Istilah fiqih berasal dari bahasa arab “فَقِهَ – يَفْقَهُ - فِقْهًا” yang berarti paham, sedang menurut syara’ berarti mengetahui hukum-hukum syar’i yang berhubungan dengan amal perbuatan orang mukallaf, baik amal perbuatan anggota maupun batin, seperti mengetahui hukum wajib, haram, mubah, sah atau tidaknya sesuatu perbuatan itu.[1]
Sementara itu Abdul Hamid Hakim (tt : 6), mendefinisikan fiqih sebagai berikut:
اَلْفِقْهُ لُغَةً اَلْفَهِمُ , فَقِهْتُ كَلاَمَكَ ,أَيْ فَهِمْتُهُ وَاِصِطِلاَحًا اَلْعِلْمُ بِأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الَّتِيْ طَرِيْقُهَا اْلاِجْتِهَادُ
Yakni: “Fiqih secara etimologi berarti faham, seperti ungkapan ‘fahimtu kalamaka’ berarti saya memahami ucapanmu. Dan secara terminologi fiqih berarti pengetahuan tentang hukum-hukum syari’at yang diperoleh melalui metode ijtihad”.
Ijtihad yang dimaksud pada definisi tersebut di atas berarti menggunakan seluruh daya dan upaya (potensi akal) untuk menetapkan hukum syari’at (tentang sesuatu hal) dengan metode istinbat (memetik/mengeluarkan) dari kitab dan sunnah.[2] Atau dengan kata lain upaya pencarian hukum-hukum tentang sesuatu hal dengan cara merincikan atau mengeluarkan dalil-dalil naqli dari al-Qur’an dan atau al-Hadits al-Shahih.
Senada dengan kedua definisi tersebut di atas, Abdul Wahhab Khallaaf mendefinisikan fiqih sebagai berikut:
اَلْعِلْمُ بِأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ اْلعَمَلِيَّةِ اْلمُكْتَسَبُ مِنْ اَدِلَّتِهَا التَّفِصِيْلِيَّةِ – اَوْ هُوَ مَجْمُوْعَةُ اْلاَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ اْلعَمَلِيَّةِ اْلمُسْتَفَادَةُ مِنْ اَدِلَّتِهَا التَّفِصِيْلِيَّةِ
Yakni: “pengetahuan tentang hukum-hukum syari’at yang berhubungan dengan amal perbuatan yang diperoleh dari dalil-dalilnya yang bersifat parsial (dalil yang telah dibahas secara terperinci untuk maksud hukum tertentu, pen) atau juga berarti kumpulan hukum-hukum syari’at yang berhubungan dengan amal perbuatan yang diambil dari dalil-dalilnya yang bersifat parsial”.[3]
Bertolak dari uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa fiqih secara etimologi berarti paham atau tahu, sedangkan terminologi fiqih adalah memahami atau mengetahui hukum-hukum syari’at – seperti: halal, haram, wajib, sunnah, dan mubahnya sesuatu hal - dengan metode ijtihad - yakni upaya mencari dasar hukum (dalil naqli) tentang sesuatu dari al-Qur’an dan atau al-Hadits al-Shahih-.
Adapun yang dimaksud dengan mata pelajaran fiqih di Madrasah Ibtidaiyah (MI) adalah salah satu sub mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI). Mata pelajaran PAI di MI terdiri dari 4 (empat) sub-mata pelajaran, yaitu: a. Akidah Akhlak; b. Al-Qur’an Hadits; c. fiqih; dan d. Sejarah Kebudayaan Islam.
Mata pelajaran fiqih dalam kurikulum Madrasah Ibtidaiyah didefinisikan sebagai salah satu bagian mata pelajaran Pendidikan Agama Islam yang diarahkan untuk menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, dan mengamalkan hukum Islam, yang kemudian menjadi dasar pandangan hidupnya (way of life) melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan, penggunaan pengalaman dan pembiasaan.[4]
Dalam buku Kurikulum Madrasah Tsanawiyah (Standar Kompetensi), dijelaskan mengenai fungsi dan tujuan mata pelajaran fiqih di MI. Mata pelajaran fiqih di MI bertujuan untuk membekali peserta didik agar dapat : a. mengetahui dan memahami pokok-pokok hukum Islam secara terperinci dan menyeluruh, baik berupa dalil naqli dan aqli, sebagai pedoman hidup bagi kehidupan pribadi dan sosial; dan b. melaksanakan dan mengamalkan ketentuan hukum Islam dengan benar, sehingga dapat menumbuhkan ketaatan menjalankan hukum Islam, disiplin dan tanggung jawab sosial yang tinggi dalam kehidupan pribadi maupun sosialnya.
Mata pelajaran fiqih di MI berfungsi untuk : a. penanaman nilai-nilai dan kesadaran beribadah peserta didik kepada Allah SWT., sebagai pedoman mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat; b. penanaman kebiasaan melaksanakan hukum Islam di kalangan peserta didik dengan ikhlas dan perilaku yang sesuai dengan peraturan yang berlaku di Madrasah dan masyarakat; c. pembentukan kedisiplinan dan rasa tanggung jawab sosial di madrasah dan masyarakat; d. pengembangan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT., serta akhlak mulia peserta didik seoptimal mungkin, melanjutkan yang telah ditanamkan lebih dahulu dalam lingkungan keluarga; e. pembangunan mental peserta didik terhadap lingkungan fisik dan sosial melalui ibadah dan muamalah; f. perbaikan kesalahan-kesalahan, kelemahan-kelemahan peserta didik dalam keyakinan dan pelaksanaan ibadah dalam kehidupan sehari-hari; dan g. pembelakalan peserta didik untuk mendalami fiqih/hukum Islam pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.[5]
Dalam buku Kurikulum Madrasah Tsanawiyah (Standar Kompetensi), juga dijelaskan bahwa ruang lingkup mata pelajaran fiqih di Madrasah Tsanawiyah itu meliputi keserasian, keselarasan, dan keseimbangan antara : a. hubungan manusia dengan Allah SWT; b. hubungan manusia dengan sesama manusia; dan c. hubungan manusia dengan alam (selain manusia) dan lingkungannya.[6]
Adapun fokus mata pelajaran fiqih adalah dalam bidang-bidang berikut, yaitu fiqih ibadah, fiqih mu’amalah, fiqih jinayah, dan fiqih siyasah.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka ruang lingkup mata pelajaran fiqih di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Secara garis besar diklasifikasikan ke dalam 2 bagian, yaitu : a. hubuangan vertikal, yakni hubungan manusia dengan Sang Pencipta alam semesta (hablu minallaah atau ‘ibadah). Ruang lingkupnya meliputi ketentuan-ketentuan tentang thaharah, shalat, puasa, zakat, haji-umroh, jinayah, dan sebagainya; dan b. hubungan horizontal, yakni hubungan manusia dengan makhluk. Ruang lingkupnya meliputi ketentuan-ketentuan tentang mu’amalah dan siyasah (politik atau ketatanegaraan).[7]
[1] Moh. Riva’i, Ushul Fiqih untuk PGA 6 Th., Mu’allimin, Madrasah Menengah Atas, Persiapan IAIN dan Madrasah-Madrasah yang Sederajat, Cet. Ke-5, (Bandung : Alma’arif, 1990), hal. 9.
[4] Depag RI., Kurikulum Madrasah Tsanawiyah (Standar Kompetensi), Cet. Ke-2, (Jakarta: Depag RI., 2005), hal. 46.
[6] Ibid., hal. 47.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan tulis komentar Anda