BAB II
LANDASAN TEORI
A.
Kajian
Teori
1.
Pendidikan
Non-Formal
Pendidikan nonformal berbeda dari aliran pendidikan formal dimana dalam
kenyataannya individu dapat bergabung pada setiap umur, setiap level dan setiap
waktu pada tahun menerima level pendidikan dari setiap langkahnya sendiri.
Kursus-kursus pada komunitas sekolah dan college
ialah bagi pelajar dan pelengkap untuk membuat individu percaya diri melalui self-employment sehingga mereka memiliki
keahlian dan kekuatan untuk bekerja meningkatkan status sosial-ekonomi mereka. Aliran pendidikan nonformal dirancang untuk
mempertemukan kebutuhan-kebutuhan yang spesifik dari komunitas. Komunitas pendidik dan ustadz akan
secara itu juga menerapkan proses demokrasi, memimpin komunitas melalui otonomi
pendidikan dan membangun perasaan yang berhubungan dengan solidaritas.[1]
Berdasarkan penelitian sejak tahun 1950 sampai 1980 di
Amerika Latin dan Caribean memfokuskan untuk melakukan inovasi dan aktivitas di
pendidikan nonformal. Pendidikan nonformal
sering dijadikan pusat strategi untuk perubahan dan peningkatan sosial-ekonomi bagi masyarakat miskin. Program pendidikan nonformal didisain
untuk membangun infrastruktur wilayah hingga sumber daya manusia yang lebih
cakap dan dapat ditempatkan di posisi tertentu yang lebih tanggap terhadap
permintaan pasar dunia. Program-program yang berkaitan dengan Human Capital lebih memberi dukungan dan
untuk memelihara kehidupan sosial dan politik dalam hal status quo. Kesempatan
bagi pembuat kebijakan untuk mengembangkan strategi dan juga advokasi dari kaum
miskin dalam hal ini mejadi jelas. Penilaian terhadap program human capital dan pergerakan sosial dan
reforamsi pendekatannya berorientasi pada ekonomi dan marginalitas sosial dalam
periode 50 tahun. Gerakan reformasi menekankan pada agenda politik dan sosial,
sementara program human capital lebih
menekankan pada kepentingan ekonomi. Mengkobinasikan keuntungan ekonomi dengan
politik dan perubahan sosial itu diperlukan dan menjadi usaha yang terus
dilakukan.
Dalam segi
ekonomi, struktur kesempatan, hingga pertumbuhan ekonomi, harus dibuka atau
sedikit dapat dibuka dengan berbagai pengaruh atau dampak pengangguran dan
pendapatan. Sekurang-kurangnya tersedianya beberapa kesempatan kerja lebih
banyak ditawarkan daripada masuk ke dalam posisi pada level tertentu.
Kesempatan perlu dihadirkan, dan ada dua area yang menjadi perhatian. Pertama
adalah pertumbuhan masalah pengangguran diantara generasi muda, yang telah
dikalkulasikan sebanyak dua kali dalam taraf nasional. Sejarah tentang
perubahan generasi muda di dalam negara, dikombinasikan dengan perhatian utama
dalam pembentukan generasi baru yang akan memimpin negara. Perhatian tersebut
hingga mengkobinasikan pendidikan formal dan program pendidikan nonformal yang
merupakan dua area yang potensial untuk dikombinasikan. Kombinasi tersebut
secara langsung berkaitan dengan ekonomi informal dimana lebih membutuhkan
analisis kompetensi dan program-program yang harus berkelanjutan.[2]
‘Non formal education’ diperkenalkan pada
akhir 1960-an untuk menandakan adanya kebutuhan untuk membuat tanggung jawab
pendidikan di luar sekolah atas permintaan pendidikan yang baru dan
berbeda. Selama tahun 1970-an, bagi
kebanyakan negara dunia ketiga, pendidikan nonformal memiliki frekuensi
alternatif program untuk remaja dan dewasa yang tidak terpuaskan atau sedikit
tepuaskan pendidikannya oleh sekolah, atau bagi yang membutuhkan tambahan
disamping schooling yang telah mereka
terima. Karakteristik dari pendidikan nonformal adalah bahwa aktivitasnya harus dipisahkan dari state-sanctioned schooling dan
direncanakan secara sistematik dan mengantarkan kelompok tertentu pada tujuan
spesifik. Pendidikan nonformal tidak seperti pendidikan
formal yang memiliki standar terhadap eksistensinya. Namun, pada beberapa
situasi, mengejar pendidikan tidak hanya formal melainkan juga non-formal dapat
menjadi tradisi untuk mobilitas karir.
Tidak semua pendidikan nonformal dapat diakses setiap strata budaya dan
sosio-ekonomi di masyarakat. Terdapat partisipasi yang berbeda yang bergantung
pada etnis, kelas sosial, jenis kelamin, dan berpengaruh pula antar masyarakat pedesaan dan perkotaan. Pada beberapa instansi, misalnya,
pendidikan nonformal bagi solidaritas agama dan etnis, sementara yang lainnya
untuk menyokong kebutuhan skill bagi mobilitas
sosial-ekonomi. Pada program yang lainnya pendidikan nonformal merupakan
pemenuhan waktu luang bagi kelas atas dengan jangka panjangnya untuk
meningkatkan sosialisasi politik dalam masyarakat. Pendidikan nonformal menjamin
kesempatan untuk pilihan pendidikan lebih besar yang biasanya tidak dipenuhi
sekolah formal. Untuk itulah, pendidikan nonformal menjadi biasa dan ketergantungan pada negara industri atau
pusat kota. Dengan kata lain, kelas sosial cenderung mendominasi karakteristik
partisipasi dalam aktivitas pendidikan nonformal, khususnya bagi private-for-profit programs. Bersama-sama
dengan bias kelas sosial, ethno-religious dan jenis kelamin, menentukan
aktivitas, antara satu grup dengan lainnya. Pendidikan nonformal
berkontribusi untuk perubahan tingkah laku inividual bagi perubahan sosial.
Atau dengan kata lain, jika individual memerlukan basic skills dan masyarakat dilihat sebagai sistem yang memerlukan
adaptasi, maka pendidikan nonformal harus dilihat sebagai kontributor.
Pendidikan nonformal digunakan melewati batas sosio-ekonomi atau kelompok etnik
untuk memfasilitasi perubahan yang lebih radikal melibatkan akses kepada sumber
daya politik dan ekonomi, dimana hasilnya seringkali gagal. Pendidikan nonformal lebih impotent dibandingkan pendidikan formal
karena harus berhadapan dengan pemisahan antara politik dan ekonomi. Untuk itulah perencanaan program
pendidikan nonformal harus disesuaikan dengan kelas sosial dan etnik
berdasarkan goal yang spesifik.
Pendidikan non-formal seharusnya dilihat sebagai alternatif bagi pembentukan
karakter melalui ketergantungan, ketertarikan dan ketidaksinambungan, dan
sangat sulit untuk melihatnya membuat kontribusi besar bagi perlawanan sosial
untuk perubahan individual, mengingat akses untuk kesempatan terikat kuat pada schooling.[3]
Tidak semua orang yang telah menempuh pendidikan non-formal
akan memenuhi kualifikasi dalam dunia kerja. Terdapat beberapa unsur sebagai indikator yang mempengaruhi
kualifikasi dirinya dalam dunia kerja.
Setiap pendidikan non-formal tidak memiliki standar yang sama
yang menurut Bowles dan Gintis, biasa disebut dengan legitimacy inequality. Ketika lembaga
tersebut memiliki perijinan, maka selain mendapatkan sertifikat resmi, lembaga
tersebut juga akan mudah dalam bekerja sama dengan lembaga lain Hal itu lah
yang akan membuat lembaga tersebut akan lebih menghasilkan orang-orang yang
lebih kompeten dalam dunia kerja.
Investasi diri (human
capital) dilakukan agar seseorang lebih kompeten di dunia kerja dapat
dengan mengikuti lembaga pendidikan nonformal. Lembaga pendidikan nonformal yang di dalam tes akhir kelulusannya mengacu
pada standarisisasi global tentu akan menunjang seseorang dalam dunia kerja.
Selain itu, yang terjadi saat ini, terdapat pendidik dalam
pendidikan nonformal yang tidak hanya diikuti oleh masyarakat dalam negeri,
tapi juga oleh masyarakat luar negeri. Hal tersebut dapat diartikan bahwa
globalisasi telah masuk ke dalam dunia pendidikan, dan sesuai dengan pandangan
Glenn Rikowski bahwa pendidikan menjadi komoditi. Dimana semakin pendidik
memiliki pandangan secara global maka lulusannya juga akan memiliki pandangan
global.
Ketika kita hendak menempuh pendidikan nonformal maka hal
pertama yang harus dilakukan adalah memilih lembaga yang memiliki perizinan.
Lembaga pendidikan nonformal yang tidak memiliki izin tidak akan memiliki
sertifikat yang diakui. Dalam hal ini, lembaga pendidikan nonformal yang tidak
memiliki izin operasi akan kurang menunjang santrinya untuk memperoleh akses
yang lebih besar dalam memenuhi kualifikasi pekerjaan.
Selain itu, di dalam lembaga pendidikan nonformal selain
harus memiliki syarat perijinan, sebaiknya juga memiliki staf pengajar yang
berkualitas, dan prasarana yang mendukung pendidikan, sehingga pada akhirnya kita
akan mendapatkan kompetensi yang lebih baik daripada orang yang tidak menempuh
pendidikan yang nonformal.
2.
Taman
Pendidikan al-Qur'an
Bangsa Indonesia masih dihadapkan panda kondisi sulit
dalam krisis multidimensional. Tidak hanya kondisi ekonomi yang belum beranjak
pulih dari krisis, tetapi juga karakter dan kepribadian bangsa ini semakin
mengalami kemunduran. Hal ini terbukti dari banyaknya kasus korupsi kolusi dan
nepotisme (KKN) yang masih marak dan belum ada trend mengalami
penurunan bahkan cenderung bertambah variasinya, misalnya terbongkarnya kasus
Mafia Hukum dan Mafia Anggaran. Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa sangat
buruknya karakter kader-kader bangsa ini yang perlu segera diperbaiki.
Generasi muda penerus bangsa semakin tidak mengenal bangsanya
sendiri. Nilai kepedulian dan rasa cinta tanah air mulai memudar dari sanubari
masyarakat. Salah satu penyebabnya adalah karena sistem pendidikan yang selama
ini berjalan masih kurang tepat dan masih kurang sesuai dengan kepribadian
bangsa Indonesia. Pendidikan lebih difokuskan pada bidang akademiknya saja,
sedangkan yang menyangkut pendidikan moral spiritual belum menjadi fokus
perhatian. Hal tersebut sangat kontras dengan kepribadian bangsa Indonesia yang
sejatinya merupakan bangsa yang memegang teguh adat ketimuran yang adi
luhung yang berarti bahwa bangsa Indonesia mempunyai nilai
spiritualisme yang tinggi.
Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, telah
menegaskan kepribadian bangsa Indonesia sebagai bangsa yang religius.
Religiusitas merupakan unsur pokok dan dominan dalam membentuk suatu
kepribadian manusia, yaitu manusia yang berkarakter yang mengarahkan dirinya
pada suatu keadaan untuk lebih mengenal penciptanya. Dengan mengenal Tuhan,
maka manusia akan memiliki orientasi hidup yang hakiki, yaitu melaksanakan
ketaatan atas ajaran Tuhan dan menjauhi segala larangan-Nya, atau yang kerap
kali didefinisikan sebagai ketaqwaan.
Melihat banyaknya krisis moral yang ada saat ini tentu
adanya suatu pendidikan religi menjadi salah satu solusi terbaik untuk menyelamatkan
karakter generasi penerus bangsa ini. Sebagai bangsa dengan mayoritas penduduk
beragama Islam, maka pendidikan keagamaan dan akhlak dapat dimulai sejak usia
dini. Pendidikan religi yang anak usia dini dapat dilakukan secara informal
melalui keluarga maupun lingkungan sosial masyarakat, salah satu bentuknya
adalah melalui Taman Pendidikan Al-Quran (TPQ).
Taman Pendidikan Al-Qur’an
(TPQ) adalah unit pendidikan non-formal jenis keagamaan berbasis komunitas
muslim yang menjadikan al-Qur’an sebagai materi utamanya, dan diselenggararakan
dalam suasana yang indah, bersih, rapi,
nyaman, dan menyenangkan sebagai cerminan nilai simbolis dan
filosofis dari kata “taman” yang dipergunakan. TPQ bertujuan menyiapkan
terbentuknya generasi Qur’ani, yaitu generasi yang memiliki komitmen terhadap
al-Qur’an sebagai sumber perilaku, pijakan hidup dan rujukan segala urusannya.
Hal ini ditandai dengan kecintaan yang mendalam terhadap al-Qur’an, mampu dan
rajin membacanya, terus menerus mempelajari isi kandungannya, dan memiliki
kemauan yang kuat untuk mengamalkannya secara kaffah dalam kehidupan
sehari-hari. (Depag).
Melihat pengertian tersebut, maka peran dan keberadaan
TPQ berkesesuaian dengan UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional
bertujuan untuk berkembangnya potensi santri agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.[4]
Terdapat sembilan pilar karakter yang berasal dari
nilai-nilai luhur universal, yaitu: pertama, karakter cinta Tuhan dan segenap
ciptaan-Nya; kedua, kemandirian dan tanggungjawab; ketiga, kejujuran/amanah,
diplomatis; keempat, hormat dan santun; kelima, dermawan, suka tolong-menolong
dan gotong royong/kerjasama; keenam, percaya diri dan pekerja keras; ketujuh,
kepemimpinan dan keadilan; kedelapan, baik dan rendah hati, dan; kesembilan,
karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan. (Prof. Dr. Suyanto, Ph. D, 2010)
Kesembilan pilar karakter tersebut dalam
terimplementasikan dalam proses pembelajaran di Taman Pendidikan Al’Qur’an
(TPQ). Pendidikan yang dilakukan di TPQ merupakan pendidikan informal dan lebih
dominan berorientasi kepada aspek afektif-implementatif dibandingkan aspek
kognitif. Penagajar TPQ (ustadz/ustadzah) dalam menyampaikan materi (akhlaq, BTQ,
syariah, dan sebagainya) sebisa mungkin dengan penuh pemahaman dan
kekeluargaan, jauh berbeda dengan pendidikan formal di sekolah yang hanya
menekankan ketuntasan standar nilai tertentu (KKM).
Pendidikan di TPQ lebih menekankan pada dimensi akhlak
meskipun tidak pula menafikan dimensi intelektual. Santri TPQ akan mendapatkan
pendampingan yang lebih intensif dibandingkan pendidikan formal di sekolah. Hal
ini diharapkan dapat menumbuhkan rasa nyaman dalam belajar sehingga materi yang
disampaikan lebih mudah dipahami, lebih jauh lagi agar lebih mudah
diimplementasikan dalam kehidupan keseharian. Sistem pembelajaran ini pun telah
diadopsi di sekolah-sekolah Islam terpadu yang mulai banyak berdiri dan
berkembang di tahun 2002-an.
Melihat potensi kuantitas TPQ yang jumlahnya hampir
100.000-an si seluruh wilayah Indonesia, cukuplah memegang peran sentral
apabila mampu dioptimalkan sebagai basis pendidikan karakter bangsa, terutama
untuk pendidikan anak usia dini (PAUD). Dengan revitalisasi, rekonstruksi dan
peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), TPQ akan mampu memberikan
sumbangsihnya demi perbaikan karakter generasi masa depan bangsa menuju yang
lebih baik. Tidak ada yang tidak mungkin untuk sebuah ikhtiar suci.
3.
Metode
Qiraati
a. Sejarah
Qiraati
Dengan dorongan keinginan hati untuk mengajarkan
al-Qur’an dengan baik dan benar, serta dengan keberanian yang didukung oleh
inayah dan hidayah Allah SWT., KH. Dachlan Salim Zarkasyi mulai mencoba
menyusun dan menulis sendiri metode yang dikehendakinya itu. Yakni metode yang
berhasil dalam mengajar membaca al-Qur’an yang sekaligus mudah dan disukai oleh
anak-anak.
Supaya santri mudah membaca dan betul-betul mengerti
serta faham, maka beliau mencoba menulis pelajaran dengan bacaan “bunyi” huruf
hijaiyyah yang sudah berharakat “fathah”. Dalam pelajaran ini anak tidak boleh
mengeja, misalnya alif fathah A, BA fathah BA, tetapi langsung membaca bunyi
huruf yang sudah berharakat fathah tadi seperti: A-BA-TA dan seterusnya.
Agar santri bisa membaca dengan baik dan benar, maka
sejak awal sekali santri sudah diharuskan membacanya dengan lancar, cepat dan
tepat, tanpa ada salah dalam membaca. Dengan demikian secara tidak langsung santri
harus mengerti dan faham setiap huruf Hijaiyyah.
Demikianlah, dengan penuh kesabaran dan ketelitian,
sehuruf demi sehuruf beliau mencoba untuk diajarkan kepada santrinya walaupun
nampaknya lambat, tetapi santri faham dengan baik.
Agar santri terlatih dan dapat membaca benar, maka
setiap contoh bacaannya diambilkan dari kalimat-kalimat al-Qur’an juga
kalimat-kalimat bahasa Arab.
Setelah santri lancar menbaca huruf-huruf Hijaiyyah
yang berharakat fathah, kemudian
dicoba dengan huruf-huruf yang berharakat kasrah dan dhommah. Demikian pula
dengan huruf yang berharakat fathah
tanwin, kasrah tanwin dan dhummah tanwin.
Sebagaimana biasanya dalam menyusun pelajaran baru
mesti ada penyebab yang menjadi puncak pelajaran tersebut disusun. Demikianlah
pelajaran seterusnya sehingga selesainya metode tersebut.
Suatu ketika dalam majlis tadarus al Quran yang beliau
menyimak banyak orang yang membacanya salah, terutama dalam membaca “Lam bersyiddah” yiaitu membacanya dengan
menahan suara huruf lamnya. Melihat keadaan demikian, maka disusunlah pelajaran
huruf-huruf bersyiddah yang mesti dibaca tegas dan terang serta cepat, yang
kemudian dirangkaikan dengan pelajaran “AL
Syamsiyyah”.
Adanya pelajaran Mim
sukun bertemu mim yang dibaca
dengung dilatarbelakangi oleh banyaknya orang yang belum dapat membedakan
antara bacaan mim sukun bertemu mim dengan bacaan mim sukun bertemu dengan selain mim
dan ba’.
Adapun pelajaran nun sukun/tanwin bertemu lam dan ra dilatarbelakangi oleh banyaknya orang yang membaca dengan
menahan bacaan lamnya. Kemudian pelajaran dilanjutkan dengan pelajaran bacaan Nun sukun/tanwin bertemu dengan wawu dan ya, yang dibaca idgam
dengan dengung.
Sedangkan pelajaran waqaf di akhir ayat dilatarbelakangi oleh banyaknya orang yang
salah dalam menghentikan bacaannya, yaitu seolah-olah setiap waqaf dibaca panjang padahal tidak
semuanya begitu.
Pelajaran membaca lafaz Allah dilatarbelakngi oleh
bacaan yang salah, yakni lam kasrah
dibaca dengan tebal seolah seperti lam
berbaris atas atau dhummah.
Begitu juga dengan pelajaran Iqlab, qalqalah dan izhar halqi yang kesemuanya dilatar
belakangi oleh banyaknya kesalahan yang dilakukan oleh para pembaca.
Demikianlah semua pelajaran yang telah berjaya beliau
susun. kemudian dari tulisan-tulisan dikumpulkan dan dijilid, ternyata
terkumpul menjadi sepuluh jilid atau sepuluh buku. Kemudian buku-buku tersebut
dicetak dengan sablon dan dibahagikan kepada anak-anaknya mengikut tahapan
pencapaiannya.[5]
b. Visi
Qiraati
Membudayakan membaca al-Qur’an dengan tartil.[6]
c. Misi
Qiraati
1) Mengadakan
pendidikan al-Qur’an untuk menjaga, memelihara kehormatan dan kesusian
al-Qur’an dari segi bacaan yang tartil;
2) Menyebarkan
ilmu dengan memberi ujian memakai buku Qira’ati hanya bagi lembaga-lembaga/ustadz-ustadz
yang taat, patuh, amanah dan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh koordinator;
3) Mengingatkan
para ustadz agar berhati-hati jika mengajarkan al-Qur’an;
4) Mengadakan
pembinaan para ustadz/calon ustadz untuk meningkatkan kualitas pendidikan
pengajar-an al-Qur’an;
5) Mengadakan
Tashih untuk calon ustadz dengan obyektif;
6) Mengadakan
bimbingan metodologi bagi calon ustadz yang lulus tashih;
7) Mengadakan
tadarus bagi para ustadz ditingkat lembaga atau MMQ yang diadakan oleh
koordinator;
8) Menunjuk/memilih
koordinator, kepada sekolah dan para ustadz yang amanah/profesional dan
berakhlakul karimah;
9) Memotivasi
para koordinator, kepada sekolah dan para ustadz senantiasa mohan petunjuk dan
per-tolongan kepada Allah demi kemajuan lembaga-nya dan mencari keridhaan-Nya.[7]
d. Ciri-ciri
Qiraati
1)
Tidak di dijual secara bebas;
2)
Guru-ustadz lewat tashih dan pembinaan;
B.
Kajian
Empiris
1.
Pengertian
Taman Pendidikan al-Qur'an (TPQ)
TPQ adalah lembaga pendidikan dan pengajaran Islam di
luar sekolah untuk anak-anak usia SD (7-12 tahun). Waktu atau jam belajar
mengajar TPQ berlangsung sore hari, yaitu sebelum dan sesudah waktu zuhur atau
sebelum dan sesudah waktu ashar.
2.
Visi,
Misi dan Tujuan TPQ
a.
Visi TPQ yaitu menyiapkan generasi Qur’ani menyongsong
masa depan gemilang;
b.
Misi TPQ yaitu misi pendidikan dan dakwah islamiyah;
c.
Tujuan dan target TPQ yaitu untuk menyiapkan anak
didiknya agar menjadi generasi Qurani.
Untuk
tercapainya tujuan ini, TPQ perlu merumuskan pula target-target operasionalnya.
Dalam waktu kurang lebih 1 tahun diharapkan setiap anak didik akan memiliki
kemampuan :
a.
Membaca Al Quran dengan benar sesuai dengan kaidah
ilmu tajwid;
b.
Melakukan shalat dengan baik dan terbiasa hidup dalam
suasana yang islami;
c.
Hafal beberapa surat-surat pendek, ayat-ayat pilihan
dan do’a sehari-hari;
d.
Menulis huruf Al Quran.
3.
Kurikulum
TPQ
Penyusunan kurikulum TPQ mengacu
pada asas-asas sebagai berikut :
a. Asas agamis
bersumber dari Al Quran dan Hadits;
b. Asas filosofis
berdasarkan pada sila pertama Pancasila;
c. Asas socio-cultural bersumber pada kenyataan
bahwa mayoritas bangsa Indonesia beragama Islam;
d. Asas psikologis,
secara psikologis, usia 4-12 tahun cukup kondusif untuk menerima bimbingan
membaca dan menghafal Al-Quran, serta pemahaman nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya.[9]
Tujuan kurikulum TPQ :
a. Santri
dapat mengagumi dan mencintai Al Quran sebagai bacaan istimewa dan pedoman
utama;
b. Santri
dapat terbiasa membaca Al Quran dengan lancer dan fasih serta memahami
hukum-hukum bacaannya berdasarkan kaidah ilmu tajwid;
c. Santri
dapat mengajarkan shalat limawaktu dengan tata cara yang benar dan menyadarinya
sebagai kewajiban sehari-hari;
d. Santri
dapat menguasai hafalan sejumlah surat pendek, ayat pilihan, dan doa harian;
e. Santri
dapat mengembangkan perilaku sosial yang baik sesuai tuntunan Islam dan
pengalaman pendidikannya;
4.
Materi
Pembelajaran TPQ
a. Materi
pokok
1) Bacaan
kitab sesuai dengan bacaan qiraati;
2) Hafalan
bacaan shalat;
3) Bacaan
surat pendek;
4) Latihan
praktek shalat dan amalan ibadah shalat;
5) Bacaan
tadarus bittartil;
6) Ilmu
tajwid;
7) Hafalan
ayat pilihan;
8) Tahsinul
kitabah.
b. Materi
penunjang
1) Doa
dan adab harian;
2) Dinul
Islam (pengetahuan dasar akidah, syariah dan akhlak);
3) Muatan
lokal seperti bahasa Arab praktis.
5.
Metode
Pembelajaran
a. Metode
qiraati
b. Ceramah
c. Tanya
jawab
d. Demontrasi
e. Latihan
/ drill
f. Pemberian
tugas
g. Sosio
drama
h. Kerja
kelompok
6.
Munaqasah
Evaluasi
adalah suatu proses yang sistematis untuk menentukan atau membuat keputusan
sampai sejauh mana tujuan pengajaran yang telah dicapai santri (Norman E.
Gronliund / 1976 yang dikutip oleh Ngalim Purwanto).[11]
Secara umum, evaluasi memiliki 3
macam fungsi, yaitu :
a. Mengukur
kemajuan;
b. Menunjang
penyusunan rencana;
c. Memperbaiki
/ menyempurnakan kembali.
Adapun fungsi evaluasi secara khusus adalah sebagai
berikut :
a.
Secara Psikologis
1) bagi santri
yaitu untuk mengenal kapasitas dan status dirinya
2) bagi
pendidik yaitu untuk mengetahui kepastian hasil usahanya
b. Secara
didaktik
1) bagi santri
yaitu sebagai dorongan perbaikan dan peningkatan prestasi
2) bagi
pendidik yaitu fungsi diagnostik, penempatan, selektif, bimbingan dan
instruksional.
Berdasarkan
fungsi evaluasi tersebut, evaluasi / munaqasah di TPQ dibagi menjadi 4 tahap :
a. Munaqasah
awal untuk mengetahui sejauh mana kemampuan santri yang baru masuk dan akan
ditempatkan untuk memulai kitab qiraati;
b. Munaqasah
harian atau sewaktu-waktu, dilakukan karena santri akan pindah halaman dari kelas
TK sampai dengan kelas tajwid atau akan pindah ayat atau halaman pada Al Quran
dan juga untuk hafalan santri;
c. Munaqasah
persemester, dilaksanakan untuk mengisi raport bentuknya lisan dan praktek shalat;
7.
Pelaksanaan
Kegiatan Pembelajaran
Pelaksanaan kegiatan pembelajaran harian di TPQ meliputi 4 kegiatan yaitu :
a. Pengelolaan
kelas
Pengelolaan
kelas dapat dimulai dengan membagi santri menjadi beberapa kelas, untuk TPQ,
pembagian kelas semaksimal mungkin berdasarkan kesamaan tingkat kelas di SD/MI.
b. Kegiatan
pembukaan (klasikal awal)
Materi
: Doa-doa pembukaan dan materi tambahan.
c. Kegiatan
inti, terdiri atas dua tahap, yaitu :
1) Klasikal
kelompok : hafalan doa harian.
2) Klasikal
perorangan : bacaan qiraati dan menulis.
d. Kegiatan
penutup (klasikal akhir)
Kegiatannya
diarahkan pada upaya menciptakan suasana menyenangkan dan mempererat keakraban
diantara santri. Akhir pertemuan ditutup dengan doa dan harus dibiasakan agar
anak-anak pulang tertib.
[1] Narang, Renuka H, 1992, Social Justice and Political Education through Non-Formal Education (http://www.jstor.org/stable/3444692)
[2] Rama, German W and Tedesco, Juan
Carlos, Education and Development
in Latin America 1950-19. pp. 187-211 (http://www.jstor.org/stable/3443730)
[3] La
Belle, Thomas J, 1982, Formal, Nonformal and Informal Education: A
Holistic Perspective on Lifelong Learning , pp. 159-175, (http://www.jstor.org/stable/3443930)
[4]
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
[5] http://qiraati.wordpress.com/2009/10/30/sejarah-singkat-penemuan-metode-qiraati,
diakses pada 1 April 2012.
[6]
Khusni Mutamakin, Visi Misi dan Ciri
Metode Qiraati, http://khusni-mutamakin.blogspot.com/2010/12/visi-misi-dan-ciri-ciri-metode-qiraati.htm,
diakses pada 1 April 2012.
[7] Khusni
Mutamakin, Visi Misi dan Ciri Metode
Qiraati, http://khusni-mutamakin.blogspot.com/2010/12/visi-misi-dan-ciri-ciri-metode-qiraati.htm,
diakses pada 1 April 2012.
[8] Ibid. diakses pada 1 April 2012.
[9]
U. Syamsudin, MZ. Panduan Kurikulum
dan Pengajaran TKA-TPA, (Jakarta: LPPTKA BKPRMI pusat, 2004) hal, 15-21.
[10] Ibid., hal, 15-21.
[11] Ngalim,
M. Purwanto, Prinsip-prinsip dan Evaluasi
Pengajaran (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), cet. Ke-II. hal. 3.
[12]
Sudjono, Anas, Porf. DR. Pengantar
Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: Grafindo Persada, 2005), cet. ke-5, hal. 15.
[13] Mamsudi,AR,
Drs., Panduan Manajemen dan Tatatertib
TK/TP Al Quran, (Jakarta: LPPTKA BKPRMI, 1999), hal. 30-31
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan tulis komentar Anda