Selasa, 06 November 2012

Hukum Koperasi Simpan Pinjam


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Perbankan syari’ah dan perkoperasian di Indonesia telah mengalami perkembangan dengan pesat, masyarakat mulai mengenal dengan apa yang di sebut bank syari’ah dan koperasi simpan pinjam.[1] Awal berdirinya bank Islam, banyak pengamat perbankan yang meragukan akan eksistensi bank Islam nantinya. Di tengah-tengah bank konvensional, yang berbasis dengan sistem bunga, yang sedang menanjak dan menjadi pilar ekonomi Indonesia, bank Islam mencoba memberikan jawaban atas keraguan yang banyak timbul. Jawaban itu mulai menemukan titik jelas pada tahun 1997, di mana Indonesia mengalami krisis ekonomi yang cukup memprihatinkan, yang dimulai dengan krisis moneter yang berakibat sangat signifikan atas terpuruknya pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dari 240 bank yang ada sebelum krisis moneter, hanya tinggal 73 bank swasta yang dapat bertahan tanpa bantuan pemerintah dan dinyatakan sehat, sisanya pemerintah dengan terpaksa harus melikuidasinya.[2]
Bank Mu’amalat Indonesia yang mampu bertahan dari terpaan krisis ekonomi, yang nyata memiliki sistem tersendiri dari bank-bank lain, yaitu dengan memberlakukan sistem operasional bank dengan sistem bagi hasil. Sistem bagi hasil yang diterapkan dalam perbankan syari’ah sangat berbeda dengan sistem bunga, di mana dengan sistem bunga dapat ditentukan keuntungannya diawal, yaitu dengan menghitung jumlah beban bunga  dari dana yang di simpan atau dipinjamkan. Sedang pada sistem bagi hasil ketentuan keuntungan akan ditentukan berdasarkan besar kecilnya keuntungan dari hasil usaha, atas modal yang telah diberikan hak pengelolaan kepada nasabah mitra bank syari’ah.
Selain bank muamalat, koperasi juga merupakan lembaga yang dapat bertahan dan kondisi krisis moneter tersebut. BMT berazaskan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 serta berlandaskan syariah Islam, keimanan, keterpaduan (kaffah), kekeluargaan/koperasi, kebersamaan, kemandirian, dan profesionalisme. Secara hukum BMT berpayung pada koperasi tetapi sistem operasionalnya tidak jauh berbeda dengan Bank Syari’ah sehingga produk-produk yang berkembang di BMT seperti apa yang ada di Bank Syari’ah.
Meskipun sebenarnya tidak terlalu sesuai karena simpan pinjam dalam koperasi khusus diperuntukkan bagi anggota koperasi saja, sedangkan di dalam BMT, pembiayaan yang diberikan tidak  hanya kepada  anggota tetapi juga untuk  diluar anggota atau tidak  lagi anggota jika pembiayaannya telah selesai.
B.     Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan-permasalahan sebagai berikut :
1.      Bagaimana sistem bagi hasil dalam koperasi simpan pinjam?
2.      Bagaimana hukum koperasi simpan pinjam menurut pandangan Islam?
C.    Tujuan Pembahasan
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan pembahasan dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Untuk mengetahui bagaimana sistem bagi hasil dalam koperasi simpan pinjam;
2.      Untuk mengetahui bagaimana hukum koperasi simpan pinjam menurut pandangan Islam.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Koperasi
Menurut Permen Koperasi Usaha Kecil Menengah Nomor 03 Tahun 2009, koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatan berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan.[3] Serikat kredit adalah milik-anggota lembaga pemberi pinjaman koperasi. Membentuk serikat kredit memungkinkan kelompok untuk mengejar tujuan-tujuan pinjaman yang tidak dapat dicapai melalui bank standar.
Hukum Islam tidak mengizinkan orang yang meminjamkan uang lain untuk membuat keuntungan untuk memperhitungkan nilai waktu dari uang, tetapi ini disusun sebagai kemitraan, usaha patungan atau buyback. Struktur yang lebih kompleks dari transaksi keuangan membuat mereka kurang menarik untuk sebuah bank tradisional untuk menerima. Karena hukum Islam juga melarang semua jenis biaya keterlambatan atau denda, transaksi ini kurang menguntungkan bagi lembaga pinjaman. Firman Allah dalam Surah al-Baqarah ayat 275 :
šúïÏ%©!$# tbqè=à2ù'tƒ (#4qt/Ìh9$# Ÿw tbqãBqà)tƒ žwÎ) $yJx. ãPqà)tƒ Ï%©!$# çmäܬ6ytFtƒ ß`»sÜø¤±9$# z`ÏB Äb§yJø9$# 4 y7Ï9ºsŒ öNßg¯Rr'Î/ (#þqä9$s% $yJ¯RÎ) ßìøt7ø9$# ã@÷WÏB (#4qt/Ìh9$# 3 ¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# 4 `yJsù ¼çnuä!%y` ×psàÏãöqtB `ÏiB ¾ÏmÎn/§ 4ygtFR$$sù ¼ã&s#sù $tB y#n=y ÿ¼çnãøBr&ur n<Î) «!$# ( ïÆtBur yŠ$tã y7Í´¯»s9'ré'sù Ü=»ysô¹r& Í$¨Z9$# ( öNèd $pkŽÏù šcrà$Î#»yz
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang Telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang Telah diambilnya dahulu[176] (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (QS. al-Baqarah : 275).[4]
B.     Koperasi Simpan Pinjam
Koperasi Simpan Pinjam (KSP) adalah sebuah koperasi yang modalnya diperoleh dari simpanan pokok dan simpanan wajib para anggota koperasi. Kemudian modal yang telah terkumpul tersebut dipinjamkan kepada para anggota koperasi dan terkadang juga dipinjamkan kepada orang lain yang bukan anggota koperasi yang memerlukan pinjaman uang, baik untuk keperluan komsumtif maupun untuk modal kerja. Kepada setiap peminjam, KSP menarik uang administrasi setiap bulan sejumlah sekian prosen dari uang pinjaman.
Pada akhir tahun, keuntungan yang diperoleh KSP yang berasal dari uang administrasi tersebut yang disebut "Sisa Hasil Usaha" (SHU) dibagikan kepada para anggota koperasi. Adapun jumlah keuntungan yang diterima oleh masing-masing anggota koperasi diperhitungkan menurut keseringan anggota meminjam uang dari KSP. Artinya, anggota yang paling sering meminjam uang dari KSP tersebut akan mendapat bagian paling banyak dari SHU; dan tidak diperhitungkan dari jumlah simpanannya, karena pada umumnya jumlah simpanan pokok dan simpanan wajib dari masing-masing anggota adalah sama.
C.    Hukum Koperasi Simpan Pinjam menurut Pandangan Islam
Sekilas lintas KSP ini nampak seperti usaha gotong royong yang meringankan beban para anggota, menolong mereka dari jeratan lintah darat dan menguntungkan mereka sendiri, karena SHU dari KSP tersebut mereka terima setiap akhir tahun. Sehingga karenanya, tidaklah mengherankan jika ada orang yang menyamakan praktek mu'amalah (simpan pinjam) dari KSP ini dengan praktek mu'amalah (simpan pinjam) dari bank yang hukumnya telah ditetapkan dalam Muktamar NU di Menes Jawa Barat ditafsil menjadi tiga, yaitu: haram, syubhat, halal. Padahal ada perbedaan yang prinsip antara mu'amalah dari KSP dan mu'amalah dari bank, yaitu:
1.      Orang yang meminjam uang dari KSP, meskipun jumlahnya hanya separo dari uang simpanannya sendiri, dia tetap dianggap sebagai peminjam yang diharuskan membayar uang administrasi. Mu'amalah ini sama sekali tidak dapat diterima oleh akal fikiran yang sehat (irrational). Sedang di bank, seseorang diperbolehkan mengambil seluruh uang simpanannya, kecuali sejumlah sekian ribu yang harus disisakan sebagai bukti bahwa dia masih tercatat sebagai nasabah, dan dia tidak dianggap sebagai peminjam dan juga tidak dikenakan bunga.
2.      Uang yang disimpan di KSP, baik simpanan pokok maupun simpanan wajib, tidak dapat diambil sewaktu-waktu diperlukan oleh si penyimpan; sedangkan uang yang disimpan di bank dapat diambil sewaktu-waktu diperlukan oleh si penyimpan. Bunga yang diberikan oleh bank kepada orang yang menyimpan uangnya di bank tersebut hanya diperhitungkan dengan jumlah uang yang disimpan; sedang di KSP pembagian SHU tidak hanya diperhitungkan dengan uang simpanannya, melainkan dengan keseringan meminjam uang dari KSP tersebut.
Sistem bagi hasil merupakan sistem di mana dilakukannya perjanjian atau ikatan bersama di dalam melakukan kegiatan usaha. Di dalam usaha tersebut diperjanjikan adanya pembagian hasil atas keuntungan yang akan di dapat antara kedua belah pihak atau lebih. Bagi hasil dalam sistem perbankan syari’ah maupun KSP merupakan ciri khusus yang ditawarkan kapada masyarakat, dan di dalam aturan syari’ah yang berkaitan dengan pembagian hasil usaha harus ditentukan terlebih dahulu pada awal terjadinya kontrak (akad). Besarnya penentuan porsi bagi hasil antara kedua belah pihak ditentukan sesuai kesepakatan bersama, dan harus terjadi dengan adanya kerelaan (An-Tarodhin) di masing-masing pihak tanpa adanya unsur paksaan.
Mekanisme perhitungan bagi hasil yang diterapkan di dalam perbankan syari’ah dan KSP terdiri dari dua sistem, yaitu:
1.        Profit Sharing
2.        Revenue Sharing
Profit sharing menurut etimologi Indonesia adalah bagi keuntungan. Dalam kamus ekonomi diartikan pembagian laba.[5] Profit secara istilah adalah perbedaan yang timbul ketika total pendapatan (total revenue) suatu perusahaan lebih besar dari biaya total (total cost).[6]
Di dalam istilah lain profit sharing adalah perhitungan bagi hasil didasarkan kepada hasil bersih dari total pendapatan setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut.[7] Pada perbankan syariah dan KSP istilah yang sering dipakai adalah profit and loss sharing, di mana hal ini dapat diartikan sebagai pembagian antara untung dan rugi dari pendapatan yang diterima atas hasil usaha yang telah dilakukan.   
Sistem profit and loss sharing  dalam pelaksanaannya merupakan bentuk dari perjanjian kerjasama antara pemodal (Investor) dan pengelola modal (enterpreneur) dalam menjalankan kegiatan usaha ekonomi, dimana di antara keduanya akan terikat kontrak bahwa di dalam usaha tersebut jika mendapat keuntungan akan dibagi kedua pihak sesuai nisbah kesepakatan di awal perjanjian, dan begitu pula bila usaha mengalami kerugian akan ditanggung bersama[8] sesuai porsi masing-masing.
Kerugian bagi pemodal tidak mendapatkan kembali modal investasinya secara utuh ataupun keseluruhan, dan bagi pengelola modal tidak mendapatkan upah/hasil dari jerih payahnya atas kerja yang telah dilakukannya. 
Keuntungan yang didapat dari hasil usaha tersebut akan dilakukan pembagian setelah dilakukan perhitungan terlebih dahulu atas biaya-biaya yang telah dikeluarkan selama proses usaha. Keuntungan usaha dalam dunia bisnis bisa negatif, artinya usaha merugi, positif berarti ada angka lebih sisa dari pendapatan dikurangi biaya-biaya, dan nol artinya antara pendapatan dan biaya menjadi balance.[9] Keuntungan yang dibagikan adalah keuntungan bersih (net profit) yang merupakan lebihan dari selisih atas pengurangan total cost terhadap total revenue.    
Revenue Sharing berasal dari bahasa Inggris yang terdiri dari dua kata yaitu, revenue yang berarti; hasil, penghasilan, pendapatan. Sharing adalah bentuk kata kerja dari share yang berarti bagi atau bagian.[10] Revenue sharing berarti pembagian hasil, penghasilan atau pendapatan.
Revenue (pendapatan) dalam kamus ekonomi adalah hasil uang yang diterima oleh suatu perusahaan dari penjualan barang-barang (goods) dan jasa-jasa (services) yang dihasilkannya dari pendapatan penjualan (sales revenue).[11]
Dalam arti lain revenue merupakan besaran yang mengacu pada perkalian antara jumlah out put yang dihasilkan dari kagiatan produksi dikalikan dengan harga barang atau jasa dari suatu produksi tersebut.[12]
Di dalam revenue terdapat unsur-unsur yang terdiri dari total biaya (total cost) dan laba (profit). Laba bersih (net profit) merupakan laba kotor (gross profit) dikurangi biaya distribusi penjualan, administrasi dan keuangan.[13]
Berdasarkan devinisi di atas dapat di ambil kesimpulan bahwa arti revenue pada prinsip ekonomi dapat diartikan sebagai total penerimaan dari hasil usaha dalam kegiatan produksi, yang merupakan jumlah dari total pengeluaran atas barang ataupun jasa dikalikan dengan harga barang tersebut. Unsur yang terdapat di dalam revenue meliputi total harga pokok penjualan ditambah dengan total selisih dari hasil pendapatan penjualan tersebut. Tentunya di dalamnya meliputi modal (capital) ditambah dengan keuntungannya (profit).
Berbeda dengan revenue di dalam arti perbankan. Yang dimaksud dengan revenue bagi bank adalah jumlah dari penghasilan bunga bank yang diterima dari penyaluran dananya atau jasa atas pinjaman maupun titipan yang diberikan oleh bank.
Revenue pada perbankan Syari'ah dan KSP  adalah hasil yang diterima oleh bank/KSP dari penyaluran dana (investasi) ke dalam bentuk aktiva produktif, yaitu penempatan dana bank/KSP  pada pihak lain. Hal ini merupakan selisih atau angka lebih dari aktiva produktif dengan hasil penerimaan bank/KSP.[14]
Perbankan Syari'ah dan KSP memperkenalkan sistem pada masyarakat dengan istilah Revenue Sharing, yaitu sistem bagi hasil yang dihitung dari total pendapatan pengelolaan dana tanpa dikurangi dengan biaya pengelolaan dana.[15]
Lebih jelasnya Revenue sharing dalam arti perbankan adalah perhitungan bagi hasil didasarkan kepada total seluruh pendapatan yang diterima sebelum dikurangi dengan biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut.[16] Sistem revenue sharing berlaku pada pendapatan bank yang akan dibagikan dihitung berdasarkan pendapatan kotor (gross sales), yang digunakan dalam menghitung bagi hasil untuk produk pendanaan bank.
Dalam kitab Tuhfatut Thullaab, hamisy dari kitab Fat-hul Wahhaab, juz 1 halaman 217, disebutkan:
هِيَ شِرْكَةُ أَبْدَانٍ ... اِلَى اَنْ قَالَ : وَشُرِطَ فِيْهَا لَفْظٌ يُشْعَرُ بِاِذْنٍ فِى تِجَارَةٍ ... اِلَى اَنْ قَالَ : وَفِى الْمَعْقُوْدِ عَلَيْهِ كَوْنُهُ مِثْلِيًّا خَلَطَ قَبْلَ الْعَقْدِ بِحَيْثُ لاَ يُتَمَيَّزُ .
"Syirkah itu (antara lain) adalah syirkan badan ... sampai ucapan mushannif: "Dalam syirkah tersebut disyaratkan ada lafal yang dapat dirasakan sebagai idzin dalam perdagangan" ... sampai ucapan mushannif: "Dan mengenai harta yang diakadi, disyaratkan keadaan harta (modal syirkah) tersebut adalah sama jumlahnya yang telah bercampur menjadi satu sebelum akad, sekira tidak dapat dibedakan (antara harta dari masing-masing anggota syirkah).
Uang administrasi yang dipungut oleh KSP dari setiap orang yang meminjam, hanyalah merupakan istilah lain dari bunga, karena:
1.      Uang administrasi tersebut merupakan keharusan yang harus dipenuhi oleh setiap orang yang meminjam uang, sehingga pada hakekatnya tidak berbeda dengan manfa'at yang ditarik oleh yang meminjamkan uang (KSP).
2.      Besarnya uang administrasi yang dipungut oleh KSP dari setiap orang yang meminjam uang, telah ditentukan terlebih dahulu, yaitu sesuai dengan besarnya uang pinjaman, yaitu sekian prosen dari jumlah pinjaman, berdasarkan keputusan rapat anggota KSP.
3.      Masih perlu dipersoalkan lagi mengenai akad pinjaman tersebut. Jika jumlah uang yang dipinjam oleh anggota KSP adalah sama atau kurang sedikit dari uang simpanannya sendiri, maka akad pinjaman tersebut adalah fasid atau rusak, sebab anggota tersebut mengambil miliknya sendiri. Dan jika lebih dari uang simpanannya sendiri, maka jumlah pinjaman hanyalah sebesar kelebihan tersebut. Dalam hal ini jika di-akad-i seluruhnya, maka hukumnya juga fasid.
Jadi tanpa memperhatikan apakah syarat pemberian uang administrasi tersebut dilakukan pada waktu akad pinjam meminjam sedang berlangsung, atau sebelum akad atau sesudah akad; dan apakah syarat tersebut berbentuk ucapan atau tulisan, yang kesemuanya memerlukan pembahasan tersindiri, maka pungutan uang administrasi tersebut dapat dimasukkan dalam pengertian hadits Nabi saw. yang berbunyi:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ الرِّبَا
"Setiap hutang yang menarik kemanfa'atan adalah perbuatan riba".



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Koperasi simpan pinjam ini nampak seperti usaha gotong royong yang meringankan beban para anggota, menolong mereka dari jeratan lintah darat dan menguntungkan mereka sendiri, karena SHU dari koperasi simpan pinjam tersebut mereka terima setiap akhir tahun. Sehingga karenanya, tidaklah mengherankan jika ada orang yang menyamakan praktek mu'amalah (simpan pinjam) dari koperasi  ini dengan praktek mu'amalah (simpan pinjam) dari bank yang hukumnya telah ditetapkan dalam Muktamar NU di Menes Jawa Barat ditafsil menjadi tiga, yaitu: haram (sebab termasuk hutang yang dipungut rente), syubhat (tidak tentu halal-haramnya) sebab para ahli hukum berselisih pendapat tentangnya, atau halal (Sebab tidak ada syarat pada waktu aqad, sementara adat yang berlaku, tidak dapat begitu saja dijadikan syarat).
Ketiga macam hukum tersebut disesuaikan dengan kondisi transaksi yang ditinjau dari berbagai aspek yang bersangkutan. Kembali pada sifat koperasi sebagai praktek mu’amalah, maka dapat ditetapkan hukum koperasi adalah sesuai dengan ciri dan sifat-sifat koperasi itu sendiri dalam menjalankan roda kegiatannya. Karena dalam kenyataannya, koperasi itu berbeda-beda substansi model pergerakannya. Koperasi simpan pinjam bahkan banyak yang lebih tinggi bunga yang ditetapkannya bagi para peminjam daripada bunga yang ditetapkan oleh bank-bank konvensional. Tentunya hal seperti ini tidak diragukan lagi adalah termasuk riba yang diharamkan. Adapun koperasi semacam kumpulan orang yang mengusahakan modal bersama untuk suatu usaha perdagangan atau jasa yang dikelola bersama dan hasil keuntungan dibagi bersama, selagi perdagangan atau jasa itu layak dan tidak berlebihan di dalam mengambil keuntungan, maka dibolehkan, apalagi jika keberadaan koperasi itu memudahkan dan meringankan bagi kepentingan masyarakat yang bersangkutan dengan cara bagi hasil yaitu sistem Profit Sharing atau sistem Revenue Sharing.
B.     Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka kami sarankan beberapa hal sebagai berikut :
1.      Sebagai umat Islam, seyogyanya kita harus berhati-hati dalam memilih kredit atau peminjaman uang baik kepada bank maupun koperasi;
2.      Nilai-nilai muamalah dalam akad transaksi harus diperhatikan agar kredit yang kita terima tidak termasuk riba yang diharamkan oleh Allah;
3.      Koperasi simpan pinjam seyogyanya berhati-hati dalam penyelenggaran simpan pinjamnya sehingga tidak menjadi transaksi yang diharamkan.


DAFTAR PUSTAKA

Antonio, Syafi’i. (1999). Bank Syariah : Wacana Ulama dan Cendekiawan. Jakarta : Tazkia Institut dan Bank Indonesia.
Arifin, Zainul. (2000). Memahami Bank Syariah Lingkup Peluang Tantangan dan Prospek. Jakarta : Alvabet.
Departemen Agama Republik Indonesia. (1989). Al-Qur'an dan Terjemahnya. Semarang : Toha Putra.
Dewan Syariah Nasional. (2001). Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional untuk Lembaga Keuangan Syariah, Ed. 1. Jakarta : Dewan Syariah Nasional – MUI dan Bank Indonesia.
Echols, John M. & Shadily, Hassan. (1995). Kamus Inggris Indonesia. Jakarta : PT. Gramedia.
Muhammad. (2002). Manajemen Bank Syariah. Yogyakarta : UPP AMP YKPN.
Pass, Cristopher & Lowes, Bryan. (1994). Kamus Lengkap Ekonomi. Jakarta : Erlangga.
Tim Pengembangan Bank Syariah IBI. (2001). Konsep Produk dan Implementasi Operasional Bank Syariah. Jakarta : Djambatan.


[1] Syafi’I Antonio, Bank Syari’ah; Wacana Ulama’ dan Cendekiawan, (Jakarta: Tazkia Institut dan Bank Indonesia, 1999). h. 278, hal. 278.
[2] Zainul Arifin. Memahami Bank Syari’ah; Lingkup, Peluang, Tantangan dan Prospek, (Jakarta: Alvabet, 2000). Cet. 3. hal. vii
[3] Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia Nomor : 03/Per/M.KUKM/III/2009 tentang   Pedoman Umum Linkage Program Antara Bank Umum dengan Koperasi.
[4] Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang : Toha Putra,  1989), hal. 69.
[5] Muhammad, Manajemen Bank Syariah, (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2002) hal. 101
[6] Cristopher Pass dan Bryan Lowes, Kamus Lengkap Ekonomi, (Jakarta : Erlangga, 1994), Edisi ke-2 , hal. 534
[7] Tim Pengembangan Perbankan Syariah IBI,  Konsep, Produk dan Implementasi Operasional Bank Syari’ah, (Jakarta : Djambatan, 2001), hal. 264

[8] Murasa Sarkaniputra, Direktur Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam, Surat Tanggapan atas surat MUI, Jakarta, 29 April 2003. hal. 3
[9] Syamsul Falah, Pola Bagi Hasil pada Perbankan Syari’ah, Makalah disampaikan pada seminar ekonomi Islam, Jakarta, 20 Agustus 2003
[10] John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta : PT. Gramedia, 1995), Cet. ke-21

[11] Cristopher Pass dan Bryan Lowes, Kamus Lengkap Ekonomi, (Jakarta : Erlangga, 1994), Edisi ke-2, hal. 583
[12] Murasa Sarkaniputra (Direktur Pusat Pengkajian dan Pengambangan Ekonomi Islam), surat kepada Ketua Umum MUI, tentang fatwa MUI No.15/DSN-MUI/IX/2000, Tgl 18 Februari 2003 .
[13] Cristopher Pass dan Bryan Lowes, Op.cit., hal. 473
[14] Ibid, hal. 473.
[15]  Dewan Syari'ah Nasional, Himpunan Fatwa Dewan Syari'ah Nasional Untuk Lembaga Keuangan Syari'ah, Ed. 1, Diterbitkan atas Kerjasama Dewan Syari'ah Nasional-MUI dengan Bank Indinesia, 2001, hal. 87
[16] Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, Lok.Cit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan tulis komentar Anda