Selasa, 06 November 2012

Hukum Mengkonsumsi Kepiting


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Belakangan ini, semakin banyak muncul pertanyaan seputar masalah seafood khususnya kepiting (crab) seiring dengan munculnya wirausaha restoran seafood dan budidaya kepiting, apakah halal atau haram untuk memakannya yang membuat sebagian masyarakat muslim ragu-ragu untuk menyantapnya, padahal mungkin sebelumnya sangat menyukai menu masakan kepiting dan hobi memakannya. Lalu, bagaimanakah sebenarnya hukum menjualnya sebagai masakan sea food ataupun memasoknya ke restoran dan warung yang menjualnya. Hal ini mungkin jarang dibahas dalam buku-buku dan tulisan fiqih sementara pada realitasnya, persoalan ini banyak dihadapi dalam keseharian, baik dari sisi konsumsi, produksi maupun distribusi penjualannya.
Di kalangan umat Islam Indonesia, secara tradisional, status hukum mengkonsumsi kepiting masih dipertanyakan kehalalannya. Fenomena itu sebenarnya berangkat dari kesadaran umum akan pentingnya sikap berhati-hati menghindari barang yang haram dan hanya mengkonsumsi barang yang halal.
Allah SWT mewajibkan umat Islam untuk mengkonsumsi yang halal dan thayyib (baik), baik dalam mengkonsumsi jenis makanan hewani, dan jenis-jenis lainnya antara lain dalam firmannya pada al-Qur'an surah al-Baqarah ayat 168 :
$ygƒr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# (#qè=ä. $£JÏB Îû ÇÚöF{$# Wx»n=ym $Y7ÍhsÛ Ÿwur (#qãèÎ6®Ks? ÏNºuqäÜäz Ç`»sÜø¤±9$# 4 ¼çm¯RÎ) öNä3s9 Arßtã îûüÎ7B ÇÊÏÑÈ
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (al-Baqarah : 168).[1]
Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah.” (QS. An-Nahl: 114).[2]
Demikian pula Nabi saw berpesan tentang keharusan memperhatikan kehalalan maupun keharaman sesuatu yang dikonsumsi demi menjaga kesucian diri dan keterkabulan jiwa, antara lain dalam sabdanya:
“Wahai umat manusia! Sesungguhnya Allah adalah thayyib (baik), tidak akan menerima kecuali yang thayyib (baik dan halal); dan Allah memerintahkan kepada orang beriman segala apa yang Ia perintahkan kepada para rasul. Ia berfirman, ‘Hai rasul-rasul! Makanlah dari makanan yang baik-baik (halal) dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS. al-Mu’minun : 51), dan berfirman pula, ‘Hai orang yang beriman! Makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu…” (QS. al-Baqarah : 172).

B.     Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan-permasalahan sebagai berikut :
1.      Apa yang dimaksud dengan kepiting yang sering dikonsumsi masyarakat Indonesia?
2.      Bagaimana hukum mengkonsumsi kepiting menurut pandangan Islam?
C.    Tujuan Pembahasan
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan pembahasan dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan kepiting yang sering dikonsumsi masyarakat Indonesia;
2.      Untuk mengetahui bagaimana hukum mengkonsumsi kepiting menurut pandangan Islam.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Kepiting
Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB,
Dr. Sulistiono dalam makalah “Eko-Biologi Kepiting Bakau (Scylllaspp)” dan penjelasannya tentang kepiting yang disampaikan pada Rapat Komisi Fatwa MUI pada hari Sabtu, 4 Rabi’ul Akhir 1423 H/15 Juni 2002M, menyimpulkan bahwa di alam ini terdapat 4 (empat) jenis kepiting bakau yang sering dikonsumsi dan menjadi komoditas, yakni: Scylla Serrata, Scylla Tranquebarrica, Scylla Olivacea, dan Scylla Pararnarnosain. Keempat jenis kepiting bakau ini oleh masyarakat umum hanya disebut dengan “kepiting”.
Selanjutnya disimpulkan juga bahwa (1) Kepiting adalah jenis binatang air, dengan alasan : bernafas dengan insang, berhabitat di air dan  tidak akan pernah mengeluarkan telor di darat, melainkan di air karena memerlukan oksigen dari air. (2) Kepiting (termasuk keempat jenis di atas)  hanya ada yang : hidup di air tawar saja, hidup di air laut saja, dan hidup di air laut dan di air tawar. Tidak ada yang hidup atau berhabitat di dua alam (laut dan darat).

B.     Hukum Mengkonsumsi Kepiting menurut Islam
Kebanyakan orang beranggapan bahwa kepiting itu termasuk yang diharamkan, karena dianggap sebagai hewan yang hidup di dua alam (barma’i). Padahal tentang hukum hewan barma’i itu sendiri termasuk masalah khilafiyah, suatu masalah yang tidak bisa dijatuhkan hukum yang qath’i (mutlak).
Sebelum berbicara mengenai hukum barma’i, sebenarnya di kalangan ulama dan ilmuwan juga masih terdapat perbedaan pendapat, apakah kepiting itu termasuk hewan yang hidup di dua alam (barma’i) ataukah tidak. Karena ada penelitian dari sementara kalangan peneliti dan menemukan bahwa kepiting yang sering dijual orang itu bukan termasuk kelompok barma’i. Dan menurut mereka, meski ada hewan darat yang mampu bertahan di dalam air, belum tentu dia termasuk barma’i. Dan sebaliknya, bila ada hewan air yang mampu bertahan hidup di darat, belum tentu juga dia bisa digolongkan sebagai barma’i. Lalu penelitian ini menyimpulkan bahwa kepiting yang dijual sebagai makanan lezat itu bukanlah termasuk kelompok barma’i (hidup di dua alam), sehingga oleh mereka kepiting ini dianggap halal.
Sedangkan masalah terkait hukum hewan yang hidup di dua alam atau disebut hewan barma`i itu sendiri, merupakan masalah khilafiyah sehingga tidak bisa dijatuhi hukum haram secara mutlak. Hewan barma’i seperti kodok, kura-kura, ular, buaya, anjing laut dan sejenisnya, para pengikut ulama madzhab yang empat berbeda pendapat menjadi tiga :
1.      Al-Hanafiyah dan Asy-Syafi`iyyah 
Dua madzhab ini berpendapat bahwa hewan ini (kepiting) tidak boleh dimakan. Karena dianggap termasuk katagori khabaits (hewan yang kotor). Salah satu dalil yang mereka gunakan adalah bahwa Rasulullah SAW mengharamkan untuk membunuh kodok. Seandainya boleh dimakan, maka tidak akan dilarang untuk membunuhnya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud, Ahmad, Ishaq, Al Hakim dari Abdurrahman bin Utsman at-Tamimi. 
Dalam kitab Bulughul Maram bab Makanan-makanan disebutkan hadits ini. ”Dari Abdurrahman bin ’Utsman al-Quraisyiy-yi bahwasannya seorang thabib bertanya kepada Rasulullah saw. tentang kodok yang ia campurkan di dalam satu obat, maka Rasulullah larang membunuhnya.” (Diriwayatkan oleh Ahmad, disahkan oleh Hakim. Dikeluarkan pula oleh Abu Dawud dan Nasa’i).[3]
2.      Al-Malikiyah 
Mereka berpendapat bahwa memakan kodok, serangga, kura-kura dan kepiting hukumnya boleh selama tidak ada nash atau dalil yang secara jelas mengharamkannya. Dan mengkategorikan hewan-hewan itu sebagai khabaits (kotor) tidak bisa dengan standar masing-masing individu, karena pasti akan bersifat subjektif. Ada orang yang tidak merasa bahwa hewan itu menjijikkan (kotor) dan juga ada yang sebaliknya. Sehingga untuk mengharamkannya tidak cukup dengan itu, tapi harus ada nash yang jelas. Dan menurut Al-Malikiyah, tidak ada nash yang melarang secara tegas memakan hewan-hewan itu.[4]
3.      Al-Hanabilah 
Sedangkan para ulama dari kalangan Al-Hanabilah membedakan masalahnya. Bahwa semua hewan yang laut yang bisa hidup di darat tidak halal dimakan kecuali dengan jalan menyembelihnya terlebih dahulu, contohnya yakni burung air, kura-kura dan anjing laut. Kecuali bila hewan itu tidak punya darah seperti kepiting, maka tidak perlu menyembelih.
Kepiting menurut Imam Ahmad bin Hanbal boleh dimakan karena sebagai binatang laut yang bisa hidup di darat, kepiting tidak punya darah, sehingga tidak butuh disembelih. Sedangkan bila hewan dua alam itu punya darah, maka untuk memakannya wajib dengan cara menyembelihnya.[5]
Allah telah menjelaskan secara jelas dan tuntas semua yang halal maupun yang haram. (QS. Al-A’raf: 157, An-Nisa’:29, Al-Maidah:4, Al-An’am: 119, 145). Dari sini para ulama menyimpulkan kaidah bahwa prinsip dasar makanan adalah halal kecuali bila terdapat larangan dari nash (Al-Qur’an dan Sunnah) Di antara faktor-faktor dan unsur-unsur kandungan yang dapat mengharamkan makanan di antaranya:
1.      Dipastikan dapat menimbulkan dharar (bahaya) bagi fisik manusia. Allah berfirman: “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Baqarah:195). Rasulullah saw bersabda: “Tidak dibolehkan melakukan sesuatu yang membahayakan (dharar) diri sendiri dan orang lain (dhirar).” (HR. Ibnu Majah dan Ahmad.) dan sabdanya: “Barang siapa yang mereguk racun lalu membunuh dirinya sendiri, maka racunnya akan tetap berada di tangannya seraya ia mereguknya di neraka Jahannam selama-lamanya.” (HR. Bukhari).
2.      Memabukkan, melalaikan atau menghilangkan ingatan. Seperti segala jenis minuman keras, obat-obatan terlarang, candu, narkotika dan zat adiktif lainnya. Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maidah:90). Rasulullah saw bersabda: “segala sesuatu jika banyaknya memabukkan, maka yang sedikitnya pun haram.” (HR. Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad).
3.      Najis dan terkontaminasi najis. Contoh: babi, darah, anjing, bangkai (selain ikan dan belalang). (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, Kuwait, vol. V/125) Allah berfirman:
Katakanlah: Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi karena semua itu najis atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.” (QS. Al-An’am: 145).
Berdasarkan firman Allah Swt dalam al-Qur'an surah al-Maidah ayat 96 :
¨@Ïmé& öNä3s9 ßø|¹ ̍óst7ø9$# ¼çmãB$yèsÛur $Yè»tFtB öNä3©9 Íou$§¡¡=Ï9ur ( tPÌhãmur öNä3øn=tæ ßø|¹ ÎhŽy9ø9$# $tB óOçFøBߊ $YBããm 3 (#qà)¨?$#ur ©!$# üÏ%©!$# ÏmøŠs9Î) šcrçŽ|³øtéB ÇÒÏÈ

Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram. dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.” (QS. Al Maidah [05]: 96).[6]
Dan hadits Rasulullah Saw: “Air laut itu menyucikan dan halal bangkainya.” (Menurut Imam Bukhari hadits ini Sahih, lihat Fiqh Sunnah karya Sayyid Sabiq Bab Ath’imah).
Maka dapat disimpulkan bahwa kepiting adalah binatang yang halal dikonsumsi sepanjang tidak menimbulkan bahaya bagi kesehatan manusia. Di Indonesia, Majelis  Ulama Indonesia (MUI) juga telah mengelurakan fatwa halalnya kepiting pada tanggal  4 Rabi’ul Akhir 1423 H/ 15 Juli 2002 lalu.[7]







BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Berdasarkan uraian pembahasan di atas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1.      Kepiting adalah jenis binatang air, dengan alasan : bernafas dengan insang, berhabitat di air dan  tidak akan pernah mengeluarkan telor di darat, melainkan di air karena memerlukan oksigen dari air. Kepiting-kepiting yang umum dikonsumsi tersebut hanya ada yang : hidup di air tawar saja, hidup di air laut saja, dan hidup di air laut dan di air tawar. Tidak ada yang hidup atau berhabitat di dua alam (laut dan darat).
2.      Kepiting adalah binatang yang halal dikonsumsi sepanjang tidak menimbulkan bahaya bagi kesehatan manusia. Di Indonesia, Majelis  Ulama Indonesia (MUI) juga telah mengelurakan fatwa halalnya kepiting pada tanggal  4 Rabi’ul Akhir 1423 H / 15 Juli 2002.
B.     Saran
1.      Dalam mengkonsumsi suatu makanan atau minuman, hendaknya kita berhati-hati, jangan sampai mengkonsumsi bahan yang diharamkan oleh syara’;
2.      Meskipun suatu makanan atau minuman itu dihalalkan oleh Allah untuk dikonsumsi, kita harus berhati-hati dan tidak boleh berlebihan yang mana bisa membahayakan kesehatan kita.
3.      Makan dan minumlah sesuai kebutuhan dengan pangan yang thayyib dan halal, dan bersyukurlah atas semua nikmat yang telah diberikan Allah kepada kita.


DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama Republik Indonesia. (1989). Al-Qur'an dan Terjemahnya. Semarang : Toha Putra.
Majlis Ulama Indonesia. (2002). Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia. Jakarta : Majlis Ulama Indonesia.
Sarwat, Ahmad. (tt). Fiqih Kuliner. Jakarta : DU Center.
------------. (tt). Takmilatul Fathi, Jilid VIII.
------------. (tt). Al-Lubab Syarhil Kitab, Jilid III.


[1] Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang : Toha Putra,  1989), hal. 41.
[2] Ibid., hal. 419.
[3] Al-Lubab Syarhil Kitab jilid 3 halaman 230, Takmilatul Fathi jilid 8 halaman 62, Mughni Al-Muhtaj jilid 4 halaman 298 dan kitab Al-Muhazzab jilid 1 halaman 250.
[4] Bidayatul Mujtahid jilid 1 halaman 656 dan kitab Al-Qawanin Al-Fiqhiyah halaman 172. 
[5] Al-Mughni jilid 8 halaman 606 dan kitab Kasysyaf Al-Qanna` jilid 6 halaman 202.
  Ahmad Sarwat, Lc, Fiqih Kuliner Cet. Ke-4, (Jakarta : DU Center, tt), hal. 49.
[6] Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang : Toha Putra,  1989), hal. 178.
[7] Keputusan Fatwa, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang Kepiting tanggal  4 Rabiul Akhir 1423 H./15 Juni 2002 M.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan tulis komentar Anda