوهَا وَسَكَتَ عَنْ اَشْيَاءَ رَحْمَةً بِكُمْ مِنْ غَيْرِ نِسْيَانٍ فَلاَ تَبْحَثُوْا عَنْهَا
"Sesungguhnya Allah telah mewajibkn beberapa kewajiban, maka janganlah kamu sia-siakan, menentukan beberapa ketentuan,    janganlah kamu langgar, mengharamkan beberapa keharaman, janganlah kamu rusak. Dan Allah tidak menjelaskan hukum beberapa hal karena sayang kepadamu, janganlah kamu cari-cari hukumnya." (HR. Turmuzi dan Ibnu Majah).
Wajah istidlal kedua hadis di atas ialah bahwa ada beberapa hal yang     sengaja tidak dijelaskan hukumnya oleh Allah. Tidak dinyata-kan halal dan tidak  pula dinyatakan haram. Hal ini bukan karena Allah lupa (sebab Allah memang tidak pernah lupa), tetapi karena kasih sayang Allah kepada hamba-Nya. Ini menunjukkan bahwa sesuatu yang tidak ditegaskan halal atau haram itu, hukumnya adalah halal. Tentu selama hal itu bermanfaat, tidak membahayakan.
Budidaya cacing dan jangkrik dalam rangka  menciptakan lapa-ngan kerja  baru, mengatasi pengangguran, dan memecahkan masalah PHK jelas sangat bermanfaat. Oleh karena termasuk maskut 'anhu maka sesuai dengan keumuman ayat dan hadis di atas, dan sejalan dengan kaidah al-Ashlu fi al-Manfi' al-Ibahah, menurut hemat penulis budidaya cacing dan jangkrik tersebut hukumnya jelas mubah /halal.
2. Pendekatan maslahah mursalah/istislah.
   Al-Ghazali menyatakan bahwa maslahah mursalah adalah :
   مَالَمْ يَشْهَدْ لَهُ مِنَ الشَّرْعِ بِالْـبُطْلاَنِ وَلاَ بِالاِعْتِبَارِ نَصٌّ مُعَيَّنٌ
"Maslahat/kemaslahatan yang tidak ditunjukkan oleh dalil tertentu dari syara', yang membatalkan atau membenarkannya."[13]
Dalam menanggapi masalah yang tidak ada penegasan hukumnya di dalam al-Qur'an, sunah, dan ijma' serta tidak dapat diselesaikan lewat qiyas, al-Ghazali selaku tokoh Ushuliyyin mazhab Syafi'i, Imam Malik dan mayoritas ashab-nya, Mayoritas mazhab Hanbali berpendapat bahwa masalah semacam itu dapat diselesaikan melalui metodologi istishlah atau berdasarkan maslahah mursalah.
Budidaya cacing dan jangkrik jelas merupakan maslahah mursalah, yaitu  suatu maslahat/kemaslahatan yang tidak ada dalil tertentu baik dari al-Qur'an maupun sunah yang membenarkan atau yang membatalkannya. Bukankah hal tersebut - seperti telah disinggung di atas - dapat membuka lapangan kerja, mengatasi pengangguran akibat PHK, dan menghasilkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia? Hasil budidayanya, yaitu cacing dapat dimanfaatkan  untuk menyuburkan tanah, mengatasi masalah sampah, bahan obat-obatan dan kosmetika, yang juga bernilai ekonomis. Mengenai jangkrik, dapat dimanfaatkan untuk makanan burung yang juga bisa mendatangkan peluang usaha. Bahkan ada beberapa restoran yang menghidangkan menu jangkrik.
Berdasarkan analisis ini jelas budidaya cacing dan jangkrik untuk keperluan sebagaimana telah disebutkan di atas dapat dibenarkan (mubah/halal).
3. Pendekatan Maqasid Syari'ah.
Ulama telah konsensus bahwa tujuan pokok pen-syari'at-an / penetapan   hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan. Atas dasar ini maka muncullah suatu prinsip yang populer di kalangan fuqaha' dan ushuliyyin :
                    اَيْنَمَا كَانَتِ  الْمَصْلَحَةُ فَثَمَّ حُكْمُ اللهِ
"Di mana ada maslahat, di sanalah hukum Allah" 
Artinya, maslahat yang tidak bertentangan dengan  prinsip-prinsip hukum Islam dapat dijadikan pertimbangan penetapan hukum Islam.[14]
Sebagaimana telah disebutkan di atas, budidaya cacing dan jangkrik jelas merupakan maslahat. Dan masalahat ini tidak berlawanan dengan prinsip-prinsip umum tujuan pensyari'atan hukum Islam. Menurut hemat penulis, justru amat sejalan. Sebagaimana diketahui, tujuan umum pensyari'atan hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan dan menghindarkan kerusakan/bencana (جَلْبُ الْمَصَالِحِ وَدَفْعُ الْمَفَاسِدِ/اَلْمَضَارِّ). Hal ini direalisasikan dengan memelihara lima hal yang menjadi kebutuhan primer hidup dan kehidupan manusia ( اَلْمُحَافَظَةُ عَلَى الضَّرُوْرِيَّاتِ الْخَمْسِ ), yaitu agama, akal, jiwa, harta, dan kehormatan/keturunan.
Menurut hemat penulis, budidaya cacing dan jangkrik sebagai upaya mencari sumber ma'isyah untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia adalah maslahat/kemaslahatan yang berhubungan dengan upaya memelihara harta yang juga amat bersinggungan dengan kebutuhan primer yang lain, yakni agama, jiwa, akal, dan kehormatan/keturunan.  Sebab dengan budidaya itu diharapkan dapat diperoleh sumber penghasilan/ uang. Dengan uang yang memadai diharapkan akan tercukupi kebutuhan hidup seseorang dengan baik. Dengan tercukupi kebutuhan hidupnya dengan baik, akan sehat fisiknya, terpelihara jiwanya, sehat akalnya, terpelihara kehormatan/keturunannya, dan agamanya. Bukankah al-Qur'an telah menegaskan bahwa uang/harta merupakan tulang punggung kehidupan?[15] Bukankah Rasulullah telah menegaskan bahwa kefakiran dapat berdampak pada kekufuran?[16]
      Atas dasar ini maka lewat pendekatan maqasid syari'ah, budidaya cacing dan jangkrik sebagai upaya mencari sumber penghidupan, menurut hemat penulis hukumnya jelas halal. Bahkan bisa menjadi wajib bila tidak ada lapangan kerja lain selain itu. Sementara itu ia dituntut harus memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan keluarganya,  Mim Babi Ma La Yatimmu al-Wajib Illa Bih fahuwa Wajib. Bukankah pelaksanaan ibadah amat berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, berupa papan, pangan, dan sandang?
Dari urain di atas dapat diambil kesimpulan bahwa status hukum budidaya cacing dan jangkrik dengan tujuan sebagaimana telah disebutkan di atas, baik lewat pendekatan kaidah al-Aslu fi al-Mana-fi' al-Ibahah, maslahah mursalah, maupun maqasid syari'ah adalah mubah/halal.
Demikian juga berdasarkan Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor Kep-139/MUI/IV/2000 tentang Makan dan Budidaya Cacing dan Jangkrik bahwa membudidayakan cacing dan jangkrik hukumnya adalah mubah atau boleh.[17]




BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
Berdasarkan uraian pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
1.      Membudidayakan cacing untuk diambil sendiri manfaatnya, tidak untuk dimakan atau dijual, hukumnya mubah atau boleh;
2.      Membudidayakan jangkrik untuk diambil manfaatnya, untuk obat/kosmetik misalnya, untuk dimakan atau dijual, hukumnya adalah mubah atau boleh/halal, sepanjang tidak menimbulkan bahaya/mudarat.
B.     Saran
1.      Meskipun membudidayakan cacing maupun jangkrik itu mubah, sebaiknya kita berhati-hati dalam pemanfaatannya sehingga tidak sampai menyebabkan bahan tersebut memberi mudarat bagi penggunanya;
2.      Masih banyak jenis makanan lain yang lebih sehat dan aman untuk dikonsumsi, sehingga sebaiknya kita menghindari mengkonsumsi cacing dan jangkrik.


DAFTAR PUSTAKA

Abu Dawud. (1955). Sunan Abi Dawud, Juz IV. Beirut : Dar al-Fikri.
Al Amidi. (1985). al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, Juz IV. Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah.
Al Asnawi. (1982). Nihayah as-Sul fi Syarh Minhaj al Wusul. Beirut : ‘Alam al Kutub.
Ar-Razi. (1988). al-Mashhul fi ‘Ilm al-Ushul, Juz II. Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah.
Asy-Syafi’i. (1947). Ar-Risalah. al-Qahirah : al-Babi al-Halabi.
Departemen Agama Republik Indonesia. (1989). Al-Qur'an dan Terjemahnya. Semarang : Toha Putra.
Dyah Habib & Ali Akipin. (1999). Tabloid Peluang No. 41 Tahun I/20-26 Agustus 1999.
Onny Untung. (1999). Majalah Trubus No. 357, Edisi Agustus 1999.


[1] Onny Untung, Majalah Trubus No.357, Edisi Agustus 1999, hal. 2.
[2] Dyah Habib & Ali Akipin, Tabloid Peluang, No. 41/Tahun I/20-26 Agustus 1999, hal. 6-9
[3] Dyah Habib & Ali Akipin, Tabloid Peluang, No. 41/Tahun I/20-26 Agustus 1999, hal. 6-9.
[4] Asy-Syafi'i, ar-Risalah, (al-Qahirah: al-Babi al-Halabi, 1947), hal. 20
[5] Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, (Beirut: Dar al-Fikr, 1955), juz  IV, hal. 279
[6] Ar-Razi, al-Mahshul fi 'Ilm al-Ushul, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, 1988), juz II, hal. 39, al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul al-ahkam, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Imiyah, 1985), juz IV, hal. 164, Abd al-Wahhab al-Khallaf, Mashadir at-Tasyri' fi Ma la Nashsha Fih, (Damsyiq: Dar al-Qalam, t.th.), hal. 8 - 10.
[7] Ibid.
[8] Al-Asnawi, Nihayah as-Sul fi Syarh  Minhaj al-Wusul, (Beirut: 'Alam al-Kutub, 1982), juz IV, hal. 352
[9] Al-Ghazali, al-Mustasfa min 'Im al-Ushul, (Beirut: Dar al-Fikr, 1967), juz I, hal. 286-287, Asy-Syatibi, al-I'tisham, (Beirut: Dar al-Ma'rifah, 1957), juz II, hal. 113-115, al-Muwafaqat fi Ushul asy-Syari'ah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1977), juz I, hal. 16
[10] Abdullah Darraz, Syarh Jalil 'ala al-Muwafaqat, (Beirut: Dar al-Malayiin, 1987), juz I, hal. 5-6
[11] Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang : Toha Putra,  1989), hal. 13.
[12] Ibid., hal. 655.
[13] Al-Ghazali, op. cit., (Beirut: Dar al-Fikr, 1967), juz I, hal. 286.
[14] Yusuf al-Qardlawi, al-Ijtihad al-Mu'ashir, (Bairut: Dar at-Tauzi' wa-an-Nasyr al-Islami, 1994), hal. 68.
[15] QS. an-Nisa, 5
[16] HR. Abu Nu'aim dari Anas bin Malik
[17] Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor Kep-139/MUI/IV/2000 tentang Makan dan Budidaya Cacing dan Jangkrik.

1 komentar:

  1. An-Nu'man bin Basyir berkata, "Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda, 'Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan di antara keduanya terdapat hal-hal musyabbihat (syubhat / samar, tidak jelas halal-haramnya), yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia. Barangsiapa yang menjaga hal-hal musyabbihat, maka ia telah membersihkan kehormatan dan agamanya. Dan, barangsiapa yang terjerumus dalam syubhat, maka ia seperti penggembala di sekitar tanah larangan, hampir-hampir ia terjerumus ke dalamnya. Ketahuilah bahwa setiap raja mempunyai tanah larangan, dan ketahuilah sesungguhnya tanah larangan Allah adalah hal-hal yang diharamkan-Nya. Ketahuilah bahwa di dalam tubuh ada sekerat daging. Apabila daging itu baik, maka seluruh tubuh itu baik; dan apabila sekerat daging itu rusak, maka seluruh tubuh itu pun rusak. Ketahuilah, dia itu adalah hati.'" (HR. Bukhori)[1]

    Catatan Kaki:



    [1] Saya (Sofyan Efendi) mengambil hadits ke-6 ini langsung dari kitab Ringkasan Shahih Bukhari karya Al-Albani, karena saya melihat arti (terjemahan) yang disampaikan kurang tepat. Tulisan aslinya adalah sebagai berikut: Dari Abu Abdillah Nu’man bin Basyir rodhiyallohu’anhu, dia berkata: ”Aku pernah mendengar Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda: ’Sesungguhnya sesuatu yang halal telah jelas serta yang haram juga telah jelas dan diantara keduanya terdapat perkara-perkara syubhat (yang masih samar/tidak jelas); yang kebanyakan manusia tidak mengetahui (hukum)nya. Barangsiapa yang berhati-hati terhadap perkara syubhat, maka sesungguhnya dia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Dan barangsiapa yang terjerumus kepada perkara syubhat, pasti akan terjerumus kepada yang haram. Seperti halnya seorang penggembala yang menggembala di sekitar daerah larangan, sehingga dikhawatirkan hampir-hampir (menggembala) di dalamnya. Ingatlah bahwa tiap-tiap raja mempunyai larangan. Ingatlah bahwa larangan Alloh adalah apa-apa yang diharamkan-Nya. Ingatlah bahwa di dalam tubuh ada segumpal daging, jika baik, maka baiklah seluruh tubuhnya, jika ia rusak maka rusaklah seluruh tubuhnya. Ingatlah, ia adalah jantung.” (HR. Bukhori dan Muslim). Padahal kalimat yang tepat bukan menyatakan "pasti", tapi "hampir-hampir" serta segumpal daging tersebut adalah "hati", bukan "jantung". Wallaahu'alam. Saya memohon ampun kepada Allah jika seandainya saya yang salah.

    BalasHapus

Silakan tulis komentar Anda