BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
$pkr'¯»t â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.s 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© @ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ×Î7yz ÇÊÌÈ
“Hai manusia, sesungguhnya
kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan
menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
lagi Maha Mengenal.” (al-Hujurat : 13).[1]
Tuhan telah menciptakan
manusia dalam dua bentuk yaitu pria dan wanita, dengan Adam dan Hawa sebagai
cikal bakalnya. Namun sejarah mencatat dan fakta berbicara bahwa ternyata ada
sekelompok orang yang sangat kecil jumlahnya-mungkin sejuta satu karena dalam
statistik belum pernah diinformasikan berapa jumlah kelompok orang tersebut.
Berbeda dengan jumlah lelaki atau perempuan yang sering diinformasikan, dimana jumlah
lelaki 43% dari jumlah penduduk Indonesia dan jumlah kaum perempuan 57%. Mereka
itu adalah makhluk Tuhan yang disebut Waria. Mereka sepertinya belum
mendapatkan perhatian dan seperti dibiarkan hidup pada habitatnya mencari dan
berjuang mempertahankan hidup menurut maunya. Mereka seperti belum tersentuh
hukum, tapi mereka terkadang dicari bila dibutuhkan atau diperlukan untuk suatu
kepertingan atau tujuan sesaat.
Belakangan ini semakin
banyak fenomena waria yang berkeliaran di jalanan untuk mengadu nasib khususnya
di dunia perkotaan, bahkan ada di antara mereka yang menodai atribut muslimah
dengan ikut memakai kerudung. Selain itu ironisnya, di media pertelevisian kita
sepertinya justru ikut menyemarakkan dan mensosialisasikan perilaku kebancian
tersebut di berbagai program acara talkshow,
parodi maupun humor. Hal itu tentunya akan turut andil memberikan legitimasi
dan figur yang dapat ditiru masyarakat untuk mempermainkan jenis kelamin atau
bahkan perubahan orientasi dan kelainan seksual.
Pada hakikatnya, masalah
kebingungan jenis kelamin atau yang lazim disebut juga sebagai gejala
transseksualisme ataupun transgender merupakan suatu gejala ketidakpuasan
seseorang karena merasa tidak adanya kecocokan antara bentuk fisik dan kelamin
dengan kejiwaan ataupun adanya ketidakpuasan dengan alat kelamin yang
dimilikinya. Ekspresinya bisa dalam bentuk dandanan, make up, gaya dan tingkah laku, bahkan sampai kepada operasi
penggantian kelamin (Sex Reassignment Surgery). Dalam DSM (Diagnostic
and Statistical Manual of Mental Disorder) – III, penyimpangan ini disebut
sebagai juga gender dysporia syndrome. Penyimpangan ini terbagi
lagi menjadi beberapa subtipe meliputi transseksual, a-seksual, homoseksual,
dan heteroseksual.
Khusus untuk tanda-tanda
transseksual yang bisa dilacak melalui DSM, antara lain: perasaan tidak nyaman
dan tidak puas dengan salah satu anatomi seksnya; berharap dapat berganti
kelamin dan hidup dengan jenis kelamin lain; mengalami guncangan yang terus
menerus untuk sekurangnya selama dua tahun; adanya penampilan fisik interseks
atau genetik yang tidak normal; dan dapat ditemukannya kelainan mental
semisal schizophrenia yaitu menurut J.P. Chaplin dalam Dictionary
of Psychology (1981) semacam reaksi psikotis dicirikan di antaranya
dengan gejala pengurungan diri, gangguan pada kehidupan emosional dan afektif
serta tingkah laku negativisme.
Dalam hukum Indonesia
sendiri belum ada ketentuan yang jelas mengatur mengenai kedudukan masalah
transseksual maupun kedudukan para waria. Padahal dengan semakin meningkatnya
globalisasi di dunia, masalah-masalah seperti ini semakin sering muncul.
Para waria dengan mudah dapat ditemui di berbagai sudut kota. Bahkan di
Thailand, secara rutin dalam setahun diadakan kontes kecantikan untuk para
waria yang belakangan rupanya juga telah ada di Indonesia.
B.
Perumusan
Masalah
Berdasarkan uraian
latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan-permasalahan
sebagai berikut :
1. Bagaimana
kondisi fisik dan psikis khunta dan takhannuts?
2. Bagaimana
hukum operasi kelamin menurut pandangan Islam?
C.
Tujuan
Pembahasan
Berdasarkan uraian
latar belakang masalah dan perumusan masalah di atas, maka tujuan pembahasan
dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk
mengetahui tentang kondisi fisik dan psikis khunta dan takhannuts;
2. Untuk
mengetahui bagaimana hukum operasi kelamin menurut pandangan Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Khuntsa
Di antara sekian banyak fenomena di dunia ini,
ada sedikit kasus di mana seseorang memiliki kelamin ganda. Artinya dia memilki
kelamin laki-laki dan kelamin wanita sekaligus.
Dalam masalah ini, Islam sejak awal dahulu telah
memiliki sikap tersendiri berkaitan dengan status jenis kelamin orang ini.
Sederhana saja, bila alat kelamin salah satu jenis itu lebih dominan, maka dia
ditetapkan sebagai jenis kelamin tersebut. Artinya, bila organ kelamin
laki-lakinya lebih dominan baik dari segi bentuk, ukuran, fungsi dan
sebagainya, maka orang ini meski punya alat kelamin wanita, tetap dinyatakan
sebagai pria. Dan sebagai pria, berlaku padanya hukum-hukum sebagai pria.
Antara lain mengenai batas aurat, mahram, nikah, wali, warisan dan seterusnya.
Dan sebaliknya, bila organ kelamin wanita yang
lebih dominan, maka jelas dia adalah wanita, meski memiliki alat kelamin
laki-laki. Dan pada dirinya berlaku hukum-hukum syairat sebagai wanita.
Namun ada juga yang dari segi dominasinya
berimbang, yang dalam literatur fiqih disebut dengan istilah khuntsa musykil. Namanya saja sudah musykil, tentu merepotkan, karena kedua
alat kelamin itu berfungsi sama baiknya dan sama dominannya. Untuk kasus ini,
dikembalikan kepada para ulama untuk melakukan penelitian lebih mendalam untuk menentuakan status
kelaminnya. Namun kasus ini hampir tidak pernah ada. Bahkan khuntsa ghairu musykil pun hampir tidak
pernah didapat.[2]
B.
Takhannuts
Yang paling sering kita temukan kasusnya justru takhannuts,
yaitu berlagak atau berpura-pura jadi khuntsa,
padahal dari segi pisik dia punya organ kelamin yang jelas. Sehingga sama
sekali tidak ada masalah dalam statusnya apakah laki atau wanita. Pastikan saja
alat kelaminnya, maka statusnya sesuai dengan alat kelaminnya.
Menurut Ust.
H. Ahmad Sarwat, Lc, memang ada sebagian mereka yang melakukan operasi
kelamin, tapi operasi itu sifatnya cuma aksesris belaka dan tidak bisa
berfungsi normal. Karena itu operasi tidak membuatnya berganti kelamin dalam
kacamata syariat. Sehingga status tetap laki-laki meski suara, bentuk tubuh, kulit
dan seterusnya mirip wanita.
Sedangkan yang berkaitan dengan perlakuan para
waria ini, jelas merka adalah laki-laki, karena itu ta‘amul kita dengan mereka sesuai dengan etika laki-laki. Dan
karena tetap laki-laki, maka pergaulan mereka dengan wanita persis sebagaiman
adab pergaulan laki-laki dengan wanita. Para wanita tetap tidak boleh
berkhalwat, ihktilat, sentuhan kulit, membuka aurat dan seterusnya dengan para waria
ini.
Orang yang melakukan takhannuts ini
jelas melakukan dosa besar karena berlaku menyimpang dengan menyerupai wanita. Rasulullah SAW pernah mengumumkan, bahwa perempuan dilarang
memakai pakaian laki-laki dan laki-laki dilarang memakai pakaian perempuan. Di
samping itu beliau melaknat laki-laki yang menyerupai perempuan dan perempuan
yang menyerupai laki-laki.[3]
Termasuk di antaranya, ialah tentang bicaranya,
geraknya, cara berjalannya, pakaiannya, dan sebagainya. Sejahat-jahat bencana
yang akan mengancam kehidupan manusia dan masyarakat, ialah karena sikap yang
abnormal dan menentang tabiat. Sedang tabiat ada dua yaitu tabiat laki-laki dan tabiat perempuan. Masing-masing
mempunyai keistimewaan tersendiri.
Maka jika ada laki-laki yang berlagak seperti
perempuan dan perempuan bergaya seperti laki-laki, maka ini berarti suatu sikap
yang tidak normal dan meluncur ke bawah. Rasulullah SAW pernah menghitung orang-orang yang dilaknat
di dunia ini dan disambutnya juga oleh malaikat, di antaranya ialah laki-laki
yang memang oleh Allah dijadikan betul-betul laki-laki, tetapi dia menjadikan
dirinya sebagai perempuan dan menyerupai perempuan; dan yang kedua, yaitu
perempuan yang memang dicipta oleh Allah sebagai perempuan betul-betul, tetapi
kemudian dia menjadikan dirinya sebagai laki-laki dan menyerupai orang
laki-laki (Hadis Riwayat Thabarani).
Justru itu pulalah, maka Rasulullah SAW melarang
laki-laki memakai pakaian yang dicelup dengan ‘ashfar (zat warna
berwarna kuning yang biasa dipakai untuk mencelup pakaian-pakaian wanita di
zaman itu). Sayyidina Ali ra mengatakan, "Rasulullah SAW pernah melarang aku memakai
cincin emas dan pakaian sutera dan pakaian yang dicelup dengan ‘ashfar. (Hadis Riwayat Thabarani).
Ibnu Umar pun pernah
meriwayatkan: "Bahwa Rasulullah SAW
pernah melihat aku memakai dua pakaian yang dicelup dengan ‘ashfar, maka sabda
Nabi: ‘Ini adalah pakaian orang-orang kafir, oleh karena itu jangan kamu pakai
dia.”
C.
Hukum
Operasi Kelamin menurut Islam
$pkr'¯»t â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.s 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© @ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ×Î7yz ÇÊÌÈ
“Hai manusia, sesungguhnya
kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan
menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
lagi Maha Mengenal.” (al-Hujurat : 13).[4]
Ayat ini mengajarkan prinsip Equality before God
and Law, artinya manusia
dihadapan Tuhan dan Hukum itu mempunyai kedudukan yang sama.[5]
Dan yang menyebabkan tinggi / rendahnya
kedudukan manusia itu bukanlah karena perbedaan jenis kelamin, ras, bahasa,
kekayaan, kedudukan dan sebagainya, melainkan karena ketaqwaannya kepada Allah
SWT. Oleh karena itu, jenis kelamin yang normal seharusnya disyukuri dengan
jalan menerima kodratnya dan menjelankan kewajibannya sebagai makhluk terhadap
khalik-Nya sesuai dengan kodratnya tanpa merubah jenis kelaminnya.
öNßg¨Y¯=ÅÊ_{ur
öNßg¨YtÏiYtB_{ur öNßg¯RtãBUyur £`à6ÏnGu;ãn=sù c#s#uä
ÉO»yè÷RF{$# öNåk¨XzßDUyur cçÉitóãn=sù Yù=yz «!$#
4 `tBur ÉÏFt
z`»sÜø¤±9$#
$wÏ9ur `ÏiB
Âcrß «!$#
ôs)sù tÅ¡yz $ZR#tó¡äz $YYÎ6B
ÇÊÊÒÈ
“Dan Aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan
angan-angan kosong pada mereka dan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga
binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan Aku suruh
mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka merubahnya".
barangsiapa yang menjadikan syaitan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya
ia menderita kerugian yang nyata”. (an-Nisa : 119).[6]
Mengubah yang diciptakan
oleh Allah seperti yang telah difirmankan di atas maksudnya adalah mengubah
segala sesuatu yang telah diciptakan Allah seperti sifat Nabi SAW, oleh
kalangan Yahudi dan Nasranai mengubah kitab – kitab mereka, termasuk pula
mengubah tubuh dengan membuat tato dan merubah rambut dengan weg (rambut palsu).
Jadi seorang laki – laki
atau perempuan yang normal dalam arti alat kelamin luar dan dalamnya tidak ada
kelainan, lalu karena suatu hal dia minta untuk dioprasi agar kelamin luarnya
diubah menjadi jenis kelamin yang berbeda, atau berlawanan dengan jenis kelamin
yang didalam, maka hukumnya haram.[7]
Sebab termasuk mengubah ciptaan Allah dan mengecoh orang lain.
Mengenai orang yang lahir
tidak normal jenis kelaminnya, hukum melakukan operasi kelaminnya tergantung
pada keadaan organ luar dan dalam yang dapat dikelompokkan sebagai berikut :
a. Apabila seseorang
mempunyai organ kelamin dua/ganda : penis dan vagina, maka untuk memperjelas
identitas jenis kelmainnya, ia boleh melkukan operasi mematikan organ kelamin
yang satu dan menghidupkan organ kelamin yang lain yang sesuai dengan organ
kelmin bagian dalam. Misalnya seseorang yang mempunya alat kelamin yang
berlawanan, yakni penis dan vagina, dan disamping itu dia juga mempunyai rahim
dan ovarium yang merupakan cirri khas dan utama untuk seorang wanita, maka ia
boleh atau bahkan dianjurkan untuk dioprasi mengangkat penisnya, demi untuk
mempertegas jenis kelamin kewanitaannya, dan sebaliknya ia tidak boleh
mengangkat vaginanya dan membiarkan penisnya karena bertentangan dengan organ
kelaminnya yang bagian dalam yang lebih vital yakni rahim dan ovarium.
b. Apabila seseorang
mempunyai organ kelamin satu yang kurang sempurna ben-tuknya, misalnya ia
mempunyai vagina yang tidak berlubang dan ia mempunyai rahin dan ovarium, maka
ia boleh dan bahkan dianjurkan oleh agama untuk memberi lubang pada vaginanya.[8]
Adapun dalil syar’ie yang
membernarkan operasi yang bersifat memperbaiki diantaranya sebagai berikut :
seperti hadist nabi yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hambal :
تَدَاوُوْا عِبَادَ اللهِ فَإنَّ اللهَ تَعَالي لَمْ يَضَعْ
دَاءً اِلاَّ وضَعَ لَهُ دَوَاءً غَيْرَ دَاءٍ واحِدٍ اَلْهَرَمُ
“Bertobatlah hai hamba-hamba Allah
SWT.! Karena sesungguhnya Allah tidak mengadakan penyakit, kecuali dia
mengadakan pula obatnya, kecuali satu penyakit, ialah penyakit tua.”
Apabila kemajuan teknologi
kedokteran bisa memperbaiki kesehatan fisik dan psikis/mental si banci alami
itu melalui operasi kelamin, maka Islam memperbolehkan bahkan
menganjurkan/memandang baik, karena manfaatnya lebih besar dari mafsadahnya.
Apalagi kalau banci alami ini dipandang sebagai penyakit, yang menurut
pandangan Islam wajib berikhtiyar dan diobati.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di
atas, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
- Operasi jenis kelamin yang dilakukan seseorang dengan
tujuan hanya ingin mengikuti nafsu/psikisnya hukumnya haram dan tidak
dibenarkan oleh Islam karena dia dengan sengaja mengubah yang diciptakan
oleh Allah SWT. dan mengecoh orang lain. Hukumnya haram apabila melakukan operasi kelamin
(mengubah jenis kelamin luar yang tidak sesuai dengan organ dalam) hanya
untuk mengikuti nafsunya tanpa adanya hajat yang penting.
- Bagi seseorang yang mengoprasi kelamin luarnya demi
menyamakan dengan kelamin dalamnya serta mempunyai hajat syar’iyah
atau mempunyai hajat yang sangat penting, maka hukum operasi tersebut
adalah boleh bahkan dianjurkan agar mempunyai kelamin/organnya bekerja
normal dan maksimal. Sebab apabila tidak dilakukan perbaikan/perubahan
pada kelaminnya, maka psikisnya akan terbebani atau bahkan akan mengalami
gangguan. Sehingga hukumnya mubah apabila melakukan operasi kelamin
dilakukan untuk memperbaiki/menyamakan antara organ dalam dengan kelamin
luar dengan tujuan/hajat yang sangat penting.
B.
Saran
1. Orang
tua harus terus mengawasi pergaulan anak-anaknya jangan sampai terjerumus ke
dalam pergaulan negatif yang menyebabkan anak laki-laki perpenampilan seperti
perempuan atau sebaliknya;
2. Membentengi
diri dengan akhlak dan iman yang baik adalah langkah yang benar agar tidak terbawa
pada pergaulan yang menyesatkan;
3. Pemerintah
dan masyarakat seyogyanya terus mengawasi dan mengfilter pengaruh kebudayaan
yang negatif agar tidak merusak generasi muda.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen
Agama Republik Indonesia. (1989). Al-Qur'an
dan Terjemahnya. Semarang : Toha Putra.
Djamaluddin
Miri. (2004). Ahkamul Fuqaha. Surabaya.
Ma’ruf
Amin. (2010). Himpunan Fatwa Majelis
Ulama Indonesia, Edisi Ketiga. Jakarta : Citravisi Advertsign.
Masjfuk
Zuhdi. (1987). Masail Fiqiyah. Jakarta
: Gunung Agung.
Muhammad
bin Muhammad al-Mukhtar al-Syinqithi. (1424 H). Ahkām al-Jirāhah
al-Thibbiyyah cet. Ketiga. Emirat : Maktabah Shahabah.
[1]
Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur’an
dan Terjemahnya, (Semarang : Toha Putra,
1989), hal. 847.
[2]
Dr. H.M. Djamaluddin Miri, Ahkamul
Fuqaha, Surabaya : 2004. hal. 13.
[3]
KH.
Ma’ruf Amin, dkk, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia.. (ed), edisi ketiga,
cetakan Citravisi Advertsign, Jakarta,
2010, hal.
[4] Departemen
Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan
Terjemahnya, (Semarang : Toha Putra,
1989), hal. 847.
[5]
Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqiyah,
Jakarta : Gunung Agung, 1987. hal. 170.
[6] Departemen
Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan
Terjemahnya, (Semarang : Toha Putra,
1989), hal. 141.
[7] Keputusan Muktamar NU di Semarang
dan PWNU Jawa Timur, Tanggal 24 – 26 Muharram 1410 H. / 26 – 28 Agustus 1989 M.
menyatakan operasi jenis kelamin luar diubah menjadi jenis kelamin yang berbeda
dengan yang didalam dengan tujuan tertentu hukumnya HARAM, lihat Dr. H. M. Djamaluddin Miri, Lc. MA., Ahkamul
Fuqaha, Surabaya ,
2004. hlm. 352.
[8]
Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqiyah,
Jakarta : Gunung Agung, 1987. hal. 173.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan tulis komentar Anda