BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bom Bali kedua yang meledak pada tanggal 1 Oktober 2005
di tiga lokasi yaitu R. Aja’s Restaurant, Nyoman’s Cafe dan Menega’s
Café telah menelan korban 22
orang meninggal dunia dan ratusan orang mengalami luka-luka. Peristiwa tersebut
bertepatan dengan dikeluarkannya kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan
bakar minyak (BBM) yang menimbulkan pro dan kontra, sehingga hal tersebut dianggap
sebagai upaya pemerintah untuk mengalihkan perhatian masyarakat terhadap kebijakan pemerintah menaikkan BBM.
Sementara itu,
aksi terorisme yang bernuansa lokal intensitasnya cenderung menurun. Namun
di daerah konflik, khususnya Poso, aksi-aksi terorisme dari upaya membenturkan
kepentingan politik dan SARA antarmasyarakat atau antaraparat masih sering
dijumpai. Selain teror bom yang diledakkan
di sejumlah tempat ibadah bertepatan dengan acara keagamaan, serta terjadinya teror individual yang
bertujuan menciptakan konflik
merupakan indikasi rumitnya penyelesaian masalah Poso. Hal yang patut dipuji,
masyarakat yang selama ini terlibat dan berada di wilayah konflik Poso tidak
terpengaruh rasa toleransinya, sehingga upaya teror tersebut tidak berdampak
signifikan. Sementara itu di wilayah-wilayah lain relatif aman dari gangguan
terorisme yang bernuansa lokal seiring dengan makin mantapnya kondisi keamanan
dan ketertiban masyarakat.
Sementara
itu kerjasama penanggulangan dan pencegahan terorisme secara lintas negara
dilaksanakan melalui peningkatan kapasitas kelembagaan dan peningkatan
infrastruktur aturan hukum. Pada tahun 2005, Indonesia telah meresmikan
kerjasama bilateral di bidang counter terrorism diantaranya dengan
Polandia telah ditandangani Agreement on Cooperation in Combating
Transnational Crime and Other Types of Crime, dan dengan Vietnam telah
ditandatangani MoU on Cooperation and Combating Crime. Secara
multilateral, Indonesia terlibat dalam ASEAN – Republic of Korea Joint
Declaration for Cooperation to Combat International Terrorism, ASEAN – Pakistan
Joint Declaration for Cooperation to Combat International Terrorism, dan ASEAN
– New Zealand Joint Declaration for Cooperation to Combat International
Terrorism. Sementara itu dalam hal peningkatan infrastruktur aturan hukum,
pemerintah sedang dalam tahap akhir proses ratifikasi dua konvensi
internasional yaitu International Convention for Suppression of the
Financing of Terrorism (1999) dan International Convention for the
suppression of Terrorism Bombings (1997) yang diharapkan dapat diundangkan
pada tahun 2006.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang
masalah di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan-permasalahan sebagai
berikut :
1.
Bagaimana
perkembangan aksi terorisme di Indonesia?
2.
Bagaimana
hukum terorisme menurut pandangan Islam?
C. Tujuan Pembahasan
Berdasarkan uraian latar belakang
masalah dan perumusan masalah di atas, maka tujuan dalam pembahasan ini adalah
sebagai berikut :
1.
Untuk
mengetahui bagaimana perkembangan aksi terorisme di Indonesia;
2.
Untuk
mengetahui bagaimana hukum terorisme menurut pandangan Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Terorisme
Berkata
Syaikh Zaid bin Muhammad Al-Madkholi dalam memberikan ta’rif (definisi) Irhaab,
“Irhab adalah suatu kalimat yang padanya disandarkan makna yang memiliki
gambaran beragam, yang pada intinya adalah tindakan menakut-nakuti dan membuat
kengerian pada orang. Teror ini menyebabkan tertumpahnya darah orang tak
berdosa, hilang dan terampasnya harta benda, terkoyaknya kehormatan, dan porak
porandanya persatuan.
Lembaga
Fiqh Islam Rabithah Alam Islami memberikan definisi “Irhab adalah tindakan
aniaya kepada manusia yang dilakukan oleh perorangan, kelompok atau negara, baik
terhadap agama, jiwa, akal, harta atau kehormatannya. Termasuk tindakan terorisme
adalah berbagai macam usaha menakut-nakuti, gangguan, ancaman, dan perampokan.
Semua tindak kekerasan atau ancaman sebagai realisasi tindak kriminal baik dari
perorang atau kelompok dan bertujuan menyebarkan rasa ketakutan di tengah
masyarakat. Allah telah melarangnya dalam firman-Nya :
Æ÷tGö/$#ur !$yJÏù 9t?#uä ª!$# u#¤$!$# notÅzFy$# ( wur [Ys? y7t7ÅÁtR ÆÏB $u÷R9$# ( `Å¡ômr&ur !$yJ2 z`|¡ômr& ª!$# øs9Î) ( wur Æ÷ö7s? y$|¡xÿø9$# Îû ÇÚöF{$# ( ¨bÎ) ©!$# w =Ïtä tûïÏÅ¡øÿßJø9$# ÇÐÐÈ
“Dan carilah
pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat,
dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat
baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (al-Qashash : 77).[1]
Allah
telah menyiapkan balasan yang menakutkan bagi pelaku tindak teror dan kerusakan
dan dikategorikan sebagai permusuhan kepada Allah dan rasul-Nya. Allah Ta'ala
berfirman :
“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan
rasul-Nya, dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau
disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka secara silang atau diasingkan.
Yang demikian itu sebagai suatu penghinaan terhadap mereka di dunia dan di
akhirat mereka memperoleh siksa yang besar.” (QS Al-Maidah : 33)[2]
Terorisme sebagai
sebuah paham memang berbeda dengan kebanyakan paham yang tumbuh dan berkembang
di dunia, baik dulu maupun yang mutakhir. Terorisme selalu identik dengan
teror, kekerasan, ekstrimitas dan intimidasi. Para pelakunya biasa disebut
sebagai teroris. Karena itu, terorisme sebagai paham yang identik dengan teror
seringkali menimbulkan konkuensi negatif bagi kemanusiaan. Terorisme kerap
menjatuhkan korban kemanusiaan dalam jumlah yang tak terhitung.
Namun, sejauh yang
kita amati sampai detik ini, terorisme diartikulasikan dalam tiga bentuk.
Pertama, terorisme yang bersifat personal. Aksi-aksi terorisme dilakukan
perorangan. Kedua, terorisme yang bersifat kolektif. Para teroris melakukannya
secara terencana. Ketiga, terorisme yang dilakukan negara. Istilah ini
tergolong baru, yang biasa disebut dengan “terorisme (oleh) negara” (state terorism).
Aqidah Islam ‘Laa ilaha illa Allah,
Muhammad Rasulullah’ telah menjadi asas bagi seluruh bentuk hubungan yang
dijalankan kaum Muslim; menjadi pandangan hidup yang khas dan hanya dimiliki
oleh kaum Muslim; menjadi asas dalam menyingkirkan kedzaliman dan menyelesaikan
perselisihan; menjadi asas dalam kegiatan ekonomi dan perdagangan; menjadi asas
bagi aktivitas dan kurikulum pendidikan; menjadi asas dalam membangun kekuatan
militer; menjadi asas dalam politik dalam dan luar negeri; termasuk menjadi
asas bagi negara dan kekuasaan. Tidak
cukup sampai disitu, Islam bahkan mewajibkan jihad fi sabilillah untuk
menyebarluaskan aqidah ini kepada seluruh ummat manusia.[3] Sabda Rasulullah saw:
“Aku
telah diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengatakan –mengakui-
Laa ilaha illa Allah Muhammad Rasulullah.
Apabila mereka mengakuinya maka darah dan harta mereka terpelihara
dariku, kecuali dengan haq –jika melanggar syara-.”
Ini menunjukkan bahwa negara Khilafah
Islamiyah adalah negara yang dibangun dan berdiri di atas landasan mabda
(ideologi). Dijadikannya aqidah Islam
sebagai asas negara dan kekuasaan, bukan sekedar formalitas atau perlambang
saja, melainkan tampak dalam seluruh bentuk interaksi masyarakat dan negaranya. Oleh karena itu Negara Khilafah Islamiyah
tidak akan mentolerir seluruh bentuk pemikiran maupun hukum/perundang-undangan,
kecuali terpancar dari aqidah Islam.
Sesungguhnya perdamaian merupakan hukum asal
dari hubungan internasional antara kaum Muslim (negara Khilafah Islamiyah)
dengan negeri-negeri (ummat-ummat) lain. Predikat Islam
sebagai teroris itu tidak sesuai dengan fakta yang ada dan tidak sesuai dengan
yang dikehendaki oleh Allah. Allah Swt.
berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
“Tidaklah Kami mengutus
engkau (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.”
(QS al-Anbiya’ [21]: 107).[4]
B. Jihad
Kata jihad berasal
dari kata bahasa Arab yang berasal dari kata juhd atau jahd. Juhd
berarti kemampuan atau
mengeluarkan sepenuh tenaga dan kemampan, sedangkan Jahd
berarti kesukaran sehingga untuk mengatasinya harus bersungguh-sungguh (dalam
bekerja). Kata ijtihad yang
dikenal dalam hukum Islam juga berasal dari akar kata yang sama dan berarti
upaya sungguh sungguh untuk mencapai sesuatu hukum syara’ yang bersifat amali dan zanni.
Setelah
peledakan gedung kembar WTC di New York tanggal 11 September 2001, perkembangan
makna jihad itu terus berjalan.
Amerika menuduh bahwa peristiwa 11 September 2001 itu dilakukan oleh teroris
dan para teroris itu beragama Islam. Jadi di dunia ada teroris dan teroris itu
adalah Muslim. Sikap ini dan politik Amerika di Timur Tengah dipandang sebagian
Muslim menyudutkan Islam, karena
itu sejumlah veteran perang Afganistan, juga mereka yang berasal dari Asia Tenggara, melakukan gerakan dengan
kekerasan melawan Amerika dan kepentingan Amerika. Peledakan Bom di Kuta Bali
pada Oktober 2002, ternyata dilakukan oleh pemuda-pemuda Muslim yang mengaku
sedang melakukan jihad. Bom bunuh diri di Hotel Mariot Jakarta
ternyata juga tersangkanya pemuda Muslim yang merasa sedang berjihad. Hal ini
tentu saja sangat ironis, karena bunuh diripun sudah dianggap sebagai jihad.
Ini adalah penyimpangan makna jihad yang amat jauh. Karena dalam Islam apapun
alasannya, bunuh diri itu haram hukumnya dan pelakunya berdosa besar atau
bahkan kafir.
C. Hukum Terorisme menurut Pandangan Islam
Dalam kaitannya
dengan terorisme, muncul pertanyaan yang tidak pernah terjawab, adakah korelasi
fungsional antara Islam dan Terorisme? Bisakah gerakan keagamaan yang diduga dalang terorisme sebagai
representasi Islam, baik dalam ranah ajaran maupun pengikutnya?
Sesungguhnya
solusi atau penyembuhan terhadap penyakit ini bahkan untuk membentengi diri
darinya adalah nasehat Islam yang lurus yang tiada melakukan dengan baik akan
nasehat itu kecuali ulama Salaf Ar-Rabbani yang mana mereka telah menyampaikan
nasehat dan bimbingannya kepada manusia dan memperingatkan serta menunjuki
mereka kepada jalannya para nabi dan rasul yang mulia, yang Allah telah utus
mereka sebagai penyeru dan pengajar kebaikan bagi manusia. Jalan itu adalah
wahyu ilahi yang dengannya tersucikan hati dari penyakit-penyakitnya dan
tenangnlah jiwa dari kebingungannya dan kegoncangan, kecuali orang yang memang
dikusai oleh nafsu angkara murka dan telah ditetapkan di dalam Lauhul Mahfudz
sebagai orang yang sesat. Sesungguhnya hal ini sesuai dengan firman Allah
Ta’ala :
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk
kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang
dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima
petunjuk” [Al-Qashash
: 56].
Dan
belum hilang dari pikiran bahwa masyarakat mempunyai peran penting di dalam
melakukan tindakan preventif dan penyembuhan terhadap wabah penyakit terorisme,
hanya saja tidaklah masyarakat akan mendapatkan pengaruh dan dampak yang baik
kecuali apabila masyarakat tersebut menghiasi diri mereka dengan fitrah (aqidah)
yang bersih dan jernih serta pemikiran Islam yang lurus, adapun jika
kenyataannya yang ada dalam masyarakat itu bertabrakan dengan kondisi yang
diatas, sesungguhnya seorang yang tidak mempunyai apa-paa tidaklah ia dapat
memberikan sesuatu.
Bahwasanya
solusi satu-satunya untuk penyakit terorisme di negeri-negeri Islam berada di
tangan orang-orang yang mempunyai aqidah shahihah yang bersih dan murni di
bawah naungan wahyu ilahi yang dibawa dan disampaikan oleh orang yang mau
memahami maknanya dan yang baik penyampaiannya, dan sungguh para dokter mereka
itu adalah waliyul amri dari kalangan ulama rabbani dan para pemimpin yang
shalih kemudian masyarakat dengan segala lapisannya, kecil atau besar dalam dan
luar yang tersifati dengan sifat yang disebutkan terdahulu. Firman Allah Ta’ala
:
“Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang
mendapatkan petunjuk dan barangsiapa yang disesatkan maka kamu tak akan
mendapatkan seorang pemimpinpun yang dapat memberi petunjuk kepadanya”
[Al-Kahfi : 17]
Adapun
solusi terorisme di negeri-negeri kafir, maka pijakannya kepada apa yang mereka
ridhai untuk diri mereka sendiri yaitu undang-undang dasar (negeri tersebut)
jika diwujudkan sesuatu untuk menolak kemudharatan maka haruslah ia mempunyai
kekurangan, terutama akan bertambah parahnya penyakit terorisme di negeri
mereka serta semakin meluas dan saling mewarisinya dengan terang-terangan
karena mereka tidak percaya akan kebesaran Allah dan Dia yang telah menciptakan
mereka dalam beberapa tingkatan kejadian.[5]
Larangan melakukan tindakan kekerasan atas nama agama
(jihad) atau terorisme telah diputuskan oleh majelis ulama indonesia (MUI) 2003
dengan mengeluarkan fatwa yang mengharamkan atas tindakan tersebut. Ketua dewan
fatwa MUI, Kiai Ma’ruf Amin menyampaikan fatwa tersebut karena Indonesia bukan
wilayah perang dan terorisme adalah perbuatan haram.
Dalam hukum pidana islam, terorisme dimasukkan kedalam
golongan jarimah hirabah. Golongan ini merupakan tindak pidana yang dilakukan
oleh orang yaitu pengambilan hak orang secara terang-terangan disertai tindak
kekerasan.
Dalam kaidah hukum islam disebutkan bahwa hukum islam
dapat diberlakukan kepada siapa saja dalam dar as-salam. Dalam kaidah lain
disebutkan bahwa suatu perbuatan tidak akan dikenai hukuman kecuali berdasarkan
nash. Nash disini mengikat dan berlaku terhadap pelaku dan tempat melakukan
perbuatan tersebut.
Imam malik asy-Syafi’i dan imam Ahmad berpendapat
bahwa hukum islam dapat diterapkan atas segala kejahatan atau terorisme yang
dilakukan di mana saja selama tempat tersebut termasuk daerah dar as-salam baik
pelakunya seorang muslim, zimmiy maupun musta’min.
Hukum islam tentang terorisme diperlakukan tegas dan
keras terinci dalam keputusan Majelis Hai’ah Kibar Ulama (Lembaga Ulama Besar)
No. 148 tanggal 12/1/1409 H (9/5/1998 M) dengan persetujuan dan tanda tangan
anggota majelis.
Hal-hal yang diputuskan oleh majelis, diantaranya sebagai berikut:
1. Yang
terbukti secara syar’i melukan perbuatan terorisme dan membuat kerusakan di
muka bumi yang menyebabkan kerusakan dan keamanan, hukumannya adalah dibunuh
berdasarkan kandungan yang tertera dalam ayat suci Al-Qur’an.
2. Sebelum
dibunuh seperti poin yang diatas, pelaku harus menyelesaikan administrasi si
pengadilan syari’at, Hai’ah At-Tamyiz dan Mahkamah Agung dalam rangka
pertanggungjawaban di hadapan Allah.
Allah SWT menjaga manusia, agama, badan, jiwa,
kehormatan, akal, dan harta bendanya dengan disyari’atkan hudud (hukum-hukum
ganjaran) dan uqubah (hukuman balasan) yang akan menciptakan keamanan yang umum
dan khusus.
Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya
pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul Nya dan membuat
kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong
tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik (secara bersilangan), atau
dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu
penghinaan untuk mereka di dunia, dan bagi mereka di akhirat siksaan yang
besar”. (QS. Al-Mâ`idah : 33).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam pandangan islam sendiri, terorisme bukanlah
ajaran islam. Islam sebagai agama rahmatan lil-alamin yang membawa rahmat bagi
seluruh umat sebagai pembawa kedamaian bukanlah malapetaka. Dalam islam
diajarkan Jihad, jihad ini yang kemudian disalah artikan oleh musuh islam
sebagai tindak teror. Padahal islam mengajarkan jihad sebagai upaya mengerahkan
seluruh jiwa raga atas nama Allah yang dijalankan sesuai dengan syari’at islam.
Sedangkan terorisme merupakan tindakan kekerasan yang tidak sama sekali
diajarkan dalam islam.
Terorisme dalam pandangan fiqh sudah diputuskan oleh
para anggota majelis bahwa terorisme adalah tindakan yang dilarang dan termasuk
perbuatan Haram. Tindak pidana pelaku terorisme juga telah diputuskan sebagai
upaya memerangi dan membersihkan terorisme yang terjadi khususnya di Indonesia
sendiri.
Lalu tindakan preventif sebagai solusi dari tindakan
ini adalah bagaimana kita dapat membentengi jiwa kita dengan pemahaman agama
yang benar dan lurus serta berpedoman kepada Al-Qur’an dan Sunnah serta
mengamalkannya secara benar.
B. Saran
1.
Sebagai
muslim yang baik, seyogyanya kita tidak perlu dekat-dekat dengan aksi-aksi
terorisme yang jelas-jelas bukan tindakan yang dibenarkan oleh Islam;
2.
Generasi
muda kita juga harus dijaga jangan sampai terjerumus kepada doktrin-doktrin
yang menyesatkan yang akan merusak akidah yang benar;
3.
Orang
tua dan lingkungan seyogyanya bisa membentengi diri dari kelompok-kelompok
radikal dan gerakannya yang akan merusak ketenteraman bersama.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Kailani,
Dr. Haitsam; Al-Irhab Yu-Assassu Daulati
Namuudzaji Israa-Il, Terjemahan : Siapa
Teroris Dunia?, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar.
Departemen
Agama Republik Indonesia. (1989). Al-Qur'an
Dan Terjemahnya. Semarang : Toha Putra.
Fealy,
Greg, Antony Bubalo. Jejak Kafilah:
Pengaruh Radikalisme Timur Tengah Di Indonesia. 2005. Bandung : Mizan
Majlis
Ulama Indonesia. (2004). Himpunan Fatwa
Majlis Ulama Indonesia. Jakarta : Majlis Ulama Indonesia.
Syaikh
Zaid Bin Muhammad Bin Hadi Al-Madkhaly. Kitab
Al-Ihrab Wa Atsaruhu Alal Afrad Wal Umam, Edisi Indonesia Terorisme Dalam Tinjauan
Islam, Penerjemah Hannan Bahanan, Maktabah Salafy Press.
Zainu,
Muhamad Jamil. Taujihatul Islamiyyah,
Terjemahan : Bimbingan Islam Untuk
Pribadi dan Masyarakat. Jakarta : Darul Haq.
[1] Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang : Toha Putra, 1989), hal. 623.
[2] Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang : Toha Putra, 1989), hal. 164.
[3] Lihat kerangka Islam Ideologi yang ditawarkan oleh Hafidz
Abdurrahman dalam Islam Politik dan Spiritual Lihat juga Taqyuddin An
Nabhani, Nidzom Al-Islam, hal. 22-57.
[4] Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang : Toha Putra, 1989), hal. 508.
[5] Syaikh Ziad bin Muhammad
bin Hadi al Madkhaly, al Irhab wa
Atsaruhu ‘alal Afrad wal Umam (Terorisme dalam Tinjauan Islam), Maktabah
Salafy Press, hal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan tulis komentar Anda