Selasa, 06 November 2012

Pembelajaran al-Quran Metode Qiraati


BAB II
LANDASAN TEORI
A.     Kajian Teori
1.      Pendidikan Non-Formal
Pendidikan nonformal berbeda dari aliran pendidikan formal dimana dalam kenyataannya individu dapat bergabung pada setiap umur, setiap level dan setiap waktu pada tahun menerima level pendidikan dari setiap langkahnya sendiri. Kursus-kursus pada komunitas sekolah dan college ialah bagi pelajar dan pelengkap untuk membuat individu percaya diri melalui self-employment sehingga mereka memiliki keahlian dan kekuatan untuk bekerja meningkatkan status sosial-ekonomi mereka. Aliran pendidikan nonformal dirancang untuk mempertemukan kebutuhan-kebutuhan yang spesifik dari komunitas. Komunitas pendidik dan ustadz akan secara itu juga menerapkan proses demokrasi, memimpin komunitas melalui otonomi pendidikan dan membangun perasaan yang berhubungan dengan solidaritas.[1]
Berdasarkan penelitian sejak tahun 1950 sampai 1980 di Amerika Latin dan Caribean memfokuskan untuk melakukan inovasi dan aktivitas di pendidikan nonformal. Pendidikan nonformal sering dijadikan pusat strategi untuk perubahan dan peningkatan sosial-ekonomi bagi masyarakat miskin. Program pendidikan nonformal didisain untuk membangun infrastruktur wilayah hingga sumber daya manusia yang lebih cakap dan dapat ditempatkan di posisi tertentu yang lebih tanggap terhadap permintaan pasar dunia. Program-program yang berkaitan dengan Human Capital lebih memberi dukungan dan untuk memelihara kehidupan sosial dan politik dalam hal status quo. Kesempatan bagi pembuat kebijakan untuk mengembangkan strategi dan juga advokasi dari kaum miskin dalam hal ini mejadi jelas. Penilaian terhadap program human capital dan pergerakan sosial dan reforamsi pendekatannya berorientasi pada ekonomi dan marginalitas sosial dalam periode 50 tahun. Gerakan reformasi menekankan pada agenda politik dan sosial, sementara program human capital lebih menekankan pada kepentingan ekonomi. Mengkobinasikan keuntungan ekonomi dengan politik dan perubahan sosial itu diperlukan dan menjadi usaha yang terus dilakukan.
Dalam segi ekonomi, struktur kesempatan, hingga pertumbuhan ekonomi, harus dibuka atau sedikit dapat dibuka dengan berbagai pengaruh atau dampak pengangguran dan pendapatan. Sekurang-kurangnya tersedianya beberapa kesempatan kerja lebih banyak ditawarkan daripada masuk ke dalam posisi pada level tertentu. Kesempatan perlu dihadirkan, dan ada dua area yang menjadi perhatian. Pertama adalah pertumbuhan masalah pengangguran diantara generasi muda, yang telah dikalkulasikan sebanyak dua kali dalam taraf nasional. Sejarah tentang perubahan generasi muda di dalam negara, dikombinasikan dengan perhatian utama dalam pembentukan generasi baru yang akan memimpin negara. Perhatian tersebut hingga mengkobinasikan pendidikan formal dan program pendidikan nonformal yang merupakan dua area yang potensial untuk dikombinasikan. Kombinasi tersebut secara langsung berkaitan dengan ekonomi informal dimana lebih membutuhkan analisis kompetensi dan program-program yang harus berkelanjutan.[2]
Non formal education’ diperkenalkan pada akhir 1960-an untuk menandakan adanya kebutuhan untuk membuat tanggung jawab pendidikan di luar sekolah atas permintaan pendidikan yang baru dan berbeda.  Selama tahun 1970-an, bagi kebanyakan negara dunia ketiga, pendidikan nonformal memiliki frekuensi alternatif program untuk remaja dan dewasa yang tidak terpuaskan atau sedikit tepuaskan pendidikannya oleh sekolah, atau bagi yang membutuhkan tambahan disamping schooling yang telah mereka terima. Karakteristik dari pendidikan nonformal adalah bahwa aktivitasnya harus dipisahkan dari state-sanctioned schooling dan direncanakan secara sistematik dan mengantarkan kelompok tertentu pada tujuan spesifik. Pendidikan nonformal tidak seperti pendidikan formal yang memiliki standar terhadap eksistensinya. Namun, pada beberapa situasi, mengejar pendidikan tidak hanya formal melainkan juga non-formal dapat menjadi tradisi untuk mobilitas karir.
Tidak semua pendidikan nonformal dapat diakses setiap strata budaya dan sosio-ekonomi di masyarakat. Terdapat partisipasi yang berbeda yang bergantung pada etnis, kelas sosial, jenis kelamin, dan berpengaruh pula antar masyarakat pedesaan dan perkotaan. Pada beberapa instansi, misalnya, pendidikan nonformal bagi solidaritas agama dan etnis, sementara yang lainnya untuk menyokong kebutuhan skill bagi mobilitas sosial-ekonomi. Pada program yang lainnya pendidikan nonformal merupakan pemenuhan waktu luang bagi kelas atas dengan jangka panjangnya untuk meningkatkan sosialisasi politik dalam masyarakat. Pendidikan nonformal menjamin kesempatan untuk pilihan pendidikan lebih besar yang biasanya tidak dipenuhi sekolah formal. Untuk itulah, pendidikan nonformal menjadi biasa dan ketergantungan pada negara industri atau pusat kota. Dengan kata lain, kelas sosial cenderung mendominasi karakteristik partisipasi dalam aktivitas pendidikan nonformal, khususnya bagi private-for-profit programs. Bersama-sama dengan bias kelas sosial, ethno-religious dan jenis kelamin, menentukan aktivitas, antara satu grup dengan lainnya. Pendidikan nonformal berkontribusi untuk perubahan tingkah laku inividual bagi perubahan sosial. Atau dengan kata lain, jika individual memerlukan basic skills dan masyarakat dilihat sebagai sistem yang memerlukan adaptasi, maka pendidikan nonformal harus dilihat sebagai kontributor. Pendidikan nonformal digunakan melewati batas sosio-ekonomi atau kelompok etnik untuk memfasilitasi perubahan yang lebih radikal melibatkan akses kepada sumber daya politik dan ekonomi, dimana hasilnya seringkali gagal.  Pendidikan nonformal lebih impotent dibandingkan pendidikan formal karena harus berhadapan dengan pemisahan antara politik dan ekonomi. Untuk itulah perencanaan program pendidikan nonformal harus disesuaikan dengan kelas sosial dan etnik berdasarkan goal yang spesifik. Pendidikan non-formal seharusnya dilihat sebagai alternatif bagi pembentukan karakter melalui ketergantungan, ketertarikan dan ketidaksinambungan, dan sangat sulit untuk melihatnya membuat kontribusi besar bagi perlawanan sosial untuk perubahan individual, mengingat akses untuk kesempatan terikat kuat pada schooling.[3]
Tidak semua orang yang telah menempuh pendidikan non-formal akan memenuhi kualifikasi dalam dunia kerja. Terdapat beberapa unsur sebagai indikator yang mempengaruhi kualifikasi dirinya dalam dunia kerja.
Setiap pendidikan non-formal tidak memiliki standar yang sama yang   menurut Bowles dan Gintis, biasa disebut dengan legitimacy inequality. Ketika lembaga tersebut memiliki perijinan, maka selain mendapatkan sertifikat resmi, lembaga tersebut juga akan mudah dalam bekerja sama dengan lembaga lain Hal itu lah yang akan membuat lembaga tersebut akan lebih menghasilkan orang-orang yang lebih kompeten dalam dunia kerja.
Investasi diri (human capital) dilakukan agar seseorang lebih kompeten di dunia kerja dapat dengan mengikuti lembaga pendidikan nonformal. Lembaga pendidikan nonformal  yang di dalam tes akhir kelulusannya mengacu pada standarisisasi global tentu akan menunjang seseorang dalam dunia kerja.
Selain itu, yang terjadi saat ini, terdapat pendidik dalam pendidikan nonformal yang tidak hanya diikuti oleh masyarakat dalam negeri, tapi juga oleh masyarakat luar negeri. Hal tersebut dapat diartikan bahwa globalisasi telah masuk ke dalam dunia pendidikan, dan sesuai dengan pandangan Glenn Rikowski bahwa pendidikan menjadi komoditi. Dimana semakin pendidik memiliki pandangan secara global maka lulusannya juga akan memiliki pandangan global.
Ketika kita hendak menempuh pendidikan nonformal maka hal pertama yang harus dilakukan adalah memilih lembaga yang memiliki perizinan. Lembaga pendidikan nonformal yang tidak memiliki izin tidak akan memiliki sertifikat yang diakui. Dalam hal ini, lembaga pendidikan nonformal yang tidak memiliki izin operasi akan kurang menunjang santrinya untuk memperoleh akses yang lebih besar dalam memenuhi kualifikasi pekerjaan.
Selain itu, di dalam lembaga pendidikan nonformal selain harus memiliki syarat perijinan, sebaiknya juga memiliki staf pengajar yang berkualitas, dan prasarana yang mendukung pendidikan, sehingga pada akhirnya kita akan mendapatkan kompetensi yang lebih baik daripada orang yang tidak menempuh pendidikan yang nonformal.
2.      Taman Pendidikan al-Qur'an
Bangsa Indonesia masih dihadapkan panda kondisi sulit dalam krisis multidimensional. Tidak hanya kondisi ekonomi yang belum beranjak pulih dari krisis, tetapi juga karakter dan kepribadian bangsa ini semakin mengalami kemunduran. Hal ini terbukti dari banyaknya kasus korupsi kolusi dan nepotisme (KKN) yang masih marak dan belum ada trend mengalami penurunan bahkan cenderung bertambah variasinya, misalnya terbongkarnya kasus Mafia Hukum dan Mafia Anggaran. Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa sangat buruknya karakter kader-kader bangsa ini yang perlu segera diperbaiki.
Generasi muda penerus bangsa semakin tidak mengenal bangsanya sendiri. Nilai kepedulian dan rasa cinta tanah air mulai memudar dari sanubari masyarakat. Salah satu penyebabnya adalah karena sistem pendidikan yang selama ini berjalan masih kurang tepat dan masih kurang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Pendidikan lebih difokuskan pada bidang akademiknya saja, sedangkan yang menyangkut pendidikan moral spiritual belum menjadi fokus perhatian. Hal tersebut sangat kontras dengan kepribadian bangsa Indonesia yang sejatinya merupakan bangsa yang memegang teguh adat ketimuran yang adi luhung yang berarti bahwa bangsa Indonesia mempunyai nilai spiritualisme yang tinggi.
Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, telah menegaskan kepribadian bangsa Indonesia sebagai bangsa yang religius. Religiusitas merupakan unsur pokok dan dominan dalam membentuk suatu kepribadian manusia, yaitu manusia yang berkarakter yang mengarahkan dirinya pada suatu keadaan untuk lebih mengenal penciptanya. Dengan mengenal Tuhan, maka manusia akan memiliki orientasi hidup yang hakiki, yaitu melaksanakan ketaatan atas ajaran Tuhan dan menjauhi segala larangan-Nya, atau yang kerap kali didefinisikan sebagai ketaqwaan.
Melihat banyaknya krisis moral yang ada saat ini tentu adanya suatu pendidikan religi menjadi salah satu solusi terbaik untuk menyelamatkan karakter generasi penerus bangsa ini. Sebagai bangsa dengan mayoritas penduduk beragama Islam, maka pendidikan keagamaan dan akhlak dapat dimulai sejak usia dini. Pendidikan religi yang anak usia dini dapat dilakukan secara informal melalui keluarga maupun lingkungan sosial masyarakat, salah satu bentuknya adalah melalui Taman Pendidikan Al-Quran (TPQ).
Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ) adalah unit pendidikan non-formal jenis keagamaan berbasis komunitas muslim yang menjadikan al-Qur’an sebagai materi utamanya, dan diselenggararakan dalam suasana yang indah, bersih, rapi, nyaman, dan menyenangkan sebagai cerminan nilai simbolis dan filosofis dari kata “taman” yang dipergunakan. TPQ bertujuan menyiapkan terbentuknya generasi Qur’ani, yaitu generasi yang memiliki komitmen terhadap al-Qur’an sebagai sumber perilaku, pijakan hidup dan rujukan segala urusannya. Hal ini ditandai dengan kecintaan yang mendalam terhadap al-Qur’an, mampu dan rajin membacanya, terus menerus mempelajari isi kandungannya, dan memiliki kemauan yang kuat untuk mengamalkannya secara kaffah dalam kehidupan sehari-hari. (Depag).
Melihat pengertian tersebut, maka peran dan keberadaan TPQ berkesesuaian dengan UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi santri agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[4]
Terdapat sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal, yaitu: pertama, karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; kedua, kemandirian dan tanggungjawab; ketiga, kejujuran/amanah, diplomatis; keempat, hormat dan santun; kelima, dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong/kerjasama; keenam, percaya diri dan pekerja keras; ketujuh, kepemimpinan dan keadilan; kedelapan, baik dan rendah hati, dan; kesembilan, karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan. (Prof. Dr. Suyanto, Ph. D, 2010)
Kesembilan pilar karakter tersebut dalam terimplementasikan dalam proses pembelajaran di Taman Pendidikan Al’Qur’an (TPQ). Pendidikan yang dilakukan di TPQ merupakan pendidikan informal dan lebih dominan berorientasi kepada aspek afektif-implementatif dibandingkan aspek kognitif. Penagajar TPQ (ustadz/ustadzah) dalam menyampaikan materi (akhlaq, BTQ, syariah, dan sebagainya) sebisa mungkin dengan penuh pemahaman dan kekeluargaan, jauh berbeda dengan pendidikan formal di sekolah yang hanya menekankan ketuntasan standar nilai tertentu (KKM).
Pendidikan di TPQ lebih menekankan pada dimensi akhlak meskipun tidak pula menafikan dimensi intelektual. Santri TPQ akan mendapatkan pendampingan yang lebih intensif dibandingkan pendidikan formal di sekolah. Hal ini diharapkan dapat menumbuhkan rasa nyaman dalam belajar sehingga materi yang disampaikan lebih mudah dipahami, lebih jauh lagi agar lebih mudah diimplementasikan dalam kehidupan keseharian. Sistem pembelajaran ini pun telah diadopsi di sekolah-sekolah Islam terpadu yang mulai banyak berdiri dan berkembang di tahun 2002-an.
Melihat potensi kuantitas TPQ yang jumlahnya hampir 100.000-an si seluruh wilayah Indonesia, cukuplah memegang peran sentral apabila mampu dioptimalkan sebagai basis pendidikan karakter bangsa, terutama untuk pendidikan anak usia dini (PAUD). Dengan revitalisasi, rekonstruksi dan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), TPQ akan mampu memberikan sumbangsihnya demi perbaikan karakter generasi masa depan bangsa menuju yang lebih baik. Tidak ada yang tidak mungkin untuk sebuah ikhtiar suci.
3.      Metode Qiraati
a.       Sejarah Qiraati
Dengan dorongan keinginan hati untuk mengajarkan al-Qur’an dengan baik dan benar, serta dengan keberanian yang didukung oleh inayah dan hidayah Allah SWT., KH. Dachlan Salim Zarkasyi mulai mencoba menyusun dan menulis sendiri metode yang dikehendakinya itu. Yakni metode yang berhasil dalam mengajar membaca al-Qur’an yang sekaligus mudah dan disukai oleh anak-anak.
Supaya santri mudah membaca dan betul-betul mengerti serta faham, maka beliau mencoba menulis pelajaran dengan bacaan “bunyi” huruf hijaiyyah yang sudah berharakat “fathah”. Dalam pelajaran ini anak tidak boleh mengeja, misalnya alif fathah A, BA fathah BA, tetapi langsung membaca bunyi huruf yang sudah berharakat fathah tadi seperti: A-BA-TA dan seterusnya.
Agar santri bisa membaca dengan baik dan benar, maka sejak awal sekali santri sudah diharuskan membacanya dengan lancar, cepat dan tepat, tanpa ada salah dalam membaca. Dengan demikian secara tidak langsung santri harus mengerti dan faham setiap huruf Hijaiyyah.
Demikianlah, dengan penuh kesabaran dan ketelitian, sehuruf demi sehuruf beliau mencoba untuk diajarkan kepada santrinya walaupun nampaknya lambat, tetapi santri faham dengan baik.
Agar santri terlatih dan dapat membaca benar, maka setiap contoh bacaannya diambilkan dari kalimat-kalimat al-Qur’an juga kalimat-kalimat bahasa Arab.
Setelah santri lancar menbaca huruf-huruf Hijaiyyah yang berharakat fathah, kemudian dicoba dengan huruf-huruf yang berharakat kasrah dan dhommah. Demikian pula dengan huruf yang berharakat fathah tanwin, kasrah tanwin dan dhummah tanwin.
Sebagaimana biasanya dalam menyusun pelajaran baru mesti ada penyebab yang menjadi puncak pelajaran tersebut disusun. Demikianlah pelajaran seterusnya sehingga selesainya metode tersebut.
Suatu ketika dalam majlis tadarus al Quran yang beliau menyimak banyak orang yang membacanya salah, terutama dalam membaca “Lam bersyiddah” yiaitu membacanya dengan menahan suara huruf lamnya. Melihat keadaan demikian, maka disusunlah pelajaran huruf-huruf bersyiddah yang mesti dibaca tegas dan terang serta cepat, yang kemudian dirangkaikan dengan pelajaran “AL Syamsiyyah”.
Adanya pelajaran Mim sukun bertemu mim yang dibaca dengung dilatarbelakangi oleh banyaknya orang yang belum dapat membedakan antara bacaan mim sukun bertemu mim dengan bacaan mim sukun bertemu dengan selain mim dan ba’.
Adapun pelajaran nun sukun/tanwin bertemu lam dan ra dilatarbelakangi oleh banyaknya orang yang membaca dengan menahan bacaan lamnya. Kemudian pelajaran dilanjutkan dengan pelajaran bacaan Nun sukun/tanwin bertemu dengan wawu dan ya, yang dibaca idgam dengan dengung.
Sedangkan pelajaran waqaf di akhir ayat dilatarbelakangi oleh banyaknya orang yang salah dalam menghentikan bacaannya, yaitu seolah-olah setiap waqaf dibaca panjang padahal tidak semuanya begitu.
Pelajaran membaca lafaz Allah dilatarbelakngi oleh bacaan yang salah, yakni lam kasrah dibaca dengan tebal seolah seperti lam berbaris atas atau dhummah.
Begitu juga dengan pelajaran Iqlab, qalqalah dan izhar halqi yang kesemuanya dilatar belakangi oleh banyaknya kesalahan yang dilakukan oleh para pembaca.
Demikianlah semua pelajaran yang telah berjaya beliau susun. kemudian dari tulisan-tulisan dikumpulkan dan dijilid, ternyata terkumpul menjadi sepuluh jilid atau sepuluh buku. Kemudian buku-buku tersebut dicetak dengan sablon dan dibahagikan kepada anak-anaknya mengikut tahapan pencapaiannya.[5]
b.      Visi Qiraati
Membudayakan membaca al-Qur’an dengan tartil.[6]
c.       Misi Qiraati
1)      Mengadakan pendidikan al-Qur’an untuk menjaga, memelihara kehormatan dan kesusian al-Qur’an dari segi bacaan yang tartil;
2)      Menyebarkan ilmu dengan memberi ujian memakai buku Qira’ati hanya bagi lembaga-lembaga/ustadz-ustadz yang taat, patuh, amanah dan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh koordinator;
3)      Mengingatkan para ustadz agar berhati-hati jika mengajarkan al-Qur’an;
4)      Mengadakan pembinaan para ustadz/calon ustadz untuk meningkatkan kualitas pendidikan pengajar-an al-Qur’an;
5)      Mengadakan Tashih untuk calon ustadz dengan obyektif;
6)      Mengadakan bimbingan metodologi bagi calon ustadz yang lulus tashih;
7)      Mengadakan tadarus bagi para ustadz ditingkat lembaga atau MMQ yang diadakan oleh koordinator;
8)      Menunjuk/memilih koordinator, kepada sekolah dan para ustadz yang amanah/profesional dan berakhlakul karimah;
9)      Memotivasi para koordinator, kepada sekolah dan para ustadz senantiasa mohan petunjuk dan per-tolongan kepada Allah demi kemajuan lembaga-nya dan mencari keridhaan-Nya.[7]
d.      Ciri-ciri Qiraati
1)      Tidak di dijual secara bebas;
2)      Guru-ustadz lewat tashih dan pembinaan;
3)      Kelas TKP/TPQ dalam disiplin yang sama.[8]
B.     Kajian Empiris
1.      Pengertian Taman Pendidikan al-Qur'an (TPQ)
TPQ adalah lembaga pendidikan dan pengajaran Islam di luar sekolah untuk anak-anak usia SD (7-12 tahun). Waktu atau jam belajar mengajar TPQ berlangsung sore hari, yaitu sebelum dan sesudah waktu zuhur atau sebelum dan sesudah waktu ashar.
2.      Visi, Misi dan Tujuan TPQ
a.       Visi TPQ yaitu menyiapkan generasi Qur’ani menyongsong masa depan gemilang;
b.      Misi TPQ yaitu misi pendidikan dan dakwah islamiyah;
c.       Tujuan dan target TPQ yaitu untuk menyiapkan anak didiknya agar menjadi generasi Qurani.
Untuk tercapainya tujuan ini, TPQ perlu merumuskan pula target-target operasionalnya. Dalam waktu kurang lebih 1 tahun diharapkan setiap anak didik akan memiliki kemampuan :
a.       Membaca Al Quran dengan benar sesuai dengan kaidah ilmu tajwid;
b.      Melakukan shalat dengan baik dan terbiasa hidup dalam suasana yang islami;
c.       Hafal beberapa surat-surat pendek, ayat-ayat pilihan dan do’a sehari-hari;
d.      Menulis huruf Al Quran.
3.      Kurikulum TPQ
Penyusunan kurikulum TPQ mengacu pada asas-asas sebagai berikut :
a.       Asas agamis bersumber dari Al Quran dan Hadits;
b.      Asas filosofis berdasarkan pada sila pertama Pancasila;
c.       Asas socio-cultural bersumber pada kenyataan bahwa mayoritas bangsa Indonesia beragama Islam;
d.      Asas psikologis, secara psikologis, usia 4-12 tahun cukup kondusif untuk menerima bimbingan membaca dan menghafal Al-Quran, serta pemahaman nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.[9]
Tujuan kurikulum TPQ :
a.       Santri dapat mengagumi dan mencintai Al Quran sebagai bacaan istimewa dan pedoman utama;
b.      Santri dapat terbiasa membaca Al Quran dengan lancer dan fasih serta memahami hukum-hukum bacaannya berdasarkan kaidah ilmu tajwid;
c.       Santri dapat mengajarkan shalat limawaktu dengan tata cara yang benar dan menyadarinya sebagai kewajiban sehari-hari;
d.      Santri dapat menguasai hafalan sejumlah surat pendek, ayat pilihan, dan doa harian;
e.       Santri dapat mengembangkan perilaku sosial yang baik sesuai tuntunan Islam dan pengalaman pendidikannya;
f.       Santri dapat menulis huruf arab dengan baik dan benar.[10]
4.      Materi Pembelajaran TPQ
a.       Materi pokok
1)      Bacaan kitab sesuai dengan bacaan qiraati;
2)      Hafalan bacaan shalat;
3)      Bacaan surat pendek;
4)      Latihan praktek shalat dan amalan ibadah shalat;
5)      Bacaan tadarus bittartil;
6)      Ilmu tajwid;
7)      Hafalan ayat pilihan;
8)      Tahsinul kitabah.
b.      Materi penunjang
1)      Doa dan adab harian;
2)      Dinul Islam (pengetahuan dasar akidah, syariah dan akhlak);
3)      Muatan lokal seperti bahasa Arab praktis.
5.      Metode Pembelajaran
a.       Metode qiraati
b.      Ceramah
c.       Tanya jawab
d.      Demontrasi
e.       Latihan / drill
f.       Pemberian tugas
g.      Sosio drama
h.      Kerja kelompok
6.      Munaqasah
Evaluasi adalah suatu proses yang sistematis untuk menentukan atau membuat keputusan sampai sejauh mana tujuan pengajaran yang telah dicapai santri (Norman E. Gronliund / 1976 yang dikutip oleh Ngalim Purwanto).[11]
Secara umum, evaluasi memiliki 3 macam fungsi, yaitu :
a.       Mengukur kemajuan;
b.      Menunjang penyusunan rencana;
c.       Memperbaiki / menyempurnakan kembali.
Adapun fungsi evaluasi secara khusus adalah sebagai berikut :
a.       Secara Psikologis
1)      bagi santri yaitu untuk mengenal kapasitas dan status dirinya
2)      bagi pendidik yaitu untuk mengetahui kepastian hasil usahanya
b.      Secara didaktik
1)      bagi santri yaitu sebagai dorongan perbaikan dan peningkatan prestasi
2)      bagi pendidik yaitu fungsi diagnostik, penempatan, selektif, bimbingan dan instruksional.
c.       Secara administratif yaitu untuk memberikan laporan data dan gambaran keberhasilan.[12]
Berdasarkan fungsi evaluasi tersebut, evaluasi / munaqasah di TPQ dibagi menjadi 4 tahap :
a.       Munaqasah awal untuk mengetahui sejauh mana kemampuan santri yang baru masuk dan akan ditempatkan untuk memulai kitab qiraati;
b.      Munaqasah harian atau sewaktu-waktu, dilakukan karena santri akan pindah halaman dari kelas TK sampai dengan kelas tajwid atau akan pindah ayat atau halaman pada Al Quran dan juga untuk hafalan santri;
c.       Munaqasah persemester, dilaksanakan untuk mengisi raport bentuknya  lisan dan praktek shalat;
d.      Munaqasah menjelang wisuda.[13]
7.      Pelaksanaan Kegiatan Pembelajaran
Pelaksanaan kegiatan pembelajaran  harian di TPQ meliputi 4 kegiatan yaitu :
a.       Pengelolaan kelas
Pengelolaan kelas dapat dimulai dengan membagi santri menjadi beberapa kelas, untuk TPQ, pembagian kelas semaksimal mungkin berdasarkan kesamaan tingkat kelas di SD/MI.
b.      Kegiatan pembukaan (klasikal awal)
Materi : Doa-doa pembukaan dan materi tambahan.
c.       Kegiatan inti, terdiri atas dua tahap, yaitu :
1)      Klasikal kelompok : hafalan doa harian.
2)      Klasikal perorangan : bacaan qiraati dan menulis.
d.      Kegiatan penutup (klasikal akhir)
Kegiatannya diarahkan pada upaya menciptakan suasana menyenangkan dan mempererat keakraban diantara santri. Akhir pertemuan ditutup dengan doa dan harus dibiasakan agar anak-anak pulang tertib.


[1] Narang, Renuka H, 1992, Social Justice and Political Education through Non-Formal Education (http://www.jstor.org/stable/3444692)
[2] Rama, German W and Tedesco, Juan Carlos, Education and Development in Latin America 1950-19. pp. 187-211 (http://www.jstor.org/stable/3443730)
[3] La Belle, Thomas J, 1982,  Formal, Nonformal and Informal Education: A Holistic Perspective on Lifelong Learning , pp. 159-175,  (http://www.jstor.org/stable/3443930)
[4] Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
[5] http://qiraati.wordpress.com/2009/10/30/sejarah-singkat-penemuan-metode-qiraati, diakses pada 1 April 2012.
[6] Khusni Mutamakin, Visi Misi dan Ciri Metode Qiraati, http://khusni-mutamakin.blogspot.com/2010/12/visi-misi-dan-ciri-ciri-metode-qiraati.htm, diakses pada 1 April 2012.
[7] Khusni Mutamakin, Visi Misi dan Ciri Metode Qiraati, http://khusni-mutamakin.blogspot.com/2010/12/visi-misi-dan-ciri-ciri-metode-qiraati.htm, diakses pada 1 April 2012.
[8] Ibid. diakses pada 1 April 2012.
[9] U. Syamsudin, MZ. Panduan Kurikulum dan Pengajaran TKA-TPA, (Jakarta: LPPTKA BKPRMI pusat, 2004) hal, 15-21.
[10] Ibid., hal, 15-21.
[11] Ngalim, M. Purwanto, Prinsip-prinsip dan Evaluasi Pengajaran (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), cet. Ke-II. hal. 3.
[12] Sudjono, Anas, Porf. DR. Pengantar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: Grafindo Persada, 2005), cet. ke-5, hal. 15.
[13] Mamsudi,AR, Drs., Panduan Manajemen dan Tatatertib TK/TP Al Quran, (Jakarta: LPPTKA BKPRMI, 1999), hal. 30-31

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan tulis komentar Anda