BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Perkawinan merupakan ikatan lahir bathin antara seorang
laki-laki dan seorang perempuan sehingga disebut sebagai pasangan suami isteri
berdasarkan akad nikah yang diatur menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku dengan tujuan untuk membentuk keluarga sakinah, mawwaddah,
warrahmah atau dengan ungkapan lain menuju rumah tangga yang bahagia sesuai
hukum Islam. Islam memandang perkawinan bukan hanya semata-mata sebagai
hubungan atau kontrak perdata biasa, akan tetapi lebih dari itu disamping
kontrak perdata juga mempunyai dimensi aspek ubudiyah. Dalam Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia ditegaskan bahwa perkawinan merupakan akad yang sangat
kuat (mitsaaqon ghalidhan) untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah.[1]
Oleh karena itu perkawinan yang
bernuansa syarat dengan nilai dan untuk mencapai rumah tangga yang sakinah,
mawwaddah dan rahmah perlu dilaksanakan secara sempurna sejalan
dengan ketentuan hukum yang berlaku agar tercapai maqashid asy-syari’ah.
Prosesi suatu akad perkawinan haruslah memenuhi syarat dan
rukun akad. Akad nikah adalah ikatan
menurut cara yang sah dalam bentuk ijab yang diikrarkan oleh wali atau
wakilnya dan qabul berupa kerelaan penerimaan ikrar wali oleh mempelai
laki-laki atau wakilnya. Agar kuatnya akad
dalam perjanjian menurut hukum perdata dapat dibuktikan dengan
akta autentik. Dalam akad perkawinan akta nikah merupakan dokumen resmi yang diterbitkan atau
dikeluarkan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagai alat bukti autentik tentang
telah terjadinya suatu peristiwa hukum.
Namun realita dan kenyataannya terkadang pasangan calon
pengantin sengaja tidak mencatatkan perkawinannya berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku bahkan sering melalaikannya, sehingga
terjadilah perkawinan liar atau kawin di bawah tangan. Hal mana pihak pasangan
pengantin ingin menghindar dari aturan undang-undang. Peristiwa perkawinan yang
tidak dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah pada Kantor Urusan Agama sesungguhnya
baru muncul dalam kehidupan hukum masyarakat, khususnya bagi umat Islam
tepatnya pasca berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.[2]
Kesengajaan untuk tidak mencatatatkan suatu peristiwa
perkawinan tersebut kebanyakkan terjadi dalam perkawinan di bawah umur karena
hamil di luar nikah dan bagi seseorang yang ingin melakukan berpoligami secara
diam-diam agar tidak diketahui oleh isteri dan anak-anak si suami, karena ingin
menghindar dari aturan yang dimuat dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, seperti mengharuskan seorang suami, apabila ingin beristeri
lebih dari satu, harus mendapatkan persetujuan dari isterinya dan setelah
mendapat izin dari Pengadilan Agama[3] atau harus memenuhi umur bagi calon pengantin. Perkawinan
yang tidak dicatat sering disebut dalam masyarakat dengan nikah di bawah tangan atau nikah sirri.
Padahal Kantor Urusan Agama adalah merupakan instansi yang diberi kewenangan
untuk mencatat segala peristiwa perkawinan yang terjadi dalam masyarakat Islam
yang dilaksanakan melalui Kantor Urusan Agama dan di hadapan penghulu selaku Pegawai
Pencatat Nikah.
Kenyataan yang tidak dapat dipungkuri bahwa perkawinan yang
dilakukan di bawah tangan seringkali mendorong seseorang akan melakukan talak
di bawah tangan karena perkawinan tersebut mudah diterpa kegoncangan dan terjadi perselisihan dalam rumah tangga,
serta sangat mudah untuk memutuskannya bahkan kadangkala tidak jarang suami
terlalu mudah melakukan wanprestasi untuk mengingkari perkawinan yang telah
terjadi sehingga akibatnya suami akan menjatuhkan talak di bawah tangan tanpa diucapkan
oleh suami terhadap isterinya melalui proses persidangan Pengadilan Agama.
Jika demikian kejadiannya makna dan tujuan perkawinan yang
sesungguhnya sakral dan sebuah ikatan luhur lahir bathin untuk membentuk
kehidupan dengan tujuan membentuk keluarga bahagia sesuai hukum Islam dan untuk
mencapai redla Allah SWT. sulit akan terwujud. Penyimpangan terhadap aturan dan
makna perkawinan yang sesungguhnya berarti telah melanggar aturan dasar al
Quran, as Sunnah dan peraturan perundang-undangan berlaku dan tentu akan
membawa dampak yang besar. Tidak efektifnya pelaksanaan peraturan
perundangan-undang, terjadi demoralisasi, perceraian, salah satu bentuk
pelaksaan perkawinan di bawah tangan (nikah sirri).
B.
Perumusan
Masalah
Berdasarkan uraian
latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan-permasalahan
sebagai berikut :
1. Bagaimana
kasus nikah di bawah tangan atau nikah sirri yang terjadi di masyarakat?
2. Bagaimana
hukum nikah di bawah tangan atau nikah sirri menurut pandangan Islam?
C.
Tujuan
Pembahasan
Berdasarkan uraian
latar belakang masalah dan perumusan masalah di atas, maka tujuan pembahasan
dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk
mengetahui bagaimana kasus nikah di bawah tangan atau nikah sirri yang terjadi
di masyarakat;
2. Untuk
mengetahui bagaimana hukum nikah di bawah tangan atau nikah sirri menurut
pandangan Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Nikah
di Bawah Tangan (Nikah Sirri)
Dari kata “sirri” dari segi etimologis berasal dari
bahasa Arab yang berasal dari infinitif sirran dan sirriyyun.
Secara etimologi, kata sirran berarti secara diam-diam atau tertutup,
secara batin, atau di dalam hati. Sedangkan kata sirriyyun berarti
secara rahasia, secara sembunyi-sembunyi, atau misterius.[4]
Jadi nikah sirri, artinya nikah
rahasia (secret marriage), pernikahan yang dirahasiakan dari pengetahuan
orang banyak.[5]
Kata sirri, sirran atau sirriyyun,
dalam bahasa Indonesia bukanlah kata baku dan pemakaiannya pun belum populer di
Indonesia. Namun demikian, kata nikah sirri sebagai kesatuan dari dua
kata (nikah dan sirri) pada sebagian masyarakat, terutama
sebagian umat Islam Indonesia, cukup banyak dikenal. Mengenai defenisi atau
konsep nikah sirri, ternyata konsepnya berbeda-beda. Beberapa konsep
nikah sirri yang ditemukan di antaranya
sebagai berikut:
Pertama, menurut
Rektor Universitas al-Azhar di Kairo Mesir, yaitu Mahmud Syalthut,[6]
ia berpendapat bahwa nikah sirri
merupakan jenis pernikahan di mana akad atau transaksinya (antara laki-laki dan
perempuan) tidak dihadiri oleh para saksi, tidak dipublikasikan (i’lan),
tidak tercatat secara resmi, dan sepasang suami isteri itu hidup secara
sembunyi-sembunyi sehingga tidak ada orang lain selain mereka berdua yang
mengetahuinya. Fuqahak berpendapat nikah sirri seperti ini tidak sah
(batal), karena ada satu unsur syarat sah nikah yang tidak terpenuhi yakni
kesaksian. Jika dalam transaksi akad dihadiri dua orang saksi dan dipublikasikan
secara umum, maka nikahnya tidak disebut sirri dan sah menurut syariat. Namun
jika kehadiran para saksi berjanji untuk merahasiakan dan tidak mempublikasikannya,
fuqahak sepakat akan kemakruhannya.
Kedua, konsep nikah sirri
yang paling banyak dikenal yaitu suatu pernikahan yang dilakukan berdasarkan
cara-cara agama Islam, tetapi tidak dicatat oleh petugas resmi pemerintah, baik
oleh Petugas Pencatat Nikah (PPN) atau di Kantor Urusan Agama (KUA) dan tidak
dipublikasikan. Jadi, yang membedakan nikah sirri dengan nikah umum
lainnya, secara Islam terletak pada dua hal; (1) tidak tercatat secara resmi oleh
petugas pemerintah dan (2) tidak adanya publikasi.
Ketiga, menurut
Keputusan Ijtima‟ Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia,[7]
nikah di bawah tangan yang dimaksud dalam fatwa ini adalah “Pernikahan yang
terpenuhi semua rukun dan syarat yang ditetapkan dalam fiqih (hukum Islam) namun
tanpa pencatatan resmi di instansi berwenang sebagaimana diatur dalam perturan perundang-undangan.”
Demikian pula pendapat Prof. H.A. Wasit Aulawi, menjelaskan apa persisnya yang dimaksud dengan
nikah sirri, menyebutkan bahwa “nikah sirri” adalah pernikahan
yang belum diresmikan, belum diumumkan secara terbuka kepada masyarakat atau
pernikahan yang belum dicatatkan pada lembaga pencatatan. Ini bisa dua-duanya,
belum diumumkan secara terbuka kepada masyarakat, atau mungkin hanya salah
satunya saja, yaitu sudah dicatat tapi belum diadakan resepsi pernikahan / walimatul
urs.[8]
Dalam konteks masyarakat Indonesia, sebenarnya nikah sirri
mempunyai beberapa devinisi, di antaranya adalah pernikahan yang dipandang sah
dari segi agama (Islam), namun tidak didaftarkan ke Kantor Urusan Agama (selaku
lembaga perwakilan negara dalam bidang pernikahan), atau pernikahan yang
dilakukan tanpa kehadiran wali dari pihak perempuan, dan atau pernikahan yang
sah dilakukan baik oleh agama maupun secara negara (juga tercatat di Kantor
Urusan Agama), namun tidak disebarluaskan (tidak diadakan walimah / resepsi).
Dari beberapa defenisi tersebut di atas dapat disimpulkan
bahwa yang dimaksud dengan nikah sirri adalah pernikahan yang dilakukan
telah memenuhi syarat dan rukun sebagaimana yang diatur dalam dalam fiqih klasik,
namun pernikahan tersebut tidak dipublikasikan dan tidak dicatatkan melalui Pegawai
Pencatat Nikah.
B.
Latar
Belakang terjadinya Nikah Sirri
Kebiasaan praktik nikah sirri dalam masyarakat
sesungguhnya tidak sepenuhnya dilandasi keinginan pemenuhan kebutuhan biologis
atau material semata. Namun pada perkembangan selanjutnya kerap dijadikan
tempat pelarian bagi yang ingin berpoligami, tetapi tidak memberitahukan kepada
isterinya karena tempat kerja yang jauh atau bagi suami yang Pegawai Negeri
Sipil yang ingin poligami tanpa izin Pengadilan Agama. Poligami yang
berkendaraan nikah sirri inilah menjadi kebiasaan sebagai senjata ampuh
bagi suami yang hastrat seksualitasnya dengan cara beristeri lebih dari satu.
Tidak sedikit mereka mempergunakan jalur nikah sirri sebagai aksi
perselingkuhan, meskipun berbeda dengan perselingkuhan pada umumnya,
perselingkuhan melalui nikah sirri ini lebih mendapatkan pengakuan
kebiasaan masyarakat, artinya sebagian kalangan menganggap dengan menikah sirri,
ia dapat terhindar dari perbuatan zina.
Menurut Prof. H.A. Wasit Aulawi, ada beberapa faktor yang
menyebabkan terjadinya nikah sirri, yaitu faktor pengetahuan masyarakat
yang belum bulat, faktor fiqih yang tidak mengatur batas umur nikah, dan faktor
kekhawatiran orang tua yang berlebihan teradap jodoh anaknya.[9]
Pengetahuan masyarakat dalam hal ini
terpecah-pecah, sehingga ada yang menyatakan “perkawinan sah menurut agama”,
“perkawinan sah menurut hukum“ dan sebagainya. Fiqih memang tidak mengenal
mengatur batas umur untuk nikah. Anak umur berapa saja dapat dinikahkan. Karena
anaknya masih kecil, biasanya nikahnya dilaksanakan secara sirri.
Demikian juga halnya adanya ketakutan orang
tua terhadap anaknya tidak mendapatkan jodoh.[10]
Sedangkan menurut Prof. Dr. Abdul Manan, S.H, S.Ip, M.Hum, Hakim Agung Mahkamah Agung RI menyatakan,
adapun faktor-faktor penyebab melakukan perkawinan secara diam-diam (sirri)
antara lain :
1.
Pengetahuan masyarakat
terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam perkawinan masih sangat kurang.
2.
Adanya kekhawatiran
dari seseorang akan kehilangan hak pensiun janda apabila perkawinan baru
didaftarkan pada pejabat pencatat nikah.
3.
Tidak ada izin isteri
atau isteri-isterinya dan pengadilan agama bagi orang yang bermaksud kawin
lebih dari satu orang.
4.
Adanya kekhawatiran
orang tua terhadap anaknya yang sudah bergaul rapat dengan calon isteri /
suami.
5.
Adanya kekhawatiran
orang tua yang berlebihan terhadap jodoh anaknya, karena anaknya segera
dikawinkan dengan suatu harapan pada suatu saat jika sudah mencapai batas umur
yang ditentukan terpenuhi, maka perkawinan baru dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan yang telah ditetapkan.[11]
Dalam ketentuan berikutnya, penyebab maraknya nikah sirri
dikarenakan ketidaktahuan masyarakat
terhadap dampak pernikahan sirri. Masyarakat miskin hanya bisa berpikir
jangka pendek, yaitu terpenuhi kebutuhan ekonomi secara mudah dan cepat.
Sebagian yang lain mempercayai, bahwa isteri simpanan kiai, tokoh dan pejabat mempercepat
perolehan status sebagai isteri terpandang di masyarakat, kebutuhannya tercukupi
dan bisa memperbaiki keturunan mereka. Keyakinan itu begitu dalam terpatri dan
mengakar di masyarakat. Cara-cara instan memperoleh materi, keturunan, pangkat dan
jabatan bisa didapatkan melalui pertukaran perkawinan. Dan anehnya perempuan yang
dinikahi secara sirri merasa enak saja dengan status sirri hanya
karena dicukupi kebutuhan materi mereka, sehingga menjadi hal yang dilematis
dan menjadi faktor penyebab KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) semakin subur
di kalangan masyarakat miskin, awam dan terbelakang. Mereka menganggap nikah sirri
sebagai takdir yang harus diterima oleh perempuan begitu saja.
Di antara sejumlah alasan umum di atas, setidaknya ada tiga
alasan terpenting mengapa nikah sirri sering menjadi pilihan sejumlah
pihak, yaitu alasan kesulitan ekonomi, kurangnya pemahaman hukum dan faktor
kesegeraan melangsungkan nikah agar tidak terjerumus dalam pergaulan bebas.
C.
Hukum
Nikah di Bawah Tangan menurut Islam
Hukum
Indonesia tidak mengenal istilah “nikah sirri”, dan tidak mengatur secara
khusus. Namun, secara sosiologis, istilah ini diberikan bagi perkawinan yang
tidak dicatatkan dan dianggap ada dengan tanpa memenuhi ketentuan
undang-undang, khususnya UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Mengenai
hukum pernikahan yang dirahasiakan, Imam Malik menyatakan pernikahan tersebut
batal, sebab pernikahan itu wajib diumumkan kepada masyarakat luas. Sedang
pendapat Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah, nikah sirri hukumnya sah, tapi
makruh dilakukan.
Menurut
syariat, sebuah pernikahan dipandang sah jika telah memenuhi rukun nikah, yaitu
calon mempelai pria, calon mempelai perempuan, wali mempelai perempuan, dua
orang saksi, dan ijab qabul, serta memenuhi syarat-syarat nikah. Sedang menurut
UU Perkawinan, selain memenuhi aturan syariat, pernikahan haruslah dicatat
petugas pencatat nikah.
Secara
dogmatis, tidak ada nash Alquran atau Hadist yang mengatur pencatatan
perkawinan. Sedangkan, hukum nikah yang tidak dicatatkan ke KUA, meski dianggap
sah menurut agama, karena telah memenuhi syarat dan rukun nikah, tapi
pernikahan ini masih menyisakan persoalan. Setidaknya yang bersangkutan
dianggap “berdosa” karena mengabaikan perintah Alquran untuk mengikuti aturan
pemerintah (ulil amri). Firman Allah swt.:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ÍöDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# 4 y7Ï9ºs ×öyz ß`|¡ômr&ur ¸xÍrù's? ÇÎÒÈ
“Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (an-Nisa : 59).[12]
Adapun
menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI), nikah sirri disebut sebagai pernikahan
di bawah tangan yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama. Menurut MUI,
penikahan ini bisa menjadi haram apabila menimbulkan korban.[13]
Sedangkan Pimpinan Pusat Muslimat Nahdlatul Ulama (NU) menyetujui adanya sanksi
bagi pelaku pernikahan siri, tetapi bentuknya hukuman perdata bukan
pidana.
Dari
segi hukum Islam, pernikahan tidak tercatat itu mungkin bisa sah, namun dari segi
hukum positif Indonesia, perkawinan itu dianggap tidak ada. Dengan konstruksi
seperti itu, pernikahan sirri akan
membawa dampak yang cukup merugikan..
Karena
pernikahan sirri bukanlah perkawinan yang sah berdasarkan UU Perkawinan, maka
kedudukan istri sirri di mata hukum menjadi sangat lemah. Suami dapat dengan
mudahnya menelantarkan istri tanpa memberi nafkah. Hak istri atas nafkah dan
warisan dari suami menjadi tidak terjamin karena tidak ada bukti tertulis.
Dalam ranah istinbath al-hukm
(penggalian hukum Islam), pencatatan pernikahan merupakan perkara administratif
yang mubah (boleh) bahkan sangat penting untuk dilakukan. Hal ini berdasarkan
kaidah fiqh (kaidah-kaidah yang menjadi nalar hukum dalam Islam) salah satunya
"tasharruf al-imam 'ala ar-ra'iyyah manuthun bi al-mashlahah"
yang bermakna bahwa kebijakan pemerintah atas rakyatnya bergantung pada
kemaslahatan. Selama kemaslahatan itu tidak bertentangan dengan dalil-dalil
yang qath'i (sudah jelas), maka pertimbangan kemaslahatan dalam menyusun
sebuah kebijakan bisa dibenarkan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian
pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
1. Nikah sirri adalah pernikahan yang dilakukan telah
memenuhi syarat dan rukun sebagaimana yang diatur dalam dalam fiqih klasik,
namun pernikahan tersebut tidak dipublikasikan dan tidak dicatatkan melalui Pegawai
Pencatat Nikah.
2. Menurut
Majelis Ulama Indonesia (MUI), nikah sirri disebut sebagai pernikahan di bawah
tangan yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama. Menurut MUI, penikahan ini
bisa menjadi haram apabila menimbulkan korban. Sedangkan Pimpinan Pusat
Muslimat Nahdlatul Ulama (NU) menyetujui adanya sanksi bagi pelaku
pernikahan siri, tetapi bentuknya hukuman perdata bukan pidana.
B.
Saran
1. Seyogyanya
orang tua berhati-hati dalam menikahkan anak-anaknya, jangan sampai karena
tergiur oleh faktor ekonomi atau penyebab lainnya, sampai mereka hanya
menikahkan anaknya secara sirri.
2. Masyarakat
dan pemerintah sudah seharusnya mengawasi dan memberi sanksi kepada pasangan
dan keluarga yang melakukan nikah sirri, sehingga pelaku menjadi jera di masa
mendatang.
3. Aqidah
dan ketakwaan yang kuat akan mampu membentengi kita dari perbuatan zina maupun
godaan untuk menikah secara sirri atau menikah di bawah tangan.
DAFTAR PUSTAKA
A. Wasit Aulawi. (1996). Nikah Harus Melibatkan Masyarakat. Jurnal Dua Bulanan Mimbar Hukum,
Nomor 28 Thn. VII.
Abdul Manan. (2006). Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di
Indonesia. Cet. Ke-1, Ed. Pertama. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Dadi Nurhaedi. (2003). Nikah
di Bawah Tangan: Praktik Nikah Sirri Mahasiswa Jogja. Jogjakarta: Saujana.
Departemen
Agama Republik Indonesia. (1989). Al-Qur'an
dan Terjemahnya. Semarang : Toha Putra.
Happy Susanto. (2007). Nikah
Sirri Apa Untungnya? Jakarta: Visimedia.
Kamal Muchtar. (1974). Azas-azas Hukum Islam Tentang Perkawinan.
Jakarta : Bulan Bintang.
Mahmud Syalthut. (tt). Al-Fatawa: Dirasat li Musykilat al-Muslim
al-Mu’ashir fi Hayatihi alYaumiyah Wajib al-Ammah. Dar al-Qalam.
Majelis Ulama Indonesia.
(2006). Keputusan Ijtima‟ Ulama Komisi
Fatwa MUI II Tahun 2006, Masail
Asasiyah Wathaniyah, Masail Waqi’iyyah Mu’ashirah, Masail Qanuniyyah. Jakarta : Majelis Ulama Indonesia.
Masjfuk Zuhdi. (1996). Nikah Sirri,
Nikah di Bawah Tangan, dan Status Anaknya Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif.
Jurnal Dua Bulanan Mimbar Hukum,
Nomor 28 Thn. VII.
Muhammad Amin Suma. (2004). Himpunan Undang-undang
Perdata Islam & Peraturan Pelaksanaan Lainnya di Negara Hukum Indonesia. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada.
Munawwir. (1984). Kamus al-Munawwir. Yogyakarta.
Nashruddin Thaha. (1967). Pedoman Perkawinan Islam. Jakarta :
Bulan Bintang.
[1] Muhammad Amin Suma, Himpunan
Undang-undang Perdata Islam & Peraturan Pelaksanaan Lainnya di Negara Hukum
Indonesia, Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam Inpres Nomor 1 Tahun 1991, Buku I,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004}, hal.. 375
[3] Pasal 3, 4 dan 5 BAB I, Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, lihat Ibid., hal. 330.
[4] Munawwir, Kamus
al-Munawwir, (Yogyakarta: 1984), h. 667-668.
[5] Masjfuk Zuhdi, “Nikah Sirri,
Nikah di Bawah Tangan, dan Status Anaknya Menurut Hukum Islam dan Hukum
Positif”, Jurnal Dua Bulanan Mimbar Hukum, Nomor 28 Thn. VII, September-Oktober1996). hal. 8. Lihat juga
Happy Susanto, Nikah Sirri Apa Untungnya?, (Jakarta: Visimedia, 2007), hal.
22.
[6] Mahmud Syalthut, Al-Fatawa: Dirasat li Musykilat al-Muslim
al-Mu’ashir fi Hayatihi alYaumiyah Wajib al-Ammah, (Dar al-Qalam, t.t), hal.
268-269, dalam karangan Dadi Nurhaedi, Nikah di Bawah Tangan: Praktik Nikah
Sirri Mahasiswa Jogja, (Jogjakarta: Saujana, 2003), hal. 23.
[7] Keputusan Ijtima‟ Ulama
Komisi Fatwa MUI II Tahun 2006, Masail Asasiyah Wathaniyah, Masail
Waqi’iyyah Mu’ashirah, Masail Qanuniyyah, (Majelis Ulama Indonesia, 2006), hal. 39.
[8] A. Wasit Aulawi, “Nikah Harus Melibatkan Masyarakat”, Jurnal Dua Bulanan Mimbar Hukum,
Nomor 28 Thn. VII,
(September-Oktober1996), hal. 20
[9] A. Wasit Aulawi, Op.,Cit., hal. 22
[10] Ibid., hal. 23
[11] Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di
Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), Cet. Ke-1, Ed.
Pertama, hal. 47-48.
[12] Departemen
Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan
Terjemahnya, (Semarang : Toha Putra,
1989), hal. 128.
[13]
Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI II Tahun
2006, Masail Asasiyah Wathaniyah, Masail Waqi’iyyah Mu’ashirah, Masail
Qanuniyyah, (Majelis Ulama
Indonesia, 2006), hal. 39
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan tulis komentar Anda