1. Pengertian Pembelajaran
Belajar merupakan proses perolehan kemampuan yang berasal dari pengalaman. Aliran behavioristik memandang bahwa belajar merupakan suatu pembentukan asosiasi antara kesan yang ditangkap panca indera dengan kecenderungan untuk bertindak atau berhubungan antara stimulus dan respon. Belajar adalah upaya membentuk tingkah laku yang diinginkan dengan menyediakan lingkungan agar terjadi hubungan lingkungan dengan tingkah laku siswa. Sedangkan belajar menurut aliran kognitif didasarkan pada teori belajar bermakna dengan mengaitkan informasi baru dengan konsep-konsep yang relevan dan terdapat dalam struktur kognitif siswa. Prinsip utama dalam belajar menurut aliran kognitif yaitu belajar melalui pengalaman sendiri yang dilakukan oleh siswa.
Noehi Nasution mengemukakan bahwa belajar dalam arti luas dapat diartikan sebagai suatu proses yang memungkinkan timbulnya atau berubahnya suatu tingkah laku atau hasil dari terbentuknya respon utama dengan syarat bahwa perubahan atau munculnya tingkah laku baru itu bukan disebabkan oleh adanya kematangan atau oleh adanya perubahan sementara karena sesuatu hal.[1]
Aktivitas belajar adalah aktivitas yang bersifat fisik maupun mental. Dalam kegiatan belajar mengajar kedua aktivitas itu harus saling menunjang agar diperoleh hasil yang maksimal. Pengajaran yang efektif ditandai oleh berlangsungnya proses belajar. Proses belajar dapat dikatakan berlangsung apabila seseorang sekarang dapat mengetahui atau melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak diketahui atau dapat dilakukan olehnya.[2]
Bruner (dalam Amalia Sapriati) mengemukakan model belajar yang disebut model belajar penemuan. Dalam penerapannya, Bruner juga mengemukakan model pembelajaran di kelas tersebut sebagai model pembelajaran penemuan (discovery teaching). Sesuai dengan teori belajar penemuan, tujuan pembelajaran penemuan ini bukan hanya untuk memperoleh pengetahuan saja melainkan untuk memberikan motivasi kepada siswa, melatih kemampuan berfikir intelektual dan merangsang keingintahuan siswa.[3]
Hasil belajar adalah perubahan perilaku yang diperoleh siswa setelah mengalami aktivitas belajar. Hasil belajar merupakan perubahan tingkah laku yang meliputi aspek kognitif, aspek psikomotorik, dan aspek afektif. Bloom dalam Arikunto membagi hasil belajar dalam tiga ranah, yaitu a. ranah kognitif, berkenaan dengan hasil belajar intelektual; b. ranah afektif, berkenaan dengan sikap; c. ranah psikomotorik berkenaan dengan hasil belajar keterampilan dan kemampuan bertindak. Ketiga ranah tersebut menjadi objek penilaian hasil belajar. Diantara ketiga ranah itu, ranah kognitiflah yang paling banyak dinilai oleh para guru di sekolah karena berkaitan dengan kemampuan siswa dalam menguasai bahan pelajaran.[4]
Pembelajaran merupakan proses interaksi yang dilakukan oleh guru dan siswa baik di dalam maupun di luar kelas dengan menggunakan berbagai sumber belajar sebagai bahan kajian. Tujuan pembelajaran adalah membantu para siswa agar memperoleh berbagai pengalaman dan dengan pengalaman itu tingkah laku siswa bertambah baik. Pembelajaran adalah suatu kegiatan yang diselenggarakan untuk membelajarkan siswa sehingga tingkah laku siswa berubah ke arah yang lebih baik.
Kualitas pembelajaran dapat dilihat dari segi proses dan segi hasil. Dari segi proses, pembelajaran dikatakan berkualitas dan berhasil apabila seluruhnya atau setidak-tidaknya sebagian besar siswa secara aktif, baik fisik, mental, maupun sosial dalam proses pembelajaran. Dari segi hasil, proses pembelajaran dikatakan berhasil apabila terjadi perubahan perilaku yang positif pada diri siswa seluruhnya atau setidak-tidaknya sebagian besar siswa. Proses pembelajaran dikatakan berhasil dan berkualitas apabila masukan merata, menghasilkan output yang banyak dan bermutu tinggi serta sesuai dengan kebutuhan perkembangan masyarakat dan pembangunan.
Keberhasilan suatu proses pembelajaran tidak lepas dari peran guru yang cakap dan menguasai berbagai kompetensi profesional guru. Keterampilan operasional guru dalam mengajar meliputi membuaka pelajaran, mendorong dan melibatkan siswa, mengajukan pertanyaan, menggunakan isyarat non verbal, menanggapi siswa, menggunakan waktu, dan mengakhiri pelajaran. Seorang guru setidak-tidaknya memiliki keterampilan dalam mengajar yang meliputi keterampilan membuka dan menutup pelajaran, menjelaskan, mengelola kelas, memberi variasi pembelajaran, bertanya dan memberi penguatan. Untuk mengetahui keberhasilan proses pembelajaran, maka perlu diadakan penilaian. Kegunaan utama dari penilaian adalah untuk pengambilan keputusan dan untuk mempertanggungjawabkan kegiatan yang telah dilaksanakan.[5]
Salah satu keberhasilan guru dalam melakukan proses pembelajaran dapat dilihat dari sikap siswa yang cenderung menjadi lebih positif sesudah mengikuti pembelajaran. Hal ini tergantung pada kesiapan guru dalam membuat perencanaan pembelajaran. Selain itu kesiapan guru dan siswa, kegiatan guru dan siswa selama proses pembelajaran serta hasil belajar akan mempengaruhi keberhasilan suatu pembelajaran.
2. Teori-teori Pembelajaran
Perilaku menurut teori behaviorisme ialah hal-hal yang berubah dan dapat diamati. Perilaku terbentuk dengan adanya ikatan asosiatif antara stimulus dan respons (S-R). Manusia berperilaku pada dasarnya mencari kesenangan yang sekaligus menghindari hal-hal yang menyakitkan, dan perilaku pada dasarnya ditentukan oleh lingkungan sesuai dengan pola stimulus respons yang terjadi.
Proses belajar terjadi dengan adanya tiga komponen pokok, yaitu stimulus, respons dan akibat. Stimulus adalah sesuatu yang datang dari lingkungan yang dapat membangkitkan respons individu. Respon menimbulkan perilaku jawaban atas stimulus. Sedangkan akibat adalah sesuatu yang terjadi setelah individu merespons baik yang bersifat positif maupun negatif.[6]
Teori humanisme memandang bahwa perilaku manusia ditentukan oleh faktor internal dirinya dan bukan oleh kondisi lingkungan ataupun pengetahuan. Menurut teori belajar humanisme, aktualisasi diri merupakan puncak perkembangan individu. Kebermaknaan perwujudan dirinya itu bahkan bukan saja dirasakan oleh dirinya sendiri, tetapi juga oleh lingkungan sekitarnya. Teori belajar humanisme ini yakin bahwa motivasi belajar harus datang dari dalam diri individu.
Para teoriawan belajar kognitif berpandangan bahwa proses belajar pada manusia melibatkan proses pengenalan yang bersifat kognitif. Menurut mereka, cara belajar orang dewasa berbeda dengan cara belajar anak. Proses belajar orang dewasa melibatkan kemampuan kognitif yang lebih tinggi dibandingkan dengan proses belajar anak.
Piaget membagi perkembangan mental anak menjadi empat tahapan. Secara ringkas dapat dirangkum sebagai berikut :
Tahap | Perkiraan Usia | Ciri-ciri Khusus |
Sensori motor | 0 – 2 tahun | Kecerdasan motorik (gerak), dunia (benda) yang ada adalah yang tampak, tidak ada bahasa pada tahap awal |
Pre-operasional | 2 – 7 tahun | Berpikir secara egosentris, alasan-alasan didominasi oleh persepsi, lebih banyak intuisi daripada pemikiran logis, belum cepat melakukan konservasi |
Konkret operasional | 7 – 11 atau 12 tahun | Dapat melakukan konservasi logika tentang kelas dan hubungan pengetahuan tentang angka, berpikir terkait dengan yang nyata |
Formal operasional | 7 – 11 atau 12 tahun, 14 atau 15 tahun | Pemikiran yang sudah lengkap, pemikiran yang proporsional, kemampuan untuk mengatasi hipotesis, perkembangan idealisme yang kuat.[7] |
Menurut Piaget, terdapat sedikitnya tiga hal yang perlu diperhatikan oleh guru dalam merancang pembelajaran di kelas, terutama dalam pembelajaran IPA. Ketiga hal tersebut adalah :
a. Seluruh anak melewati tahapan yang sama secara berurutan;
b. Anak mempunyai tanggapan yang berbeda terhadap suatu benda atau kejadian;
c. Apabila hanya kegiatan fisik yang diberikan kepada anak, tidaklah cukup untuk menjamin perkembangan intelektual anak.
Konsep ialah suatu abstraksi yang mewakili suatu kelas objek-objek, kejadian-kejadian, kegiatan-kegiatan atau hubungan-hubungan yang mempunyai atribut-atribut yang sama. Flavell (1970) mengemukakan tujuh dimensi konsep yaitu atribut, struktur, keabstrakan, keinklusian, generalitas/keumuman, ketepatan dan kekuatan atau power. Tingkat-tingkatan konsep terdiri atas tingkat konkret, tingkat identitas, tingkat klasifikatori dan tingkat formal.[8]
Dalam penerapannya pada pembelajaran di kelas, Bruner mengembangkan model pembelajaran penemuan. Model ini pada prinsipnya memberikan kesempatan kepada siswa untuk memperoleh informasi sendiri dengan bantuan guru dan biasanya menggunakan barang yang nyata. Peranan guru dalam pembelajaran ini bukanlah sebagai seorang pemberi informasi, melainkan seorang penuntun untuk mendapatkan informasi.[9]
Ausabel mengklasifikasikan belajar ke dalam dua dimensi. Dimensi pertama, menyangkut cara materi atau informasi diterima peserta didik dan dimensi kedua, menyangkut cara bagaimana peserta didik dapat mengaitkan informasi atau materi pelajaran dengan struktur kognitif yang telah ada. Jika peserta didik menghubungkan informasi atau materi pelajaran baru dengan konsep-konsep atau hal lainnya yang telah ada dalam struktur kognitifnya, maka terjadilah yang disebut dengan belajar bermakna.
3. Pembelajaran IPA di MI
Noehi Nasution menyatakan bahwa belajar dalam arti luas dapat diartikan sebagai suatu proses yang memungkinkan timbulnya atau berubahnya tingkah laku sebagai hasil dari terbentuknya respon utama, dengan syarat bahwa perubahan atau munculnya tingkah laku baru itu bukan disebabkan oleh adanya kematangan atau oleh adanya perubahan sementara karena sesuatu hal.[10]
Menurut teori humanistik, proses belajar harus dimulai dan ditujukan untuk kepentingan memanusiakan manusia itu sendiri. Teori humanistik dengan pandangannya yang sangat manusiawi, yaitu dengan cara memanfaatkan atau merangkumkan berbagai teori belajar dengan tujuan untuk memanusiakan manusia bukan saja mungkin untuk dilakukan, tetapi justru harus dilakukan.[11]
Pembelajaran IPA di MI adalah kegiatan atau proses pembelajaran yang dilaksanakan di kelas dengan maksud untuk mencapai tujuan pembelajaran pada setiap indikator yang telah direncanakan sebelumnya, dalam hal ini pada mata pelajaran IPA.
Piaget dalam Amalia Sapriati mengajarkan kita pada suatu kenyataan bahwa seluruh anak mengikuti pola perkembangan yang sama tanpa mempertimbangkan kebudayaan dan kemampuan anak secara umum. Hanya umur anak di mana konservasi muncul sering berbeda. Point yang penting ini menjelaskan kita mengapa pembelajaran IPA di MI banyak menggunakan percobaan-percobaan nyata dan berhasil pada anak yang secara kebudayaan terhalangi.[12]
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dapat dipandang sebagai produk dan sebagai proses. Secara definisi, IPA sebagai produk adalah hasil temuan-temuan para ahli saintis, berupa fakta, konsep, prinsip, dan teori-teori. Sedangkan IPA sebagai proses adalah strategi atau cara yang dilakukan para ahli saintis dalam menemukan berbagai hal tersebut sebagai implikasi adanya temuan-temuan tentang kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa alam. IPA sebagai produk tidak dapat dipisahkan dari hakikatnya IPA sebagai proses.
Uraian di atas menunjukkan bahwa dalam pembelajaran IPA di MI yang perlu diajarkan adalah produk dan proses IPA karena keduanya tidak dapat dipisahkan. Guru yang berperan sebagai fasilitator siswa dalam belajar produk dan proses IPA harus dapat mengemas pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik siswa. Ada beberapa prinsip pembelajaran IPA untuk MI yang harus diperhatikan oleh guru. Prinsip tersebut antara lain:
a. Pemahaman kita tentang dunia di sekitar kita di mulai melalui pengalaman baik secara inderawi maupun non inderawi;
b. Pengetahuan yang diperoleh tidak pernah terlihat secara langsung, karena itu perlu diungkap selama proses pembelajaran. Pengetahuan siswa yang diperoleh dari pengalaman itu perlu diungkap di setiap awal pembelajaran;
c. Pengetahuan pengalaman mereka ini pada umumnya kurang konsisten dengan pengetahuan para ilmuwan, maupun pengetahuan yang kita miliki. Pengetahuan yang demikian kita sebut miskonsepsi. kita perlu merancang kegiatan yang dapat membetulkan miskonsepsi ini selama pembelajaran;
d. Setiap pengetahuan mengandung fakta, data, konsep, lambang, dan relasi dengan konsep yang lain. Tugas sebagai guru IPA adalah mengajak siswa untuk mengelompokkan pengetahuan yang sedang dipelajari itu ke dalam fakta, data, konsep, simbol, dan hubungan dengan konsep yang lain; dan
e. IPA terdiri atas produk dan proses. Guru perlu mengenalkan kedua aspek ini walaupun hingga kini masih banyak guru yang lebih senang menekankan pada produk IPA saja. Perlu diingat bahwa perkembangan IPA sangat pesat.
Guru yang akan mengembangkan IPA sebagai proses, maka akan memasuki bidang yang disebut prosedur ilmiah. Guru perlu mengenalkan cara-cara mengumpulkan data, cara menyajikan data, cara mengolah data, serta cara-cara menarik kesimpulan.
Dalam Permendiknas No. 22 tahun 2006 tentang Standar Isi dijelaskan bahwa pembelajaran IPA di SD/MI sebaiknya dilaksanakan secara ilmiah (scientific) untuk menumbuhkan kemampuan berpikir, bekerja dan bersikap ilmiah serta mengkomunikasikannya sebagai aspek penting kecakapan hidup. Oleh karena itu pembelajaran IPA di SD/MI menekankan pada pemberian pengalaman belajar secara langsung melalui penggunaan dan pengembangan keterampilan proses dan sikap ilmiah.
Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) IPA di SD/MI merupakan standar minimum yang secara nasional harus dicapai oleh peserta didik dan menjadi acuan dalam pengembangan kurikulum di setiap satuan pendidikan. Pencapaian SK dan KD didasarkan pada pemberdayaan peserta didik untuk membangun kemampuan, bekerja ilmiah, dan pengetahuan sendiri yang difasilitasi oleh guru.
Mata Pelajaran IPA di SD/MI bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut :
a. Memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keberadaan, keindahan dan keteraturan alam ciptaan-Nya;
b. Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari;
c. Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif dan kesadaran tentang adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan, teknologi dan masyarakat;
d. Mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar, memecahkan masalah dan membuat keputusan;
e. Meningkatkan kesadaran untuk berperanserta dalam memelihara, menjaga dan melestarikan lingkungan alam;
f. Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan;
g. Memperoleh bekal pengetahuan, konsep dan keterampilan IPA sebagai dasar untuk melanjutkan pendidikan ke SMP/MTs.[13]
Ruang Lingkup bahan kajian IPA untuk SD/MI meliputi aspek-aspek berikut:
a. Makhluk hidup dan proses kehidupan, yaitu manusia, hewan, tumbuhan dan interaksinya dengan lingkungan, serta kesehatan;
b. Benda/materi, sifat-sifat dan kegunaannya meliputi: cair, padat dan gas;
c. Energi dan perubahannya meliputi: gaya, bunyi, panas, magnet, listrik, cahaya dan pesawat sederhana;
d. Bumi dan alam semesta meliputi: tanah, bumi, tata surya, dan benda-benda langit lainnya.
[1] Drs. Noehi Nasution, M.A., dkk, Psikologi Pendidikan, Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam dan Universitas Terbuka, Jakarta, 1998, hal. 4.
[2] Prof. Dr. H. Hamzah B. Uno, M.Pd., Op. Cit., hal. 44.
[3] Dr. Amalia Sapriati, dkk., Op.Cit., hal. 1.27.
[4] Prof. Dr. Suharsimi Arikunto, Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, Bumi Aksara, Jakarta, 2009., hal. 117.
[5] Jahja Umar, Ph.D, dkk, Penilaian dan Pengujian untuk Guru SMP, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, 2000, hal. 4.
[6] Hera Lestari Mikasa, Ph.D, dkk, Pendidikan Anak di SD, Universitas Terbuka, Jakarta, 2008, hal. 6.16 – 6.17.
[7] Dr. Amalia Sapriati, M.A, dkk.. Pembelajaran IPA di SD. Universitas Terbuka, Jakarta, 2009, hal. 1.19.
[8] Ibid., hal. 6.17
[9] Dr. Amalia Sapriati, M.A, dkk.. Op. Cit., hal. 1.33.
[10] Drs. Noehi Nasution, M.A, dkk, Op. Cit., hal. 4.
[11] Dra. Ihat Hatimah, M.Pd, dkk, Pembelajaran Berwawasan Kemasyarakatan, Universitas Terbuka, Jakarta, 2008, hal. 1.4 – 1.5.
[12] Dr. Amalia Sapriati, M.A, dkk, Op. Cit., hal. 1.15.
[13] Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) MI Hidayatussibyan Kumejing Tahun Pelajaran 2011/2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan tulis komentar Anda