BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Perbankan
syari’ah dan perkoperasian di
Indonesia telah mengalami perkembangan dengan pesat, masyarakat mulai mengenal
dengan apa yang di sebut bank syari’ah dan koperasi simpan pinjam.[1]
Awal berdirinya bank Islam, banyak pengamat perbankan yang meragukan akan
eksistensi bank Islam nantinya. Di tengah-tengah bank konvensional, yang
berbasis dengan sistem bunga, yang sedang menanjak dan menjadi pilar ekonomi
Indonesia, bank Islam mencoba memberikan jawaban atas keraguan yang banyak
timbul. Jawaban itu mulai menemukan titik jelas pada tahun 1997, di mana
Indonesia mengalami krisis ekonomi yang cukup memprihatinkan, yang dimulai
dengan krisis moneter yang berakibat sangat signifikan atas terpuruknya
pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dari 240 bank yang ada sebelum krisis moneter,
hanya tinggal 73 bank swasta yang dapat bertahan tanpa bantuan pemerintah dan
dinyatakan sehat, sisanya pemerintah dengan terpaksa harus melikuidasinya.[2]
Bank Mu’amalat Indonesia yang mampu bertahan dari
terpaan krisis ekonomi, yang nyata memiliki sistem tersendiri dari bank-bank
lain, yaitu dengan memberlakukan sistem operasional bank dengan sistem bagi
hasil. Sistem bagi hasil yang diterapkan dalam perbankan syari’ah sangat
berbeda dengan sistem bunga, di mana dengan sistem bunga dapat ditentukan
keuntungannya diawal, yaitu dengan menghitung jumlah beban bunga dari dana yang di simpan atau dipinjamkan.
Sedang pada sistem bagi hasil ketentuan keuntungan akan ditentukan berdasarkan
besar kecilnya keuntungan dari hasil usaha, atas modal yang telah diberikan hak
pengelolaan kepada nasabah mitra bank syari’ah.
Selain bank muamalat, koperasi juga
merupakan lembaga yang dapat bertahan dan kondisi krisis moneter tersebut. BMT
berazaskan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 serta berlandaskan
syariah Islam,
keimanan, keterpaduan (kaffah), kekeluargaan/koperasi, kebersamaan,
kemandirian, dan profesionalisme. Secara hukum BMT
berpayung pada koperasi tetapi sistem operasionalnya tidak jauh berbeda dengan
Bank Syari’ah sehingga produk-produk yang berkembang di BMT seperti apa yang
ada di Bank Syari’ah.
Meskipun sebenarnya tidak terlalu
sesuai karena simpan pinjam dalam koperasi khusus diperuntukkan bagi anggota
koperasi saja, sedangkan di dalam BMT, pembiayaan yang diberikan tidak hanya kepada
anggota tetapi juga untuk diluar
anggota atau tidak lagi anggota jika
pembiayaannya telah selesai.
B.
Perumusan
Masalah
Berdasarkan latar
belakang permasalahan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan-permasalahan
sebagai berikut :
1. Bagaimana
sistem bagi hasil dalam koperasi simpan pinjam?
2. Bagaimana
hukum koperasi simpan pinjam menurut pandangan Islam?
C.
Tujuan
Pembahasan
Berdasarkan
perumusan masalah di atas, maka tujuan pembahasan dalam makalah ini adalah
sebagai berikut :
1. Untuk
mengetahui bagaimana sistem bagi hasil dalam koperasi simpan pinjam;
2. Untuk
mengetahui bagaimana hukum koperasi simpan pinjam menurut pandangan Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Koperasi
Menurut Permen Koperasi Usaha Kecil
Menengah Nomor 03 Tahun 2009, koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan
orang-seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatan berdasarkan
prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas
asas kekeluargaan.[3] Serikat
kredit adalah milik-anggota lembaga pemberi pinjaman koperasi. Membentuk
serikat kredit memungkinkan kelompok untuk mengejar tujuan-tujuan pinjaman yang
tidak dapat dicapai melalui bank standar.
Hukum Islam tidak mengizinkan orang
yang meminjamkan uang lain untuk membuat keuntungan untuk memperhitungkan nilai
waktu dari uang, tetapi ini disusun sebagai kemitraan, usaha patungan atau
buyback. Struktur yang lebih kompleks dari transaksi keuangan membuat
mereka kurang menarik untuk sebuah bank tradisional untuk menerima. Karena
hukum Islam juga melarang semua jenis biaya keterlambatan atau denda, transaksi
ini kurang menguntungkan bagi lembaga pinjaman. Firman Allah dalam Surah al-Baqarah
ayat 275 :
úïÏ%©!$# tbqè=à2ù't (#4qt/Ìh9$# w tbqãBqà)t wÎ) $yJx. ãPqà)t Ï%©!$# çmäܬ6ytFt ß`»sÜø¤±9$# z`ÏB Äb§yJø9$# 4 y7Ï9ºs öNßg¯Rr'Î/ (#þqä9$s% $yJ¯RÎ) ßìøt7ø9$# ã@÷WÏB (#4qt/Ìh9$# 3 ¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# 4 `yJsù ¼çnuä!%y` ×psàÏãöqtB `ÏiB ¾ÏmÎn/§ 4ygtFR$$sù ¼ã&s#sù $tB y#n=y ÿ¼çnãøBr&ur n<Î) «!$# ( ïÆtBur y$tã y7Í´¯»s9'ré'sù Ü=»ysô¹r& Í$¨Z9$# ( öNèd $pkÏù crà$Î#»yz
“Orang-orang
yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. keadaan mereka
yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), Sesungguhnya
jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah Telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. orang-orang yang Telah sampai kepadanya larangan dari
Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang
Telah diambilnya dahulu[176] (sebelum datang larangan); dan urusannya
(terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu
adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (QS.
al-Baqarah : 275).[4]
B.
Koperasi
Simpan Pinjam
Koperasi Simpan Pinjam (KSP) adalah sebuah koperasi
yang modalnya diperoleh dari simpanan pokok dan simpanan wajib para anggota
koperasi. Kemudian modal yang telah terkumpul tersebut dipinjamkan kepada para
anggota koperasi dan terkadang juga dipinjamkan kepada orang lain yang bukan
anggota koperasi yang memerlukan pinjaman uang, baik untuk keperluan komsumtif
maupun untuk modal kerja. Kepada setiap peminjam, KSP menarik uang administrasi
setiap bulan sejumlah sekian prosen dari uang pinjaman.
Pada akhir tahun, keuntungan yang diperoleh KSP yang
berasal dari uang administrasi tersebut yang disebut "Sisa Hasil
Usaha" (SHU) dibagikan kepada para anggota koperasi. Adapun jumlah
keuntungan yang diterima oleh masing-masing anggota koperasi diperhitungkan
menurut keseringan anggota meminjam uang dari KSP. Artinya, anggota yang paling
sering meminjam uang dari KSP tersebut akan mendapat bagian paling banyak dari
SHU; dan tidak diperhitungkan dari jumlah simpanannya, karena pada umumnya
jumlah simpanan pokok dan simpanan wajib dari masing-masing anggota adalah
sama.
C. Hukum Koperasi Simpan Pinjam menurut Pandangan
Islam
Sekilas lintas KSP ini nampak seperti usaha gotong
royong yang meringankan beban para anggota, menolong mereka dari jeratan lintah
darat dan menguntungkan mereka sendiri, karena SHU dari KSP tersebut mereka terima
setiap akhir tahun. Sehingga karenanya, tidaklah mengherankan jika ada orang
yang menyamakan praktek mu'amalah (simpan pinjam) dari KSP ini dengan praktek
mu'amalah (simpan pinjam) dari bank yang hukumnya telah ditetapkan dalam
Muktamar NU di Menes Jawa Barat ditafsil menjadi tiga, yaitu: haram, syubhat, halal. Padahal ada
perbedaan yang prinsip antara mu'amalah dari KSP dan mu'amalah dari bank,
yaitu:
1.
Orang yang meminjam uang dari KSP, meskipun jumlahnya
hanya separo dari uang simpanannya sendiri, dia tetap dianggap sebagai peminjam
yang diharuskan membayar uang administrasi. Mu'amalah ini sama sekali tidak
dapat diterima oleh akal fikiran yang sehat (irrational). Sedang di bank,
seseorang diperbolehkan mengambil seluruh uang simpanannya, kecuali sejumlah
sekian ribu yang harus disisakan sebagai bukti bahwa dia masih tercatat sebagai
nasabah, dan dia tidak dianggap sebagai peminjam dan juga tidak dikenakan
bunga.
2.
Uang yang disimpan di KSP, baik simpanan pokok maupun
simpanan wajib, tidak dapat diambil sewaktu-waktu diperlukan oleh si penyimpan;
sedangkan uang yang disimpan di bank dapat diambil sewaktu-waktu diperlukan
oleh si penyimpan. Bunga yang diberikan oleh bank kepada orang yang menyimpan
uangnya di bank tersebut hanya diperhitungkan dengan jumlah uang yang disimpan;
sedang di KSP pembagian SHU tidak hanya diperhitungkan dengan uang simpanannya,
melainkan dengan keseringan meminjam uang dari KSP tersebut.
Sistem bagi hasil merupakan sistem di mana
dilakukannya perjanjian atau ikatan bersama di dalam melakukan kegiatan usaha.
Di dalam usaha tersebut diperjanjikan adanya pembagian hasil atas keuntungan
yang akan di dapat antara kedua belah pihak atau lebih. Bagi hasil dalam sistem
perbankan syari’ah maupun KSP merupakan ciri khusus yang ditawarkan kapada
masyarakat, dan di dalam aturan syari’ah yang berkaitan dengan pembagian hasil
usaha harus ditentukan terlebih dahulu pada awal terjadinya kontrak (akad).
Besarnya penentuan porsi bagi hasil antara kedua belah pihak ditentukan sesuai
kesepakatan bersama, dan harus terjadi dengan adanya kerelaan (An-Tarodhin) di masing-masing pihak
tanpa adanya unsur paksaan.
Mekanisme perhitungan bagi hasil yang diterapkan di
dalam perbankan syari’ah dan KSP terdiri dari dua sistem, yaitu:
1.
Profit
Sharing
2.
Revenue
Sharing
Profit sharing menurut etimologi Indonesia
adalah bagi keuntungan. Dalam kamus ekonomi diartikan pembagian laba.[5]
Profit secara istilah adalah perbedaan yang timbul ketika total pendapatan
(total revenue) suatu perusahaan lebih besar dari biaya total (total
cost).[6]
Di dalam istilah lain profit sharing adalah
perhitungan bagi hasil didasarkan kepada hasil bersih dari total pendapatan
setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh
pendapatan tersebut.[7]
Pada perbankan syariah dan KSP istilah yang sering dipakai adalah profit and
loss sharing, di mana hal ini dapat diartikan sebagai pembagian antara
untung dan rugi dari pendapatan yang diterima atas hasil usaha yang telah
dilakukan.
Sistem profit and loss sharing dalam pelaksanaannya merupakan bentuk dari
perjanjian kerjasama antara pemodal (Investor) dan pengelola modal (enterpreneur)
dalam menjalankan kegiatan usaha ekonomi, dimana di antara keduanya akan
terikat kontrak bahwa di dalam usaha tersebut jika mendapat keuntungan akan dibagi
kedua pihak sesuai nisbah kesepakatan di awal perjanjian, dan begitu pula bila
usaha mengalami kerugian akan ditanggung bersama[8]
sesuai porsi masing-masing.
Kerugian bagi pemodal tidak mendapatkan kembali modal
investasinya secara utuh ataupun keseluruhan, dan bagi pengelola modal tidak
mendapatkan upah/hasil dari jerih payahnya atas kerja yang telah
dilakukannya.
Keuntungan yang didapat dari hasil usaha tersebut akan
dilakukan pembagian setelah dilakukan perhitungan terlebih dahulu atas biaya-biaya
yang telah dikeluarkan selama proses usaha. Keuntungan usaha dalam dunia bisnis
bisa negatif, artinya usaha merugi, positif berarti ada angka lebih sisa dari
pendapatan dikurangi biaya-biaya, dan nol artinya antara pendapatan dan biaya
menjadi balance.[9] Keuntungan yang
dibagikan adalah keuntungan bersih (net profit) yang merupakan lebihan
dari selisih atas pengurangan total cost terhadap total revenue.
Revenue Sharing berasal dari bahasa Inggris
yang terdiri dari dua kata yaitu, revenue yang berarti; hasil,
penghasilan, pendapatan. Sharing adalah bentuk kata kerja dari share
yang berarti bagi atau bagian.[10]
Revenue sharing berarti pembagian hasil, penghasilan atau pendapatan.
Revenue (pendapatan) dalam kamus ekonomi adalah
hasil uang yang diterima oleh suatu perusahaan dari penjualan barang-barang (goods)
dan jasa-jasa (services) yang dihasilkannya dari pendapatan
penjualan (sales revenue).[11]
Dalam arti lain revenue merupakan besaran yang
mengacu pada perkalian antara jumlah out put yang dihasilkan dari
kagiatan produksi dikalikan dengan harga barang atau jasa dari suatu produksi
tersebut.[12]
Di dalam revenue terdapat unsur-unsur yang terdiri
dari total biaya (total cost) dan laba (profit). Laba bersih (net
profit) merupakan laba kotor (gross profit) dikurangi biaya
distribusi penjualan, administrasi dan keuangan.[13]
Berdasarkan devinisi di atas dapat di ambil kesimpulan
bahwa arti revenue pada prinsip ekonomi dapat diartikan sebagai total
penerimaan dari hasil usaha dalam kegiatan produksi, yang merupakan jumlah dari
total pengeluaran atas barang ataupun jasa dikalikan dengan harga barang
tersebut. Unsur yang terdapat di dalam revenue meliputi total harga
pokok penjualan ditambah dengan total selisih dari hasil pendapatan penjualan
tersebut. Tentunya di dalamnya meliputi modal (capital) ditambah dengan
keuntungannya (profit).
Berbeda dengan revenue di dalam arti perbankan.
Yang dimaksud dengan revenue bagi bank adalah jumlah dari penghasilan
bunga bank yang diterima dari penyaluran dananya atau jasa atas pinjaman maupun
titipan yang diberikan oleh bank.
Revenue pada perbankan Syari'ah dan KSP adalah hasil yang diterima oleh bank/KSP dari
penyaluran dana (investasi) ke dalam bentuk aktiva produktif, yaitu
penempatan dana bank/KSP pada pihak
lain. Hal ini merupakan selisih atau angka lebih dari aktiva produktif dengan
hasil penerimaan bank/KSP.[14]
Perbankan Syari'ah dan KSP memperkenalkan sistem pada
masyarakat dengan istilah Revenue Sharing, yaitu sistem bagi hasil yang
dihitung dari total pendapatan pengelolaan dana tanpa dikurangi dengan biaya
pengelolaan dana.[15]
Lebih jelasnya Revenue sharing dalam arti
perbankan adalah perhitungan bagi hasil didasarkan kepada total seluruh
pendapatan yang diterima sebelum dikurangi dengan biaya-biaya yang telah
dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut.[16]
Sistem revenue sharing berlaku pada pendapatan bank yang akan dibagikan
dihitung berdasarkan pendapatan kotor (gross sales), yang digunakan
dalam menghitung bagi hasil untuk produk pendanaan bank.
Dalam kitab
Tuhfatut Thullaab, hamisy dari kitab Fat-hul Wahhaab, juz 1 halaman 217,
disebutkan:
هِيَ شِرْكَةُ أَبْدَانٍ ... اِلَى اَنْ قَالَ : وَشُرِطَ فِيْهَا لَفْظٌ يُشْعَرُ
بِاِذْنٍ فِى تِجَارَةٍ ... اِلَى اَنْ قَالَ : وَفِى الْمَعْقُوْدِ عَلَيْهِ
كَوْنُهُ مِثْلِيًّا خَلَطَ قَبْلَ الْعَقْدِ بِحَيْثُ لاَ يُتَمَيَّزُ .
"Syirkah
itu (antara lain) adalah syirkan badan ... sampai ucapan mushannif: "Dalam
syirkah tersebut disyaratkan ada lafal yang dapat dirasakan sebagai idzin dalam
perdagangan" ... sampai ucapan mushannif: "Dan mengenai harta yang
diakadi, disyaratkan keadaan harta (modal syirkah) tersebut adalah sama
jumlahnya yang telah bercampur menjadi satu sebelum akad, sekira tidak dapat
dibedakan (antara harta dari masing-masing anggota syirkah).
Uang administrasi yang dipungut oleh KSP dari setiap
orang yang meminjam, hanyalah merupakan istilah lain dari bunga, karena:
1.
Uang administrasi tersebut merupakan keharusan yang
harus dipenuhi oleh setiap orang yang meminjam uang, sehingga pada hakekatnya
tidak berbeda dengan manfa'at yang ditarik oleh yang meminjamkan uang (KSP).
2.
Besarnya uang administrasi yang dipungut oleh KSP dari
setiap orang yang meminjam uang, telah ditentukan terlebih dahulu, yaitu sesuai
dengan besarnya uang pinjaman, yaitu sekian prosen dari jumlah pinjaman,
berdasarkan keputusan rapat anggota KSP.
3.
Masih perlu dipersoalkan lagi mengenai akad pinjaman
tersebut. Jika jumlah uang yang dipinjam oleh anggota KSP adalah sama atau
kurang sedikit dari uang simpanannya sendiri, maka akad pinjaman tersebut
adalah fasid atau rusak, sebab anggota tersebut mengambil miliknya sendiri. Dan
jika lebih dari uang simpanannya sendiri, maka jumlah pinjaman hanyalah sebesar
kelebihan tersebut. Dalam hal ini jika di-akad-i seluruhnya, maka hukumnya
juga fasid.
Jadi tanpa memperhatikan apakah syarat pemberian uang
administrasi tersebut dilakukan pada waktu akad pinjam meminjam sedang
berlangsung, atau sebelum akad atau sesudah akad; dan apakah syarat tersebut
berbentuk ucapan atau tulisan, yang kesemuanya memerlukan pembahasan
tersindiri, maka pungutan uang administrasi tersebut dapat dimasukkan dalam
pengertian hadits Nabi saw. yang berbunyi:
كُلُّ قَرْضٍ
جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ الرِّبَا
"Setiap
hutang yang menarik kemanfa'atan adalah perbuatan riba".
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Koperasi simpan pinjam ini nampak
seperti usaha gotong royong yang meringankan beban para anggota, menolong
mereka dari jeratan lintah darat dan menguntungkan mereka sendiri, karena SHU
dari koperasi simpan pinjam tersebut mereka terima setiap akhir tahun. Sehingga
karenanya, tidaklah mengherankan jika ada orang yang menyamakan praktek
mu'amalah (simpan pinjam) dari koperasi ini dengan praktek mu'amalah (simpan pinjam)
dari bank yang hukumnya telah ditetapkan dalam Muktamar NU di Menes Jawa Barat
ditafsil menjadi tiga, yaitu: haram (sebab
termasuk hutang yang dipungut rente), syubhat (tidak tentu halal-haramnya) sebab para ahli hukum
berselisih pendapat tentangnya, atau halal (Sebab
tidak ada syarat pada waktu aqad, sementara adat yang berlaku, tidak dapat
begitu saja dijadikan syarat).
Ketiga macam hukum tersebut disesuaikan dengan kondisi
transaksi yang ditinjau dari berbagai aspek yang bersangkutan. Kembali pada
sifat koperasi sebagai praktek mu’amalah, maka dapat ditetapkan hukum koperasi
adalah sesuai dengan ciri dan sifat-sifat koperasi itu sendiri dalam
menjalankan roda kegiatannya. Karena dalam kenyataannya, koperasi itu
berbeda-beda substansi model pergerakannya. Koperasi simpan pinjam bahkan
banyak yang lebih tinggi bunga yang ditetapkannya bagi para peminjam daripada bunga
yang ditetapkan oleh bank-bank konvensional. Tentunya hal seperti ini tidak
diragukan lagi adalah termasuk riba yang diharamkan. Adapun koperasi semacam
kumpulan orang yang mengusahakan modal bersama untuk suatu usaha perdagangan
atau jasa yang dikelola bersama dan hasil keuntungan dibagi bersama, selagi
perdagangan atau jasa itu layak dan tidak berlebihan di dalam mengambil
keuntungan, maka dibolehkan, apalagi jika keberadaan koperasi itu memudahkan
dan meringankan bagi kepentingan masyarakat yang bersangkutan dengan cara bagi
hasil yaitu sistem Profit Sharing atau sistem Revenue Sharing.
B.
Saran
Berdasarkan
kesimpulan di atas, maka kami sarankan beberapa hal sebagai berikut :
1. Sebagai
umat Islam, seyogyanya kita harus berhati-hati dalam memilih kredit atau
peminjaman uang baik kepada bank maupun koperasi;
2. Nilai-nilai
muamalah dalam akad transaksi harus diperhatikan agar kredit yang kita terima
tidak termasuk riba yang diharamkan oleh Allah;
3. Koperasi
simpan pinjam seyogyanya berhati-hati dalam penyelenggaran simpan pinjamnya
sehingga tidak menjadi transaksi yang diharamkan.
DAFTAR PUSTAKA
Antonio,
Syafi’i. (1999). Bank Syariah : Wacana
Ulama dan Cendekiawan. Jakarta : Tazkia Institut dan Bank Indonesia.
|
Arifin,
Zainul. (2000). Memahami Bank Syariah
Lingkup Peluang Tantangan dan Prospek. Jakarta : Alvabet.
|
Departemen
Agama Republik Indonesia. (1989). Al-Qur'an
dan Terjemahnya. Semarang : Toha Putra.
|
Dewan
Syariah Nasional. (2001). Himpunan
Fatwa Dewan Syariah Nasional untuk Lembaga Keuangan Syariah, Ed. 1. Jakarta
: Dewan Syariah Nasional – MUI dan Bank Indonesia.
|
Echols,
John M. & Shadily, Hassan. (1995). Kamus
Inggris Indonesia. Jakarta : PT. Gramedia.
|
Muhammad.
(2002). Manajemen Bank Syariah. Yogyakarta
: UPP AMP YKPN.
|
Pass,
Cristopher & Lowes, Bryan. (1994). Kamus
Lengkap Ekonomi. Jakarta : Erlangga.
|
Tim
Pengembangan Bank Syariah IBI. (2001). Konsep
Produk dan Implementasi Operasional Bank Syariah. Jakarta : Djambatan.
|
[1] Syafi’I Antonio, Bank Syari’ah; Wacana Ulama’ dan
Cendekiawan, (Jakarta: Tazkia Institut dan Bank Indonesia, 1999). h. 278, hal. 278.
[2] Zainul Arifin. Memahami Bank Syari’ah; Lingkup, Peluang,
Tantangan dan Prospek, (Jakarta :
Alvabet, 2000). Cet. 3. hal. vii
[3] Peraturan Menteri Negara
Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia Nomor :
03/Per/M.KUKM/III/2009 tentang Pedoman
Umum Linkage Program Antara Bank Umum dengan Koperasi.
[4] Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang : Toha Putra, 1989), hal. 69.
[6] Cristopher Pass dan Bryan Lowes, Kamus Lengkap Ekonomi, (Jakarta : Erlangga, 1994), Edisi ke-2 , hal. 534
[7] Tim Pengembangan Perbankan Syariah IBI, Konsep, Produk dan Implementasi
Operasional Bank Syari’ah, (Jakarta
: Djambatan, 2001), hal. 264
[8] Murasa Sarkaniputra, Direktur Pusat Pengkajian dan Pengembangan
Ekonomi Islam, Surat Tanggapan atas surat MUI, Jakarta, 29 April 2003. hal. 3
[9] Syamsul Falah, Pola Bagi
Hasil pada Perbankan Syari’ah, Makalah disampaikan pada seminar ekonomi
Islam, Jakarta, 20 Agustus 2003
[10] John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta
: PT. Gramedia, 1995), Cet. ke-21
[11] Cristopher Pass dan Bryan Lowes, Kamus Lengkap Ekonomi,
(Jakarta : Erlangga, 1994), Edisi ke-2, hal. 583
[12] Murasa Sarkaniputra (Direktur Pusat Pengkajian dan Pengambangan
Ekonomi Islam), surat kepada Ketua Umum MUI, tentang fatwa MUI
No.15/DSN-MUI/IX/2000, Tgl 18 Februari 2003 .
[15] Dewan Syari'ah Nasional, Himpunan
Fatwa Dewan Syari'ah Nasional Untuk Lembaga Keuangan Syari'ah, Ed. 1,
Diterbitkan atas Kerjasama Dewan Syari'ah Nasional-MUI dengan Bank Indinesia,
2001, hal. 87
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan tulis komentar Anda