BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Belakangan ini,
semakin banyak muncul pertanyaan seputar masalah seafood khususnya kepiting (crab)
seiring dengan munculnya wirausaha restoran seafood
dan budidaya kepiting, apakah halal atau haram untuk memakannya yang membuat
sebagian masyarakat muslim ragu-ragu untuk menyantapnya, padahal mungkin
sebelumnya sangat menyukai menu masakan kepiting dan hobi memakannya. Lalu,
bagaimanakah sebenarnya hukum menjualnya sebagai masakan sea food ataupun memasoknya ke restoran dan warung yang menjualnya.
Hal ini mungkin jarang dibahas dalam buku-buku dan tulisan fiqih sementara pada
realitasnya, persoalan ini banyak dihadapi dalam keseharian, baik dari sisi
konsumsi, produksi maupun distribusi penjualannya.
Di kalangan umat
Islam Indonesia, secara tradisional, status hukum mengkonsumsi kepiting masih
dipertanyakan kehalalannya. Fenomena itu sebenarnya berangkat dari kesadaran
umum akan pentingnya sikap berhati-hati menghindari barang yang haram dan hanya
mengkonsumsi barang yang halal.
Allah SWT
mewajibkan umat Islam untuk mengkonsumsi yang halal dan thayyib (baik), baik dalam mengkonsumsi jenis makanan hewani, dan
jenis-jenis lainnya antara lain dalam firmannya pada al-Qur'an surah al-Baqarah
ayat 168 :
$ygr'¯»t â¨$¨Z9$# (#qè=ä. $£JÏB Îû ÇÚöF{$# Wx»n=ym $Y7ÍhsÛ wur (#qãèÎ6®Ks? ÏNºuqäÜäz Ç`»sÜø¤±9$# 4 ¼çm¯RÎ) öNä3s9 Arßtã îûüÎ7B ÇÊÏÑÈ
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa
yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan;
karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (al-Baqarah
: 168).[1]
“Maka makanlah yang halal lagi baik dari
rezki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika
kamu hanya kepada-Nya saja menyembah.” (QS. An-Nahl: 114).[2]
Demikian pula Nabi
saw berpesan tentang keharusan memperhatikan kehalalan maupun keharaman sesuatu
yang dikonsumsi demi menjaga kesucian diri dan keterkabulan jiwa, antara lain
dalam sabdanya:
“Wahai umat manusia! Sesungguhnya Allah adalah thayyib (baik), tidak akan menerima kecuali yang thayyib (baik dan halal); dan Allah memerintahkan kepada orang beriman segala apa yang Ia perintahkan kepada para rasul. Ia berfirman, ‘Hai rasul-rasul! Makanlah dari makanan yang baik-baik (halal) dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS. al-Mu’minun : 51), dan berfirman pula, ‘Hai orang yang beriman! Makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu…” (QS. al-Baqarah : 172).
“Wahai umat manusia! Sesungguhnya Allah adalah thayyib (baik), tidak akan menerima kecuali yang thayyib (baik dan halal); dan Allah memerintahkan kepada orang beriman segala apa yang Ia perintahkan kepada para rasul. Ia berfirman, ‘Hai rasul-rasul! Makanlah dari makanan yang baik-baik (halal) dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS. al-Mu’minun : 51), dan berfirman pula, ‘Hai orang yang beriman! Makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu…” (QS. al-Baqarah : 172).
B.
Perumusan
Masalah
Berdasarkan latar
belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan-permasalahan sebagai
berikut :
1. Apa
yang dimaksud dengan kepiting yang sering dikonsumsi masyarakat Indonesia?
2. Bagaimana
hukum mengkonsumsi kepiting menurut pandangan Islam?
C.
Tujuan
Pembahasan
Berdasarkan
perumusan masalah di atas, maka tujuan pembahasan dalam makalah ini adalah
sebagai berikut :
1. Untuk
mengetahui apa yang dimaksud dengan kepiting yang sering dikonsumsi masyarakat
Indonesia;
2. Untuk
mengetahui bagaimana hukum mengkonsumsi kepiting menurut pandangan Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kepiting
Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB,
Dr. Sulistiono dalam makalah “Eko-Biologi Kepiting Bakau (Scylllaspp)” dan penjelasannya tentang kepiting yang disampaikan pada Rapat Komisi Fatwa MUI pada hari Sabtu, 4 Rabi’ul Akhir 1423 H/15 Juni 2002M, menyimpulkan bahwa di alam ini terdapat 4 (empat) jenis kepiting bakau yang sering dikonsumsi dan menjadi komoditas, yakni: Scylla Serrata, Scylla Tranquebarrica, Scylla Olivacea, dan Scylla Pararnarnosain. Keempat jenis kepiting bakau ini oleh masyarakat umum hanya disebut dengan “kepiting”.
Dr. Sulistiono dalam makalah “Eko-Biologi Kepiting Bakau (Scylllaspp)” dan penjelasannya tentang kepiting yang disampaikan pada Rapat Komisi Fatwa MUI pada hari Sabtu, 4 Rabi’ul Akhir 1423 H/15 Juni 2002M, menyimpulkan bahwa di alam ini terdapat 4 (empat) jenis kepiting bakau yang sering dikonsumsi dan menjadi komoditas, yakni: Scylla Serrata, Scylla Tranquebarrica, Scylla Olivacea, dan Scylla Pararnarnosain. Keempat jenis kepiting bakau ini oleh masyarakat umum hanya disebut dengan “kepiting”.
Selanjutnya disimpulkan juga bahwa (1) Kepiting adalah
jenis binatang air, dengan alasan : bernafas dengan insang, berhabitat di air
dan tidak akan pernah mengeluarkan telor di darat, melainkan di air
karena memerlukan oksigen dari air. (2) Kepiting (termasuk keempat jenis di
atas) hanya ada yang : hidup di air tawar saja, hidup di air laut saja,
dan hidup di air laut dan di air tawar. Tidak ada yang hidup atau berhabitat di
dua alam (laut dan darat).
B.
Hukum
Mengkonsumsi Kepiting menurut Islam
Kebanyakan
orang beranggapan bahwa kepiting itu termasuk yang diharamkan, karena dianggap
sebagai hewan yang hidup di dua alam (barma’i).
Padahal tentang hukum hewan barma’i
itu sendiri termasuk masalah khilafiyah, suatu masalah yang tidak bisa
dijatuhkan hukum yang qath’i
(mutlak).
Sebelum
berbicara mengenai hukum barma’i,
sebenarnya di kalangan ulama dan ilmuwan juga masih terdapat perbedaan
pendapat, apakah kepiting itu termasuk hewan yang hidup di dua alam (barma’i) ataukah tidak. Karena ada
penelitian dari sementara kalangan peneliti dan menemukan bahwa kepiting yang
sering dijual orang itu bukan termasuk kelompok barma’i. Dan menurut mereka, meski ada hewan darat yang mampu
bertahan di dalam air, belum tentu dia termasuk barma’i. Dan sebaliknya, bila ada hewan air yang mampu bertahan
hidup di darat, belum tentu juga dia bisa digolongkan sebagai barma’i. Lalu penelitian ini
menyimpulkan bahwa kepiting yang dijual sebagai makanan lezat itu bukanlah
termasuk kelompok barma’i (hidup di
dua alam), sehingga oleh mereka kepiting ini dianggap halal.
Sedangkan
masalah terkait hukum hewan yang hidup di dua alam atau disebut hewan barma`i itu sendiri, merupakan masalah
khilafiyah sehingga tidak bisa dijatuhi hukum haram secara mutlak. Hewan barma’i seperti kodok, kura-kura, ular,
buaya, anjing laut dan sejenisnya, para pengikut ulama madzhab yang empat berbeda
pendapat menjadi tiga :
1. Al-Hanafiyah
dan Asy-Syafi`iyyah
Dua
madzhab ini berpendapat bahwa hewan ini (kepiting) tidak boleh dimakan. Karena
dianggap termasuk katagori khabaits
(hewan yang kotor). Salah satu dalil yang mereka gunakan adalah bahwa
Rasulullah SAW mengharamkan untuk membunuh kodok. Seandainya boleh dimakan,
maka tidak akan dilarang untuk membunuhnya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu
Daud, Ahmad, Ishaq, Al Hakim dari Abdurrahman bin Utsman at-Tamimi.
Dalam
kitab Bulughul Maram bab Makanan-makanan disebutkan hadits ini. ”Dari
Abdurrahman bin ’Utsman al-Quraisyiy-yi bahwasannya seorang thabib bertanya
kepada Rasulullah saw. tentang kodok yang ia campurkan di dalam satu obat, maka
Rasulullah larang membunuhnya.” (Diriwayatkan oleh Ahmad, disahkan oleh Hakim.
Dikeluarkan pula oleh Abu Dawud dan Nasa’i).[3]
2. Al-Malikiyah
Mereka
berpendapat bahwa memakan kodok, serangga, kura-kura dan kepiting hukumnya
boleh selama tidak ada nash atau dalil yang secara jelas mengharamkannya. Dan
mengkategorikan hewan-hewan itu sebagai khabaits
(kotor) tidak bisa dengan standar masing-masing individu, karena pasti akan
bersifat subjektif. Ada orang yang tidak merasa bahwa hewan itu menjijikkan
(kotor) dan juga ada yang sebaliknya. Sehingga untuk mengharamkannya tidak
cukup dengan itu, tapi harus ada nash yang jelas. Dan menurut Al-Malikiyah, tidak
ada nash yang melarang secara tegas memakan hewan-hewan itu.[4]
3. Al-Hanabilah
Sedangkan
para ulama dari kalangan Al-Hanabilah membedakan masalahnya. Bahwa semua hewan
yang laut yang bisa hidup di darat tidak halal dimakan kecuali dengan jalan
menyembelihnya terlebih dahulu, contohnya yakni burung air, kura-kura dan
anjing laut. Kecuali bila hewan itu tidak punya darah seperti kepiting, maka
tidak perlu menyembelih.
Kepiting
menurut Imam Ahmad bin Hanbal boleh dimakan karena sebagai binatang laut yang
bisa hidup di darat, kepiting tidak punya darah, sehingga tidak butuh
disembelih. Sedangkan bila hewan dua alam itu punya darah, maka untuk
memakannya wajib dengan cara menyembelihnya.[5]
Allah telah
menjelaskan secara jelas dan tuntas semua yang halal maupun yang haram. (QS.
Al-A’raf: 157, An-Nisa’:29, Al-Maidah:4, Al-An’am: 119, 145). Dari sini para
ulama menyimpulkan kaidah bahwa prinsip dasar makanan adalah halal kecuali bila
terdapat larangan dari nash (Al-Qur’an dan Sunnah) Di antara faktor-faktor dan
unsur-unsur kandungan yang dapat mengharamkan makanan di antaranya:
1.
Dipastikan dapat menimbulkan dharar (bahaya)
bagi fisik manusia. Allah berfirman: “Dan
janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat
baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”
(QS. Al-Baqarah:195). Rasulullah saw bersabda: “Tidak dibolehkan melakukan sesuatu yang membahayakan (dharar) diri
sendiri dan orang lain (dhirar).” (HR. Ibnu Majah dan Ahmad.) dan sabdanya:
“Barang siapa yang mereguk racun lalu
membunuh dirinya sendiri, maka racunnya akan tetap berada di tangannya seraya
ia mereguknya di neraka Jahannam selama-lamanya.” (HR. Bukhari).
2.
Memabukkan, melalaikan atau menghilangkan
ingatan. Seperti segala jenis minuman keras, obat-obatan terlarang, candu,
narkotika dan zat adiktif lainnya. Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji
termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maidah:90). Rasulullah saw bersabda: “segala sesuatu jika banyaknya memabukkan,
maka yang sedikitnya pun haram.” (HR. Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah dan
Ahmad).
3.
Najis dan terkontaminasi najis. Contoh: babi,
darah, anjing, bangkai (selain ikan dan belalang). (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah,
Kuwait, vol. V/125) Allah berfirman:
“Katakanlah:
Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu
bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi karena semua itu najis atau
binatang yang disembelih atas nama selain Allah.” (QS. Al-An’am: 145).
Berdasarkan firman
Allah Swt dalam al-Qur'an surah al-Maidah ayat 96 :
¨@Ïmé& öNä3s9 ßø|¹ Ìóst7ø9$# ¼çmãB$yèsÛur $Yè»tFtB öNä3©9 Íou$§¡¡=Ï9ur ( tPÌhãmur öNä3øn=tæ ßø|¹ Îhy9ø9$# $tB óOçFøBß $YBããm 3 (#qà)¨?$#ur ©!$# üÏ%©!$# Ïmøs9Î) crç|³øtéB ÇÒÏÈ
“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari
laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam
perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama
kamu dalam ihram. dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nyalah kamu akan
dikumpulkan.” (QS. Al Maidah [05]: 96).[6]
Dan hadits
Rasulullah Saw: “Air laut itu menyucikan
dan halal bangkainya.” (Menurut Imam Bukhari hadits ini Sahih, lihat Fiqh
Sunnah karya Sayyid Sabiq Bab Ath’imah).
Maka dapat
disimpulkan bahwa kepiting adalah binatang yang halal dikonsumsi sepanjang
tidak menimbulkan bahaya bagi kesehatan manusia. Di Indonesia, Majelis
Ulama Indonesia (MUI) juga telah mengelurakan fatwa halalnya kepiting pada
tanggal 4 Rabi’ul Akhir 1423 H/ 15 Juli 2002 lalu.[7]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian
pembahasan di atas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Kepiting adalah jenis binatang air, dengan alasan :
bernafas dengan insang, berhabitat di air dan tidak akan pernah
mengeluarkan telor di darat, melainkan di air karena memerlukan oksigen dari
air. Kepiting-kepiting yang umum dikonsumsi tersebut hanya ada yang : hidup di
air tawar saja, hidup di air laut saja, dan hidup di air laut dan di air tawar.
Tidak ada yang hidup atau berhabitat di dua alam (laut dan darat).
2. Kepiting adalah binatang yang halal dikonsumsi
sepanjang tidak menimbulkan bahaya bagi kesehatan manusia. Di Indonesia,
Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga telah mengelurakan fatwa halalnya
kepiting pada tanggal 4 Rabi’ul Akhir 1423 H / 15 Juli 2002.
B.
Saran
1. Dalam
mengkonsumsi suatu makanan atau minuman, hendaknya kita berhati-hati, jangan
sampai mengkonsumsi bahan yang diharamkan oleh syara’;
2. Meskipun
suatu makanan atau minuman itu dihalalkan oleh Allah untuk dikonsumsi, kita
harus berhati-hati dan tidak boleh berlebihan yang mana bisa membahayakan
kesehatan kita.
3. Makan
dan minumlah sesuai kebutuhan dengan pangan yang thayyib dan halal, dan bersyukurlah atas semua nikmat yang telah
diberikan Allah kepada kita.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen
Agama Republik Indonesia. (1989). Al-Qur'an
dan Terjemahnya. Semarang : Toha Putra.
|
Majlis
Ulama Indonesia. (2002). Himpunan Fatwa
Majelis Ulama Indonesia. Jakarta : Majlis Ulama Indonesia.
|
Sarwat,
Ahmad. (tt). Fiqih Kuliner. Jakarta
: DU Center.
|
------------.
(tt). Takmilatul Fathi, Jilid VIII.
|
------------.
(tt). Al-Lubab Syarhil Kitab, Jilid
III.
|
[1] Departemen
Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan
Terjemahnya, (Semarang : Toha Putra,
1989), hal. 41.
[2]
Ibid., hal. 419.
[3]
Al-Lubab Syarhil Kitab
jilid 3 halaman 230, Takmilatul Fathi
jilid 8 halaman 62, Mughni Al-Muhtaj
jilid 4 halaman 298 dan kitab Al-Muhazzab
jilid 1 halaman 250.
[4] Bidayatul Mujtahid jilid 1 halaman 656 dan kitab Al-Qawanin Al-Fiqhiyah halaman
172.
Ahmad Sarwat,
Lc, Fiqih Kuliner Cet. Ke-4, (Jakarta
: DU Center, tt), hal. 49.
[6] Departemen
Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan
Terjemahnya, (Semarang : Toha Putra,
1989), hal. 178.
[7]
Keputusan Fatwa, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang Kepiting tanggal 4 Rabiul Akhir 1423 H./15 Juni 2002 M.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan tulis komentar Anda