Selasa, 06 November 2012

Hukum Nikah di Bawah Tangan


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan ikatan lahir bathin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sehingga disebut sebagai pasangan suami isteri berdasarkan akad nikah yang diatur menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan tujuan untuk membentuk keluarga sakinah, mawwaddah, warrahmah atau dengan ungkapan lain menuju rumah tangga yang bahagia sesuai hukum Islam. Islam memandang perkawinan bukan hanya semata-mata sebagai hubungan atau kontrak perdata biasa, akan tetapi lebih dari itu disamping kontrak perdata juga mempunyai dimensi aspek ubudiyah. Dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia ditegaskan bahwa perkawinan merupakan akad yang sangat kuat (mitsaaqon ghalidhan) untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.[1]  Oleh karena itu perkawinan yang bernuansa syarat dengan nilai dan untuk mencapai rumah tangga yang sakinah, mawwaddah dan rahmah perlu dilaksanakan secara sempurna sejalan dengan ketentuan hukum yang berlaku agar tercapai maqashid asy-syari’ah
Prosesi suatu akad perkawinan haruslah memenuhi syarat dan rukun akad.  Akad nikah adalah ikatan menurut cara yang sah dalam bentuk ijab yang diikrarkan oleh wali atau wakilnya dan qabul berupa kerelaan penerimaan ikrar wali oleh mempelai laki-laki atau wakilnya. Agar kuatnya akad  dalam perjanjian menurut hukum perdata dapat dibuktikan  dengan  akta  autentik.  Dalam akad perkawinan akta nikah  merupakan dokumen resmi yang diterbitkan atau dikeluarkan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagai alat bukti autentik tentang telah  terjadinya suatu peristiwa hukum.

Namun realita dan kenyataannya terkadang pasangan calon pengantin sengaja tidak mencatatkan perkawinannya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku bahkan sering melalaikannya, sehingga terjadilah perkawinan liar atau kawin di bawah tangan. Hal mana pihak pasangan pengantin ingin menghindar dari aturan undang-undang. Peristiwa perkawinan yang tidak dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah pada Kantor Urusan Agama sesungguhnya baru muncul dalam kehidupan hukum masyarakat, khususnya bagi umat Islam tepatnya pasca berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.[2] 
Kesengajaan untuk tidak mencatatatkan suatu peristiwa perkawinan tersebut kebanyakkan terjadi dalam perkawinan di bawah umur karena hamil di luar nikah dan bagi seseorang yang ingin melakukan berpoligami secara diam-diam agar tidak diketahui oleh isteri dan anak-anak si suami, karena ingin menghindar dari aturan yang dimuat dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, seperti mengharuskan seorang suami, apabila ingin beristeri lebih dari satu, harus mendapatkan persetujuan dari isterinya dan setelah mendapat izin dari Pengadilan Agama[3] atau harus memenuhi umur bagi calon pengantin. Perkawinan yang tidak dicatat sering disebut dalam masyarakat dengan  nikah di bawah tangan atau nikah sirri. Padahal Kantor Urusan Agama adalah merupakan instansi yang diberi kewenangan untuk mencatat segala peristiwa perkawinan yang terjadi dalam masyarakat Islam yang dilaksanakan melalui Kantor Urusan Agama dan di hadapan penghulu selaku Pegawai Pencatat Nikah.
Kenyataan yang tidak dapat dipungkuri bahwa perkawinan yang dilakukan di bawah tangan seringkali mendorong seseorang akan melakukan talak di bawah tangan karena perkawinan tersebut mudah diterpa kegoncangan dan  terjadi perselisihan dalam rumah tangga, serta sangat mudah untuk memutuskannya bahkan kadangkala tidak jarang suami terlalu mudah melakukan wanprestasi untuk mengingkari perkawinan yang telah terjadi sehingga akibatnya suami akan menjatuhkan talak di bawah tangan tanpa diucapkan oleh suami terhadap isterinya melalui proses persidangan Pengadilan Agama.
Jika demikian kejadiannya makna dan tujuan perkawinan yang sesungguhnya sakral dan sebuah ikatan luhur lahir bathin untuk membentuk kehidupan dengan tujuan membentuk keluarga bahagia sesuai hukum Islam dan untuk mencapai redla Allah SWT. sulit akan terwujud. Penyimpangan terhadap aturan dan makna perkawinan yang sesungguhnya berarti telah melanggar aturan dasar al Quran, as Sunnah dan peraturan perundang-undangan berlaku dan tentu akan membawa dampak yang besar. Tidak efektifnya pelaksanaan peraturan perundangan-undang, terjadi demoralisasi, perceraian, salah satu bentuk pelaksaan perkawinan di bawah tangan (nikah sirri)
B.     Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan-permasalahan sebagai berikut :
1.      Bagaimana kasus nikah di bawah tangan atau nikah sirri yang terjadi di masyarakat?
2.      Bagaimana hukum nikah di bawah tangan atau nikah sirri menurut pandangan Islam?
C.    Tujuan Pembahasan
Berdasarkan uraian latar belakang masalah dan perumusan masalah di atas, maka tujuan pembahasan dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Untuk mengetahui bagaimana kasus nikah di bawah tangan atau nikah sirri yang terjadi di masyarakat;
2.      Untuk mengetahui bagaimana hukum nikah di bawah tangan atau nikah sirri menurut pandangan Islam.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Nikah di Bawah Tangan (Nikah Sirri)
Dari kata “sirri” dari segi etimologis berasal dari bahasa Arab yang berasal dari infinitif sirran dan sirriyyun. Secara etimologi, kata sirran berarti secara diam-diam atau tertutup, secara batin, atau di dalam hati. Sedangkan kata sirriyyun berarti secara rahasia, secara sembunyi-sembunyi, atau misterius.[4]  Jadi nikah sirri, artinya nikah rahasia (secret marriage), pernikahan yang dirahasiakan dari pengetahuan orang banyak.[5]  Kata sirri, sirran atau sirriyyun, dalam bahasa Indonesia bukanlah kata baku dan pemakaiannya pun belum populer di Indonesia. Namun demikian, kata nikah sirri sebagai kesatuan dari dua kata (nikah dan sirri) pada sebagian masyarakat, terutama sebagian umat Islam Indonesia, cukup banyak dikenal. Mengenai defenisi atau konsep nikah sirri, ternyata konsepnya berbeda-beda. Beberapa konsep nikah sirri yang ditemukan  di antaranya sebagai berikut: 
Pertama, menurut Rektor Universitas al-Azhar di Kairo Mesir, yaitu Mahmud Syalthut,[6]  ia berpendapat bahwa nikah sirri merupakan jenis pernikahan di mana akad atau transaksinya (antara laki-laki dan perempuan) tidak dihadiri oleh para saksi, tidak dipublikasikan (i’lan), tidak tercatat secara resmi, dan sepasang suami isteri itu hidup secara sembunyi-sembunyi sehingga tidak ada orang lain selain mereka berdua yang mengetahuinya. Fuqahak berpendapat nikah sirri seperti ini tidak sah (batal), karena ada satu unsur syarat sah nikah yang tidak terpenuhi yakni kesaksian. Jika dalam transaksi akad dihadiri dua orang saksi dan dipublikasikan secara umum, maka nikahnya tidak disebut sirri dan sah menurut syariat. Namun jika kehadiran para saksi berjanji untuk merahasiakan dan tidak mempublikasikannya, fuqahak sepakat akan kemakruhannya.
Kedua, konsep nikah sirri yang paling banyak dikenal yaitu suatu pernikahan yang dilakukan berdasarkan cara-cara agama Islam, tetapi tidak dicatat oleh petugas resmi pemerintah, baik oleh Petugas Pencatat Nikah (PPN) atau di Kantor Urusan Agama (KUA) dan tidak dipublikasikan. Jadi, yang membedakan nikah sirri dengan nikah umum lainnya, secara Islam terletak pada dua hal; (1) tidak tercatat secara resmi oleh petugas pemerintah dan (2) tidak adanya publikasi.
Ketiga, menurut Keputusan Ijtima‟ Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia,[7] nikah di bawah tangan yang dimaksud dalam fatwa ini adalah “Pernikahan yang terpenuhi semua rukun dan syarat yang ditetapkan dalam fiqih (hukum Islam) namun tanpa pencatatan resmi di instansi berwenang sebagaimana diatur dalam perturan perundang-undangan.” Demikian pula pendapat Prof. H.A. Wasit Aulawi,  menjelaskan apa persisnya yang dimaksud dengan nikah sirri, menyebutkan bahwa “nikah sirri” adalah pernikahan yang belum diresmikan, belum diumumkan secara terbuka kepada masyarakat atau pernikahan yang belum dicatatkan pada lembaga pencatatan. Ini bisa dua-duanya, belum diumumkan secara terbuka kepada masyarakat, atau mungkin hanya salah satunya saja, yaitu sudah dicatat tapi belum diadakan resepsi pernikahan / walimatul urs.[8]
Dalam konteks masyarakat Indonesia, sebenarnya nikah sirri mempunyai beberapa devinisi, di antaranya adalah pernikahan yang dipandang sah dari segi agama (Islam), namun tidak didaftarkan ke Kantor Urusan Agama (selaku lembaga perwakilan negara dalam bidang pernikahan), atau pernikahan yang dilakukan tanpa kehadiran wali dari pihak perempuan, dan atau pernikahan yang sah dilakukan baik oleh agama maupun secara negara (juga tercatat di Kantor Urusan Agama), namun tidak disebarluaskan (tidak diadakan walimah / resepsi).
Dari beberapa defenisi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan nikah sirri adalah pernikahan yang dilakukan telah memenuhi syarat dan rukun sebagaimana yang diatur dalam dalam fiqih klasik, namun pernikahan tersebut tidak dipublikasikan dan tidak dicatatkan melalui Pegawai Pencatat Nikah.  
B.     Latar Belakang terjadinya Nikah Sirri
Kebiasaan praktik nikah sirri dalam masyarakat sesungguhnya tidak sepenuhnya dilandasi keinginan pemenuhan kebutuhan biologis atau material semata. Namun pada perkembangan selanjutnya kerap dijadikan tempat pelarian bagi yang ingin berpoligami, tetapi tidak memberitahukan kepada isterinya karena tempat kerja yang jauh atau bagi suami yang Pegawai Negeri Sipil yang ingin poligami tanpa izin Pengadilan Agama. Poligami yang berkendaraan nikah sirri inilah menjadi kebiasaan sebagai senjata ampuh bagi suami yang hastrat seksualitasnya dengan cara beristeri lebih dari satu. Tidak sedikit mereka mempergunakan jalur nikah sirri sebagai aksi perselingkuhan, meskipun berbeda dengan perselingkuhan pada umumnya, perselingkuhan melalui nikah sirri ini lebih mendapatkan pengakuan kebiasaan masyarakat, artinya sebagian kalangan menganggap dengan menikah sirri, ia dapat terhindar dari perbuatan zina. 
Menurut Prof. H.A. Wasit Aulawi, ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya nikah sirri, yaitu faktor pengetahuan masyarakat yang belum bulat, faktor fiqih yang tidak mengatur batas umur nikah, dan faktor kekhawatiran orang tua yang berlebihan teradap jodoh anaknya.[9]  Pengetahuan masyarakat dalam hal ini terpecah-pecah, sehingga ada yang menyatakan “perkawinan sah menurut agama”, “perkawinan sah menurut hukum“ dan sebagainya. Fiqih memang tidak mengenal mengatur batas umur untuk nikah. Anak umur berapa saja dapat dinikahkan. Karena anaknya masih kecil, biasanya nikahnya dilaksanakan secara sirri. Demikian juga halnya adanya ketakutan  orang tua terhadap anaknya tidak mendapatkan jodoh.[10]
Sedangkan menurut Prof. Dr. Abdul Manan, S.H, S.Ip, M.Hum,  Hakim Agung Mahkamah Agung RI menyatakan, adapun faktor-faktor penyebab melakukan perkawinan secara diam-diam (sirri) antara lain :
1.         Pengetahuan masyarakat terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam perkawinan masih sangat kurang.
2.         Adanya kekhawatiran dari seseorang akan kehilangan hak pensiun janda apabila perkawinan baru didaftarkan pada pejabat pencatat nikah.
3.         Tidak ada izin isteri atau isteri-isterinya dan pengadilan agama bagi orang yang bermaksud kawin lebih dari satu orang.
4.         Adanya kekhawatiran orang tua terhadap anaknya yang sudah bergaul rapat dengan calon isteri / suami.
5.         Adanya kekhawatiran orang tua yang berlebihan terhadap jodoh anaknya, karena anaknya segera dikawinkan dengan suatu harapan pada suatu saat jika sudah mencapai batas umur yang ditentukan terpenuhi, maka perkawinan baru dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.[11]
Dalam ketentuan berikutnya, penyebab maraknya nikah sirri dikarenakan  ketidaktahuan masyarakat terhadap dampak pernikahan sirri. Masyarakat miskin hanya bisa berpikir jangka pendek, yaitu terpenuhi kebutuhan ekonomi secara mudah dan cepat. Sebagian yang lain mempercayai, bahwa isteri simpanan kiai, tokoh dan pejabat mempercepat perolehan status sebagai isteri terpandang di masyarakat, kebutuhannya tercukupi dan bisa memperbaiki keturunan mereka. Keyakinan itu begitu dalam terpatri dan mengakar di masyarakat. Cara-cara instan memperoleh materi, keturunan, pangkat dan jabatan bisa didapatkan melalui pertukaran perkawinan. Dan anehnya perempuan yang dinikahi secara sirri merasa enak saja dengan status sirri hanya karena dicukupi kebutuhan materi mereka, sehingga menjadi hal yang dilematis dan menjadi faktor penyebab KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) semakin subur di kalangan masyarakat miskin, awam dan terbelakang. Mereka menganggap nikah sirri sebagai takdir yang harus diterima oleh perempuan begitu saja. 
Di antara sejumlah alasan umum di atas, setidaknya ada tiga alasan terpenting mengapa nikah sirri sering menjadi pilihan sejumlah pihak, yaitu alasan kesulitan ekonomi, kurangnya pemahaman hukum dan faktor kesegeraan melangsungkan nikah agar tidak terjerumus dalam pergaulan bebas.
C.    Hukum Nikah di Bawah Tangan menurut Islam
Hukum Indonesia tidak mengenal istilah “nikah sirri”, dan tidak mengatur secara khusus. Namun, secara sosiologis, istilah ini diberikan bagi perkawinan yang tidak dicatatkan dan dianggap ada dengan tanpa memenuhi ketentuan undang-undang, khususnya UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Mengenai hukum pernikahan yang dirahasiakan, Imam Malik menyatakan pernikahan tersebut batal, sebab pernikahan itu wajib diumumkan kepada masyarakat luas. Sedang pendapat Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah, nikah sirri hukumnya sah, tapi makruh dilakukan.
Menurut syariat, sebuah pernikahan dipandang sah jika telah memenuhi rukun nikah, yaitu calon mempelai pria, calon mempelai perempuan, wali mempelai perempuan, dua orang saksi, dan ijab qabul, serta memenuhi syarat-syarat nikah. Sedang menurut UU Perkawinan, selain memenuhi aturan syariat, pernikahan haruslah dicatat petugas pencatat nikah.
Secara dogmatis, tidak ada nash Alquran atau Hadist yang mengatur pencatatan perkawinan. Sedangkan, hukum nikah yang tidak dicatatkan ke KUA, meski dianggap sah menurut agama, karena telah memenuhi syarat dan rukun nikah, tapi pernikahan ini masih menyisakan persoalan. Setidaknya yang bersangkutan dianggap “berdosa” karena mengabaikan perintah Alquran untuk mengikuti aturan pemerintah (ulil amri). Firman Allah swt.:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.(an-Nisa : 59).[12]
Adapun menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI), nikah sirri disebut sebagai pernikahan di bawah tangan yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama. Menurut MUI, penikahan ini bisa menjadi haram apabila menimbulkan korban.[13] Sedangkan Pimpinan Pusat Muslimat Nahdlatul Ulama (NU) menyetujui adanya sanksi bagi  pelaku pernikahan siri, tetapi bentuknya hukuman perdata bukan pidana.
Dari segi hukum Islam, pernikahan tidak tercatat itu mungkin bisa sah, namun dari segi hukum positif Indonesia, perkawinan itu dianggap tidak ada. Dengan konstruksi seperti itu, pernikahan sirri akan membawa dampak yang cukup merugikan..
Karena pernikahan sirri bukanlah perkawinan yang sah berdasarkan UU Perkawinan, maka kedudukan istri sirri di mata hukum menjadi sangat lemah. Suami dapat dengan mudahnya menelantarkan istri tanpa memberi nafkah. Hak istri atas nafkah dan warisan dari suami menjadi tidak terjamin karena tidak ada bukti tertulis.
   Dalam ranah istinbath al-hukm (penggalian hukum Islam), pencatatan pernikahan merupakan perkara administratif yang mubah (boleh) bahkan sangat penting untuk dilakukan. Hal ini berdasarkan kaidah fiqh (kaidah-kaidah yang menjadi nalar hukum dalam Islam) salah satunya "tasharruf al-imam 'ala ar-ra'iyyah manuthun bi al-mashlahah" yang bermakna bahwa kebijakan pemerintah atas rakyatnya bergantung pada kemaslahatan. Selama kemaslahatan itu tidak bertentangan dengan dalil-dalil yang qath'i (sudah jelas), maka pertimbangan kemaslahatan dalam menyusun sebuah kebijakan bisa dibenarkan.



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Berdasarkan uraian pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
1.      Nikah sirri adalah pernikahan yang dilakukan telah memenuhi syarat dan rukun sebagaimana yang diatur dalam dalam fiqih klasik, namun pernikahan tersebut tidak dipublikasikan dan tidak dicatatkan melalui Pegawai Pencatat Nikah.
2.      Menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI), nikah sirri disebut sebagai pernikahan di bawah tangan yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama. Menurut MUI, penikahan ini bisa menjadi haram apabila menimbulkan korban. Sedangkan Pimpinan Pusat Muslimat Nahdlatul Ulama (NU) menyetujui adanya sanksi bagi  pelaku pernikahan siri, tetapi bentuknya hukuman perdata bukan pidana.
B.     Saran
1.      Seyogyanya orang tua berhati-hati dalam menikahkan anak-anaknya, jangan sampai karena tergiur oleh faktor ekonomi atau penyebab lainnya, sampai mereka hanya menikahkan anaknya secara sirri.
2.      Masyarakat dan pemerintah sudah seharusnya mengawasi dan memberi sanksi kepada pasangan dan keluarga yang melakukan nikah sirri, sehingga pelaku menjadi jera di masa mendatang.
3.      Aqidah dan ketakwaan yang kuat akan mampu membentengi kita dari perbuatan zina maupun godaan untuk menikah secara sirri atau menikah di bawah tangan.


DAFTAR PUSTAKA

A. Wasit Aulawi. (1996). Nikah Harus Melibatkan Masyarakat. Jurnal Dua Bulanan Mimbar Hukum, Nomor 28 Thn. VII.
Abdul Manan. (2006).  Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Cet. Ke-1, Ed. Pertama. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Dadi Nurhaedi. (2003). Nikah di Bawah Tangan: Praktik Nikah Sirri Mahasiswa Jogja. Jogjakarta: Saujana.
Departemen Agama Republik Indonesia. (1989). Al-Qur'an dan Terjemahnya. Semarang : Toha Putra.
Happy Susanto. (2007). Nikah Sirri Apa Untungnya? Jakarta: Visimedia.
Kamal Muchtar. (1974). Azas-azas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Jakarta : Bulan Bintang.
Mahmud Syalthut. (tt).  Al-Fatawa: Dirasat li Musykilat al-Muslim al-Mu’ashir fi Hayatihi alYaumiyah Wajib al-Ammah.  Dar al-Qalam.
Majelis Ulama Indonesia. (2006). Keputusan Ijtima‟ Ulama Komisi Fatwa MUI II Tahun 2006, Masail Asasiyah Wathaniyah, Masail Waqi’iyyah Mu’ashirah, Masail Qanuniyyah.   Jakarta : Majelis Ulama Indonesia.
Masjfuk Zuhdi. (1996). Nikah Sirri, Nikah di Bawah Tangan, dan Status Anaknya Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif. Jurnal Dua Bulanan Mimbar Hukum, Nomor 28 Thn. VII.
Muhammad Amin Suma. (2004). Himpunan Undang-undang Perdata Islam & Peraturan Pelaksanaan Lainnya di Negara Hukum Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Munawwir. (1984). Kamus al-Munawwir. Yogyakarta.
Nashruddin Thaha. (1967). Pedoman Perkawinan Islam. Jakarta :  Bulan Bintang.


[1] Muhammad Amin Suma, Himpunan Undang-undang Perdata Islam & Peraturan Pelaksanaan Lainnya di Negara Hukum Indonesia, Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam Inpres Nomor 1 Tahun 1991, Buku I, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004}, hal.. 375
[2] Pasal 2 BAB I, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, lihat  Ibid., hal. 329.
[3] Pasal 3, 4 dan 5 BAB I, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, lihat Ibid., hal. 330.
[4] Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Yogyakarta: 1984), h. 667-668.
[5] Masjfuk Zuhdi, “Nikah Sirri, Nikah di Bawah Tangan, dan Status Anaknya Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif”, Jurnal Dua Bulanan Mimbar Hukum, Nomor 28 Thn. VII,  September-Oktober1996). hal. 8. Lihat juga Happy Susanto, Nikah Sirri Apa Untungnya?, (Jakarta: Visimedia, 2007), hal. 22.
[6] Mahmud Syalthut,  Al-Fatawa: Dirasat li Musykilat al-Muslim al-Mu’ashir fi Hayatihi alYaumiyah Wajib al-Ammah, (Dar al-Qalam, t.t), hal. 268-269, dalam karangan Dadi Nurhaedi, Nikah di Bawah Tangan: Praktik Nikah Sirri Mahasiswa Jogja, (Jogjakarta: Saujana, 2003), hal. 23.
[7] Keputusan Ijtima‟ Ulama Komisi Fatwa MUI II Tahun 2006, Masail Asasiyah Wathaniyah, Masail Waqi’iyyah Mu’ashirah, Masail Qanuniyyah,  (Majelis Ulama Indonesia, 2006), hal. 39.
[8] A. Wasit Aulawi, “Nikah Harus Melibatkan Masyarakat”, Jurnal Dua Bulanan Mimbar Hukum, Nomor 28 Thn. VII,  (September-Oktober1996), hal. 20
[9] A. Wasit Aulawi, Op.,Cit., hal. 22
[10] Ibid., hal. 23
[11] Abdul Manan,  Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), Cet. Ke-1, Ed. Pertama, hal. 47-48.
[12] Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang : Toha Putra,  1989), hal. 128.
[13] Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI II Tahun 2006, Masail Asasiyah Wathaniyah, Masail Waqi’iyyah Mu’ashirah, Masail Qanuniyyah,  (Majelis Ulama Indonesia, 2006), hal. 39

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan tulis komentar Anda