Selasa, 06 November 2012

Hukum Operasi Kelamin


BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang Masalah
$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.sŒ 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© Ÿ@ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ׎Î7yz ÇÊÌÈ
Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (al-Hujurat : 13).[1]
Tuhan telah menciptakan manusia dalam dua bentuk yaitu pria dan wanita, dengan Adam dan Hawa sebagai cikal bakalnya. Namun sejarah mencatat dan fakta berbicara bahwa ternyata ada sekelompok orang yang sangat kecil jumlahnya-mungkin sejuta satu karena dalam statistik belum pernah diinformasikan berapa jumlah kelompok orang tersebut. Berbeda dengan jumlah lelaki atau perempuan yang sering diinformasikan, dimana jumlah lelaki 43% dari jumlah penduduk Indonesia dan jumlah kaum perempuan 57%. Mereka itu adalah makhluk Tuhan yang disebut Waria. Mereka sepertinya belum mendapatkan perhatian dan seperti dibiarkan hidup pada habitatnya mencari dan berjuang mempertahankan hidup menurut maunya. Mereka seperti belum tersentuh hukum, tapi mereka terkadang dicari bila dibutuhkan atau diperlukan untuk suatu kepertingan atau tujuan sesaat.
Belakangan ini semakin banyak fenomena waria yang berkeliaran di jalanan untuk mengadu nasib khususnya di dunia perkotaan, bahkan ada di antara mereka yang menodai atribut muslimah dengan ikut memakai kerudung. Selain itu ironisnya, di media pertelevisian kita sepertinya justru ikut menyemarakkan dan mensosialisasikan perilaku kebancian tersebut di berbagai program acara talkshow, parodi maupun humor. Hal itu tentunya akan turut andil memberikan legitimasi dan figur yang dapat ditiru masyarakat untuk mempermainkan jenis kelamin atau bahkan perubahan orientasi dan kelainan seksual.
Pada hakikatnya, masalah kebingungan jenis kelamin atau yang lazim disebut juga sebagai gejala transseksualisme ataupun transgender merupakan suatu gejala ketidakpuasan seseorang karena merasa tidak adanya kecocokan antara bentuk fisik dan kelamin dengan kejiwaan ataupun adanya ketidakpuasan dengan alat kelamin yang dimilikinya. Ekspresinya bisa dalam bentuk dandanan, make up, gaya dan tingkah laku, bahkan sampai kepada operasi penggantian kelamin (Sex Reassignment Surgery). Dalam DSM (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder) – III, penyimpangan ini disebut sebagai juga gender dysporia syndrome. Penyimpangan ini terbagi lagi menjadi beberapa subtipe meliputi transseksual, a-seksual, homoseksual, dan heteroseksual.
Khusus untuk tanda-tanda transseksual yang bisa dilacak melalui DSM, antara lain: perasaan tidak nyaman dan tidak puas dengan salah satu anatomi seksnya; berharap dapat berganti kelamin dan hidup dengan jenis kelamin lain; mengalami guncangan yang terus menerus untuk sekurangnya selama dua tahun; adanya penampilan fisik interseks atau genetik yang tidak normal; dan dapat ditemukannya kelainan mental semisal schizophrenia yaitu menurut J.P. Chaplin dalam Dictionary of Psychology (1981) semacam reaksi psikotis dicirikan di antaranya dengan gejala pengurungan diri, gangguan pada kehidupan emosional dan afektif serta tingkah laku negativisme.
Dalam hukum Indonesia sendiri belum ada ketentuan yang jelas mengatur mengenai kedudukan masalah transseksual maupun kedudukan para waria. Padahal dengan semakin meningkatnya globalisasi di dunia, masalah-masalah seperti ini semakin sering muncul.  Para waria dengan mudah dapat ditemui di berbagai sudut kota. Bahkan di Thailand, secara rutin dalam setahun diadakan kontes kecantikan untuk para waria yang belakangan rupanya juga telah ada di Indonesia.
B.     Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan-permasalahan sebagai berikut :
1.      Bagaimana kondisi fisik dan psikis khunta dan takhannuts?
2.      Bagaimana hukum operasi kelamin menurut pandangan Islam?
C.     Tujuan Pembahasan
Berdasarkan uraian latar belakang masalah dan perumusan masalah di atas, maka tujuan pembahasan dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Untuk mengetahui tentang kondisi fisik dan psikis khunta dan takhannuts;
2.      Untuk mengetahui bagaimana hukum operasi kelamin menurut pandangan Islam.


BAB II
PEMBAHASAN

A.     Khuntsa
Di antara sekian banyak fenomena di dunia ini, ada sedikit kasus di mana seseorang memiliki kelamin ganda. Artinya dia memilki kelamin laki-laki dan kelamin wanita sekaligus.
Dalam masalah ini, Islam sejak awal dahulu telah memiliki sikap tersendiri berkaitan dengan status jenis kelamin orang ini. Sederhana saja, bila alat kelamin salah satu jenis itu lebih dominan, maka dia ditetapkan sebagai jenis kelamin tersebut. Artinya, bila organ kelamin laki-lakinya lebih dominan baik dari segi bentuk, ukuran, fungsi dan sebagainya, maka orang ini meski punya alat kelamin wanita, tetap dinyatakan sebagai pria. Dan sebagai pria, berlaku padanya hukum-hukum sebagai pria. Antara lain mengenai batas aurat, mahram, nikah, wali, warisan dan seterusnya.
Dan sebaliknya, bila organ kelamin wanita yang lebih dominan, maka jelas dia adalah wanita, meski memiliki alat kelamin laki-laki. Dan pada dirinya berlaku hukum-hukum syairat sebagai wanita.
Namun ada juga yang dari segi dominasinya berimbang, yang dalam literatur fiqih disebut dengan istilah khuntsa musykil. Namanya saja sudah musykil, tentu merepotkan, karena kedua alat kelamin itu berfungsi sama baiknya dan sama dominannya. Untuk kasus ini, dikembalikan kepada para ulama untuk melakukan penelitian lebih mendalam untuk menentuakan status kelaminnya. Namun kasus ini hampir tidak pernah ada. Bahkan khuntsa ghairu musykil pun hampir tidak pernah didapat.[2]
B.     Takhannuts
Yang paling sering kita temukan kasusnya justru takhannuts, yaitu berlagak atau berpura-pura jadi khuntsa, padahal dari segi pisik dia punya organ kelamin yang jelas. Sehingga sama sekali tidak ada masalah dalam statusnya apakah laki atau wanita. Pastikan saja alat kelaminnya, maka statusnya sesuai dengan alat kelaminnya.
Menurut Ust. H. Ahmad Sarwat, Lc, memang ada sebagian mereka yang melakukan operasi kelamin, tapi operasi itu sifatnya cuma aksesris belaka dan tidak bisa berfungsi normal. Karena itu operasi tidak membuatnya berganti kelamin dalam kacamata syariat. Sehingga status tetap laki-laki meski suara, bentuk tubuh, kulit dan seterusnya mirip wanita.
Sedangkan yang berkaitan dengan perlakuan para waria ini, jelas merka adalah laki-laki, karena itu ta‘amul kita dengan mereka sesuai dengan etika laki-laki. Dan karena tetap laki-laki, maka pergaulan mereka dengan wanita persis sebagaiman adab pergaulan laki-laki dengan wanita. Para wanita tetap tidak boleh berkhalwat, ihktilat, sentuhan kulit, membuka aurat dan seterusnya dengan para waria ini.
Orang yang melakukan takhannuts ini jelas melakukan dosa besar karena berlaku menyimpang dengan menyerupai wanita. Rasulullah SAW pernah mengumumkan, bahwa perempuan dilarang memakai pakaian laki-laki dan laki-laki dilarang memakai pakaian perempuan. Di samping itu beliau melaknat laki-laki yang menyerupai perempuan dan perempuan yang menyerupai laki-laki.[3]
Termasuk di antaranya, ialah tentang bicaranya, geraknya, cara berjalannya, pakaiannya, dan sebagainya. Sejahat-jahat bencana yang akan mengancam kehidupan manusia dan masyarakat, ialah karena sikap yang abnormal dan menentang tabiat. Sedang tabiat ada dua yaitu tabiat laki-laki dan tabiat perempuan. Masing-masing mempunyai keistimewaan tersendiri.
Maka jika ada laki-laki yang berlagak seperti perempuan dan perempuan bergaya seperti laki-laki, maka ini berarti suatu sikap yang tidak normal dan meluncur ke bawah. Rasulullah SAW pernah menghitung orang-orang yang dilaknat di dunia ini dan disambutnya juga oleh malaikat, di antaranya ialah laki-laki yang memang oleh Allah dijadikan betul-betul laki-laki, tetapi dia menjadikan dirinya sebagai perempuan dan menyerupai perempuan; dan yang kedua, yaitu perempuan yang memang dicipta oleh Allah sebagai perempuan betul-betul, tetapi kemudian dia menjadikan dirinya sebagai laki-laki dan menyerupai orang laki-laki (Hadis Riwayat Thabarani).
Justru itu pulalah, maka Rasulullah SAW melarang laki-laki memakai pakaian yang dicelup dengan ‘ashfar (zat warna berwarna kuning yang biasa dipakai untuk mencelup pakaian-pakaian wanita di zaman itu). Sayyidina Ali ra mengatakan, "Rasulullah SAW pernah melarang aku memakai cincin emas dan pakaian sutera dan pakaian yang dicelup dengan ashfar. (Hadis Riwayat Thabarani).
Ibnu Umar pun pernah meriwayatkan: "Bahwa Rasulullah SAW pernah melihat aku memakai dua pakaian yang dicelup dengan ‘ashfar, maka sabda Nabi: ‘Ini adalah pakaian orang-orang kafir, oleh karena itu jangan kamu pakai dia.”
C.     Hukum Operasi Kelamin menurut Islam
$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.sŒ 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© Ÿ@ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ׎Î7yz ÇÊÌÈ
Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (al-Hujurat : 13).[4]
Ayat ini mengajarkan prinsip Equality before God and Law, artinya manusia dihadapan Tuhan dan Hukum itu mempunyai kedudukan yang sama.[5]
Dan yang menyebabkan tinggi / rendahnya kedudukan manusia itu bukanlah karena perbedaan jenis kelamin, ras, bahasa, kekayaan, kedudukan dan sebagainya, melainkan karena ketaqwaannya kepada Allah SWT. Oleh karena itu, jenis kelamin yang normal seharusnya disyukuri dengan jalan menerima kodratnya dan menjelankan kewajibannya sebagai makhluk terhadap khalik-Nya sesuai dengan kodratnya tanpa merubah jenis kelaminnya.
öNßg¨Y¯=ÅÊ_{ur öNßg¨YtÏiYtB_{ur öNßg¯RtãBUyur £`à6ÏnGu;ãn=sù šc#sŒ#uä ÉO»yè÷RF{$# öNåk¨XzßDUyur žcçŽÉitóãŠn=sù šYù=yz «!$# 4 `tBur ÉÏ­Ftƒ z`»sÜø¤±9$# $wŠÏ9ur `ÏiB Âcrߊ «!$# ôs)sù tÅ¡yz $ZR#tó¡äz $YYÎ6B ÇÊÊÒÈ
Dan Aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan Aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka merubahnya". barangsiapa yang menjadikan syaitan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata”. (an-Nisa : 119).[6]
Mengubah yang diciptakan oleh Allah seperti yang telah difirmankan di atas maksudnya adalah mengubah segala sesuatu yang telah diciptakan Allah seperti sifat Nabi SAW, oleh kalangan Yahudi dan Nasranai mengubah kitab – kitab mereka, termasuk pula mengubah tubuh dengan membuat tato dan merubah rambut dengan weg (rambut palsu).
Jadi seorang laki – laki atau perempuan yang normal dalam arti alat kelamin luar dan dalamnya tidak ada kelainan, lalu karena suatu hal dia minta untuk dioprasi agar kelamin luarnya diubah menjadi jenis kelamin yang berbeda, atau berlawanan dengan jenis kelamin yang didalam, maka hukumnya haram.[7] Sebab termasuk mengubah ciptaan Allah dan mengecoh orang lain.
Mengenai orang yang lahir tidak normal jenis kelaminnya, hukum melakukan operasi kelaminnya tergantung pada keadaan organ luar dan dalam yang dapat dikelompokkan sebagai berikut :
a. Apabila seseorang mempunyai organ kelamin dua/ganda : penis dan vagina, maka untuk memperjelas identitas jenis kelmainnya, ia boleh melkukan operasi mematikan organ kelamin yang satu dan menghidupkan organ kelamin yang lain yang sesuai dengan organ kelmin bagian dalam. Misalnya seseorang yang mempunya alat kelamin yang berlawanan, yakni penis dan vagina, dan disamping itu dia juga mempunyai rahim dan ovarium yang merupakan cirri khas dan utama untuk seorang wanita, maka ia boleh atau bahkan dianjurkan untuk dioprasi mengangkat penisnya, demi untuk mempertegas jenis kelamin kewanitaannya, dan sebaliknya ia tidak boleh mengangkat vaginanya dan membiarkan penisnya karena bertentangan dengan organ kelaminnya yang bagian dalam yang lebih vital yakni rahim dan ovarium.
b. Apabila seseorang mempunyai organ kelamin satu yang kurang sempurna ben-tuknya, misalnya ia mempunyai vagina yang tidak berlubang dan ia mempunyai rahin dan ovarium, maka ia boleh dan bahkan dianjurkan oleh agama untuk memberi lubang pada vaginanya.[8]
Adapun dalil syar’ie yang membernarkan operasi yang bersifat memperbaiki diantaranya sebagai berikut : seperti hadist nabi yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hambal  :
تَدَاوُوْا عِبَادَ اللهِ فَإنَّ اللهَ تَعَالي لَمْ يَضَعْ دَاءً اِلاَّ وضَعَ لَهُ دَوَاءً غَيْرَ دَاءٍ واحِدٍ اَلْهَرَمُ
Bertobatlah hai hamba-hamba Allah SWT.! Karena sesungguhnya Allah tidak mengadakan penyakit, kecuali dia mengadakan pula obatnya, kecuali satu penyakit, ialah penyakit tua.”
Apabila kemajuan teknologi kedokteran bisa memperbaiki kesehatan fisik dan psikis/mental si banci alami itu melalui operasi kelamin, maka Islam memperbolehkan bahkan menganjurkan/memandang baik, karena manfaatnya lebih besar dari mafsadahnya. Apalagi kalau banci alami ini dipandang sebagai penyakit, yang menurut pandangan Islam wajib berikhtiyar dan diobati.





BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
  1. Operasi jenis kelamin yang dilakukan seseorang dengan tujuan hanya ingin mengikuti nafsu/psikisnya hukumnya haram dan tidak dibenarkan oleh Islam karena dia dengan sengaja mengubah yang diciptakan oleh Allah SWT. dan mengecoh orang lain. Hukumnya haram apabila melakukan operasi kelamin (mengubah jenis kelamin luar yang tidak sesuai dengan organ dalam) hanya untuk mengikuti nafsunya tanpa adanya hajat yang penting.
  2. Bagi seseorang yang mengoprasi kelamin luarnya demi menyamakan dengan kelamin dalamnya serta mempunyai hajat syar’iyah atau mempunyai hajat yang sangat penting, maka hukum operasi tersebut adalah boleh bahkan dianjurkan agar mempunyai kelamin/organnya bekerja normal dan maksimal. Sebab apabila tidak dilakukan perbaikan/perubahan pada kelaminnya, maka psikisnya akan terbebani atau bahkan akan mengalami gangguan. Sehingga hukumnya mubah apabila melakukan operasi kelamin dilakukan untuk memperbaiki/menyamakan antara organ dalam dengan kelamin luar dengan tujuan/hajat yang sangat penting.
B.     Saran
1.      Orang tua harus terus mengawasi pergaulan anak-anaknya jangan sampai terjerumus ke dalam pergaulan negatif yang menyebabkan anak laki-laki perpenampilan seperti perempuan atau sebaliknya;
2.      Membentengi diri dengan akhlak dan iman yang baik adalah langkah yang benar agar tidak terbawa pada pergaulan yang menyesatkan;
3.      Pemerintah dan masyarakat seyogyanya terus mengawasi dan mengfilter pengaruh kebudayaan yang negatif agar tidak merusak generasi muda.
DAFTAR PUSTAKA


Departemen Agama Republik Indonesia. (1989). Al-Qur'an dan Terjemahnya. Semarang : Toha Putra.
Djamaluddin Miri. (2004). Ahkamul Fuqaha. Surabaya.
Ma’ruf Amin. (2010). Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Edisi Ketiga. Jakarta : Citravisi Advertsign.
Masjfuk Zuhdi. (1987). Masail Fiqiyah. Jakarta : Gunung Agung.
Muhammad bin Muhammad al-Mukhtar al-Syinqithi. (1424 H). Ahkām al-Jirāhah al-Thibbiyyah cet. Ketiga. Emirat : Maktabah Shahabah.


[1] Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang : Toha Putra,  1989), hal. 847.
[2] Dr. H.M. Djamaluddin Miri, Ahkamul Fuqaha, Surabaya : 2004. hal. 13.
[3] KH. Ma’ruf Amin, dkk, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia.. (ed), edisi ketiga, cetakan Citravisi Advertsign,  Jakarta, 2010, hal.
[4] Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang : Toha Putra,  1989), hal. 847.
[5] Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqiyah, Jakarta : Gunung Agung, 1987. hal. 170.
[6] Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang : Toha Putra,  1989), hal. 141.
[7] Keputusan Muktamar NU di Semarang dan PWNU Jawa Timur, Tanggal 24 – 26 Muharram 1410 H. / 26 – 28 Agustus 1989 M. menyatakan operasi jenis kelamin luar diubah menjadi jenis kelamin yang berbeda dengan yang didalam dengan tujuan tertentu hukumnya HARAM, lihat  Dr. H. M. Djamaluddin Miri, Lc. MA., Ahkamul Fuqaha, Surabaya, 2004. hlm. 352.
[8] Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqiyah, Jakarta : Gunung Agung, 1987. hal. 173.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan tulis komentar Anda